💞 Sweet Chapter 10 💞

Audrey tersenyum menatap kotak bergembok kecil yang berada di atas meja belajarnya. Diambil benda tersebut dan membukanya, terlihat banyak surat di dalamnya yang membuat Audrey semakin tersenyum lebar. Gadis itu masih ingat, jika kotak ini pemberian dari sahabat tercintanya, Gavin. Laki-laki itu memberikannya saat ia berulang tahun yang ke-7.

“Nih, buat kamu,” ucap anak laki-laki berusia 7 tahun, mengenakan kacamata bulat yang begitu terlihat menggemaskan. Memberikan sebuah kotak yang terbungkus kertas kado bermotif pelangi.

“Buat aku?” tanya Audrey yang kala itu juga berusia 7 tahun, tersenyum senang menerimanya. Dengan bersemangat gadis itu langsung membuka hadiah tersebut.

“Apa ini?” tanya Audrey lagi yang terlihat bingung dengan hadiah yang diberikan.

“Ini namanya kotak rahasia. Kamu bisa taruh apa aja di dalamnya. Dan ini kunci sama gemboknya, jadi orang lain enggak akan bisa tau apa isinya,” jelas anak laki-laki itu dengan polos yang tak lain adalah Gavin.

“Benarkah? Apa saja?” Dengan tatapan berbinar yang menggemaskan milik Audrey. Gavin kecil hanya mengangguk.

Audrey kecil pun langsung mencoba membuka gembok kotak itu dengan kuncinya. Senyum polos kedua anak tersebut seakan tak menaruh beban apa pun.

“Wah, aku bisa taruh rahasia aku di sini, dong kalau gitu. Makasih, ya, Vin. Aku akan nyimpan kado ini sebaik-baiknya. Dan ...,” ucapan Audrey menggantung membuat Gavin kecil mengerutkan kening, sambil memperlihatkan wajah yang penasaran penuh tanya.

“Dan apa?”

“Ada, deh ... rahasia ...,” canda Audrey sambil tersenyum puas. Gadis itu langsung berlari karena sudah mengerjai sahabatnya itu. Akhirnya mereka pun kejar-kejaran di halaman yang begitu luas.

Senyum bahagia dengan tatapan berbinar, menghiasi wajah Audrey remaja yang tengah mengingat kejadian masa kecilnya bersama Gavin. Kenangan-kenangan itu memang sulit ia lupakan. Karena bagi Audrey, Gavin memang sudah seperti super hero untuknya.

Namun, seketika senyum itu memudar. Teringat dengan apa yang terjadi sekarang. Embusan napas pun terdengar berat. Audrey merapikan kembali surat-surat itu ke dalam kotak lalu menguncinya. Kepalanya pun ia sandarkan di atas kotak tersebut sambil memeluk.

“Sayangnya sekarang lo udah punya pacar, Vin. Gue bisa apa? Cewek yang lo suka bukan gue. Emang ya, kata orang ‘yang kenal lama belum tentu bisa terus sejalan, bisa jadi malah dengan orang baru’,” gumamnya sendiri.

Tiba-tiba gedoran jendela kamar mengusik ketenangan Audrey. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Gavin. Gadis itu berdecap kesal, langkah malasnya menghampiri jendela dan membukanya.

“Udah mandi belum lo?” tanya Gavin langsung ketika melihat sosok Audrey.

“Udahlah, emang lo apa enggak pernah mandi,” ledek Audrey.

“Nanti malam lo mau enggak temenin gue beli kado buat Nabila?”

“Nabila ulang tahun?”

“Enggak, sih, gue cuma pengin mau ngasih dia sesuatu doang. Aelah, namanya juga pacar, wajar, ‘kan, kalau gue mau kasih sesuatu,” jelas Gavin.

“Harus sama gue, ya?” tanya Audrey dengan cuek. Namun, entah mengapa dadanya berdegup sangat kencang. Degupan yang terasa perih, hingga membuat gadis itu sedikit sulit menghirup oksigen.

“Ya harus, dong. Lo, ‘kan sahabat gue satu-satunya yang cewek. Gue butuh bantuan lo, lah.”

Audrey menatap Gavin dengan napas yang sebenarnya terasa sesak. Tenggorokannya tiba-tiba juga terasa cekat. Perlahan Audrey mengatur napas, kalau ia menolak, tentu saja percuma. Akan tetapi haruskah ia ikut dan membantu Gavin memilihkan sesuatu untuk Nabila? Baru saja beberapa menit yang lalu, ia tersenyum saat melihat pemberian Gavin. Diberikan barang seperti itu membuat dirinya merasa spesial di hati Gavin, meski hanya sebatas sahabat.

