3 - DIARY OF HIM ABOUT SWEET HALLOWEEN (G'BYE FROM HIM)
"Engh..."
Gadis itu melenguh pelan ketika matanya mengerjap. Berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya dan beranjak duduk di sebuah ranjang.
Eh, tunggu! Ranjang?
Gadis itu membulatkan matanya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana putih ini, aroma tidak menyenangkan ini... Pasti rumah sakit, pikirnya. Dia mendecih lalu pasti dia akan beranjak turun dari ranjang kalau saja tidak ada selang infus yang menancap selang infus di punggung tangannya.
"Aku bisa gila..." Gadis itu mengacak rambutnya dengan tangan yang tidak terinfus. Matanya terus berusaha menemukan sosok seseorang. Ah ya! Seseorang berambut ruby yang baru saja memberinya hari Halloween paling manis yang pernah ia rasakan.
"Tapi, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa ada di sini? Padahal kami berada di kawasan sepi malam-malam," gumamnya semakin tertelan kebingungan.
"Argh! Aku tidak tahan! Bau ini menyebalkan!"
Gadis itu menutup hidungnya lalu beralih hendak mencabut selang infus. Masa bodoh dengan kekurangan darah, pikirnya frustasi.
Cklek.
"HEI, [NAME]! KAU SEDANG APA!? Dan... KAU SUDAH SADAR!?"
Suara itu menginterupsi kegiatan gadis itu--[Fullname]. [Name] mendengus lalu menoleh ke ambang pintu. Kini berdirilah seorang laki-laki berambut jingga kekuningan dengan wajah panik semi-khawatir. Laki-laki itu langsung berlari ke arahnya lalu memeluk gadis itu dengan dramatis.
"Kukira kau akan mati..."
Wajah [Name] langsung tertekuk seketika. "Itu sama saja kau mendoakanku mati, MaeharAho!" [Name] melepas pelukan itu dengan paksa. Dadanya kembang-kempis dan mulut gadis itu tidak berhenti terbuka. Pelukan Maehara tidak main-main ternyata.
Maehara mengusap liquid bening yang ada di sudut matanya lalu tersenyum. "Syukurlah kau baik-baik saja, [Name]. Untung saja ada Karma yang menyelamatkan kau dan gadis kecil itu..." Maehara menundukkan wajahnya sambil tangannya meremas sprai ranjang yang [Name] duduki dengan erat. [Name] mengernyit.
Karma?
"HAH!? KARMA!? AKABANE KARMA!?" [Name] berteriak histeris sampai membuat suara gadus di luar pintu ruangannya.
"Kami datang secepat mungkin!" teriak Kayano sambil membawa sekeranjang buah-buahan. Nakamura dengan wajah khawatir menatap nanar ke arah [Name]. Nagisa dan Asano sibuk mengatur nafas mereka yang memburu akibat berlari dengan jarak yang cukup jauh.
Ah, sekarang bukan itu yang harus dipikirkan. Mereka ada di sini. Tinggal satu yang belum selesai, [Name] menatap lurus ke dalam manik orange Maehara yang sudah agak menjauh dari ranjangnya.
"Dimana... Akabane Karma...?"
Mata gadis itu berbinar-binar seolah menanti sesuatu yang hebat yang akan dikatakan teman-temannya. Semua orang di sana tertegun lalu secara serempak--entah sadar atau tidak, mereka menundukkan kepala mereka. [Name] mengernyit. Apa ada yang salah dengan pertanyaannya?
"Hei, jawab aku! Dimana Akabane!?" Suara [Name] meninggi, tapi semua orang di sini hanya bungkam. Tidak ada yang berani memecah kesunyian yang mencekam ini.
"Akabane satu klub dengan kita'kan? Dia reporter kita'kan? Dimana dia!?"
Masih tidak ada suara.
[Name] mulai jengkel. Dia langsung turun dari ranjang tanpa memikirkan selang infusnya yang terlepas dan membuat darah mengucur dari sana. Kedua tangan [Name] mencengkram erat kerah kemeja garis vertikal milik Asano. Asano memalingkan wajahnya. Dia benar-benar benci ditatap dengan tatapan introgasi seperti itu. Padahal seharusnya dia yang mengendalikan orang bukan dia yang dikendalikan.
"Asano! Jawab aku! Dimana Akabane!?" teriak [Name] frustasi tepat di depan muka Asano. Asano mendecih pelan. Darah dari tangan [Name] mulai mengotori keras dan tubuh Asano. Asano terus memilih untuk bungkam.
