Sweet Lies 1

Assalamualaikum, halo semua ... apa kabar. Semoga sehat selalu yaa.

Seperti biasa, aku bawa cerita baru, wkwkwk. Semoga kali ini bisa menghibur teman2 semua yaa.



**

Jemari Indira bergetar hingga ponsel yang dipegangnya jatuh. Air mata perempuan berambut sepunggung itu mengalir deras begitu saja setelah mendengar kabar tentang Adrian. Oksigen di kamarnya mendadak tak cukup hingga dia merasa semesta menggelap dan dia pun limbung tak sadarkan diri.

Perempuan berkulit putih yang baru saja mencoba gaun pengantin untuk dikenakan esok hari itu segera dibopong oleh beberapa orang yang ada di ruangan tersebut untuk dibaringkan di ranjang. Kebahagiaan yang tadinya memancar di setiap orang yang ada di sana berubah menjadi rasa cemas dan gelisah.

Kabar tentang Adrian yang kecelakaan saat hendak menjemput kakaknya yang baru tiba dari Amerika itu telah menghancurkan seluruh impian Indira sekaligus keluarganya. Menurut kabar yang diterima Adrian meninggal di tempat karena kejadian itu.

Marini, Bude dari Indira tak bisa berkata-kata, perempuan yang berusia lima puluh lima tahun itu hanya bisa meneteskan air mata seraya memanggil nama keponakannya yang masih belum siuman. Sementara Hasim dan beberapa kerabat berinisiatif untuk ke kediaman Adrian untuk melihat kondisi Adrian.

"Bu, tenangkan Indira ya. Bapak ke rumah keluarga Adrian dulu. Karena menurut informasi Adrian sudah dibawa ke rumahnya."

Marini mengangguk lemah, kemudian kembali menatap keponakannya yang masih pucat pasti dengan mata terpejam.

"Indira, bangun, Sayang. Indira," panggil Marini sembari menahan air mata yang tumpah.

Pelan Indira membuka mata, tetapi seperti tak ingin menatap dunia, dia kembali memejamkan matanya.

"Sayang, kamu yang sabar ya, Nak. Sabar ... Bude tahu ini nggak mudah, tapi ada Bude di sini, Sayang."

Marini mengusap lengan Indira lembut. Dia tahu begitu besar rasa bahagia yang tengah dirasakan anak dari almarhum adik iparnya itu sebelum tahu kabar buruk ini.

Indira begitu mencintai Adrian, demikian pula sebaliknya. Mereka berdua bahkan memiliki satu kafe yang mereka kelola saat ini. Menurut Adrian, kafe itu adalah bukti dari keseriusan hubungannya dengan Indira.

"Indira nanti nggak perlu kerja di kantor yang mengharuskan berangkat pagi dan pulang senja. Dia bisa kelola kafe ini dari rumah saja, dengan begitu, jika saya pulang kantor, bisa langsung bertemu dia di rumah, tanpa harus menunggu, Bude" ungkapnya waktu itu.

Adrian juga mengeluhkan bagaimana sulitnya dia dulu bertemu Mama dan papanya di satu waktu. Karena kesibukan bekerja keduanya membuat dia seperti kehilangan sosok yang bisa dibuat untuk bermanja.

"Jadi, Bude. Ayah kalau pulang, kan jam lima sore ya. Nah sementara Mama, terkadang baru sampai rumah itu jam delapan malam gitu."

"Kasihan Papa, Adrian beberapa kali melihat Papa membuat hanya menarik napas dalam-dalam jika pulang sementara Mama masih di kantor atau ada meeting dengan klien."

"Adrian tahu, Papa banyak menyimpan kecewa, tapi dia tidak sanggup mengungkap karena begitu sayang pada Mama. Papa nggak ingin Mama tersinggung karena sebenarnya Papa ingin sekali melarang Mama untuk bekerja," paparnya panjang lebar.

Mengingat obrolan itu, dada Marini terasa semakin sesak. Pria yang digadang-gadang bisa membuat keponakannya bahagia kini telah pergi tanpa pesan apa pun. Pria yang baik dan sangat sayang kepada Indira itu kini hanya tinggal kenangan.

