31.

Jangan lupa vote dan komen ya, teman-teman. Terima kasih!

*

Nathan sadar kalau Lia sedang menghindarinya. Kalau mereka hampir berpapasan di kampus, pasti Lia langsung pura-pura menghindar, memutar jalan lain. Apalagi kalau berada di kantin, jika Nathan datang maka Lia akan pergi. Pesan dan teleponnya pun tidak pernah dibalas oleh Lia.

Lia berhak atas dirinya dan punya kuasa penuh atas apa yang akan dilakukannya, atas keputusan yang akan di ambilnya. Nathan tidak akan memaksa Lia ikut kembali jika memang tidak mau. Bukannya terlalu pasrah akan keadaan tapi Nathan juga punya hak untuk memilih.

Soal Lia yang meninggalkannya dulu, itu tidak apa-apa karena pada akhirnya Nathan menyusul. Dia laki-laki dan dia akan memperjuangkan, membuktikan bahwa perasaannya tidak main-main. Dan sekarang, kalaupun Lia tidak mau ikut kembali, Nathan tidak akan memaksa karena Lia juga berhak memilih.

Kali ini Lia tidak bisa menghindar, Nathan langsung menarik tangannya dan membawanya menuju taman. Lia pasrah, tenaganya tidak sebanding dengan Nathan.

“Jangan kayak anak kecil yang menghindar setiap ada masalah. Kalau ada yang mau kamu bilang, bilang aja. Jangan dipendam!” suara Nathan sedikit meninggi pada Lia yang masih menunduk, memandangi kedua sepatunya.

Air mata Lia berjatuhan, sungguh dia tidak ingin berpisah untuk yang kedua kalinya dengan Nathan. Tapi, apa yang bisa dia lakukan ketika Nathan sudah mengatakan, aku nggak bisa biarin ayahku balik sendirian, dia cuma punya aku.

Lia terisak sambil menunduk, Nathan meraih tubuhnya ke dalam sebuah pelukan hangat. Mengusap pelan rambut hitam milik Lia yang tertiup angin sore.

“Maaf! Maaf karena aku meninggikan suaraku,” bisik Nathan pelan.

Lia menatap wajah Nathan dengan matanya yang masih berair. Air mata masih menggenang dipelupuk matanya.

“Aku mau egois dengan menahanmu di sini. Tapi aku juga sadar kalau ayahmu pasti lebih butuh kamu,” lirih Lia disela isakannya. “Aku menghindar karena aku nggak tahu apa yang mau aku bilang. Aku nggak mau pisah lagi tapi kayaknya nggak ada pilihan lain. Dulu, aku juga ninggalin kamu jadi sekarang kamu boleh ninggalin aku. Aku nggak apa-apa.”

Hati Nathan rasanya ngilu mendengar penuturan panjang Lia. “Maafin aku, aku pasti akan datang lagi kalau ada kesempatan. Tapi ingat, jangan pernah nunggu aku. Kamu bebas mau berteman sama siapa aja, maksudku kamu boleh cari yang lain kalau aku nggak balik-balik. Aku nggak larang kamu dan nggak mengekang, kita akan terpisah jarak yang sangat jauh. Kalau nanti saat aku datang kamu udah mencintai orang lain, maka anggap aja pertemuan kita itu adalah reuni. Aku nggak apa-apa, Lia. Jadi, jangan pernah nunggu aku. Tapi, aku pasti akan datang lagi. Pasti.”

Air mata Lia semakin deras saat Nathan mengakhiri kalimat panjangnya. Tidak, bagaimana bisa Lia mencintai orang lain di saat hatinya sudah milik Nathan seutuhnya. Lia bahkan tidak pernah membayangkan akan mencintai orang lain lagi setelah Nathan. Karena baginya Nathan adalah yang terakhir.

“Aku akan tetap nunggu kamu sampai kapanpun. Terserah kamu mau datang atau nggak yang pasti aku akan menunggu,” tangisan Lia semakin memilu, bahkan sekarang dia sesegukan. Pelukannya semakin erat membuat Nathan merutuki dirinya.

“Lia, jangan gini. Jangan buat aku merasa terbebani..”

“Aku emang sengaja mau buat kamu terbebani biar kamu cepat balik. Aku nggak peduli!” tangis Lia makin deras.

Takdir yang kejam bukan? Setelah meninggalkan, kini Lia ditinggalkan. Sungguh malang nasibnya. Tuhan menuliskan takdir yang begitu rumit untuknya. Entah bagaimana akhir dari cerita panjang mereka nantinya. Apakah akan bertemu sebagai orang yang sama-sama masih memiliki perasaan satu sama lain ataukah akan bertemu ketika sudah punya pasangan masing-masing. Entahlah.

Tiga puluh menit berlalu tapi Lia masih menangis pelan dalam pelukan Nathan. Dia tidak ingin melepas pelukan itu, seolah-olah kalau lepas maka Nathan akan menghilang begitu saja. Hari mulai malam tapi Lia enggan melepaskan kaitan tangannya pada pinggang Nathan. Bahkan baju bagian depan Nathan sudah basah kuyup oleh air mata dan ingus Lia.