"[Name]-chan, hentikan itu..." pinta Kayano dan Nakamura yang ada tak jauh dari gadis itu. Tapi, percuma saja. Sekali [Name] sudah marah, apapun yang ia butuhkan harus ia dapatkan saat itu juga. Gadis itu tetap fokus pada amethys kembar yang enggan menatapnya.
"Jawab aku, Baka!"
[Name] hendak melayangkan pukulan terbaiknya pada Asano, tapi Asano sudah lebih dulu mendorong tubuh [Name] ke belakang. Untung saja di belakang gadis itu masih ada Maehara dan Nagisa. Maehara segera mengambil kain kasa di kotak P3K darurat lalu membalut tangan [Name].
"Itu agak keterlaluan, Asano-kun..." Nagisa meringis ketika melihat kilat di mata Asano.
Asano berdiri di hadapan [Name]. Mengangkat dagunya dan mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Cukup, dia tidak tahan lagi.
"Cukup, [Fullname]! Aku tidak tahan lagi dengan ocehanmu tentang Akabane!" Asano menatap [Name] sarkastik. [Name] mendecih.
"A-Asano-kun... Bi-biar aku yang menjelaskan semuanya..." Nagisa tiba-tiba angkat bicara. Nagisa mengerti. Dalam keadaan seperti ini, Asano tidak akan bisa berpikir jernih dan bisa balik menyerang [Name] kalau-kalau [Name] melakukan hal gila seperti tadi.
"[Name]-san. Ayo ikut aku sebentar," pinta Nagisa yang langsung berdiri. [Name] beranjak mengikuti Nagisa. Dalam pikiran [Name] yang ada hanya ada satu nama. Akabane Karma. Si pematri senyum terindah yang membuat Halloween terasa manis untuknya pertama kali.
Nagisa berhenti ketika mereka sampai di atap rumah sakit. [Name] merasa heran dengan tingkah Nagisa. "Dimana Akabane?" [Name] terus bertanya. Nagisa berbalik menghadap [Name].
"[Name]-san, apa kau tahu berapa lama kau tidur?" tanya Nagisa.
[Name] menggeleng. "Tidak. Dimana Akabane?"
Nagisa kembali menghela nafas. "Kau tidur selama lima hari, [Name]-san..."
Mata [Name] membulat. Selama itukah? Tapi, [Name] masih tetap keukeuh dengan keinginannya. "Langsung ke intinya, dimana Akabane?"
Nagisa tersenyum. Nagisa masih mengulur waktu. "Tak kusangka [Name]-san bisa bersikap heroik dan menyelamatkan seorang gadis kecil sampai rela mempertaruhkan nyawa..."
Gadis kecil? [Name] mulai berhenti menanyakan keberadaan Akabane Karma. [Name] akhirnya bungkam dan membiarkan Nagisa bicara. Nagisa yang merasa mendapat isyarat itu tersenyum tipis. Dia berbalik menatap langit yang hampir gelap.
"Gadis itu baik-baik saja berkat [Name]-san. Dia sangat berterima kasih padamu, sayang dia harus pulang lebih cepat karena orang tuanya sudah menjemput..."
[Name] terus menyimak. Nagisa memejamkan matanya lalu membukanya perlahan. Laki-laki berambut baby blue itu menghela nafas.
"Lalu... soal Karma..." Nagisa menggantungkan kalimatnya. [Name] mempertajam indra pendengarannya. Nagisa berbalik lalu tersenyum. [Name] merasakan firasat aneh ketika angin mulai berdesir dan menerpa rambut kami berdua.
"Karma... dia sedang berjuang di meja operasi sekarang..."
Deg!
Benarkah? Oh, kau pasti bercanda, Nagisa... [Name] menggeleng cepat. Menepis pikiran buruknya dan tetap mendengarkan Nagisa. Gadis itu tetap berusaha mendengarkan walaupun ia merasa dunia berputar sekarang.
"Waktu itu aku bertanya pada saksi mata yang melihat kejadian itu... Insiden yang melibatkan kalian berdua dan gadis kecil itu..."
***
~Flashback~
[Nagisa's Point Of View]
"Nagisa! Kau mengambil permen apelku!"
Aku terkekeh ketika mendengar seruan Kayano. Aku mempercepat langkahku agar dia tidak bisa mengambil permen apel yang baru saja kucuri darinya. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika melihat kerumunan di trotoar jalan.
