💞 Sweet Chapter 16 💞
Audrey dan Gavin berjalan di koridor sekolah yang memang tampak sepi. Begitu terasa tubuh Audrey yang masih bergetar dalam dekapan Gavin, sebisa mungkin laki-laki itu mencoba menenangkan dengan mengusap lembut bahu Audrey. Gavin tak menyangka jika hari ini ia akan mendengar dan melihat kebenaran dari Nabila secara langsung. Rasa penyesalan pun muncul, tetapi lebih baik tahu sejak sekarang, sebelum rasa cintanya pada Nabila semakin dalam.
Belum lagi melihat keadaan Audrey saat ini. Hatinya sungguh menyesal, teringat akan kecurigaan sahabatnya itu beberapa waktu lalu. Namun, ia masih saja tetap percaya pada Nabila. Untung saja tadi ia bisa datang lebih cepat. Kalau tidak, entah apa yang akan Nabila lakukan pada Audrey. Bisa saja rasa trauma Audrey yang dulu kembali hadir lagi.
“Lo udah aman sama gue. Kita pulang, ya,” ucap Gavin ketika mereka sudah di parkiran. Audrey hanya mengangguk sambil memeluk tubuhnya sendiri, bahkan wajahnya kini terlihat begitu pucat. Gavin pun mengeluarkan kendaraan roda duanya, kemudian meminta Audrey segera naik dan meninggalkan sekolah.
Sepanjang perjalanan, Audrey hanya bersandar pada punggung Gavin sambil berpegangan pada pinggang laki-laki itu. Ada kenyamanan tersendiri bagi Audrey di sana. Ia sangat menikmati aroma maskulin tubuh Gavin yang menenangkan. Gavin yang merasakan sandaran dari Audrey hanya tersenyum manis dan tetap fokus mengemudi.
Sesampainya mereka di depan rumah masing-masing, Audrey langsung turun dari motor Gavin. Sebelum langkahnya benar-benar masuk melewati gerbang, gadis itu menatap Gavin sambil tersenyum tipis.
“Makasih, ya, Vin. Untung lo datangnya cepet,” ucap Audrey.
“Gue juga minta maaf sama lo,” balas Gavin sambil meraih tangan Audrey.
Audrey mengangguk dan tersenyum. Ia sekilas menatap tangannya yang ada dalam genggaman Gavin, membuatnya menelan ludah dengan susah payah.
“Vin, lo enggak apa, ‘kan? Lo sama Nabila ...,” ucap Audrey dengan hati-hati. Bagaimanapun, Audrey paham perasaan Gavin sekarang. Pasti hatinya sedang sakit.
“Enggak apa, lo masuk gih sana. Istirahat,” balas Gavin yang terlihat malas membahas ucapan Audrey tentang hubungannya dengan Nabila yang baru saja terjadi.
Audrey mengerti, saat ini Gavin sepertinya memang butuh waktu. Gadis itu pun tersenyum dan mengangguk. “Makasih, ya sekali lagi,” ucapnya. Kemudian melangkah memasuki pekarangan rumah.
Saat sampai di dalam kamar, Audrey langsung mengempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi telungkup. Hari ini terasa melelahkan, belum lagi kejadian di sekolah tadi membuatnya tak habis pikir dengan sikap Nabila yang sebenarnya. Audrey pun mengangkat kepala dan menumpukannya pada bantal.
“Gue tau Vin, gimana perasaan lo sekarang. Enggak mudah buat lo terima begitu aja soal Nabila. Tapi senggaknya lo sekarang tau Nabila itu gimana,” gumamnya sendiri sambil menatap ke arah jendela kamar.
Audrey pun melentangkan tubuh, menatap langit-langit kamar. Sampai akhirnya ia terpejam dan mengembuskan napas dengan teratur. Ya, gadis itu terlelap dengan masih mengenakan seragam.
***
Kepulan asap yang keluar dari mulut Gavin mengudara, seiring dengan embusan angin yang datang dari jendela. Tak lupa ia meneguk minuman soda sebagai teman sorenya kali ini. Melihat kamar Audrey yang tampak sepi, sepertinya gadis itu memang sedang beristirahat.
Embusan demi embusan, kebiasaan Gavin yang sudah lama ia buang kini kembali hadir. Mungkin, jika Audrey mengetahuinya, gadis itu pasti akan memarahinya habis-habisan. Namun, inilah salah satu yang bisa membuat keadaannya sedikit tenang.
Suara dering telepon terdengar begitu nyaring, dengan segera Gavin meraih benda tipis yang masih mengisi daya baterai tersebut. Terlihat nama Lila tertera pada layar, langsung saja Gavin menerimanya.
“Halo, Vin. Lo sama Audrey, enggak?” Suara Lila terdengar begitu khawatir.
“Udah di rumahnya, kenapa?”
“Syukurlah, dia enggak kenapa-napa, ‘kan? Tadi gue telpon nomornya enggak aktif. Nomor lo juga baru aktif sekarang.”
“Audrey lagi gue suruh istirahat, La. Lo udah kayak emak-emak kehilangan anak aja,” canda Gavin.
“Bukan gitu, tadi gue enggak enak banget tinggalin dia piket sendirian karena harus jemput mama gue. Enggak lama gue dapat chat dari Nabila. Katanya dia punya kejutan buat Audrey. Gue panik, dong. Terus coba hubungin lo, tapi malah enggak aktif,” jelas Lila panjang lebar.