“Oke, deh,” jawab Audrey pada akhirnya. Membuat Gavin merasa senang. “Kenapa enggak siang tadi aja, sih. Padahal hari minggu, untung gue udah kerjain tugas buat besok!” lanjut Audrey mengeluh.

Gavin hanya menyengir, anak itu memang sudah terbiasa kalau ada sesuatu pasti di saat yang sudah mepet baru bilang.

Tak terasa malam pun tiba. Sesuai janji Audrey pada Gavin, ia akan pergi menemani laki-laki itu memilihkan barang untuk Nabila. Saat sedang mengikat rambut di depan cermin, Audrey menatap pantulan dirinya.

“Apa sih, yang lo lihat dari Nabila, Vin? Perasaan nih muka enggak jelek-jelek amat,” keluhnya sendiri.

Audrey pun tak jadi mengikat rambut. Ia memilih untuk menggerai rambutnya dan mengenakan bando kain berwarna merah muda. Lebih terlihat seperti gadis kebanyakan. Ia pun mencoba merias wajah dengan memoles sedikit bedak, dan lip gloss pada bibir tipisnya.

“Cantik,” puji Audrey pada dirinya sendiri dengan bangga.

“Re, lo lama bener.”

Audrey terkejut setengah mati. Gavin dengan seenaknya membuka pintu kamar.

“Lo bisa enggak, sih ketuk pintu dulu! Kalau gue masih handukan atau pas lagi ganti baju gimana! Enggak ada otaknya emang!” omel Audrey yang begitu terkejut dan kesal.

“Ya habisnya lo lama banget, gue nunggu sambil ngabisin bakwan sayurnya Bunda, lo belum juga keluar,” sahut Gavin dengan wajah santainya.

“Gila! Dah, ayo!”

Dengan kasar Audrey menyambar tas selempangnya di atas meja. Kemudian melangkah melewati Gavin dengan wajah kesal. Sedang laki-laki itu hanya cuek, dari dulu ia memang terbiasa seperti itu jika ke kamar Audrey, sudah seperti kamarnya sendiri. Mungkin karena itulah, ia masih bisa bersikap biasa-biasa saja.

Setelah berpamitan dengan orang tua Audrey. Mereka pun langsung menyusuri jalanan yang begitu ramai. Audrey yang masih kesal dengan kejadian tadi hanya diam sepanjang jalan. Gavin memperhatikan wajah gadis itu dari kaca spion. Terlihat jelas jika Audrey masih merasa kesal.

“Lo marah ya, Re?” tanya Gavin yang sesekali melirik spion dan kembali fokus ke jalan.

Audrey hanya menatap ke sembarang arah, sedang tak ingin menanggapi ucapan Gavin.

“Re, maaf, deh, kalau hal kayak tadi bikin lo kesel. Jangan marah, ya ...,” bujuk Gavin lagi.

Masih tak ada jawaban. Namun, gadis itu membalas dengan tatapan dingin melalui kaca spion.

“Jangan gitu napa mukanya, serem tau. Lo udah dandan cantik gitu, masa mukanya cemberut.” Gavin masih berusaha.

Napas Audrey seketika berembus tak karuan. Kini mimik wajahnya pun semakin sulit terbaca oleh Gavin. Laki-laki itu hanya tidak tahu, jika gadis yang duduk di belakangnya sedang menahan detak jantung yang tiba-tiba berdetak dengan kencang.

Jantung gue. Gavin denger enggak, ya? Bisa-bisanya ini anak ngomong kayak gitu, batin Audrey yang merasa gugup. Entah mengapa kali ini kata-kata seperti itu yang keluar dari mulut Gavin begitu sensitif untuk kesehatan jantungnya.

“Re, lo kenapa, sih? Jangan ngomong aja, dong. Eh, maksudnya jangan diem doang. Sory, deh, sory. Maaf, banget ....”

“Iya bawel! Lain kali jangan gitu lagi. Inget kita sekarang sudah remaja, dan lagi masa pubertas, jadi harus tau batasan,” balas Audrey pada akhirnya.

“Oke-oke, gue enggak akan gitu lagi,” ucap Gavin meyakinkan Audrey.

Mereka pun melanjutkan perjalanan ditemani angin malam yang berembus. Selalu saja kekesalan di antara keduanya hanya bisa bertahan sementara. Buktinya sekarang, sepanjang perjalanan mereka bergurau bersama. Tak jarang, Gavin yang memang kelewat barbar, sering kali melakukan hal konyol di tengah jalan, seperti meneriaki orang yang bahkan tak ia kenal. Membuat keduanya melepas tawa seakan tanpa beban dalam jiwa.








See you next chapter~~~~~


>>>>>Salam manis<<<<<
Mey :*
Balikpapan, 13 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top