32.
Jangan lupa vote dan komen ya, teman-teman. Terima kasih!
*
Agung begitu bangga melihat Nathan yang kini bisa lulus tepat waktu. Apalagi anaknya menempuh pendidikan di luar negeri. Sempat hopeless ketika selama ini dia selalu melihat Nathan pulang dengan keadaan wajah babak belur, memar di mana-mana. Tapi, sekarang semuanya sudah terbayar berkat usaha Nathan.
Tadinya, Agung tidak begitu mengharapkan Nathan bisa melanjutkan perusahaannya. Dia hanya bilang begitu agar Nathan sadar bahwa Nathan lah satu-satunya harapan, agar setidaknya Nathan berhenti nakal dan berkelahi. Tapi, jika memang Nathan tidak mau maka dia tidak akan memaksa. Dan siapa sangka sekarang Nathan benar-benar berubah total.
Dan dalam perjalanan Nathan berubah total ada sosok Lia yang membuatnya sadar. Kini, dia harus kembali melihat perempuan itu menangis karena dirinya, sesegukan di antara orang-orang yang berlalu-lalang di bandara. Keputusan Nathan sudah mantap untuk ikut kembali bersama ayahnya.
Tatapan Nathan tertuju pada Jamal yang saat ini mengantar Lia. “Maaf,” hanya itu yang dapat Nathan katakan padanya.
“Nggak apa-apa. Lo juga selalu bilang sama Lia kalau setiap orang punya hak untuk memilih dan menentukan,” sahut Jamal. Nathan mengulas senyum tipis.
Berat rasanya harus melangkah, berat rasanya harus melepas tangan Lia.
“Aku pergi,” ujar Nathan pelan tapi Lia tidak bereaksi. Perempuan itu memilih menunduk lalu mengangguk pelan.
Lia menatap Nathan sebentar dan berusaha tersenyum kemudian berbalik, menarik tangan Jamal untuk pergi lebih dulu. Rasanya tidak sanggup melihat kepergian laki-laki itu. Nathan hanya bisa menghela napas berat.
Satu jam sebelum mengantar Nathan ke bandara.
“You okay?” tanya Jamal saat menatap adiknya yang tidak kunjung berhenti menangis. Lia mengangguk pelan dan lebih dulu masuk ke mobil.
“I know,” sahut Jamal pelan. “Aku tahu kamu udah tidur sama dia.”
Sontak tubuh Lia menegang, dia menatap kakaknya yang fokus menyetir. Napasnya mendadak tercekat, rasa takut menyelimutinya. Takut Jamal akan murka, takut Jamal akan memberitahu orang tuanya.
Tapi, raut wajah Jamal terlihat tenang. Tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan. Lia jadi semakin takut.
“Dari mana Kakak tahu?” tanya Lia takut-takut.
“Itu kenapa aku nanya sama kamu. Apa kamu percaya sama dia, apa kamu benar-benar percaya. Karena ya, you lost your virginity to him, apalagi status kalian masih sama-sama mahasiswa. Perjalanan masih panjang, kemungkinan akan berpisah sangat besar kayak sekarang ini.”
Lia menunduk lesu. Hatinya mencelos mendengar penuturan panjang Jamal. Bagaimana kalau dia mengalami deja vu seperti hubungannya dengan Lino. Lia benar-benar menangis hebat.
“It’s ok, my lil sis.” Jamal menggenggam tangan adiknya. “Jangan khawatir, aku nggak akan kasi tahu ayah sama ibu.”
“Kakak..” Lia menangis sesegukan sambil menggenggam tangan Jamal.
*
Jakarta, Indonesia.
Senyum lebar dari teman-temannya menyambut kedatangan Nathan bersama ayahnya. Mereka sengaja janjian untuk menjemput Nathan di bandara. Padahal ada beberapa dari mereka yang masih punya jadwal di kampus. Yang datang ada Rendy, Javier, Eric, Felix minus Mark karena sedang bekerja.
“Halo Om, lama nggak ketemu.” Javier menyapa lalu membantu Agung mendorong kopernya.
“Gue pikir Lia akan ikut muncul. Tapi, kayaknya nggak ada siapa-siapa.” Rendy bergumam tapi bisa didengar oleh yang lain. Nathan tidak menanggapi, dia hanya membalas gumaman Rendy dengan seulas senyum tipis.
“Gimana kabar Lia?” tanya Felix.
“Baik.”
“Hm, bagus.”
Javier menyenggol lengan Felix, memberi sinyal agar anak itu berhenti bertanya karena raut wajah Nathan sepertinya tidak baik-baik saja. Felix mengedikkan bahu, dia membiarkan Nathan berjalan lebih dulu bersama Agunh dan Eric.
