💞 Sweet Ending 💞

Angin menerpa hingga menembus kulit, bulan menderang disaksikan oleh dua insan yang sedari tadi mengobrol melalui jendela kamar masing-masing. Gavin yang duduk di jendela dengan posisi kaki menjuntai bebas di udara, sedangkan Audrey yang lebih normal duduk manis di kursi dekat jendela.

“Tadi di sekolah gue lihat lo akrab banget sama Dimas, udah jadian?” tanya Gavin di sela-sela obrolan mereka.

“Enggak, gue udah nolak dia secara halus. Dia ngerti dan paham. Enggak salah, dong kalau kita tetap berteman,” jawab Audrey sesekali menyeruput cokelat hangatnya.

Gavin tersenyum diam-diam. Entah mengapa laki-laki itu merasa sangat senang Audrey menolak Dimas. Gavin teringat ucapan Audrey yang telah menyukai orang lain tetapi orang itu sudah berpacaran. Belum lagi kejadian beberapa hari yang lalu, di mana surat isi hati Audrey ditemukan. Gavin semakin yakin akan perasaan Audrey padanya.

Namun, Gavin tak mau membahas lebih dulu, ia tahu secanggung apa Audrey saat membahas soal itu. Gavin pun berdeham.

“Ya baguslah kalau gitu, senggaknya dia udah tau jawabannya lebih cepat. Kasian, ‘kan anak orang kelamaan digantungin,” cerocos Gavin.

Audrey menautkan alis. Terbesit dalam hati tentang perasaannya pada Gavin selama ini. Merasa tersinggung, Audrey justru keceplosan.

“Apa kabar sama perasaan gue yang bertahun-tahun sama lo, hah? Udah sering dikodein juga lo enggak peka! Malah jadian sama orang lain. Sampai cape sendiri gue, untung sayang!”

Audrey tertegun mendengar ucapannya sendiri. Susah payah ia menelan ludahnya sendiri. Audrey meringis mengetahui kebodohannya yang sekian kali di hadapan Gavin. Terlihat Gavin yang sedang menahan tawanya melihat wajah menggemaskan Audrey. Hal seperti ini yang Gavin sangat sukai dari Audrey, salah tingkah gadis itu terlalu menggemaskan.

“Enggak! Gue enggak ngomong apa-apa! Bye!”

Audrey yang benar-benar merasa malu akhirnya memilih menutup jendela beserta gordennya dengan kasar. Gavin malah tertawa kencang melihat itu semua.

“Gue udah denger Re! Lo suka dan cinta mati, ‘kan, sama gue! Enggak usah salting gitu, entar imutnya nambah!” teriak Gavin percaya diri menggoda Audrey.

Audrey yang masih berdiri dekat jendela semakin salah tingkah. Bisa-bisanya Gavin berteriak seperti itu di malam hari seperti ini. Kalau sampai terdengar orang rumah atau tetangga, malunya pasti bukan main.

Gadis itu menepuk-nepuk pipinya yang entah sejak kapan terasa panas, bahkan kini ia seakan kehabisan oksigen. Berusaha menenangkan diri sebelum kembali memberikan Gavin tatapan sengit. Setelah terkumpul ia kembali membuka jendela, ternyata Gavin masih di posisi yang sama.

“Lo apaan, sih! Teriak-teriak!”

“Ciye, yang salting gue godain.”

Bukannya merasa bersalah, Gavin justru semakin gencar menggoda Audrey. Gadis itu menghirup udara sebanyak mungkin dan mengembuskannya agar lebih merasa tenang lagi.

“Lo bisa diem enggak, sih!” Audrey sedikit merasa frustrasi. Gavin tak henti-hentinya menertawakannya.

“Yaudah gini aja. Gimana kalau kita jadian?” tanya Gavin dengan santainya.

Hal itu sekejap membuat indra pendengaran Audrey tak berfungsi. Audrey tak berkutik sama sekali, berpikir keras apa yang ia dengar tadi tidak salah. Apa Gavin sedang mengajaknya bercanda, karena ucapan konyol beberapa menit yang lalu.

“Re! Jawab, dong,” desak Gavin menyadarkan pikiran Audrey.

“Enggak usah becanda, ya, Vin. Bukan berarti lo tau perasaan gue ke lo, seenaknya lo candain kayak gini.”

Tiba-tiba Audrey bersikap ketus pada Gavin. Sungguh, ia akan menganggap Gavin jahat, jika mempermainkan perihal perasaannya.

“Loh, kok marah, jangan gitu, sayang,” balas Gavin dengan bernada, laki-laki itu bahkan cekikikan sendiri mendengar suara sumbangnya.

Audrey semakin meringis, antara kasihan dan kesal menjadi satu. Sahabatnya itu benar-benar konyol. Akan tetapi, jauh di dalam hati Audrey, ia sungguh merasa senang bisa kembali selepas ini bersama Gavin. Gavin-nya benar-benar kembali. Kekonyolan seperti saat inilah yang pastinya nanti akan sangat dirindukan. Tak masalah hubungan mereka akan seperti apa, selama keduanya masih bisa menghabiskan waktu bersama dan tertawa bahagia, itu bahkan sudah mewakili segalanya.

Audrey tersenyum menatap Gavin, ia berdiri sambil melipat tangan di dada dan menyandarkan kepalnya di pinggir jendela. Sebuah ide usil melintas dalam pikirannya.

“Ya sudah kita jadian!” ucap Audrey tersenyum sambil menaik-turunkan alisnya yang tebal.

Kini berganti, justru Gavin yang sedari tertawa lepas langsung terbatuk dan terdiam seribu bahasa.

