💞 Sweet Chapter 17 💞
Dear, Gavin ....
Entah sejak kapan perasaan ini mulai bersarang di hati. Seiring berjalannya waktu, rasa ini mulai tumbuh semakin besar. Rasa di mana aku ingin selalu bersamamu, tertawa, bercanda, menangis, melakukan hal apa saja.
Aku merasa bahagia ketika aku bisa melihat senyummu, mendengar suaramu, dan berada di sampingmu. Bahagiaku begitu sederhana ketika aku bersamamu. Kamu yang seperti super hero untukku, selalu ada di sisiku saat aku benar-benar membutuh sandaran.
Hingga sampai saat di mana ternyata semua perasaan itu hanya dimiliki seorang diri.
Awalnya aku ingin melepaskan semua perasaan ini, saat kamu memilih cinta yang lain. Namun nyatanya, itu terlalu sulit bagiku yang sudah terlanjur dalam mencintaimu.
Tanpa sadar cinta ini membutakan segalanya. Namun, dari kebutaan cinta itu aku belajar mengikhlaskan hati, melihat orang yang kita sayangi bahagia, meski bukan bersama kita.
Setidaknya, persahabatan kita masih bisa terjaga. Dan aku mungkin akan hanya bisa mencintaimu dalam diam selamanya.
Terima kasih untuk segala waktu yang pernah kita habiskan bersama.
Audrey meremas kertas yang ada di genggamannya. Membasahi tenggorokan yang begitu cekat. Jantungnya nyaris tak tertolong kali ini. Merasa bodoh menaruh selembar kertas sialan itu bukan pada tempatnya. Lupa kalau kapan saja laki-laki itu bisa masuk dan berbuat sesukanya di kamar ini.
Gavin yang terlihat santai duduk di meja belajar milik Audrey. Tangannya terlipat di dada, tatapannya bagai CCTV yang mengintai. Menunggu kejelasan dari mulut seorang gadis yang selama ini ia anggap spesial, entah apa yang menggambarkan diri Audrey dalam hatinya. Pastinya gadis itu cukup berharga, walau perasaannya tidak bisa lebih pada Audrey selama ini.
Namun, saat mengetahui isi hati Audrey yang sesungguhnya, tak dapat dipungkiri ada sesuatu yang membuat jantungnya seperti tersengat. Bahagia? Jelas saja. Akan tetapi ia perlu memastikannya lagi.
“Masih enggak mau jelasin?” tanya Gavin yang terlihat begitu tenang. Berbeda dengan Audrey yang hatinya kini bergemuruh hebat.
“Lo kenapa bisa suka sama gue?” tanya Gavin lagi. Laki-laki itu sudah seperti polisi yang menginterogasi penjahat.
Bukan tidak suka ia mengetahui kalau Audrey menyukainya. Hanya saja, selama ini Gavin merasa seperti orang jahat. Tidak menyadari perasaan Audrey dan malah berpacaran dengan gadis lain. Ia teringat saat pertama kali menceritakan hubungannya dengan Nabila pada Audrey, gadis itu tiba-tiba merajuk.
Lain Gavin lain pula Audrey. Di saat seperti ini ia justru merasa takut. Takut kalau Gavin akan menjauh darinya. Lalu, apa arti persahabatan mereka selama ini. Hal seperti inilah yang Audrey takutkan, saat sebuah rasa berlebih merusak kebahagiaan yang lama tercipta. Audrey tak mau itu terjadi, Gavin satu-satunya sahabat yang paling dekat bahkan sebelum bertemu Lila.
“Lupakan soal surat ini, gue udah enggak ada perasaan apa-apa lagi sama lo. Perasaan gue ke elo cuma sahabat, kok. Maaf, kalau surat ini bikin lo enggak nyaman,” balas Audrey pada akhirnya.
Terbesit rasa sakit dalam hati Gavin saat mendengarnya. Namun, ia bisa melihat mimik wajah Audrey kalau sedang berbohong. Gadis itu sama sekali tak berani menatapnya. Gavin pun pindah posisi ke samping Audrey yang duduk di sisi tempat tidur. Di kamar ini memang hanya ada mereka berdua, tetapi mereka sama sekali tak pernah berpikiran untuk berbuat hal macam-macam. Meski sudah saling mengenal lebih lama.