"Bude, Adrian ... Adrian pergi. Padahal dia sudah janji untuk datang esok pagi. Dia juga janji untuk melindungi Indira ...." Perempuan bermanik cokelat itu tak sanggup melanjutkan ucapannya. Dia seperti tak memiliki tenaga bahkan untuk bangkit meneguk air putih yang disodorkan Naima, tetangga Marini yang ikut simpati atas kejadian yang menimpa Indira.

**

Tragedi kecelakaan beberapa tahun silam adalah hal yang tidak bisa dilepas begitu saja oleh keluarga Erlangga. Rasa bersalah yang besar dan rasa tanggung jawab atas nasib si kecil Indira Adisti Kamalia menjadi alasan yang kuat untuk meneruskan rencana mereka di masa lampau. Saat Julia -istri Erlangga- hamil kedua dan diketahui bayi yang dikandung adalah laki-laki dan saat itu Lucia -istri Kamil- juga tengah hamil anak perempuan.

Sebagai sahabat, mereka sepakat menjodohkan anak mereka sejak dalam kandungan untuk mempererat hubungan keluarga mereka.

Waktu berlalu, semesta seolah mengamini perjodohan Indira dan Adrian. Mereka berdua tumbuh dalam kedekatan yang akhirnya memunculkan benih cinta di hati keduanya. Selalu bersama semenjak sekolah dasar hingga  kuliah seperti menjadi jembatan perekat di antara mereka.

Kini semua yang disusun tiba-tiba runtuh. Segenap harap yang dilangitkan lebur bersama kepergian Adrian Erlangga. Pria baik dan penuh perhatian itu telah menutup kisah bersama Indira sebelum asa mereka terwujud.

Kepiluan mendalam tak hanya dirasa oleh Indira. Keluarga besar Erlangga juga sangat terpukul dengan kepergian tiba-tiba putra keduanya. Terlebih Reygan, kakak dari Adrian.

Reygan Erlangga, sang kakak yang lebih tua dua tahun dari adiknya itu sangat menyesal karena telah meminta Adrian untuk menjemputnya ke bandara.

Berbagai narasi sesal di kepalanya membuat pria yang didapuk menjadi penanggung jawab perusahaan papanya larut dalan pilu. Dia bahkan histeris meminta agar Tuhan agar bersedia mengembalikan adiknya untuk digantikan dengannya.

Pria yang memiliki cambang tipis di seputar dagu dan rahangnya itu tak menyangka kedatangannya yang sudah matang direncanakan itu sebenarnya untuk menyaksikan kebahagiaan Adrian di hari pernikahannya.

Akan tetapi, Tuhan memiliki rencana sendiri. Reygan datang untuk melihat jasad kaku sang adik yang akan segera dikebumikan saat dia belum sempat menyapa adik satu-satunya itu.

"Ini semua takdir Tuhan, Reygan," ucap Erlangga sembari mengusap punggung Reygan.

Mata pria paruh baya itu pun terlihat merah dan berair.

"Tapi seharusnya besok hari bahagianya, Pa! Dan Reygan datang untuk dia. Reygan juga sudah siapkan jas khusus untuk dia kenakan esok saat hari bahagianya!" Reygan tergugu. Berulangkali dia mengepalkan tangan. Tampak sekali kesedihan dan penyesalan di parasnya.

"Kita tidak bisa menolak atau meminta jeda waktu pada Tuhan, Nak! Papa tahu apa yang ada di kepalamu, jangan pikir Papa tidak sedih dan jangan pikir Papa tidak luka. Kita semua terluka, Rey."

Reygan diam. Dia melihat ke arah kamar adiknya. Kamar yang sedianya akan dia habiskan malam ini untuk berbagi cerita dan bercanda itu kini terasa dingin dan seolah tengah merasakan apa yang tengah Reygan rasa.

"Mana Mama, Pa?"

Erlangga menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.

"Biarkan Mama di kamar. Mama butuh rua g untuk sendiri." Erlangga yang terlihat lebih tabah itu bangkit sembari menepuk bahu putranya. "Sudah waktunya kita bawa Adrian beristirahat."

