03 | Kebetulan Macam Apa Ini?
Setelah Romi dan Liny, sekarang Darryl yang muncul di hadapanku. Kebetulan macam apa ini?
Oh Tuhan, apa masih belum cukup mempertemukanku dengan Romi saja, kenapa Darryl juga harus muncul di saat seperti ini?
Aku dan Darryl memang tak ada hubungan apa-apa. Dia dan aku hanya berteman. Bahkan juga hubungan kami tidak dekat. Bertemu juga baru sekali di acara pernikahan Romi. Tapi justru itu, Darryl adalah mantan dari istri Romi, alias Liny. Bagaimana bisa kami semua dipertemukan seperti ini?
"Jadi lo anaknya Om Dewa?" tanyanya bingung.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Jadi lo bakalan tinggal di sini?" tanyaku pun bingung.
"Yap. Om Dewa nawarin gue buat tinggal di sini selama gue ngajar."
"Lo seriusan dosen di kampus yang sama kayak Papa gue?"
"Iya."
Jadi tadi Darryl sempat bercerita bahwa ia diterima kerja di salah satu kampus di sini. Dan kebetulan sekali kampus tempatnya mengajar sama seperti tempat Papa mengajar. Bukan hanya itu saja, ternyata Papaku dan Papa Darryl adalah teman lama. Jadi dengan senang hati Papaku memberikan tumpangan tempat tinggal selama Darryl di sini. Lagian, Darryl pikir Papa tinggal di sini sendirian, ia tak mengetahui bahwa aku yang hampir gila ini dikirim ke sini untuk menenangkan jiwa dan pikiranku. Tapi apa daya, masa lalu tak pernah pergi dari hidupku. Di sini atau pun di sana, aku akan tetap gila jika Romi masih hidup dengan tenang dan damai. Wait, bukannya tadi aku bahas Darryl, kenapa jadi Romi?
"Gue nggak nyangka bakalan ketemu lo di sini." Darryl menyandarikan punggungnya ke punggung sofa.
"Lo nggak akan nyangka siapa lagi yang bakalan lo temuin selanjutnya," ucapku malas.
"Siapa?" tanyanya bingung.
"Ikut gue," ucapku seraya menarik tangannya agar berdiri dan mengikutiku.
Kemudian Darryl kuajak untuk pergi ke lantai atas. Setelah itu, kugiring dia agar mendekat ke arah jendela. Kubuka tirai yang menutupi jendela dan terlihatlah rumah Romi.
"Ngapain lo bawa gue ke sini?" tanyanya bingung seraya menoleh ke arahku.
"Itu," jawabku menunjuk ke arah bawah—di mana Romi dan Liny tengah berdiri di dekat jendela ruang tvnya.
Kulihat Darryl semakin mendekat ke arah jendela. Ia kini mengamati baik-baik kedua orang yang berada di bawah sana.
"What? Are you fucking kidding me?!" ucap Darryl terlihat shock. "What the hell are they doing here?!"
"Selamat datang masa lalu," ucapku seraya menatap Romi dan Liny yang kini tengah bercanda berdua.
Setelah Darryl melihat kedua orang tersebut, ia tak ada henti-hentinya mengoceh. Ia mempertanyakan kenapa mereka berada di sebelah dan bagaimana bisa. Aku pun sebenarnya mempertanyakan hal yang sama. Keberadaan mereka berdua di sini adalah tanda tanya yang sangat besar bagiku. Bahkan kedatangan Darryl pun sama, dia masih menjadi misteri. Maksudku, aku masih tidak mengerti mengapa Tuhan mempertemukan kami semua di sini. Jika Tuhan ingin bercanda, ini benar-benar tidak lucu.
"Mungkin sebaiknya gue cari kontrakan," ucap Darryl
"Wait, what?" tanyaku bingung.
Kini kulihat Darryl yang sangat gusar. Entahlah, dia terlihat sangat gelisah dan setengah frustasi. Aku tak pernah melihatnya seperti ini. Ya memang aku baru melihatnya sekali—dua kali ini—tapi dalam sekali lihat, aku sudah tahu Darryl itu tipe orang seperti apa. Dia bukanlah orang yang mudah gusar seperti ini. Bahkan di acara pernikahan mantannya dulu, dia terlihat sangat santai seperti tak ada masalah yang besar.
"Darryl, kamu sudah datang ternyata. Selamat datang di rumah Om." Kudengar suara Papa dari arah kananku. Kini beliau sudah berdiri di anak tangga teratas dengan senyumnya yang mengembang.
"Hai, Om," sapa Darryl mendekat ke arah Papa.