“Re, lihat gue!” pinta Gavin.
Audrey bergeming, menatap ke sembarang arah dengan mata yang bergetar. Di pelupuk sudah menampung cairan bening yang siap tumpah. Ya, semua itu karena rasa takutnya akan kehilangan Gavin. Hatinya sudah lama bertekad, jika Gavin melabuhkan hatinya ke orang lain, ia rela asalkan Gavin masih bisa merasa bahagia saat bersamanya walau hanya sebatas sahabat.
“Audrey Mariska Putri. Lihat gue,” pinta Gavin sekali lagi.
Audrey masih bergeming, karena gemas melihat tingkah Audrey, Gavin pun meraih wajah Audrey agar bisa menatapnya. Saat itu juga cairan bening yang sedari tadi tertampung tumpah tanpa permisi.
“Kenapa nangis? Jangan nangis, Re.”
“Lo pasti benci ya, sama gue. Please, Vin. Lupain aja soal surat itu. Gue nulis itu tanpa sadar, tapi setelahnya gue sadar kalau itu salah,” kata Audrey.
“Hei, siapa yang benci sama lo? Udah jangan nangis, dong,” bujuk Gavin sambil mengusap lembut pipi Audrey yang dipenuhi oleh air mata.
“Maaf, ya, Vin.”
Gavin pun tampak bingung, kenapa Audrey meminta maaf padanya.
“Untuk?”
“Maaf, soal surat ini. Anggap aja enggak ada, ya.”
Audrey menatap kertas yang sedari tadi ia remas. Membukanya kembali berniat untuk merobeknya. Namun, tindakannya di tahan oleh Gavin.
“Mau dirobek? Enggak usah, sini gue simpan.”
Gavin mengambil surat tersebut dan melipatnya kembali. Membuat Audrey menjadi bingung, tetapi pasrah ketika kertas itu sudah masuk ke saku celana Gavin.
“Buat apa lo ambil, Vin?”
“Buat kenang-kenangan.”
Audrey tertegun. Ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang Gavin maksud.
“Udah, enggak usah dipikirin. Gue mau bilang makasih sama lo,” ucap Gavin yang justru tersenyum manis.
“Lo enggak marah sama gue?” tanya Audrey hati-hati.
“Kenapa harus marah? Gue seneng dapat surat cinta dari lo.”
Jawaban Gavin membuat dada Audrey semakin bergemuruh. Berharap kali ini jantungnya selamat, wajahnya pun terasa panas seketika. Surat cinta apanya, pikir Audrey. Suasana di kamar terasa sedikit berbeda. Angin malam yang berembus dari jendela yang masih terbuka bahkan terasa menembus kulit. Bagaimana bisa situasi saat ini justru membuat Audrey merasa canggung.
“Ciye ... pipi merah,” goda Gavin tiba-tiba.
Senyum menggodanya semakin membuat Audrey salah tingkah. Tanpa berpikir panjang Audrey mengambil bantar dan langsung mendarat sempurna tepat di wajah Gavin.
“Apaan, sih!”
“Tuh, ‘kan, salting.”
“Gavin!” pekik Audrey yang semakin salah tingkah.
Audrey membabi-buta memukuli Gavin dengan bantal, ia benar-benar gemas dengan tingkah konyol sahabat laki-lakinya itu. Akhirnya, mereka saling perang bantal, keduanya bahkan tertawa lepas. Di sela-sela itu, Gavin mencuri pandang ke arah Audrey yang tertawa. Ia pun tersenyum manis, kini Audrey-nya sudah kembali ceria.
Gue akan coba membuka hati buat lo. Karena gue sadar, selama ini cuma lo yang selalu ada buat gue. Gue tau lo tulus, Re. Mungkin akan terasa berbeda, tapi gue yakin, kita akan terus bahagia seperti ini, Re, ucap Gavin dalam hati sambil menatap Audrey yang gembira memukulinya dengan bantal.