**

Suasana yang seharusnya riuh dengan tawa bahagia, malam itu berubah senyap. Semua pernak-pernik yang berhubungan dengan pernikahan yang akan digelar esok masih dibiarkan berada di tempatnya. Tenda putih dengan kombinasi perak yang berjajar di depan rumah besar keluarga Erlangga pun masih berdiri.

Reygan menatap satu per satu figura kecil yang menempel di dinding kamar Adrian. Meski matanya masih berselimut duka, tetapi sungging di bibir terlihat saat menatap beragam gaya adiknya di foto-foto itu.

Adrian memang memiliki kepribadian yang berbeda dengannya. Adrian memiliki jiwa terbuka. Dia lebih bisa menerima orang baru dan lebih luwes dalam bersikap dibanding dengan dirinya.

Adiknya itu selalu bisa menghidupkan suasana. Adrian juga lebih bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan dibandingkan dengan dirinya yang lebih memilih diam karena merasa sulit untuk mengekspresikan perasaannya.

Menarik napas, mata Reygan berhenti di satu figura yang terlihat lebih istimewa dibanding yang lainnya. Terlihat foto Adrian bersama perempuan tengah tertawa dengan latar belakang pantai.

Mata keduanya terlihat penuh cinta. Kemudian dia beralih ke bingkai yang lain kenyang terdapat di kamar itu. Ada berbagai pose potret pre wedding Adrian dan perempuan yang akan dinikahinya esok pagi.

Keduanya sama-sama mengenakan baju berwarna putih. Pose di bawah pohon rindang nan hijau membuat hasilnya demikian indah.  Mata Reygan memindai paras perempuan yang dia tahu sangat dicintai oleh adiknya itu.

Bertubuh semampai, dengan kaki jenjang, rambut indah sepunggung, gigi yang berderet rapi serta mata dan alis yang indah tentu tak bisa menampik siapa pun yang mengatakan bahwa calon istri adiknya itu cantik.

[Mas Rey! Mungkin terlihat seperti terburu-buru ya. Tapi Mas harus pulang!]

[Pulang? Mas memang akan segera pulang, tapi dua bulan lagi.]

[Aku akan menikah, Mas! Segera!]

[Aku tahu, kamu udah pernah bilang bakal lebih dulu menikah, tapi nggak secepat ini, kan?]

[Maaf, Mas. Kata Pak Ustaz, menikah adalah salah satu urusan yang harus disegerakan. Aku hanya mengikuti apa yang dikatakan beliau aja sih!]

Adrian mengirimkan emoji tertawa.

[Yakin cuma itu alasannya? Nggak ada alasan lain?]

[Ck! Kenapa jadi berburuk sangka, Mas? Tenang, aku menghargai Indira.]

[Good boy!]

[Indira itu perempuan yang mandiri, sekaligus rapuh, Mas. Kasihan. Mas tahulah seperti apa kisah hidup dia."

[Aku nggak tahu kalau aku nggak bisa melindungi dia ... entah seperti apa Indira.]

[Dari semua yang pernah kamu ceritakan, sepertinya kamu sangat mencintainya.]

[Sure! Sangat, sangat, Mas! Tapi aku khawatir kalau seandainya aku pergi dan nggak bisa mewujudkan impian kami ... dia sama siapa?]

[Hei! Kamu emangnya mau pergi ke mana? Nggak usah macem-macem! Kalau kamu pergi, Indira sama siapa? Apa-apaan sih? Tadi katanya cinta, kok malah mau pergi?]

[Mas, kalau nanti ternyata apa yang aku impikan nggak semulus seperti harapan, apa Mas mau menjaga Indira untukku?"

[Maksudnya?]

[Menjaga Indira, menyayanginya. Menggantikan posisiku.]

[Hush! Ngaco kamu! Sandra, aku sudah punya Sandra! Udah ah! Aku masih banyak kerjaan. See u soon, Brother!"

[Aku serius, Mas! Aku tahu dan percaya Mas pasti mau memenuhi permintaanku.]

Reygan kala itu tak lagi menanggapi pesan adiknya.

Sentuhan di bahu membuat Reygan menyudahi ingatannya tentang pesan sang adik kala itu.

**





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top