27.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!

*

Satu tahun berlalu, bersama perasaan yang masih sama. Benci setiap kali melihat Lino dan cinta pada Nathan yang Lia tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang.

Demi Tuhan, Lino benar-benar berubah. Bahkan saat berpapasan pun dia tidak pernah menyapa Lia. Ternyata selama jauh, hatinya sudah berubah. Ya, sama seperti Lia tapi Lia dengan bodohnya masih memikirkan perasaannya.

Room chat Lia benar-benar sepi. Terakhir mereka saling kontak yaitu tujuh bulan lalu, dan sudah, tidak ada kabar lagi.

Saat ini, Lia sedang bersantai dengan Alice, temannya, di danau kecil kampus setelah selesai kelas. Alice adalah temannya sewaktu SMA dan kini mereka bertemu lagi.

“Prof. Gio benar-benar pergi, ya. Tadi kelas kita sudah melakukan sesi foto terakhir bersama Prof. Gio.” Alice curhat.

Alice merogoh tas selempangnya dan memperlihatkan foto dengan teman sekelasnya pada Lia. Prof. Gio adalah dosen matematika. Lia juga tahu, karena pernah masuk kelasnya.

Ketika Lia memperhatikan fotonya, matanya sedikit menyipit dan menatap seseorang yang berdiri di ujung kanan.

“Kamu lihat apa?” tanya Alice.

“Coba zoom sedikit. Aku mau lihat laki-laki ini,” tunjuk Lia pada seseorang yang berdiri di ujung kanan.

Alice melakukan seperti apa yang diminta Lia. “Jangan bilang kamu mau,” sahut Alice.

Terlihat sangat familiar tapi fotonya sedikit buram karena di zoom out. Lia menepis pikirannya. Sepertinya hanya mirip saja.

“Namanya Nathan Adinata!” seru Alice langsung memberitahu Lia. “Aku baru ingat, dia dari Indo. Katanya kuliah di Inggris karena seseorang.”

Lia agak bergetar sedikit mendengar ucapan Alice. Nama yang sama, dan asal yang sama.

“Kamu punya foto yang lain?” tanya Lia, hanya untuk memastikan bahwa teman Alice ini adalah orang yang sama dengan yang dia harapkan.

Alice mengangguk kemudian membuka gallery lalu memperlihatkan foto Nathan bersama temannya yang lain. Yang tentunya lebih jelas.

Oh my god!” Lia menutup mulutnya tidak percaya.

It’s him. Nathan Adinata.

“Kamu kenal?” tanya Alice setelah melihat ekspresi kaget Lia.

Lia langsung mengangguk antusias. Apa itu sakit hati karena Lino? Lia tidak tahu.

“Pacarku!” sahut Lia asal dengan kekehan kecilnya.

Alice mengerutkan alis bingung mendengar jawaban Lia. Alice itu, tahu kisah percintaan Lia dengan Lino. Dia juga tahu kalau Lino sudah bertunangan dengan perempuan lain dan memutuskan hubungan secara sepihak.

Tapi, kali ini apa? Pacar? Sejak kapan?

“Pacar?” ulang Alice memastikan.

“Iya. Kemarin waktu di Indo satu sekolah sama dia.”

“Berarti kamu selingkuh dari Lino?”

“Iya, aku selingkuh. Makanya nggak sedih waktu tahu dia di sini ada tunangan. Karena aku udah ada pacar.”

Alice masih tidak mengerti. Tapi, dia mengiyakan semua ucapan Lia. Syukurlah, Lia tidak sedih lagi karena si brengsek Lino.

“Tolong, besok kalau kamu ketemu sama dia. Bilangin, Nat, pacar kamu cariin. Bilang gitu, yah!”

Alice mengangguk ragu. Dia terkekeh melihat bagaimana antusiasnya Lia.

*

“Kak! Kakak!”

Suara Lia menggema di seluruh penjuru rumah. Memanggil Jamal yang tak kunjung menyahut. Lia segera berlari menuju kamarnya, mendobrak pintu dengan sengaja dan melihatnya yang sedang mendengarkan lagu menggunakan earphone. Pantas tidak dengar.