"Akhirnya kudapatkan kau! Kembalikan permen apelku, Nagisa!" Aku menggeleng lalu memasukkan permen apel itu ke dalam mulutku. Kayano langsung merengek dramatis.
"Lebih baik ayo kita lihat apa yang sedang terjadi di sana!" Aku berlari menuju kerumunan itu diikuti Kayano yang kelihatannya juga penasaran.
"Permisi, ojii-san... Apa yang baru saja terjadi?" tanyaku pada seorang pria tua tanpa melihat langsung apa yang dilihat pria itu. Aku membuang permen apel yang sudah tinggal tongkatnya itu. Pria itu tidak menatapku, tapi fokus pada apa yang ada di hadapannya.
"Baru saja terjadi kecelakaan. Mobil yang menabrak mereka mundur dengan kecepatan yang cukup cepat walau sudah diteriaki beberapa kali. Menyedihkan sekali, ya?" katanya sambil menatap prihatin ke bawah. Aku mengernyit. Sebuah kecelakaan, ya? Aku ber-oh ria mendengar pernyataan laki-laki itu. Tapi, betapa terkejutnya aku ketika melihat tiga orang yang jadi korban dalam tabrakan bumper belakang mobil itu.
"Astaga! Karma! [Name]-san!" Aku langsung berjongkok dan melihat betapa mengenaskannya mereka. Kulihat Kayano yang tadi ada di sebelahku, tapi ternyata dia sudah lebih dulu pingsan.
Posisi ini benar-benar membuatku cukup tahu dengan kejadian ini, apalagi setelah aku mengingat apa yang pernah Karma katakan padaku. Tentang perasaannya pada [Name].
Kulihat mereka dengan tatapan nanar. Karma yang masih meringis karena kuyakin luka di pelipisnya benar-benar dalam dan kakinya juga sudah hampir tak berbentuk. Karma mendekap [Name] dengan erat. [Name] terlihat mendekap seorang gadis kecil dan dia beserta gadis kecil itu pingsan dalam dekapan masing-masing.
Aku masih terdiam melihat mereka sampai akhirnya aku baru tersadar dengan keadaan ini.
"Hei! Siapa saja, tolong mereka! Cepat bawa mereka ke rumah sakit!" teriakku histeris.
Setelah diteriaki seperti itu, kulihat mereka baru bertindak. Kenapa orang-orang selalu seperti ini!? Apa mereka tidak punya rasa empati sampai membiarkan korban kecelakaan hampir mati!? Aku tidak tahu jalan pikiran orang-orang ini! Mereka baru bertindak setelah diperintah. Bagaimana kalau sudah terlambat dan akhirnya si korban meninggal!?
Ah, aku tidak punya waktu untuk mengutuki mereka! Aku langsung ikut membantu orang-orang di sini untuk menolong Karma, [Name] dan gadis kecil itu.
---
Aku terdiam di kursi ruang tunggu dan sesekali melihat pria tua tadi yang sedang diinterogasi oleh aparat kepolisian untuk ditanyakan bagaimana ciri-ciri mobil tersangka penabrakan. Tak berapa lama aku melihat aparat kepolisian itu pergi dan aku langsung menghampiri pria tua itu.
"Permisi, ojii-san."
"Pasti kau mau menanyakan bagaimana seluk-beluk kejadian yang melibatkan temanmu itu, bukan?" terka pria itu yang langsung kusambut anggukan.
"Seperti yang kukatakan tadi. Ada seorang gadis kecil yang ditinggal kakaknya di belakang sebuah mobil. Mobil itu mundur untuk keluar dari parkiran. Aku tak menyadarinya karena pandangan mataku sudah kabur. Tapi, aku dapat mendengar gadis itu berteriak agar pengendara itu berhenti.
Tapi, sesaat kemudian aku melihat gadis itu--ya, temanmu itu memeluk gadis kecil itu tanpa memperhitungkan bahayanya. Aku ikut meneriaki pengendara mobil itu agar berhenti. Tapi, mungkin si pengendara itu tuli atau apa.
Aku hendak menyelamatkan kedua gadis itu. Aku pun menyebrang jalan untuk itu. Kusangka aku terlambat dan gadis itu akan tertabrak, tapi ternyata ada seorang laki-laki yang memeluknya dari belakang dan akhirnya dialah yang jadi korban terparah.
