BAB 5

“Maaf, Mas. Ada cash?” tanya kasir seraya mengangsurkan kembali kartu milik Narendra.

Naren bingung. Menerima kartunya lalu mengambil kartu lain dari dompet. Berharap tidak ada masalah karena cash dalam dompetnya tinggal selembar warna biru.

Kasir menerimanya lalu mencobanya pada mesin EDC. Lagi-lagi perempuan muda itu menggeleng pada Narendra. Dengan terpaksa ia mengeluarkan satu-satunya uang cash di dompetnya. Sambil mengumpat dalam hati. Ayahnya berulah lagi.

“Tega banget sampai nonaktifin kartu kredit. Mana debit card beku. Dasar Pak Tua.” Tangan kanannya menimang rokok dengan bungkus merah. Duduk di bangku teras minimarket. Dengan cekatan membuka bagian atas bungkus rokok, lalu menghunusnya satu.

Mengapit sebatang tembakau itu di antara bibir, sementara tangannya merogoh kantong celana, mencari pemantik yang selalu ia bawa ke mana-mana.

Perokok kadang memang membingungkan. Padahal Narendra belum makan apa-apa sejak siang, malah membeli rokok bukannya makanan. Ia menghisap dalam setelah berhasil menyalakan rokok. Lantas menghembuskan asap dari mulut dan hidung hingga membumbung tinggi.

Gerakannya berhenti sesaat setelah mengingat sesuatu. Gegas ia membuka dompet. Mengambil sebuah tanda pengenal. Ia lupa mengembalikannya pada Seruni. Tiba-tiba Narendra tersenyum melihat kartu Tanda penduduk itu. Lantas berdiri setelah memastikan saldo dalam aplikasi taksi online miliknya cukup untuk menuju tempat tinggal pemilik KTP itu.

Narendra bersenandung ria saat berhasil mendapatkan taksi online melalui aplikasinya. Menunggu beberapa saat sampai mobil itu datang. Ia harus bergegas agar tidak terlalu malam untuk bertamu.

***

Narendra dan Seruni saling pandang dengan ekspresi yang bertolak belakang. Seruni melihatnya dengan kilatan amarah, sedangkan ia melihat Seruni dengan binar di kedua matanya. Dua orang itu kini sedang berada di sofa lobi apartemen. Seruni bersedekap garang.

Mendapat telepon dari resepsionis karena ada yang mencarinya di lobi. Sempat ragu karena perempuan cantik bersuara merdu itu mengatakan bahwa seorang laki-laki yang mencarinya. Merasa tidak punya teman akrab laki-laki yang tahu tempat tinggalnya, Seruni penasaran dan gegas turun ke lantai lobi.

Belum sempat kaget, Narendra memeluknya dari belakang. Hingga resepsionis yang melihat hal itu tersenyum malu.

“Mau apa ke sini?” tanya Seruni pada akhirnya. Sudah lebih dari sepuluh menit keduanya hanya saling tatap tanpa ada yang berniat mengawali pembicaraan.

“Lo nggak ngerasa kehilangan apa, gitu?” pancing Naren menatap intens. Ia sedikit membungkuk lalu berbisik, “Punya lo yang paling berharga misalnya.”

Kedua pipi Seruni memerah. Malu sekaligus marah luar biasa pada laki-laki kurang aja di hadapannya.

“Pergi sekarang. Atau masih kurang tendangan dari gue tadi pagi?” Sekuat tenaga Seruni menahan diri untuk tidak meninju Narendra sekarang.

“Yah, padahal gue jauh-jauh dari Tangerang buat nganter ini.” Narendra memulai aksinya. Mengeluarkan kartu Identitas milik lawan bicaranya secara dramatis. Mengetukkan pada kepala berulang-ulang.

Seruni menyipitkan mata, mengamati kartu Identitas itu lalu mendelik. “KTP gue!”

Narendra menghentikan gerakannya. Lalu melihat KTP di tangan. Tersenyum menggoda Seruni.

“Itu punya gue. Kembaliin.”

“Nilam Seruni Jung. 28 September.” Narendra malah membacanya.

“Stop!” Seruni menghela napas, menekan amarah yang sudah di ujung tanduk. Bukan tanduk sapi. Anggap saja muncul tanduk di kepalanya karena emosi. “Tolong kembalikan. Itu punya gue.”

Narendra tersenyum. Tidak peduli dengan ekspresi Seruni yang seolah siap menyerang kapan saja. Ia sadar, mungkin dirinya telah menjadi gila sejak pertama kali melihat Seruni. Baginya ini pun perasaan asing yang dengan seenaknya datang.