Jamal menoleh saat menyadari adiknya yang sedang berdiri diambang pintu sambil menatapnya. “Kaget, woy! Astaga.”

“Kak, Nathan, Kak. Nathan!” seru Lia sambil mengguncang lengan Jamal yang sedang mengerjakan tugasnya.

“Nathan kenapa lagi?”

“Nathan ternyata kuliah di sini!”

Pernyataan Lia itu mengagetkan Jamal karena sejurus kemudian dia melepaskan pulpen yang dipegangnya dan menatap Lia serius.

Selama ini Lia memang merecokinya dengan berbagai macam keluhan perihal Nathan. Bagaimana perasaannya pada laki-laki itu, bagaimana laki-laki itu bisa merubah hidupnya. Maksudnya sifat Lia yang suka melakukan apa-apa sendiri.

“Tahu dari mana?” tanya Jamal memastikan.

“Alice yang ngasih tahu. Alice temanku waktu SMA. Ternyata mereka satu kelas!”

“Woah!”

“Aku juga nggak paham gimana bisa. Tapi, itu kenyataannya. Tadi aku liat foto Nathan sama Alice dan teman mereka yang lain.”

Lia senang, dia benar-benar senang. Sungguh, Lia tidak pernah membayangkan sesuatu macam ini sebelumnya. Dia kira, hubungannya dengan Nathan memang benar-benar berakhir. Dia kira, cerita singkat itu akan dikenang hingga dia tua nanti. Tapi nyatanya, Tuhan berbaik hati memberikan Lia jalan untuk bertemu dengan Nathan lagi.

Walaupun Lia belum tahu pasti apakah dia sudah punya pendamping atau belum. Ya, akan Lia pastikan itu dulu. Walaupun tadi sempat bilang pada Alice bahwa Nathan pacarnya.

“Terus, gimana?” tanya Jamal.

“Udah minta tolong Alice buat ngasih tahu Nathan kalau aku cari. Kalau bisa, aku mau ketemu besok,” jawab Lia.

Jamal mengangguk. “Ok! Semoga berhasil. Nanti, Kakak mau ketemu sama dia. Mau liat gimana bentukan cowok yang bikin kamu lupa sepenuhnya sama Lino.”

Lia mengangguk sambil tersenyum, mengiyakan ucapan Jamal. Benar, dia melupakan Lino dalam sekejap mata, karena Nathan. Laki-laki tukang paksa yang selalu memaksanya melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, dulu, iya, dulu.

Pertanyaan Lia untuknya sangat banyak. Apa Lia harus membuat list pertanyaan untuknya. Mulai dari mana, ya? Ah, Lia bingung. Lihat besok saja kalau bertemu.

*

“Grizellia!”

Suara itu, suara yang sangat Lia rindukan. Lia segera menoleh dan mendapati Nathan sudah berdiri di belakangnya sambil menampilkan senyum maut andalannya. Senyumnya yang memabukkan, senyumnya yang mampu membuat jantung Lia bekerja dua kali lebih cepat, senyum yang menjadi candu bagi Lia. Iya, senyum yang Lia rindukan, senyum yang selalu ada dalam ingatannya.

Nathan, iya, dia benar-benar Nathan yang Lia sukai. Nathan si brengsek tidak tahu diri yang sudah membuatnya berpaling dari Lino. Nathan yang selalu mencercanya dengan kata belajar, belajar, dan belajar. Tapi nyatanya dia sendiri tidak peduli akan hal itu. Nathan si laki-laki dingin yang mengatakan bahwa Lia yang pertama untuknya.

Tanpa berpikir panjang lagi, Lia berlari kecil ke arahnya. Nathan menyambutnya dengan senyuman dan merentangkan tangannya. Segera saja dia lingkarkan kedua tangannya di pinggang Nathan. Memeluknya erat, menenggelamkan kepalanya di dada Nathan, seolah kalau Lia melepas pelukannya maka Nathan akan menghilang. Lia tidak mau itu terjadi. Rasanya juga masih seperti mimpi.