“Batuk, Om?” canda Audrey yang kini tertawa melihat kekonyolannya dan sahabatnya itu.

“Lo parah, bisa-bisanya ngomong kayak gitu tanpa mikir dulu,” ucap Gavin yang sudah sedikit tenang.

“Lo enggak nyadar tadi juga ngomong ngajak jadian tiba-tiba? Lo pikir gue enggak kaget apa,” bela Audrey.

Tiba-tiba tatapan mereka beradu, keduanya tersenyum tipis. Bahkan tertawa kecil mengingat kejadian tadi. Bersamaan keduanya menghela napas panjang, seolah benar-benar merasa sangat lega.

“Dari dulu lo emang enggak pernah berubah ya, Vin,” ucap Audrey terdengar begitu lembut. Ia tersenyum manis membuat Gavin juga ikut tersenyum. Seketika suasana menjadi sedikit tenang.

“Gue udah pernah bilang, ‘kan? Kalau gue akan selalu seperti ini sama lo, Re,” jawab Gavin.

“Makasih.”

“Untuk?”

“Segalanya. Makasih selama ini lo tetap jadi orang yang spesial di hati gue,” jelas Audrey.

“Ya sudah, kalau gitu kita jadian aja gimana? Biar bisa sama-sama terus,” tukas Gavin.

“Gue serius, Vin ....”

“Gue duarius!”

Audrey berdecap sedikit kesal. Namun, iya tersenyum bahagia, detak jantungnya bahkan menari bahagia di sana. Terdengar seperti bercanda, tetapi ternyata Gavin memang serius. Terlihat laki-laki itu memperbaiki posisi duduknya di jendela.

“Re, dengerin gue. Gue serius ngajak lo jadian. Siapa tau kita emang jodoh. Kenapa enggak kita coba aja dulu?” tawar Gavin.

Audrey tampak berpikir. Sebenarnya ia tak masalah jika tak menjalin hubungan lebih sekadar teman dengan Gavin. Ada rasa takut yang terbesit dalam pikirannya.

“Terus kalau kita tiba-tiba nanti putus sebelum jodoh gimana?” tanya Audrey yang tak ingin menabung pertanyaan tersebut.

“Yaelah, Re. Belum juga jadian udah miki—”

“Jodoh enggak ada yang tahu, ‘kan? Lagi pula gue nyaman kita kayak gini. Yang penting sekarang lo tau gimana perasaan gue ke lo. Kita masih punya perjalanan panjang, Vin. Gue atau lo enggak mau ‘kan kalau perjalanan itu putus di tengah jalan hanya karena kita yang udah enggak sejalan? Gue enggak mau itu terjadi,” jelas Audrey yang memotong ucapan Gavin.

Gavin mengembuskan napasnya kemudian tersenyum. Ia berpikir ucapan Audrey ada benarnya untuk saat ini. Lagi pula, mereka sudah sering bersama sejak kecil. Bahkan sekolah pun di tempat yang sama hingga mereka menginjak masa putih abu-abu. Ketakutan Audrey ada benarnya, ia teringat dengan hubungannya yang kandas bersama Nabila. Rasa suka yang dua tahun ia pendam, tetapi berakhir tak menyenangkan. Anggap saja memang dirinya yang salah pilih. Namun, kepada Audrey? Hubungan persahabatan yang masih batas wajar, nyatanya membuat mereka merasa lebih bahagia.

“Oke, gimana kalau kita buat rencana untuk ke depannya sama-sama?” tawar Gavin.

“Rencana?”

“Iya. Rencana lo sama gue. Coba ambil kertas sama pulpen dulu, deh,” pinta Gavin.

Audrey menurut, begitu pun Gavin juga melakukan hal yang sama. Saat keduanya sudah memegang pulpen dan kertas masing-masing, Gavin kembali memberi arahan.

“Lo tulis apa rencana lo buat masa depan. Dan lo pengin rencana lo berkahir seperti apa. Misal, lo penginnya nikah sama gue, gitu?” ucap Gavin yang masih suka menggoda Audrey.

Audrey menggerutu, tetapi ia tersenyum. Keduanya pun sama-sama menuliskan rencana yang akan mereka lakukan untuk masa depan. Dengan pikiran masing-masing keduanya sama-sama tersenyum setelah selesai menulis.

“Tunggu bentar,” pinta Gavin lagi yang kembali masuk ke kamar mengambil sesuatu.

“Re, tangkap!”

Refleks Audrey menangkap benda yang Gavin lemparkan. Jarak jendela kamar yang tak begitu jauh sedikit memudahkannya untuk menangkap benda tersebut yang ternyata adalah botol kaca yang kosong.

“Buat apa?” tanya Audrey yang tak belum mengerti.

“Lo masukin kertas yang tadi ke botol itu.”

Audrey paham dan langsung melakukannya, begitu juga dengan Gavin. Setelah selesai keduanya kembali saling menatap.

“Lo harus ingat sama rencana apa aja yang sudah lo tulis. Dan janji, kita bakal ngelakuin itu semua sama-sama, kalau sudah terwujud baru kita boleh kasih lihat apa yang tertulis di kertas itu,” jelas Gavin.

Audrey mengangguk tanda setuju, mereka pun saling melempar senyuman sambil memegang botol berisikan kertas rencana. Mungkin dari isi kertas itu, semua akan berjalan dengan baik. Daripada harus terburu-buru, mengapa tidak berjuang lebih dulu bersama-sama?









See you next story~~~

-ENDING-
>>>>>Salam manis<<<<<
Mey :*
Balikpapan, 28 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top