Kepalanya membentur bumper dengan keras dan berakhir dengan pelipis satunya membentur tanah kerikil. Kukira sudah usai penderitaan laki-laki itu, tapi ternyata aku salah. Pengendara itu kelihatannya merasakan ada sesuatu yang mengganjal lalu segera memundurkan mobilnya tanpa melihat apa yang dilindasnya. Aku bahkan bisa mendengar laki-laki itu berteriak dan merintih kesakitan ketika roda-roda mobil itu melindas kedua kakinya. Pengendara mobil itu langsung pergi begitu saja.
Tapi, untung aku mengingat plat nomor pengendara itu. Biar tahu rasa dia."
Pria itu menjelaskan semuanya dari awal dan membuatku tertegun. Aku mengigit bibir bawahku. Ini mengerikan. Tiba-tiba aku teringat akan apa yang Karma katakan ketika berada di atap sekolah.
---
"Karma... Kenapa kau di sini? Bukankah kau harus segera pulang untuk menyusun pertanyaan untuk besok?" Aku menghampiri Karma yang ada di tepi atap.
Karma menoleh ke arahku lalu tersenyum. "Jang~" Mataku membulat melihat sesuatu di tangannya.
"I-itu bukannya..."
"Hm~" Mata mercury itu terlihat berbinar. Aku tersenyum.
"Kau mau memberikan dia tiket menonton, Karma? Aku yakin [Name]-san akan lebih senang kalau kau mengajaknya ke Dotonbori sambil bercosplay," kataku. Karma hanya terkekeh.
"Siapa bilang aku mau memberikan ini pada [Name]-chan? Aku hanya ingin menghabiskan Halloweenku besok bersamanya. Quality time berdua."
"Eh, seperti sepasang kekasih saja..." sindirku setengah bergurau lalu menghampirinya.
"Ahahaha... Rencananya aku juga mau menyatakan perasaanku padanya besok. Saat malam Halloween." Karma menunjukkan cengiran khasnya.
Aku tersenyum. "Oh, lalu bagaimana dengan tiket itu? Kau mau apakan?"
"Tentu saja memberikannya pada kalian semua."
"Eh?" Aku jadi gagal paham. Kulihat Karma menghela nafas.
"Nagisa, aku ingin waktu berdua dengan [Name] sampai malam. Dan, aku juga tidak ingin diganggu oleh kalian. Jadi, kuberikan tiket ini agar kalian bisa menonton dengan tenang dan membiarkan aku dan [Name]-chan berdua," ujar Karma.
Aku hanya menghela nafas lalu tersenyum. Karma cukup protektif pada [Name] walau dia mencintainya diam-diam dan jarang sekali bertemu. Asal kalian tahu saja, Karma sering membuntuti [Name] kemanapun itu hanya untuk sekedar melindunginya dari bahaya. Bahkan, sampai dia harus menempuh jarak jauh dengan kereta untuk sampai ke rumah [Name] hanya untuk memastikan [Name] baik-baik saja sampai rumah.
"Oh ya, Karma... Kau belum mengatakan alasannya padaku. Kenapa kau mau mengajak [Name] quality time saat Halloween Day?"
Aku sungguh penasaran dengan jawabannya. Karma tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya.
"Aku hanya ingin membuat Halloween yang berbeda untuk [Name]-chan. Aku ingin Halloween tak selamanya mengandung unsur seram dan mengerikan. Aku ingin membuat hidupnya jauh dari kedua kata itu dengan membuat Halloween yang berbeda."
Laki-laki ini benar-benar romantis, pikirku. Oh, masih ada satu lagi yang belum kutanyakan.
"Kenapa kau sampai rela melakukan itu hanya untuk [Name]-san, Karma?"
Senyuman Karma melebar. "Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin terus ada di sisinya. Aku hanya ingin mencintai dan dicintai olehnya. Aku hanya ingin mengenalnya luar-dalam. Walaupun aku tahu... Dia pasti akan melupakanku seiring waktu..."
Baru kusadari satu hal. Tentang sifat alami [Fullname] yang pelupa akan hal-hal sekecil apapun yang tidak sering ia pandang.
---
"Nagisa!"
"Ah, ada apa, Karma?"
"Aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Untuk jaga-jaga aku akan menitipkan ini untukmu. Berikan ini pada [Name]-chan kalau dia bertanya apapun tentangku."