Nathan balas memeluk Lia, dia mengusap pelan rambut Lia. Entah kenapa Lia terisak, air matanya mengalir dengan sendirinya. Semua perasaan Lia pada Nathan seolah meluap saat ini.

“Mau sampai kapan kamu peluk aku?” bisik Nathan.

“Sampai besok,” balas Lia. “Aku akan peluk kamu sampai puas!”

Sungguh, Lia tidak ingin melepaskan pelukan ini. Lia tidak mau melepasnya, dia tidak mau Nathan menghilang dari pandangannya. Air mata Lia masih mengalir, sedih, senang, bercampur jadi satu.

Nathan mengelus pundaknya lembut. “Kenapa nangis? Nanti orang kira aku jahat sama kamu.”

Lia mendongak, menatap Nathan yang masih saja tersenyum seperti orang bodoh, menatapnya dengan mata sembab. Jika dilihat-lihat, Nathan sudah bertambah tinggi sejak Lia terkahir kali bertemu dengannya. Kepala Lia sampai sakit saat mendongak.

“Ayo ngomong. Tanya semua yang mau kamu tanyain. Kamu pasti punya banyak pertanyaan buatku.”

Lia mengangguk dan mengikuti Nathan yang membawanya ke sebuah cafe dekat kampus yang sedang lengang. Nathan menuntunnya untuk duduk kemudian dia pergi memesan minuman.

Lia memperhatikannya dalam diam, memperhatikan tubuh tinggi tegap itu. Sosok yang sangat dia rindukan.

Nathan kembali, membawa dua gelas ice coffee. Lia masih tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. Bagaimana bisa dia tidak memberitahu Lia hal ini.

“Mau mulai dari mana?” tanya Nathan.

“Bentar, tadi Alice bilang apa ke kamu?”

“Nat, pacarmu cari kamu, katanya. Aku bingung, terus dia ngasih liat fotomu. Setelah itu, aku langsung iyain aja.”

Lia terkekeh pelan. Alice benar-benar menyampaikan seperti apa yang dia minta.

“Kenapa bisa kuliah di sini? Kenapa nggak kabari dari awal?”

Nathan mengulas senyum lebar, seolah gemas dengan ekspresi Lia yang penasaran. Nathan meletakkan gelas coffeenya kemudian meraih tangan kiri Lia dan menggenggamnya erat, sesekali mengelusnya lembut.

“Aku senang bisa ketemu kamu lagi.” Nathan menjeda kalimatnya dan menatap Lia. “Perasaanku belum berubah sedikitpun.”

Lia merotasikan bola mata kesal, bukannya menjawab pertanyaan malah membicarakan hal lain. Nathan terkekeh pelan melihat Lia yang sedang kesal.

“Oke, aku akan jelasin. Tapi, ini lumayan panjang. Kamu mau dengar?” tanya Nathan.

“Iya, seberapa panjang? Sepanjang Sungai Nil?”

Lagi-lagi, Nathan terkekeh geli mendengar penuturan Lia. “Jangan senyum terus. Jantungku berdebar.”

“Gimana hubunganmu sama pacarmu itu?” tanya Nathan.

Ya Tuhan, katanya mau menjelaskan tapi kenapa masih mempertanyakan hal yang tidak penting. Iya, sudah tidak penting bagi Lia tapi mungkin Nathan perlu tahu hal ini. Laki-laki dingin yang masih menjunjung tinggi hak dan kewajiban. Lia bangga.

“Aku udah putus,” jawab Lia cepat.

“Kenapa?”

“Aku dari tadi nanya sama kamu. Kenapa malah balik nanya gini? Jawab aja dulu pertanyaanku, baru nanti aku kasih tahu kamu detail hubunganku sama dia,” gerutu Lia, kesal.

“Kenapa kamu jadi cerewet, ya. Dulu kamu lemah lembut waktu ngomong sama aku,” ujar Nathan. Lia hendak menarik tangannya dari genggaman Nathan dan akan pergi meninggalkannya. Karena Lia sudah sangat-sangat kesal tapi Nathan yang cepat tanggap menyadari hal itu langsung berkata, “Oke, oke, maaf. Aku akan ngasih tahu semuanya.”

