26.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!
*
Apa yang paling menyakitkan adalah ketika Lia harus mengucapkan selamat tinggal pada sekolah. Sekolah yang menjadi saksi bisu kisahnya yang singkat bersama seseorang.
Kisah singkat yang bahkan bisa membuatnya mengingat hingga 10 tahun ke depan. Lucu, bagaimana dulu Lia sangat enggan untuk menginjakkan kaki di sini. Tapi sekarang berubah menjadi tidak ingin berpisah.
“Makasih, Bu. Karena ibu udah daftarin aku ke sekolah ini!” seru Lia dalam hati ketika berpisah dengan sekolahnya.
Goodbye. Satu kata simple yang sangat mudah diucapkan tapi sangat sulit untuk dilupakan. Lia bisa mengucapkan goodbye ke siapa saja dengan mudah, tapi tidak bagi sesuatu yang sudah membuatnya merasa nyaman. Bahkan sekolah ini, betapa sulitnya untuk menggerakkan kaki untuk meninggalkannya. Apalagi untuk seseorang yang sudah jelas-jelas mengisi hari-harinya
Untuk Nathan. Dia tidak hebat tapi Lia menyukainya. Dia nakal tapi Lia menyukainya. Dia misterius tapi Lia menyukainya. Dia punya banyak rahasia tapi Lia menyukainya. Lia suka bagaimana Nathan memperhatikannya.
And finally!
“Hati-hati. Safe flight, semoga selamat sampai tujuan,” ujar Nathan, dia mengusap rambut Lia pelan.
“Please, don’t do this to me, Nat! Aku bisa batalin penerbangannya nanti kalau kamu kayak gini. Jangan bikin aku goyah lagi.”
“Iya, thank you!” balas Lia. Berusaha menormalkan detak jantungnya.
“Kalau nanti kamu putus sama pacarmu. Kabarin aku, ya,” bisik Nathan pelan yang membuat Lia bingung.
Lia mengerenyitkaan alis heran. “Kenapa?”
“Aku akan langsung datang ke kamu.”
Di saat seperti ini, dia bahkan bisa menggombal. Nathan sangat keren, dia memakai setelan jeans.
“Apaan, sih!” Lia menanggapinya dengan bercanda. Dia tidak mau suasana jadi serius. Nanti dia akan semakin berat meninggalkannya.
“Aku serius. Bilang aja kalau kamu putus!” sahut Nathan lagi.
Lia mencoba mencari celah di matanya untuk menganggap ucapan itu hanya sebuah lelucon. Tapi yang dia dapat malah sorot mata tajam namun sayu yang selalu menjadi candu baginya.
“Gimana kalau perasaanmu udah berubah waktu aku ngasih tahu kamu?”
“Perasaanku sama kamu nggak akan berubah.”
“Perasaan seseorang bisa berubah kapan aja. Nggak ada yang tahu.”
“Tapi aku nggak.”
“Kenapa?”
“Because you’re the first one and only one for me.”
Hera benar. Apa yang dikatakan Hera, benar adanya. Lia menanggapinya dengan senyuman karena dia tidak tahu mau bicara apa lagi. Hatinya sakit, entah kenapa. Ada perasaan bersalah terselip dalam senyumnya karena dia sudah memperlakukan Nathan begitu. Maksudnya, menolak Nathan.
“Hati-hati, Lia. Jaga kesehatan!” seru Felix. Dia juga ikut.
“Thanks, Lix!”
Tiba-tiba, Yesha menangis. Lia langung mengalihkan perhatiannya, dia benci situasi seperti ini. Ini bukan akhir dari segalanya, Lia masih bisa datang berlibur atau yang paling simple adalah Lia bisa video call dengannya jika mereka mau.
Lia sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangis.
“Kalau sempat, telepon. Atau paling nggak, chat aja,” ujar Hera yang dibalas anggukan oleh Lia.
Lia melambaikan tangannya pada mereka yang masih setia menunggu kepergiannya. Langkahnya terasa berat, hingga akhirnya Lia masuk ke pintu keberangkatan.
“Thank you, semuanya. Aku akan ninggalin semua rasaku di sini. Apa yang akan terjadi setelah ini, biarlah terjadi. Entah aku yang berubah, atau kalian nantinya. Bukannya egois, tapi semua orang bertumbuh dan berkembang. Selamat tinggal kalian. Selamat tinggal, Nathan. Terima kasih udah jadi bagian dari cerita yang singkat ini. See you guys, if it’s possible.”