Felix melayangkan tatapan tajamnya pada Javier. “Kenapa gue nggak boleh nanya?” desisnya.
“Gue nggak paham kenapa lo bisa lulus dengan otak pas-pasan kayak gitu!”
“What the hell, Jav!”
“Stop!” Rendy melerai sebelum bandara berubah menjadi arena gelut antara Javier dan Felix. “Kalian udah dewasa. Jangan kayak anak kecil!”
Sepanjang perjalanan pulang, Nathan lebih banyak diam. Eric sempat diberitahu oleh Agung kalau Nathan banyak diam karena memikirkan pacarnya. Jadi Eric juga tidak bertanya apa-apa. Rendy dan Javier yang memang mengerti juga tidak berkomentar lebih. Beda dengan Felix yang terus mengoceh tiada henti sampai-sampai mereka semua kompak diam tidak menyahut.
Begitu sampai rumah, Nathan segera menggeret kopernya menuju kamar tanpa sepatah kata. Mereka semua saling tukar pandang dalam diam.
“Kalian mau langsung pulang atau diam di sini?” tanya Agung.
“Kita mau pulang, Om. Om lebih baik istirahat,” jawab Rendy.
Mereka memutuskan untuk pulang setelah mengantar Agung dan Nathan. Tadinya, rencana mereka adalah bermain lebih lama di rumah Nathan. Tapi rencana gagal karena sepertinya Nathan dalam keadaan mood yang kurang baik.
Selepas mereka pergi, Agung menatap pintu kamar Nathan yang sudah tertutup rapat sejak tadi. Pria itu menghela napas lirih karena ada rasa bersalah yang timbul dihatinya. Menyuruh Nathan mengurus perusahaannya yang artinya Nathan harus kembali bersamanya dan berpisah dengan Lia.
Sementara di dalam kamarnya, Nathan termenung di depan jendela. Memandangi langit yang mulai diselimuti gelap. Nathan berpikir, apakah Lia merasakan apa yang dia rasakan saat ini ketika dulu berpisah darinya? Sebuah rasa rindu, kalut, bercampur jadi satu.
Tapi, dulu mereka belum resmi pacaran. Nathan mengulas senyum tipis.
Tangannya tergerak untuk membuka chat terakhir dari Lia yang isinya : “Kalau sampai beritahu aku. Beri kabar supaya aku tahu kamu baik-baik aja.”
“Aku udah sampai.”
Nathan membalas singkat lalu melempar sembarang ponselnya ke atas ranjang dan berlalu ke kamar mandi.
Ada rasa bersalah karena sudah mengabaikan teman-temannya tadi. Padahal mereka sudah berbaik hati menjemput di bandara. Tapi dia malah mengabaikannya.
*
Ada banyak pasang mata yang memperhatikan sesosok manusia yang sedang berdiri di depan gerbang kampus. Kehadirannya menimbulkan perhatian sebab wajahnya terlihat begitu asing di kampus. Warna rambut yang terlalu mencolok yaitu biru, juga karena ketampanannya yang di atas rata-rata.
“Nathannn!” seru seseorang yang berhasil mengalihkan pethatiannya. Yup, itu Nathan.
“Heraa!” Nathan balas melambaikan tangan.
Hera langsung melepas kaitan tangannya pada lengan Eric, Eric langsung melayangkan tatapan tajamnya pada Nathan, dan berlari kecil menghampiri Nathan lalu memeluknya erat. Nathan balas memeluknya, lalu mengelus lembut punggung Hera yang sudah lama tidak ditemuinya.
“Kabar?”
“Tentu aja baik. Eric selalu temenin gue.” Hera terkekeh.
“Baguslah.” Nathan mengusak pelan rambut Hera. “Ekspresi wajah lo nggak enak dilihat.”
“Ya, jangan dilihat. Apa susahnya?” sela Eric.
Hera hanya bisa geleng-geleng kepala melihat perdebatan yang tiada habisnya ini. Love-hate relationship mewarnai hari-hari mereka karena pada dasarnya Eric peduli terhadap Nathan. Buktinya mau ikut menjemput Nathan ke bandara. Tapi ya kalau sudah menyangkut Hera dia jadi sensitif.
“Anak-anak yang lain perhatiin lo.” Hera balas menatap anak-anak yang berlalu-lalang, yang menatap Nathan.
“Ya, karena gue ganteng.” Nathan terkekeh.
“Lo terlalu percaya diri.” Eric sinis. “Ayo makan, gue lapar.”
Eric memegang bahu Nathan dan mendorongnya. See, mereka itu sebenarnya saling peduli dan Hera hanya bisa tersenyum melihatnya.
Mereka mengambil duduk di pojok lalu Hera pergi memesan makanan. Meninggalkan Eric dan Nathan berdua.