“Aku antar pulang, ya. Nanti orang tuamu cariin kalau belum pulang. Hm?”

Lia menggeleng pelan. Matanya sudah bengkak, kalau Jamal melihatnya maka sudah pasti laki-laki itu akan menceramahinya dengan rentetan kalimat yang memekakan telinga.

“Apa malam itu nggak ada artinya buat kamu?” tanya Lia.

“Maksudmu?”

“Kamu bilang, jangan nunggu aku. Seolah lepasin aku bukan hal yang sulit bagimu. Padahal kita udah berada dalam hubungan yang serius. Maksudku, kita tidur malam itu.”

Nathan menghela napas berat, ternyata Lia salah menangkap maksudnya. “Bukan gitu, baby. Aku cuma nggak mau membatasi kegiatanmu, nggak mau mengekangmu. Kamu bebas melakukan apa aja bahkan kamu bisa mencintai orang lain. Jangan kayak dulu, kamu terlalu memikirkan perasaan Lino tapi pada akhirnya kamu dikhianati..”

“Apa itu artinya kamu juga akan mengkhianatiku?” sela Lia dengan cepat.

“Nggak, sayang. Aku nggak akan mengkhianati kamu. Look at me,” ujar Nathan sambil menangkup kedua pipi Lia. “Aku harus urus perusahaan ayahku karena aku mau ayah istirahat. Aku mau ayah cari kebahagiannya sebelum dia semakin menua. Itu artinya aku akan sibuk dan mungkin jarang ada waktu untuk terus hubungi kamu. Itu makanya aku bilang jangan tunggu aku, karena aku nggak tahu kapan aku bisa punya waktu luang buat mengunjungi kamu di sini. Tapi, satu hal pasti yang harus kamu tahu kalau hatiku nggak akan berubah semudah itu. Apalagi kamu udah kasih aku segalanya.”

“Gimana kalau pada akhirnya aku suka sama orang lain? This is my last questions,” ujar Lia.

“Maka saat itu juga aku akan lepasin kamu. Aku udah bilang berkali-kali, kalau setiap orang punya hak masing-masing buat suka dan cinta sama siapa aja. Walaupun aku berstatus sebagai pacarmu tapi aku nggak punya kuasa atas dirimu. Yang punya kuasa atas dirimu adalah kamu sendiri. Kamu berhak menentukan dengan siapa kamu bahagia, sayang. Bahkan jika itu bukan aku. Nggak apa-apa kalau emang nanti kamu suka sama orang lain. Aku nggak akan mencaci kalau kamu mengkhianatiku. Asalkan bukan aku yang mengkhianati kamu.” Nathan mengecup kepala Lia berkali-kali.

Lia mengusap air matanya yang mulai mengering. Lalu menatap Jaemin dengan mata yang sudah bengkak.

I love you,” lirih Lia.

I love you too, baby.”

*

Jakarta, Indonesia.

Mark melambaikan tangan pada Mira yang kini menunggunya dengan senyum lebar di depan kantor. Sering cekcok sewaktu SMA tapi hubungan mereka bisa sampai sejauh ini. Mark yang dulunya adalah anak nakal kini berubah setelah lulus kuliah dan mulai mengenal dunia kerja. Saat ini, Mark bekerja di sebuah perusahaan penerbit sebagai editor.

“Udah nunggu lama, ya?” tanya Mark saat sudah berada di hadapan Mira.

Mira menggeleng pelan. “Baru aja sampai. Aku, kan, tahu jam berapa kamu selesai jadi bisa datang tepat waktu. Dan, kamu lupa kalau itu kantorku?” tunjuk Mira pada gedung penyiaran yang berada di depan gedung kantor Mark.

Mark tertawa pelan. “Iya, baby, iya. Ayo, yang lain mungkin udah nunggu.”

Tidak jauh dari kantor mereka, ada sebuah restauran china yang akan menjadi tempat pertemuan mereka hari ini. Rasanya sudah lama tidak saling kontak karena kesibukan yang mereka jalani.

Tawa Rendy begitu terdengar hingga luar restauran, membuat Mark dan Mira saling menatap heran hingga ikut terkikik geli.

Di sana sudah ada Rendy, Javier, Felix, Haikal, Eric dan pasangan masing-masing. Hari ini mereka membuat janji temu, meluangkan waktu untuk sekadar saling sapa. Walaupun pada kenyataannya kelima anak itu bertemu setiap hari di kampus.

“Yo! What’s up, Mark!” seru Felix ketika melihat Mark dan Mira sudah datang.

“Halo, Kak,” sapa Yesha sopan padahal dulu waktu masih SMA, Yesha selalu ingin mencacinya karena mengganggu Lia. Mira mengulas senyum kecil dan mengambil duduk di dekat Yesha.

“Gimana kabar kalian? Kuliah aman?” tanya Mark selagi para perempuan memesan makanan.

Haikal menggeleng dengan wajah kusut. “Gue hampir nyerah karena kedokteran benar-benar bikin pusing. Tapi, gue sadar kalau itu adalah apa yang gue inginkan selama ini. Jadi, gue berusaha kuatin diri. Gue juga seneng karena ada Freya, kalau nggak ada dia, bisa gila gue.”