Kemudian terjadilah basa-basi serta obrolan mengenai masa lalu mereka berdua. Sepertinya Darryl dan Papa cukup dekat. Wow, aku tak menyangka.
Setelah obrolan yang cukup singkat antara mereka berdua, Papa kemudian menunjukan kamar Darryl yang berada di sebelah kamarku. Papa juga memperkenalkanku dengan Darryl—meskipun kami sudah kenal, tapi kami pura-pura tak kenal. Setelah acara perkenalan singkat dan segala macam obrolan, Papa pamit untuk mandi dan beristirahat sebentar. Dan tinggallah aku berdua dengan Darryl.
Kini kami berdua duduk di sofa depan kamar kami.
"Kenapa takdir kejam sekali," gumamnya sambil bersandar pada punggung sofa. Dia terlihat sangat lemas dan tak bergairah.
"Entahlah," ucapku ikut menyandarkan punggungku.
"Apa lo tahu alasan kenapa gue ngambil pekerjaan di sini?" tanyanya seraya menoleh ke arahku. Aku menggeleng.
"Karena di Jakarta, mereka berdua selalu bergentayangan ke manapun gue pergi," ucapnya dengan nada frustasi.
"Bagaimana bisa?"
"Takdir mungkin. Setiap gue pergi ke manapun, gue selalu bertemu dengan mereka berdua—terkadang hanya Liny. Dan lama kelamaan hal itu ngebuat gue kesel dan bingung sendiri. Satu dua kali mungkin nggak papa, tapi kalau berkali-kali rasanya kayak kena kutukan tau nggak."
"Gue ngerti rasanya," ucapku menepuk pundaknya.
"Maka dari itu gue nekat ngambil pekerjaan di sini. Tapi kenapa malah gue ketemu lagi sama mereka," katanya dengan kesal.
Aku tersenyum kecil dan menyandarkan kepalaku ke sofa. "Gue pun pindah ke sini niat mau menghindari mereka dan move on. Tapi takdir malah ngajakin berantem."
"Mungkin sebaiknya gue nyari kontrakan yang jauh dari rumah mereka."
Sejak kapan Darryl jadi pengecut seperti ini? Darryl yang kukenal waktu acara pernikahan mantan kami itu nggak pengecut seperti sekarang. Bahkan dia pintar memberiku nasihat. Sekarang ke mana perginya Darryl yang dulu?
"No," ucapku membalas perkataannya. "Selalu ada alasan di balik rencana Tuhan. Dan mungkin alasan dibalik semua ini adalah bahwa kita bisa balas dendam ke mereka."
Darryl memandangku dengan ekspresi tak percaya. Aku tahu yang ia pikirkan. Ia pasti berpikir bahwa aku adalah cewek gila.
"Lo masih saja sama. Cewek gila." Nah, benar kan?
"Ya terus? Romi udah ngacak-ngacak kehidupan gue, dan ketika dia tepat berada di sebelah gue, gue nggak akan tinggal diam. Gue bakalan ngebuat dia menderita," ucapku berapi-api.
"Shaby, gue tahu lo patah hati dan sejenisnya. Gue juga tahu bahwa Romi udah ngecak-ngacak hidup lo. Tapi itu bukan berarti lo harus merusak kehidupannya dengan balas dendam. Lo ngurusin balas dendam nggak bakalan kelar," ucapnya menasihatiku.
"Terus gue harus apa? Ngelihat dia bahagia sama istrinya itu bikin muak! Gue menderita, dan dia bahagia. Itu nggak adil."
"Yang nentuin adil atau enggak itu bukan lo, tapi Tuhan. Gue yakin semua yang kita alami saat ini tuh ada tujuannya. Dan gue juga yakin kalau tujuan Tuhan mempertemukan kita semua di sini tuh bukan untuk saling balas dendam. Mungkin saling memaafkan," ucapnya lagi.
"Maaf-maafan? Lo kata lebaran."
Darryl menghembuskan napas perlahan dan memandangku prihatin. Sepertinya dia kembali kepada jati dirinya yang dulu pernah kukenal. Darryl kembali jadi manusia paling sok bijaksana. Dan itu menyebalkan.
=======+++++======
[28.08.2015]
Hai aku balik bawa cerita penuh emosi hahaha
yang belum tau, sebenernya ini sequel dari cerita pink flip flop. Ya mungkin yang belum baca pink flip flop bisadibaca dulu, biar mengertilah posisi mereka berempat itu kayak gimana *promosi terselubung *Enggak ding. wkwkwk
thanks for coming!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top