Sweet Lies 10
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan bagi mental dan fisik Indira, akhirnya mereka sampai di resort yang dituju. Tempat ini berada di atas perbukitan dengan suasana yang begitu tenang. Tampak pemandangan nan indah berupa landscape Gunung Merapi.
Menurut Reygan yang sudah pernah ke sini saat menjamu koleganya, di sekitar resort ini terdapat beberapa destinasi wisata yang menarik.
"Ada Candi Ratu Boko, Candi Prambanan, Candi Sojiwan, Candi Borong, dan Tebing Breksi," paparnya saat mereka sudah mendapatkan kunci untuk kamar masing-masing.
"Tebing Breksi? Aku baru dengar, Mas." Indira menatap suaminya.
"Tebing Breksi itu salah satu destinasi wisata bekas tambang. Awalnya, Tebing Breksi merupakan area tambang batuan kapur yang menjadi sumber penghidupan warga."
Indira mengangguk paham.
"Nah ini kamarmu, dan di sebelahnya kamarku. Kita bersih-bersih badan dulu terus makan malam. Ada restoran enak di sini. Gimana?"
Tak membantah Indira mengangguk.
"Oke, selamat bersenang-senang."
Mereka lalu memasuki kamar masing-masing. Sunyi. Indira mengedarkan pandangan. Kamar yang berukuran 33 meter persegi itu dilengkapi fasilitas mewah layaknya hotel berbintang. Ada televisi, mini bar, pengering rambut, jubah mandi, telepon dan tentu saja sandal.
Seperti mengabaikan apa yang dikatakan Reygan agar dirinya bersiap-siap untuk makan malam, Indira melangkah menuju balkon.
Menatap suasana Sleman saat langit mulai berwarna saga adalah hal yang luar biasa yang dia rasakan. Udara yang sejuk seperti magnet baginya untuk diam dan menikmati keindahan alam Yogyakarta.
Indira menghirup udara sebanyak-banyaknya seolah ingin melepaskan semua penat di hatinya. Dia memejamkan mata menghalau genangan air yang sejak tadi berkumpul di kedua indra penglihatannya. Namun, akhirnya air mata itu tumpah membasahi pipi.
Rasa sepi dan sedih yang dia rasa kini kembali menyapa. Kehadiran Adrian yang begitu dia impikan kini benar-benar telah menguap. Semua harap yang pernah dia rajut sekarang terbang bersama jiwa penuh cinta milik Adrian.
"Nggak nyangka, ya, sepertinya memang orang tua kita itu sudah memiliki keyakinan yang kuat sampai mereka yakin kita adalah pasangan yang cocok!" tutur Adrian kala mereka duduk bersama di bibir pantai saat senja beberapa bulan silam.
Indira saat itu hanya mengangguk membiarkan rambutnya dirapikan oleh Adrian.
"Kamu tahu? Aku merasa memang nggak ada yang bisa mengalahkan indahnya skenario Tuhan. Dia memang mengambil kedua orang tuaku, tetapi Dia juga yang menggantikan aku dengan banyak cinta dari Bude, Pakde juga kamu dan orang tuamu." Indira menatap pria berhidung mancung di sebelahnya dengan tatapan hangat.
"Indira."
"Ya?"
Adrian memiringkan tubuhnya menghadap sang kekasih.
"Andai apa yang jadi angan dan harapan kita ini tidak sepenuhnya bisa kita wujudkan ... aku harap kamu menemukan kebahagiaan lain yang lebih!" Adrian memindai paras Indira dengan penuh kasih.
"Maksudnya apa?"
"Kalau aku pergi, aku ingin kamu bisa dapat pengganti yang lebih baik. Baik dalam semua hal!"
Indira mencebik seraya mengernyit mendengar penuturan Adrian.
"Kamu bicara apa sih!" Wajah Indira terlihat kesal. "Aku nggak suka kamu bicara begitu! Ini sudah kesekian kalinya kamu membicarakan hal aneh seperti ini!"
Adrian hanya tertawa kecil kala itu, dan seperti biasa, kemarahan Indira akan lenyap saat pria disebelahnya itu memeluknya erat.
'Kamu pikir bisa segampang itu melupakanmu, Adrian? Kamu pikir aku bisa dengan cepat menghilangkan apa yang pernah terjadi di antara kita begitu saja? Nggak segampang itu!' bisik hatinya.
Air mata Indira semakin deras, ingin rasanya dia berteriak memanggil nama Adrian dan mengatakan jika pria itu terlalu mudah pergi meninggalkan dirinya tanpa bicara dan pesan apa pun.
Sementara langit semakin pekat, mentari pun sudah benar-benar kembali ke peraduannya. Akan tetapi, Indira masih setia menekuri cakrawala yang tak lagi berwarna itu. Dia masih membisu bermain-main dengan angan dan memori yang membuat hatinya kembali nyeri.
Indira merogoh tas tangan yang sejak tadi belum diletakkan. Dia mengambil ponsel dari tas itu dan menatap wallpaper di layar ponsel. Adrian terlihat tersenyum di sana.
"Entah, mungkin kamu di alam sana tahu aku kini seperti apa. Jika memang kamu tahu, aku sudah melakukan apa yang menjadi keinginanmu, meski sebenarnya harus melawan dan mengenyahkan rasa perih yang hadir. Kamu pasti tahu kalau Mas Reygan punya kekasih, kan? Lalu kenapa kamu bisa berpikir jika aku harus bersamanya?" Indira berkata seolah-olah foto Adrian dapat mendengar dan diajak berkomunikasi.
Dia lalu menarik napas dalam-dalam.