Nathan menghela napas pelan. “Kamu kayaknya udah tahu tentang latar belakang keluargaku. Maksudku, ayahku, dan apa pekerjaannya.”

“Iya, aku tahu. Tapi, aku tahunya dari orang lain. Bukan dari kamu sendiri.”

“Dulu, waktu aku mau ngasih tahu kamu, aku nggak pernah punya kesempatan yang tepat. Aku melewatkan banyak kesempatan sampai akhirnya aku benar-benar lupa untuk kasih tahu kamu. Padahal aku udah niat dari awal untuk nggak merahasiakan apapun darimu,” jelas Nathan panjang lebar. Lia masih mendengarkan dengan tangannya yang masih berlindung dibalik genggaman tangan Nathan yang hangat.

“Waktu itu aku nggak ada niat sama sekali buat kuliah di sini. Mau daftar di universitas ternama indo aja aku masih ragu,” jelas Nathan, Lia masih mendengarkan. “Satu hal yang paling aku syukuri adalah ketemu sama kamu. Gimana kalau kita nggak ketemu dan pada akhirnya aku tetap mengabaikan pelajaran. Mungkin aku juga nggak akan ada di sini sekarang. Tapi kamu buat aku sadar betapa pentingnya belajar. Jujur, aku belajar giat karena kamu. Jadi, waktu ayah bilang dia akan pindah ke Inggris untuk beberapa tahun ke depan dan dia menawariku untuk ikut, aku langsung mau karena aku udah percaya diri dengan hasil yang aku dapat waktu lulus kemarin dan juga karena ada kamu di sini.”

Lia bangga, pada Nathan dan dirinya. Lia bersyukur karena dia bisa membawa perubahan pada Nathan. Lia bersyukur karena Nathan menjadi orang yang lebih baik.

“Kapan ayahmu ngajak kamu?”

“Waktu selesai opening ceremony,” jawab Nathan.

Tunggu! Opening ceremony? Bukankah masih ada waktu untuk memberitahu Lia? Tapi kenapa..

“Terus, kenapa kamu nggak kasih tahu aku? Kenapa diam aja?” kesal, Lia menarik tangannya yang ada digenggaman Nathan dengan kasar lalu menyilangkan di dada. Menatap Nathan dengan wajah datar.

Nathan menghela napas lirih. “Itu karena aku belum yakin akan langsung ketemu sama kamu. Maksudku, aku nggak tahu kalau kita akhirnya berada di universitas yang sama. Aku juga nggak tahu kamu tinggal di mana.”

Raut wajah Nathan benar-benar merasa bersalah. Tapi sedetik kemudian dia kembali menatap Lia dengan senyuman yang merekah.

“Makanya aku percaya diri waktu bilang kalau kamu putus sama pacarmu, hubungi aku, aku akan langsung datang padamu.”

Sumpah, Lia benar-benar kesal. Dia merotasikan bola mata, malas untuk menatap wajahnya yang terlihat menjengkelkan. Lia meneguk minumanku.

“Tapi, walaupun aku nggak kuliah di sini, aku akan tetap datang padamu kalau kamu bilang putus sama pacarmu itu.” Nathan kembali dalam mode seriusnya, sorot matanya ikut berbicara, Lia bahkan tidak menemukan sedikitpun kebohongan di sana.

“Iya,” lirih Lia pelan.

“Kamu sendiri, kenapa nggak bilang kalau kamu udah put..”

“Kamu ada waktu setelah ini? Kakakku mau ketemu sama kamu.” Lia memotong ucapan Nathan. Karena dia tahu ke mana arah pertanyaan itu.

Bukan apa-apa, Lia hanya belum mau membahas hal memalukan itu di depan Nathan.

**

FIKSI GUYS. FIKSI.

©dear2jae
2021.01.04 — Senin.
2024.07.25 — Kamis. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top