Bucin detected,” sahut Clara yang diangguki Shila dan Hera.

“Kuliah dibawa santai aja. Jangan terlalu dipikirkin.” Javier menimpali.

“Nanti kalau nggak lulus-lulus, apa masih mau santai?” Yesha mengejek pacarnya yang langsung mengundang tawa mereka semua.

Pembicaraan mengalir begitu saja, sesekali tertawa ketika Javier bercerita tentang Rendy yang kala itu mengungkapkan perasaannya pada Shila. Eric yang tahu kejadian itu tidak henti-hentinya tertawa karena saat itu Rendy ditolak dengan alasan dia terlalu lucu jadi Shila tidak bisa fokus kalau menatap wajah Rendy. Yang ada dibenaknya hanya wajah lucu Rendy.

“Itu waktu ospek, ya. Rendy nggak bawa perlengkapan dan berakhir dapat coretan tinta diwajahnya. Kalau gue jadi Shila, gue juga pasti akan selalu ingat gimana lucunya wajah Rendy saat itu,” tawa Felix meledak kala mengingat kejadian memalukan itu.

“Itu adalah hari tersial dihidup gue,” helaan napas Rendy membuat mereka kembali tertawa. “Ini juga salahnya Kak Mira. Lo nggak selametin gue waktu itu padahal posisi lo cukup meyakinkan, Kak.”

Dengan sisa tawanya, Mira meminta maaf pada Rendy karena saat itu, saat dia ikut menjadi panitia ospek, dia tidak bisa menghentikan aksi teman-temannya yang mengerjai Rendy.

Kenangan-kenangan kecil mereka mulai terungkap satu persatu. Potongan-potongan memori itu perlahan terkuak ketika mereka berbincang. Tapi satu yang kurang, yaitu kehadiran Nathan dan Lia.

“Tunggu!” sela Freya ketika makanan mereka sudah habis. “Tetap aja semuanya berasa kurang karena Nathan sama Lia nggak ada di sini.”

Ucapan Freya membuat mereka semua mengangguk. Bahkan Shila yang baru mengenal mereka ketika masuk kuliah pun tahu perjalanan kisah Nathan dan Lia karena dia sering mendengarnya dari Rendy.

“Nathan nggak pernah hubungin lo?” tanya Mark pada Eric.

“Nggak. Kak Rosa aja nggak pernah dia hubungi. Apalagi gue,” balas Eric.

“Tapi, mereka udah ketemu. Mereka udah pernah telepon dan bilang kalau mereka lagi bareng. Jadi, mungkin kisah cinta dramatis itu berlanjut,” sahut Yesha.

“Semoga kisah mereka happy ending. Terlalu banyak drama, terlalu banyak chaos, gue kasihan.” Felix menimpali. “Tapi, Lia putus dong sama pacarnya itu. Gue pernah ketemu soalnya.”

“Kayaknya putus. Buktinya Lia sama Nathan lagi berdua waktu telepon kita. Iya, kan?” sahut Javier yang diangguki Yesha.

Hari mulai malam ketika akhirnya Clara meminta pulang pada Felix sebab besok dia ada jadwal kuliah pagi. Begitupun dengan Freya dan Haikal, mereka bergegas pulang karena ada janji dengan dosen pembimbing. Sedangkan Eric dan Hera sudah lebih dulu pamit karena Hera sakit perut.

Kini yang terisa hanyalah Mark, Mira, Rendy, Shila, serta Javi dan Yesha. Anggota inti dari geng mereka. Mereka kembali membicarakan bagaimana dulu mereka adalah anak-anak nakal yang tidak terlalu peduli pada nilai kecuali Rendy karena anak itu sedikit pintar dari yang lain. Dan kini mereka sudah berhasil dijalannya masing-masing.

Mark yang sudah bisa menghasilkan uang sendiri serta Rendy dan Javier yang sebentar lagi akan lulus. Yang paling mencengangkan sampai detik ini adalah fakta bahwa Nathan kuliah di luar negeri. Tapi ya, semua masih bisa terjadi jika kita berusaha.

“Nathan mau stay di sana?” tanya Rendy. “Bukannya dia bilang sampai lulus kuliah aja. Karena Om Agung juga mau balik?”

“Kita tunggu saja gimana kelanjutannya. Nathan juga nggak pernah ngabarin. Siapa tahu di sana dia lagi sibuk. Lihat aja nanti apa dia baoik atau tetap tinggal sama Lia,” sahut Javi.

“Ayo taruhan. Nathan balik sama Om Agung atau pilih tinggal sama Lia?” Rendy berseru dengan semangat.

“Jangan main-main. Kenapa urusan temannya malah dijadiin bahan taruhan,” ujar Shila yang langsung membuat Rendy kicep.

Sontak mereka kembali menertawakan laki-laki itu.

**

FIKSI GUYS. FIKSI.

©dear2jae
2021.02.18 — Kamis.
2025.01.19 — Minggu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top