"Baiklah... Eh, tapi--"
"Jaa~"
***
[Author's Point Of View]
"Dan, itulah saat terakhir kami bertemu..." tutup Nagisa.
[Name] merasakan kakinya mulai gemetar. Kepalanya berdenyut semakin hebat, bahkan pandangannya mulai mengabur. Walaupun keadaannya seperti itu, [Name] masih bisa mengerti. [Name] paham dengan apa yang Nagisa ceritakan. Tentang Akabane Karma, pematri senyum di hari Halloween yang singkat itu.
"Ini... Dia berkata aku harus memberikannya padamu kalau kau bertanya tentang dia. Karma memberikan ini sesaat sebelum berpisah dari rombongan. Dia hendak mengajakmu untuk menikmati malam Halloween bersama."
Tapi, aku sudah menikmati waktu Halloweenku bersamanya. Itu bukan mimpi'kan? Itu nyata, bukan!?
Kalau ini mimpi... Apakah ini hanya halusinasiku? Atau dia benar-benar datang mengunjungiku lewat mimpi? Berarti... apa dia mengantar nyawa dalam meja operasi?
Tangan [Name] gemetar. Jari-jemarinya perlahan menggenggam sebuah kotak persegi panjang. [Name] membukanya walau kondisinya semakin buruk.
Sebuah syal berwarna merah dan hitam dengan pernak-pernik Halloween yang dirajut bersamanya. Di dalam kotak juga ada sebuah kertas. [Name] membacanya.
I love you, [Fullname].
Aku hanya laki-laki pengecut yang tidak pernah bisa mengungkapkan perasaanku.
Aku jatuh hati. Dan, itu adalah pertama kalinya dalam hidupku.
Aku jatuh hati padamu, [Fullname]. Sejak pertama aku melihatmu, [Fullname].
Katakan aku ini laki-laki yang gampang jatuh hati pada setiap gadis. Bukan apa-apa. Tapi, perasaan yang terkubur dan semakin dalam dan tidak bisa dicabut begitu saja ini, semuanya hanya untukmu.
Katakanlah aku stalker yang setiap hari menguntitmu hanya untuk memastikan kau pulang tanpa diganggu siapapun. Bukan apa-apa. Tapi, sekali lagi kukatakan perasaan ini sulit sekali dihapus.
Besok adalah Halloween. Dan, ketika kau membuka surat ini, kau pasti sudah melewatkannya. Oh, atau kau malah tidak akan membuka surat ini. Bodohnya aku...
Dan, jika aku benar-benar jadi mengajakmu menikmati waktu berdua saat Halloween, kuharap kau tidak melupakannya seperti kau melupakan diriku seperti biasanya.
Aku ingin menunjukkan hal berbeda padamu saat Halloween. Bukan tentang kesuraman hari Halloween yang biasa kaulihat. Tapi, akan kutunjukkan bagaimana kalau Halloween itu terasa manis ketika terkenang dalam hati dan pikiranmu.
Welcome to My Different Halloween. The game is end. Jadi, bagaimana? Mau jadi kekasihku?
-Akabane Karma-
Mata [Name] berkaca-kaca. Seperti itukah perjuangan laki-laki itu? [Name] benar-benar tidak tahu. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah karena telah mudahnya melupakan laki-laki itu. Menyedihkan...
"Aku menyedihkan..." [Name] terisak dan tubuhnya gemetar semakin hebat. Kepalanya serasa melompat dan seluruh isinya hendak diledakkan begitu saja. Terlampau sakit. Inikah rasanya?
Dimensi hitam terus saja ingin menelan dan menarik dirinya agar mencapai dasar. Dimensi itu terus memaksanya merasakan rasa sakit yang amat sangat. Tapi, [Name] mulai menyadari. Dia sudah pergi... Tidak mungkin dia bisa mendatangi [Name] dalam mimpi kalau bukan hanya satu dugaan paling kuat. Akabane Karma meninggal di meja operasi.
[Name] menangis dalam diam. Dia sangat ingin melihat laki-laki itu tersenyum walaupun hanya untuk terakhir kalinya. Ia ingin melihatnya secara langsung. Secara nyata. [Name] berharap dugaannya ini salah. [Name] harap laki-laki pematri senyum itu masih bisa bertahan.
Tapi, aku yakin secercah cahaya akan datang...
"[Name]-san? Kau baik-baik saja?"
