28.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!

*

Nathan mengangkat sebelah alisnya karena bingung, mungkin dia juga heran kenapa Lia tiba-tiba memotong kalimatnya. Tapi sungguh, Lia benar-benar tidak mau membahas tindakan tidak etis itu.

“Kakak?”

“Iya, kakakku. Aku belum ngasih tahu, ya?”

Nathan menggeleng, sebenarnya ini adalah alasan. Semoga saja Jamal ada waktu. Lia melirik jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kirinya. Jam satu siang, Lia harap Dewi Fortuna berada di pihaknya kali ini.

“Ya udah, ayo,” sahut Nathan akhirnya. “Kelasku udah selesai. Aku ada waktu.”

Lia mengangguk dan menghubungi Jamal. Niatnya mau meninggalkan Nathan dan bicara dengan Jamal tapi nanti Nathan curiga.

“Halo?”

Lia bernapas lega. Dewi Fortuna masih memihaknya kali ini.

“Kakak di mana? Ini ada Nathan. Kakak bilang mau ketemu sama Nathan, kan?”

“Masih di kampus. Kalian di mana? Shareloc aja, nanti Kakak ke sana.”

Lia tersenyum lega.

“Aku kirim alamat cafenya,” uajr Lia. Kemudian menutup telepon dan mengalihkan pandangan pada Nathan yang masih memperhatikan Lia bicara dengan Jamal.

Lia tidak tahu alasan apa yang harus dia katakan jika saja Jamal tidak bisa bertemu hari ini. Bagaimana jika Nathan ingat pertanyaan yang akan ditanyakannya tadi dan kembali bertanya pada Lia. Oh tidak.

Setelah menunggu sepuluh menit, Jamal akhirnya datang. Lia melambaikan tangan saat melihatnya masuk, Jamal langsung duduk di depan mereka. Nathan yang semula duduk di depan Lia, berpindah ke samping Lia.

“Halo, Kak,” sapa Nathan dengan senyum andalannya.

“Jadi ini yang namanya Nathan..” sahut Jamal, dia duduk menyilangkan kaki seperti mau menginterogasi tersangka saja. “Nathan yang buat kamu nangis terus.”

“Kak! Apa-apaan,” sergah Lia.

Nathan langsung menatap Lia khawatir. Jelas saja, Jamal bilang Lia menangis karena dirinya.

Jamal mulutnya tidak bisa disaring, menjengkelkan. Melihat Lia panik, Jamal dengan santainya meraih minuman Lia dan menghabiskannya.

“Nangis karena aku? Kenapa?” tanya Nathan sambil menyentuh lengan Lia pelan.

Sungguh, Lia ingin menghilang saja saat ini. Jika punya kekuatan maka Lia akan langsung menghilang atau paling tidak menyihir mulut Jamal supaya membeku agar dia tidak bicara yang aneh-aneh lagi.

“Nangis karena kangen, katanya..” sahut Jamal lagi. “Katanya kangen. Tapi nggak mau ganggu lo.”

“Kak, udah. Aku malu,” lirih Lia pelan. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan di atas meja.

Nathan terkekeh kecil kemudian mengusap pelan rambut Lia. “Kalau kangen, kenapa nggak telepon? Aku, kan, udah bilang, kalau kamu putus langsung hubungi aku.”

“Lia bilang, dia nggak mau egois.” Jamal lagi yang menjawab. Lia masih menelungkupkan wajahnya karena malu.

Nathan bicara pada Lia tapi Jamal terus menjawabnya, Lia juga malu mau menatap Nathan. Seharusnya ini jadi rahasia antara dia dan Jamal, tapi kenapa Jamal malah memberitahu Nathan.

“Egois?”

“Iya. Tadinya Lia sempat mau telepon lo. Tapi, Lia bilang itu adalah keegoisan. Nolak lo waktu dia punya pacar dan malah langsung telepon saat dia udah putus. Katanya, itu egois.”

Walaupun Lia merengek pada Jamal, dia tidak akan menyaring ucapannya. Biarkan saja Jamal berbuat semaunya, Lia pasrah.

Lagi-lagi, Nathan mengelus punggung Lia. Dia belum berani mengangkat wajahnya. “Aku, loh, yang minta kamu buat hubungi aku. Kenapa malah mikir itu tindakan egois?”

“Lia tiap hari bilang sama gue, katanya dia kangen sama lo, sama Nathan. Lia bilang, Nathan itu seribu kali lebih baik dari pada Lino. Lia bilang, Nathan itu walaupun brengsek tapi tetap hormati hak orang lain. Lia bilang, Nathan itu keren.”

Lia mengangkat kepalanya dan menatap Jamal dengan sengit. “Kak, stop. Aku malu!”