“Mana yang lain?” tanya Nathan.
“Kayaknya masih ada kelas. Tapi gue udah kasi tahu mereka di group chat kalau lo datang.”
“Soal yang kemarin di bandara, gue mau minta maaf karena udah bersikap cuek. Padahal kalian udah rela mau jemput gue sama bokap. Tapi gue malah mengabaikan.”
“It’s ok. Gue tahu lo dalam keadaan mood yang buruk. Karena Lia mungkin.” Eric menerka.
Nathan menghela napas pelan lalu mengangguk. “Berat rasanya mau pergi dan ninggalin dia. Tapi lo tahu sendiri ayah cuma punya gue. Ayah menaruh harapan yang besar sama gue. Jadi gue juga nggak bisa biarib ayah balik sendirian.”
“I know.”
Hera datang dengan wajah masam. “Tega ya kalian, biarin cewek sendiri yang bawa makanan sebanyak ini.”
“Kamu bisa. Jadi selagi bisa, ya bawa aja sendiri.” Eric menanggapi dengan santai.
“Gue punya banyak teman di Inggris. Mau gue kenalin?” tawar Nathan. “Kayaknya laki-laki macam Eric harus lo tinggalin.”
“Ide bagus.” Hera mendelik ke arah Eric. “Kirim aja kontaknya.”
“Woah! Kamu tega?” Eric memelas yang sontak mengundang tawa Nathan dan Hera.
“Nggak, lah. Mana mungkin aku tega.” Hera melingkarkan tangannya di lengan Eric.
“Stop! Ada seseorang yang nggak punya pasangan di sini.” Nathan memutar bola mata malas.
Mereka tertawa kecil kemudian mulai makan dalam diam. Hingga sesaat, suara cempreng Felix menginterupsi pendengaran. Yang datang ada Rendy, Javier, Felix dan Haikal yang tidak ikut ke bandara karena masih banyak tugas akhir yang harus dia selesaikan. Maklum, anak kedokteran.
“Kenapa nggak bilang kalau mau datang?” tanya Javier yang beranjak duduk di dekat Nathan.
“Gue cuma kasi tahu Hera.”
“It’s always, Hera, Hera, and Hera number one!” sela Renjun.
“Maaf, ya. Karena kemarin gue mengabaikan kalian. Nggak bermaksud tapi ya, gue lagi nggak mood aja,” sahut Nathan sambil menatap mereka.
Felix berdecak. “Sadar juga ternyata. Kemarin itu kita udah bela-belain untuk datang padahal ada yang punya jadwal. Tapi ternyata yang dijemput malah cuek.”
Ya, Felix dan mulut menyebalkannya.
Rendy menjitak kepala Felix pelan. “Bisa diem, nggak?”
“Harus jujur, guys. Biar Nathan tahu!” Felix berseru. Rendy dan Javi hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Iya, gue tahu dan gue sadar kalau sikap gue nggak baik. Makanya gue minta maaf sekarang.” Nathan meneguk air minumnya dan menatap Haikal yang sedari tadi diam menyantap makanannya.
Javier yang sadar arah pandang Nathan langsung berucap. “Haikal kelaparan. Seharian nggak makan apa-apa karena mikirin tugas akhirnya.”
“Tugas akhir bunuh gue secara perlahan. Masih untung ada Freya yang ngasih semangat walaupun dia juga sama stressnya kayak gue.” Haikal berujar dengan mulut penuh makanan.
“Habisin tuh makanan baru ngomong. Bikin orang jijik aja!” seru Eric.
“Sekarang gimana? Maksud gue, kalau kita nanya, lo mau jawab, nggak?” tanya Felix.
“Tentang Lia?” terka Nathan yang langsung diangguki oleh Felix. “Dia baik. Sangat baik malahan.”
“Status kalian?” celetuk Haikal.
“Pacaran. Tapi, sekarang long distance relationship.”
“Apa bisa bertahan? Biasanya orang-orang yang LDR banyak yang nggak tahan,” pertanyaan dari Eric membuat Nathan sedikit merenung.
Mereka semua masih bungkam, menunggu jawaban Nathan.
“I’ll try my best.”
“Kalau lo nggak bisa, bilang yang jujur. Jangan selingkuh darinya,” balas Felix.
“Hm..” gumam Nathan.
*
London, Inggris.
“Lia! Ada Ethan nunggu kamu di luar!” Jamal berteriak.
“Iya, suruh tunggu bentar. Aku masih cari tasku.”
Suara Lia terdengar hingga luar yang membuat Jamal dan juga Ethan geleng-geleng kepala.
**
FIKSI GUYS. FIKSI
©dear2jae
2021.03.05 — Jumat.
2025.02.19 — Minggu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top