Menarikku keluar dari dimensi hitam. Membuatku terus mengingat dan mengingat setiap perlakuannya.
Bruk.
"[NAME]-SAN!"
Aku sangat berharap dia masih ada. Aku harap dia masih bisa membuat otakku ini mengingat bagaimana caranya tersenyum setelahnya.
***
"[Name]..."
"Hm?"
"Kau harus makan. Kau belum makan dari kemarin."
Maehara terlihat membawa nampan berisi bubur dan sup. [Name] terduduk lemas sambil bersandar pada bantal rumah sakit. [Name] menggeleng sebagai respon.
"Tidak... Kalau bisa aku ingin cepat bertemu Akabane..." [Name] bergumam pelan.
Maehara menggelengkan kepalanya. Dia mendekat lalu meletakkan nampannya di nakas kemudian menepuk bahu [Name]. "Karma tidak apa-apa kok... Dia ada di ruangan sebelah kalau kau mau menjenguknya," kata Maehara lembut.
[Name] menggeleng. "Jangan bergurau. Akabane sudah meninggal."
"Siapa bilang Karma meninggal!?"
Maehara dan [Name] refleks menoleh ke arah pintu. Mendapati seorang laki-laki bersurai soft blue--yang tadi berseru kaget sambil mendorong kursi roda seorang laki-laki berambut ruby. Mata [Name] membulat, mulutnya ternganga tidak percaya. Penampilan laki-laki itu masih seperti yang [Name] ingat saat ada dalam mimpi. Laki-laki itu tersenyum ke arahnya. Senyum itu...
"Akabane...?"
"Heh~ sudah mengingatku, [Name]-chan~? Bukankah biasanya kau melupakanku~?" Laki-laki itu menyeringai mengejek.
[Name] turun dari ranjang dan Maehara refleks mengambil kantung infus di tiangnya. Ia tak mau kejadian [Name] pingsan di atap karena kekurangan darah terulang. Untung ada Nagisa saat itu.
Gadis itu berjalan tertatih-tatih menghampiri laki-laki yang entah sejak kapan mendiami hatinya hanya karena sebuah senyuman. Ia dibuat gila hanya karena sebuah perasaan bernama rindu.
"Ini benar kau?" [Name] menunduk. Mensejajarkan wajahnya dengan wajah laki-laki bersurai ruby yang ia yakini sebagai Akabane Karma itu. Karma terkekeh. Dia mendekatkan wajahnya pada [Name]. [Name] dapat merasakan deruan nafas terburu-buru dan... hangat?
Ctak.
"Atch!" [Name] memundurkan wajahnya lalu mengelus keningnya. Dia ingat perasaan ini, apalagi melihat laki-laki itu terkekeh dan tersenyum. Laki-laki itu benar-benar Akabane Karma.
"Akabane!"
[Name] segera mendekap Karma dengan erat. Melingkarkan kedua lengannya pada leher Karma sampai membuat Karma merasakan sesak. Aroma laki-laki ini juga stoberi, seperti yang dia bau saat dekapan dalam mimpi. Kedua laki-laki lain yang merasa mendapat kacang hanya bersweatdrop ria.
"Jangan tinggalkan aku lagi... Dan, jangan memintaku melupakanmu lagi, Baka!" [Name] merengganggkan pelukannya lalu memukul kepala Karma. Karma tertawa kecil sambil memegangi lehernya. Pelukan [Name] tidak main-main.
"Hei, Nagisa! Kau bilang Akabane meninggal!?" [Name] bersidekap dada. Menuntut jawaban dari laki-laki berambut girly style itu.
Nagisa menekuk wajahnya. "Aku tidak pernah bilang Karma meninggal! Aku hanya bilang Karma sedang berjuang di meja operasi," kata Nagisa setengah kesal.
"Nagisa benar. Aku hanya berjuang di meja operasi dalam upaya pemgamputasian kakiku yang hancur karena dilindas mobil bejad itu." Karma menyela.
[Name] melirik ke arah Karma yang kini benar-benar sudah tidak memiliki kaki. [Name] ingin menangis rasanya. "Ini... karenaku, ya?"
Karma menggeleng cepat. "Oh, tentu tidak. Ini karena perasaan ingin melindungi yang cukup besar dalam diriku. Dan, kini akhirnya aku berani menunjukkan wajahku setelah Nagisa bilang sudah memberikan apa yang kutitipkan untukmu."