Gavin mengembuskan napas dengan berat. Ternyata Nabila memang sudah merencanakannya.
“Tadi emang ada sesuatu yang terjadi. Untungnya gue datangnya cepat. Lo tenang aja, Audrey udah aman, kok,” balas Gavin. Ia tahu Lila sangat mengkhawatirkan Audrey.
“Ya udah kalau gitu, besok biar gue tanya langsung ke Audrey. Makasih, ya, Vin. Bye!”
Setelah membalas salam dari Lila, sambungan telepon pun terputus. Gavin mengusap wajahnya dengan kasar, ia kembali mengisap batang yang berisikan tembakau itu dengan dalam sambil menyandarkan kepala. Mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, kembali terbayang wajah Audrey yang pucat dan ketakutan. Hanya bisa berharap bahwa gadis itu baik-baik saja.
Satu sudut bibirnya terangkat dengan sinis. Teringat kembali dengan perkataan Nabila. Tak habis pikir ia bisa menyukai gadis itu sejak awal masuk SMA Pelita.
Merasa bosan berdiam diri di dalam kamar, berencana untuk ke rumah Audrey nanti malam. Melihat hari yang akan berganti menjadi gelap, Gavin pun menyudahi aktivitasnya.
***
Suara ketukan pintu membangunkan Audrey yang masih terlelap. Gadis itu mengerjap dan menguap, melihat jam yang sudah menunjukkan angka delapan. Tatapannya beralih ke arah jendela yang masih terbuka, ternyata hari sudah berganti malam. Ketukan pintu kembali terdengar, membuatnya segera membukakan pintu.
“Iya, Bun ...,” ucap Audrey ketika membukakan pintu, ia mengira itu adalah sang bunda.
“Ban-bun‐ban-bun! Bangun woy anak gadis!” teriak Gavin tepat di depan wajah Audrey. Seketika Audrey membulatkan matanya dan langsung mendaratkan telapak tangannya tepat di wajah Gavin.
“Apaan sih! Ngapain lo di sini!”
“Lo ketiduran pulang sekolah, enggak ganti baju, dih, jorok!” ledek Gavin.
“Masalah buat lo?”
Tanpa dipersilakan masuk, Gavin langsung melangkah masuk ke kamar Audrey. Audrey memutar bola matanya malas, percuma kalau dilarang, karena itu memang sudah kebiasaan dari seorang Gavin.
“Mandi gih sana, gue tunggu di sini,” perintah Gavin yang sudah duduk di meja belajar Audrey, sambil mengambil dan memilah buku-buku yang Audrey punya.
Audrey mendengkus kesal, tetapi tetap menurutinya. Ia tak akan mau bertanya lagi apa tujuan anak itu. Seperti sudah terbiasa dengan kekesalan yang Gavin ciptakan untuknya. Audrey pun mengambil handuk dan baju ganti, kemudian sosoknya pun hilang di balik pintu kamar mandi.
Gavin yang menganggap kamar Audrey seperti kamarnya juga, duduk santai sambil membaca buku-buku yang Audrey miliki. Ketika hendak membaca buku yang lain, tatapan terpaku pada kotak yang ia kenali terletak di pojok meja. Senyum pun terbit dari bibirnya.
“Masih awet juga nih kotak,” ucapnya sambil meraih kotak tersebut. Namun, terlihat lagi sebuah kertas yang terlipat di bawahnya.
Kertas itu mengalihkannya dari kotak tersebut. Rasa penasaran yang muncul membuatnya tanpa berpikir langsung membuka lipatan kertas tersebut. Ternyata isinya adalah tulisan tangan Audrey. Gavin pun membacanya.
Awalnya biasa saja, tetapi lambat laun wajah Gavin bersemu merah. Jantungnya juga tiba-tiba berdegup keras, refleks Gavin melipat kembali kertas tersebut. Ia menatap ke arah kamar mandi yang belum juga terbuka, napasnya memburu dengan cepat. Dikembalikannya lagi kertas tersebut pada tempatnya. Berusaha menenangkan diri dengan beberapa kali mengusap wajahnya.
“Enggak! Gue pasti salah lihat!” kilahnya masih berusaha tak percaya dengan apa yang ia baca tadi.
Pintu kamar mandi terbuka, keluarlah Audrey dengan baju tidur motif beruang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seketika tatapan mereka beradu dan terpaku beberapa saat. Gavin menarik napas panjang dan mengembuskannya, ia harus bertanya langsung dengan Audrey.
“Re, sejak kapan lo suka sama gue?” tanya Gavin tiba-tiba, membuat Audrey sangat terkejut.
“Hah? Lo ngomong apaan, sih?” Audrey masih berusaha tenang. Ia memilih duduk di sisi tempat tidur dan memandang ke sembarang arah dengan masih mengeringkan rambut. Jantungnya sudah meronta ingin keluar.
“Kenapa lo enggak pernah bilang kalau lo suka sama gue?” tanya Gavin lagi yang belum mau menyerah.
“Lo itu kenapa, sih, jadi orang PD banget. Siapa juga yang suka sama lo.” Audrey masih berusaha berkilah.
Gavin mengembuskan napasnya. Diambilnya kembali kertas yang tadi, membuat Audrey kesulitan menelan ludahnya sendiri.
“Terus maksud tulisan dalam surat ini apa?”
See you next chapter~~~~~
>>>>>Salam manis<<<<<
Mey :*
Balikpapan, 19 Januari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top