"Oke, tapi nggak apa-apa. Apa pun itu yang penting kamu sudah bahagia di sana, dan aku janji aku akan bahagia juga di sini. Baik-baik di sana ya, Adrian."
Indira kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas. Udara semakin dingin, dia lalu masuk dan menutup pintu kamar yang menghubungkan ke balkon.
Ketukan pintu membuatnya tersadar jika sejak tadi dirinya belum bersiap-siap seperti yang dititahkan sang suami.
"Indira? Indira, kamu baik-baik saja, kan?" suara Reygan terdengar dari luar. "Kamu nggak apa-apa, kan?"
"Aku nggak apa-apa, Mas," jawabnya seraya membuka pintu.
Melihat mata sang istri yang sembab, kening Reygan mengernyit.
"Kamu nangis?" tanyanya mengulurkan tangan mencoba mengusap pipi Indira yang masih terlihat basah.
"Nggak kok! Aku nggak nangis." Dia mengelak sembari mundur membuat jarak agar Reygan tak menyentuh pipi. "Aku cuma ketiduran sebentar tadi."
Merasa ditolak, pria itu mengangguk mencoba untuk paham.
"Maaf. Maaf kalau aku memaksamu untuk segera bersiap-siap, kalau kamu mau istirahat, nggak apa-apa. Istirahat aja, biar nanti aku yang ambilkan makan malam untukmu. Kamu ...."
"Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa kok. Aku siap-siap dulu ya."
"Kamu yakin nggak apa-apa?"
"Iya, Mas. Aku baik-baik aja."
"Oke!"
**
Tak menunggu terlalu lama, Indira sudah siap dengan mengenakan gaun sebatas lutut berwarna biru gelap, dan potongan leher V neck, dan kalung mutiara menghias leher jenjangnya. Tatanan rambut yang digerai begitu saja membuat tampilannya terasa istimewa meski sederhana.
Reygan menoleh saat pintu kamar dibuka. Riasan wajah natural dan aroma parfum segar menyapa membuat dirinya sejenak terpaku menatap wajah sang istri.
"Sudah siap?"
"Hmm. Apa aku nggak malu-maluin pake baju ini?"
Reygan mengerutkan kening kembali menelisik Indira dari ujung rambut hingga kaki. High heels putih serasi dengan tas tangan mungil yang berwarna senada. Lagi-lagi dia merasa jika memang orang tuanya benar-benar tidak salah memilihkan Indira untuk almarhum adiknya.
"Nggak bikin malu, kan?" tanya Indira mengulang.
"Nggak dong! Kenapa kamu tanya begitu? Apanya yang bikin malu?"
Bibir perempuan beraroma citrus itu melebar. Sebenarnya dia tidak benar-benar bisa percaya diri berada di samping Reygan. Selain bukan pasangan yang seharusnya, dia juga merasa Reygan terlalu smart untuk dia yang hanya lulusan sarjana dan seorang guru di sekolah internasional.
"Ayo, aku sudah lapar!" ajak Reygan memberi isyarat agar mereka segera pergi dari tempat itu.
Mengendarai mobil yang disediakan oleh pihak resort, mereka menuju ke sebuah restoran yang dimaksud Reygan. Restoran yang lokasinya dekat dengan Candi Prambanan.
Selera Reygan yang 'mahal' adalah salah satu yang menjadi perbedaan dengan Adrian. Pria beralis tebal di sebelah Indira itu punya standar tinggi dalam hal apa pun.
Tadinya Indira berpikir mereka akan makan di restoran dekat resort saja, tetapi Reygan memilih untuk makan di restoran yang meski tidak begitu jauh, tetapi untuk perut yang sudah lapar tentu makanan apa pun akan terasa enak.
"Wah, pilihan Mas nggak salah, itu artinya Mas memang punya selera yang berkelas untuk memilih makanan, Mas! Restoran itu memang menyediakan aneka hidangan yang lezat juga pemandangan yang luar biasa!" ujar sopir yang mengantar mereka. "Mas pernah makan di sana sebelumnya ya?"
Reygan tertawa kecil. "Iya, Pak. Tapi udah cukup lama juga sih, saya masih ingat karena view di sana bagus banget!"
Mereka berdua tertawa dan mobil terus meluncur.
"Mas sama Mbak ini pengantin baru ya? Lagi bulan madu ini kayaknya."
Ucapan itu membuat keduanya saling menatap.
"Maaf kalau saya salah, tapi memang tempat ini adalah salah satu destinasi wisata yang sering direkomendasikan untuk pasangan pengantin baru," tutur pria paruh baya yang berseragam batik hitam itu.
"Oh, iya, Mas. Kami memang baru saja menikah," timpal Reygan tanpa menoleh ke arah Indira.
"Wah, benar berarti tebakan saya, selamat ya, Mas, Mbak. Aya doakan kalian berdua langgeng hingga maut memisahkan, dan itu semoga bulan madunya nggak sia-sia!" Kali ini dia berkata dengan tawa ditahan.
"Nggak sia-sia maksudnya, Pak?" Reygan tampak ingin tahu.
"Iya, nggak sia-sia, artinya semoga segera diberikan momongan begitu, Mas!" selorohnya.
Indira menegang mendengar penjelasan bapak sopir itu, meski memang tidak ada hal yang bisa membatasi status dia dengan Reygan, tetapi tentu saja akan jadi rumit andai semua tahu apa yang terjadi pada hubungan pernikahan mereka.
Dari sudut matanya Indira menangkap paras datar Reygan saat mendengar ucapan sopir taksi tersebut.
"Bapak bisa aja," gumamnya lalu menoleh menatap sang istri.
**
Semoga teman-teman terhibur 💜
Terima kasih sudah berkunjung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top