***
Hari-hari kembali mereka lewati bersama. Audrey merasa Gavin-nya kini benar-benar kembali. Masalah surat itu pun tak pernah dibahas lagi. Hubungan Gavin dan Nabila pun bahkan benar-benar berakhir. Apa lagi setelah Gavin mengatakan kalau ia akan melaporkan perlakuan Nabila pada Audrey beberapa waktu lalu. Nabila yang memang tak mau reputasinya rusak di sekolah ini, mau tak mau menyetujui dan berjanji tidak akan pernah lagi berurusan dengan Gavin mau pun Audrey atau teman sekitar mereka.
Kini Audrey duduk di taman sekolah selepas jam istirahat berbunyi. Tiba-tiba Dimas datang menghampiri dan langsung duduk di sebelah Audrey. Laki-laki itu tersenyum, refleks Audrey pun membalasnya.
“Sendirian aja? Lila ke mana?” tanya Dimas basa basi.
“Lagi ke kantin tadi bentar.”
“Boleh, ‘kan, gue duduk di sini temenin lo?”
“Boleh, kok,” jawab Audrey sedikit kurang nyaman sebenarnya.
Audrey sedikit gelisah, pasalnya Dimas terus menatapnya. Seketika ia teringat perkataan Gavin tentang Dimas yang menyukainya.
“Dim, sorry sebelumnya. Lo bisa enggak, enggak usah senyum-senyum gitu ke gue. Serem gue jadinya.”
Dimas justru tertawa, tawanya begitu renyah di telinga Audrey. Namun, gadis itu berusaha tetap bersikap biasa saja.
“Ya senyum itu, ‘kan, ibadah. Apa lagi kalau senyumin cewek cantik kayak lo.”
Perkataan Dimas membuat Audrey semakin gugup. Dimas sebenarnya anak yang baik, ia bahkan berteman baik juga dengan Gavin. Hanya saja Audrey kurang nyaman jika laki-laki itu memujinya dengan maksud tertentu. Katakanlah, hati Audrey terlalu kokoh untuk Gavin.
“Enggak usah gombal enggak mempan,” kilah Audrey menghilangkan rasa gugupnya. Ia membuang pandangan ke sembarang arah.
Tiba-tiba, Dimas meraih tangan Audrey dan membuat gadis itu terkejut. Ingin berusaha melepaskan, tetapi Dimas menariknya lagi.
“Lo udah move on belum dari Gavin? Gue denger dia udah putus sama Nabila. Apa lo akan mempertahankan perasaan lo buat Gavin?” tanya Dimas dengan tatapan sendu. Audrey dapat melihat jelas, ada sedikit harapan di sana. Namun, perasaannya memang tidak bisa dipaksakan.
Perlahan Audrey menepis tangan Dimas yang menggenggamnya. “Sorry, Dim. Gue paham maksud lo sekarang, tapi gue emang enggak bisa balas perasaan lo. Tentang bertahannya perasaan gue ke Gavin, itu biar jadi urusan gue. Meski mereka udah putus, gue juga enggak berharap lebih. Persahabatan gue sama Gavin lebih penting dari segalanya,” jelas Audrey.
Dimas termangu mendengar penuturan Audrey. Meski ada rasa kecewa, tetapi setidaknya ia sudah mendapat jawaban. Sebenarnya laki-laki itu juga tak bisa berharap seratus persen, hanya saja ingin mencobanya meski harapannya telah pupus.
“Enggak masalah, gue paham. Makasih udah kasih jawabannya lebih cepat,” ucap Dimas sambil tersenyum.
Mereka berdua kini justru menghabiskan waktu istirahat di taman sekolah mengobrol bersama. Disusul Lila yang membawa beberapa camilan dari kantin. Tak ada lagi rasa kecanggungan, mereka justru saling merasa lega.
Menahan perasaan nyatanya hanya akan membuat dada sesak. Ungkapkanlah meski tak sesuai dengan harapan. Setidaknya suara hati kita tersalurkan. Jangan takut dengan ketidakpastian, sesungguhnya hal itulah yang memberikan kita sebuah pengalaman. Gagal, berusaha lagi. Jangan ditahan, keluarkanlah, maka semua akan terasa lebih lega. —Audrey Mariska Putri—
See you next chapter~~~~~
>>>>>Salam manis<<<<<
Mey :*
Balikpapan, 25 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top