“Kenapa malu? Bagus Nathan tahu!” sahut Jamal enteng. “Jadi, gimana ceritanya lo bisa kuliah di sini? Maksud gue, lo pernah bilang, kan, sama Lia akan langsung datang kalau Lia putus sama pacarnya?”

“Nathan ikut ayahnya, Kak,” balas Lia.

Jamal tidak mendengarkan Lia, yang membuat Lia mendengus kesal.

“Ikut sama ayah, Kak. Sebenarnya waktu Lia masih di Indo dulu, gue udah ada rencana buat kuliah di sini karena ayah ngajak. Tapi, gue nggak mau ganggu Lia. Lia udah punya pacar, jadi gue nggak ngasih tahu dia,” jelas Nathan pada Jamal.

Lia mengangkat alis bingung. Penjelasannya berbeda. “Tadi kamu bilang belum yakin kalau akan ketemu aku dan nggak tahu aku tinggal di mana. Kenapa sekarang penjelasaanya beda? Ganggu? Kamu nggak ganggu sama sekali!”

Nathan terdiam, dia memainkan gelas minumannya. “Maaf. Aku cuma nggak mau ganggu kamu karena udah ada pacar. Aku, kan, udah bilang kalau kamu putus, hubungi aku. Aku akan langsung datang. Di manapun aku berada, walaupun nggak di sini juga, aku akan tetap datang ke kamu.”

Jamal berdeham pelan. “Gimana kalau lo nggak kuliah di sini terus waktu Lia ngasih tahu, lo lagi ada ujian di kampus. Lo akan tetap datang ke Lia?” tanya Jamal.

Nathan langsung mengangguk mantap di depan Jamal. “Iya, janji dibuat untuk ditepati. Walaupun lagi ujian, gue akan keluar dan langsung datang ke Lia,” jawab Nathan enteng.

Oh Tuhan, laki-laki ini. Lia tidak tahu apakah ucapannya hanya sebuah gombalan atau kejujuran. Lia belum bisa membedakan antara keduanya.

“Iya, gue tahu,” balas Jamal.

Lia melotot kaget, seorang Jamal yang menjunjung tinggi kalimat jangan tinggalkan pelajaran demi apapun, sekarang malah bilang, iya, gue tahu?

Kenapa? Kenapa dia tidak mencerca Nathan dengan kalimat-kalimat yang setiap hari sudah bosan Lia dengar itu? Kenapa dia langsung bilang paham, tanpa perlawanan?

“Kakak tiap hari bilang sama aku, jangan ninggalin pelajaran demi apapun. Karena belajar itu sangat penting, sampai tua pun semua ilmu pasti akan berguna. Kenapa sekarang nggak bilang gitu sama Nathan?”

“Dia adik yang baik,” sahut Nathan, menunjuk Lia dengan dagunya. “Dia juga selalu bilang sama gue kalau gue harus belajar. Dia dengerin lo dengan baik.”

Jamal tersenyum menimpali ucapan Nathan. Sedangkan Lia masih menunggu jawaban dari mulut seorang Jamal.

“Karena kakak udah tahu dia orang yang kayak gimana dari ceritamu kemarin,” jawab Jamal akhirnya. “Kamu bilang dia anak nakal, nyuruh kamu belajar disaat dia sendiri nggak peduli sama pelajaran. Nyuruh kamu kerjain tugas disaat dia cuma bisa nyalin punya teman.”

Lia naik pitam. Ini bukan sekadar acara pertemuan biasa, ini adalah ajang di mana Jamal membeberkan semua cerita yang Lia katakan padanya. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia mengatakan dengan jelas perkataan Lia tentang Nathan yang nakal di hadapan orangnya langsung. Lia geleng-geleng kepala pasrah.

Jika setelah ini Nathan akan membencinya karena dia bergosip tentang Nathan di belakang. Maka yang bisa Lia lakukan hanya pasrah dan menerima kenyataan.

Nathan tertawa, Lia melotot kaget dan menatapnya, dia benar-benar tertawa bersama Jamal. Dua laki-laki ini membuat Lia pusing.

“Lia beneran bilang gitu?” tanya Nathan dengan sisa tawanya.

“Iya, jadi gue pikir nggak sulit buat lo ninggalin ujian,” balas Jamal.

Setelah berbincang ini itu, Jamal pamit pergi karena ada janji dengan temannya. Lia dan Nathan kemudian memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke sekitaran kampus. Nathan bilang, dia mengambil Jurusan Engineering karena nanti harus meneruskan perusahaan ayahnya.

Mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan, rasanya Lia adalah perempuan yang paling bahagia saat ini. Perasaan yang dia rasakan saat ini sangat berbeda dengan perasaannya pada Lino. Mungkin karena Lino terlalu mengekang untuk tidak melakukan ini dan itu.