"Eh?" [Name] mengernyit. Hadiah syal itu, ya? Maehara manggut-manggut paham dalam pembicaraan mereka. Dia juga tahu mengenai syal yang [Name] dapat dari Karma.
"Ah, dan pasti kau tidak mau menerima diriku ini. Aku sudah tidak sempurna. Haha, mungkin ini sudah takdir." Karma berkata sambil sesekali tertawa renyah. [Name] merasakan kepalanya berasap lalu dengan cepat dia memukul kepala Karma.
"Atch! Hei, kepalaku masih sakit tau. Lukanya cukup dalam..." Karma memperingatkan seraya meringis kesakitan dan memegangi kepalanya. [Name] pura-pura tidak peduli.
"Asal kau tahu saja. Mana bisa aku melupakan dan tidak menerima seseorang yang sudah memberiku sesuatu yang berbeda. Kau tahu, Akabane--"
"Panggil aku Karma. Lama-lama aku kesal dipanggil Akabane," sela Karma tidak suka.
"Ya ya ya. Kau tahu, Aka--hm... Karma, kau itu adalah orang pertama yang mampu membuatku jatuh hati dalam sekali pandang. Padahal aku baru mengenalmu beberapa jam. Itupun dalam mimpi. Tapi, entah kenapa aku merasakan kehangatan nyata dari senyumanmu," ujar [Name] sambil memalingkan wajahnya yang merona.
"Uh~ Telinga [Name]-chan merah~" goda Karma.
"Diam!" [Name] jadi salah tingkah. "A-aku menerimanya."
Karma menyeringai mengejek. "Menerima apa, [Name]-chan?" Ia sudah tahu, tapi ia ingin kebenarannya diucapkan gadis yang ia pikir tsun-tsun itu. [Name] mengerang frustasi.
"Argh! Aku menerimamu sebagai kekasihku! Dan, terima kasih untuk malam Halloween berbeda yang kauberikan dalam mimpi itu!" [Name] akhirnya berkata.
"Heh~ baiklah. Aku menerimamu. Dan, kapan-kapan ayo kita kencan dan buat cerita malam Halloween yang berbeda lagi. Dan, kupastikan itu bukan hanya mimpi," kata Karma.
OWARI~
Eits...
~~~~~OMAKE~~~~~
"Kau yang memintaku jadi kekasihmu! Bukan aku, konyol! Eh, tapi tinggu dulu! Nagisa bilang Karma berjuang di meja operasi'kan?"
[Name] melirik Nagisa. Nagisa mengangguk. [Name] kembali menatap Karma.
"Berjuang, ya? Kok dia masih hidup!?" [Name] menunjuk Karma dengan histeris sambil melempar pandangannya pada Nagisa dan Maehara yang sweatdrop.
Ctak.
"Atch! Hei, hentikan itu!"
[Name] merengut karena Karma baru saja menyentil keningnya--lagi. Karma tersenyum kecut.
"Kau mendoakanku mati, ya?" Aura hitam Karma keluar. [Name] sweatdrop.
"Bu-bukan itu maksudku! Kalau kau belum mati, jadi siapa yang mendatangi mimpiku waktu malam Halloween!?" [Name] membela diri.
Karma memasang pose berpikir. "Kau mungkin terlalu memikirkanku... Oh, atau saat itu aku mati suri, ya? Wah~ keren~ Aku membayangkan arwahku bergentayangan sewaktu lepas dari tubuh~" Karma menghayal aneh.
"Jangan berpikir bodoh! Tapi, kau benar-benar mendatangi mimpiku! Kau ini punya ilmu, ya!?" [Name] mulai bicara ngelantur.
"Tentu saja tidak. Sekarang kau yang berpikir irasional, [Name]-chan!" Karma menunjuk gadis itu dengan telunjuknya. [Name] mengacak rambutnya frustasi.
"AKU TIDAK MENGERTI!"
Nagisa dan Maehara sweatdrop lagi. "Ah, tapi tidak apa-apa. Yang penting kau masih hidup!" Mata [Name] berbinar-binar, sedangkan Karma hanya mengangkat bahu lalu tersenyum. Dan, yeah, jujur senyum itu masih menjadi senyum yang membuat dada [Name] berdesir.
Owari~
So, ada yang gagal paham sama cerita ini? Maafkan daku. Daku nulis apa yang ada di pikiran daku yang absurd ini. Gomenasai deshita! Selamat menikmati plot twistnya ;)
--oOo--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top