“Laper nih. Makan dulu yuk.”

“Kalau laper ngapain malah ke sini?”

“Karena laper, makanya gue ke sini, Sayang.” Narendra memasang wajah melas, juga mengelus perut. Kedu alis Seruni bertaut. Tidak habis pikir dengan laki-laki di depannya.

Jika diperhatikan secara saksama, Narendra bukan dari keluarga sembarangan. Jam tangan saja terlihat sangat mahal. Kaus lengan panjang yang ia pakai sejak tadi malam juga tampak terbuat dari serat yang bukan asal. Sepatu yang ia kenakan juga sepertinya ori. Seruni menebak laki-laki itu juga sering perawatan. Kulit putihnya sehat dan tidak pucat.

“Gue nggak ada duit buat beli makan.” Seperti tahu apa yang ada dalam pikiran Seruni. Perempuan itu menatapnya tidak percaya.

“Nggak usah modus. Pergi dan makan sendiri sana.”

“Sumpah. Gue nggak ada uang. Makanya ke sini. Kan udah gue bawain nih KTP, traktir makan lah.” Jelasnya tanpa malu.

“Jual aja jam tangan lo buat makan. Cepetan sini KTP gue.” Seruni mengulurkan tangan. Meminta kembali KTP miliknya.

Narendra menarik tangan Seruni cepat. “Masakin gue mi instan di apartemen lo. KTP gue tahan, sampe gue kenyang.”

Narendra benar-benar sudah gila. Bagaimana bisa ia kehilangan urat malu seperti sekarang.

Seruni menimbang cukup lama. Bagaimana pun KTP itu penting. Meski sebenarnya ia tidak ingin berurusan dengan Narendra lagi.

Ah sialan nih cowok. Kalau nggak ada KTP, nanti gimana kalau butuh pinjaman online atau yang lainnya. Batin Seruni. Lagi pula kenapa KTPnya jadi di sandera?

“Ok. Tapi janji setelah itu balikin KTP gue.” Seruni berdiri. Narendra bersorak penuh kemenangan. “Buruan!”

“Oh Honey. Kenapa jadi lo yang nggak sabar?” Narendra mengedipkan sebelah matanya. Membuat Seruni menatapnya tajam.

Mereka naik elevator dan turun di lantai empat. Seruni berhenti di depan pintu dengan angka 406 di atasnya. Menempelkan ibu jari untuk membuka smart door. Narendra mengekor masuk ke dalam apartemen.

Tanpa dipersilakan, Narendra membanting bokongnya di atas sofa. Menyalakan televisi tanpa permisi. Seruni hendak marah, tapi lebih memilih melangkah menuju bagian dapur. Mengambil dua bungkus mi instan dari kabinet atas kitchen set. Mengambil panci kaca transparan dan meletakkannya di atas kompor setelah menuangkan air dalam panci.

Bunyi ctek terdengar saat ia menyalakan api kompor. Membuat Narendra menoleh ke arahnya. Bagian depan dan dapur memang tidak ada sekat atau partisi yang menghalangi. Sehingga dari membuka pintu, ruang biasa Seruni bersantai sambil nonton televisi dan dapur langsung terlihat.

Terdapat dua kamar dalam apartemen. Satu milik Seruni. Di sebelahnya bekas kamar mamanya yang kini kosong. Barang-barang mamanya masih utuh di dalamnya kecuali pakaian yang sebagian dibawa ke Jepang setelah menikah dengan ayah barunya.

“Pakai telor ya, Sayang!” seru Narendra ketika Seruni hendak membuka bungkus mi instan. “Oh iya mi isntannya dua ya. Lapernya pakai banget soalnya. Kasih sayuran kalau ada.”

Seruni geram mendengarnya. Dengan cepat ia menghunus sendok sayur lantas melemparkan ke arah Narendra. Bunyi klontang membuat Narendra melompat ke atas sofa. “Nyaris. Nilam Seruni Jung. Lo mikir apa sih? Kalo kena beneran kan bisa luntur ketampanan gue.” Kedua tangannya memeriksa wajah. Memastikan tidak ada yang terluka. Bergantian melihat sendok sayur yang teronggok di bawah sana.

“Biarin pitak sekalian kayak Sangkuriang,” cibir Seruni. Tangannya kembali sibuk membuka plastik mi instan. “Ngelunjak.”

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top