“Siapa aja yang tahu kalau kamu kuliah di sini?” tanya Lia sambil menatap Nathan.

Lia masih saja terkesima oleh ketampanan yang dimiliki Nathan. Bahkan pernyataannya tidak pernah berubah kalau Nathan memiliki senyum yang paling manis.

“Javi, Rendy, Mark. Yesha juga tahu sama Hera. Tapi, mereka tahu waktu aku udah ada di sini. Bukan saat aku masih di Indo,” jawab Nathan.

Woah, aku kira mereka temanku. Tapi, kenapa tega sekali nggak kasih tahu.” Lia menggerutu kesal dan cemberut.

“Aku yang larang mereka ngasih tahu kamu. Jadi, kalau mau marah, marah ke aku aja.”

Lia memutar bola mata malas. “Gimana bisa aku marah sama kamu?”

Nathan terkekeh kecil sambil mengulas senyum.

Mereka duduk disebuah bangku taman yang ada di halaman kampus. Cuaca juga sedang bersahabat, langit sangat cerah ditambah hamparan hijau rumput-rumput yang ada di taman.

“Kak Mark sama Kak Mira, gimana? Masih pacaran?”

Seharusnya Lia tidak menyebut perempuan jahat itu dengan sebutan, kak. Mengingat bagaimana dia dulu menggeretak Lia hanya karena Nathan mendekatinya. Tapi, tetap saja Lia harus menghormati senior dan juga bersikap sopan karena dia pacarnya Kak Mark, teman Nathan.

“Masih, mereka baik. Kalau Rendy, dia punya pacar, namanya Shila. Mereka ketemu di kampus waktu ospek, satu kelompok, terus dekat sampai sekarang,” ujar Nathan, dia melingkarkan tangannya dipundak Lia. “Kalau Haikal, dia berhasil masuk kedokteran sama Freya. Hera katanya mau jadi guru bahasa inggris.”

“Dari mana kamu tahu semua informasi itu?”

“Javi.”

“Aku merasa jadi orang paling bodoh yang nggak tahu apa-apa.” Lia memalingkan wajahnya kesal mendengar penuturan Nathan. “Kenapa nggak bahas itu di grup?”

“Aku juga yang larang mereka buat ngirim di grup. Aku larang mereka buat nggak ngabarin kamu karena aku mau kamu fokus sama kuliahmu dan hidupmu.” Nathan memegang kepala Lia dan membuatnya menoleh. “Jadi, jangan marah, ya. Aku sayang kamu.”

Lia mengangguk dengan mata berkaca-kaca lalu memeluk Nathan sepuasnya.

Sepertinya, ini adalah skenario terbaik dalam hidup Lia. Lia bahkan sudah meminta maaf pada Tuhan karena dulu dia menggerutu tidak jelas karena harus pindah. Tapi sekarang Lia malah bersyukur karena dengan kepindahan itu membuatnya bertemu dengan laki-laki yang begitu tulus.

“Nanti, kapan-kapan main ke rumahku, ya,” ajak Lia pada Nathan. Dia ingin mengenalkannya pada ibu dan ayah.

“Ada ibu dan ayahmu?” tanya Nathan. Lia mengangguk. “Malu.”

“Sebenarnya..” ujar Lia pelan, Nathan menatapnya. “Aku putus sama Lino karena dia mau dijodohin sama cewek lain.”

Nathan masih diam, menunggu penjelasan Lia. Dia bahkan sudah merasakan emosi saat mendengar kalimat pertama Lia.

“Orang tuanya datang ke rumah, ketemu sama ayah dan ibu. Terus, mereka bilang kalau aku harus jauhin Lino. Karena mereka mau jodohin Lino sama cewek lain. Ayah sama ibu keliatan sedih, aku jadi merasa bersalah sama mereka.”

“Aku mau ketemu sama Lino. Pertemukan aku sama dia,” balas Nathan.

Lia sontak menggeleng, jangan sampai. Bisa-bisa nanti anak orang babak belur olehnya.

“Mau apa kalau ketemu?”

“Mau aku pukul sampai babak belur.”

Sudah bisa ditebak, memang.

“Jangan, jangan kelahi. Aku nggak mau kamu terlibat masalah. Lagian, aku nggak apa-apa karena sekarang aku punya kamu.”

“Cowok pengecut kayak gitu, enaknya diapain, ya?” gumam Nathan sambil menyandarkan punggungnya dikursi. “Dipukul sampai babak belur. Terus, mulutnya dibikin nggak bisa ngomong aja. Soalnya dia pengecut nggak bisa ngomong sendiri. Mulutnya nggak berfungsi.”

“NAT!”

Nathan terkekeh. “Bercanda, sayang.”

**

FIKSI GUYS. FIKSI.

©dear2jae
2021.01.06 — Rabu.
2024.08.26 — Senin. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top