*
Lia kembali menapakkan kaki di Inggris. Dia kembali bersama orang tua dan kakaknya. Dia kembali bertemu dengan teman-teman SMAnya. Sesekali Lia memang masih menghubungi mereka, mengabari mereka bagaimana keadaan Lia di sini. Tapi, ini sudah hampir satu bulan chatnya sangat sepi. Lia mengerti, bagaimana sibuknya mempersiapkan semester baru di universitas karena Lia juga melakukannya.
Tapi, ada yang berubah dari Lino. Saat Lia beritahu kalau dia sudah mau landing, dia hanya bilang hati-hati. Biasanya dia akan menjemput Lia tapi ini tidak. Saat bertemu di universitas pun, dia hanya menyapa Lia sekadarnya. Aneh, bukan? Tapi, Lia masih mau berpikiran positif tentangnya.
Pernah sekali, waktu Lia mengajaknya untuk makan siang di kampus, dia menolaknya karena dia bilang ada kegiatan organisasi. Lia memaksanya, dan akhirnya dia mau tapi sikapnya sangat berbeda dari sebelumnya. Lino lebih banyak diam, saat Lia ajak bicara pun dia hanya menjawab yang ditanyakan tanpa bertanya balik.
Lino juga fine-fine saja saat melihat Lia bersama teman laki-lakinya. Biasanya dia akan menegur atau bahkan sampai melarang. Aneh saja, menurut Lia.
“Sis, dipanggil ayah.” Jamal mengetuk pintu kamar Lia yang terbuka.
“Kenapa?” tanya Lia tapi Jamal hanya diam dan mendorongnya ke ruang tengah.
Lia melihat ayah dan ibunya sudah duduk manis di sofa. Tiba-tiba suasananya jadi serius. Lia tidak pernah melakukan hal yang akan membuat mereka marah. Seingat Lia. Jadi, apa ini?
“Duduk,” ujar ayahnya.
Lia duduk di depan mereka. Jamal juga ikut duduk di samping Lia.
“Waktu kamu masih Indo kemarin. Orang tuanya Lino datang. Mereka bilang kalau Lino mau tunangan sama perempuan pilihan mereka.” Ibu menjelaskan.
Ibu sangat berhati-hati saat memberitahu Lia. Jadi ini, jawaban dari berbagai macam pertanyaan yang bersarang di benak Lia tentang Lino akhir-akhir ini.
“Kamu nggak apa-apa?” ayah bertanya.
Lia mengangguk dengan wajah tanpa ekspresi. Bukan karena kecewa atau marah, tapi Lia benar-benar terkejut mendengar kabar seperti itu dari mulut orang tuanya sendiri.
Lia tidak habis pikir, kenapa orang tua Lino datang menemui orang tuanya dan mengatakan hal seperti itu. Kalau mau putus, Lino tinggal bilang padanya. Kenapa harus membebani orang tua. Itu yang sangat dikecewakan oleh Lia.
Ayah dan ibu tahu perjalanan kisah Lia bersama Lino sejak SMP karena Lia memberitahu mereka. Lalu, bagaimana perasaan mereka sekarang saat anaknya diperlakukan seperti ini? Lia memang tidak apa-apa. Tapi dia memikirkan orang tuanya.
“Ayah sama Ibu bilang apa sama mereka?”
“Kita kaget makanya diem aja. Kamu juga nggak ada di sini, jadi kita bingung. Mereka cuma bilang itu aja, terus langsung pergi,” jelas ayahnya lagi.
Lia benci melihat ayah yang sangat dia hormati menjadi menciut di hadapan orang lain.
“Ibunya juga bilang, tolong suruh Lia jangan ganggu Lino lagi,” kali ini, Jamal yang bicara.
Sebenarnya, ayah dan ibu tidak ingin mengatakan kalimat itu. Mereka sudah sepakat. Tapi, Jamal berkhianat.
Sial.
Lia baik-baik saja, sungguh, tapi raut wajah mereka terlihat khawatir. Jika Lia menjelaskan pada mereka bahwa dia baik-baik saja. Tentu mereka tidak akan percaya karena kisahnya dengan Lino tidaklah singkat.
“Ayah, Ibu, aku nggak apa-apa. Jangan khawatir. Hidupku nggak akan berakhir kalau putus sama dia!” tegas Lia dan berlalu ke kamarnya.
Mungkin mereka tidak akan percaya karena Lia pergi begitu saja setelah mengucapkan kalimat seperti itu. Tapi, Lia tidak bisa menatap wajah mereka lama-lama. Lia merasa bersalah.
“Ayah tahu kamu anak yang kuat, sayang.”
Ah, sial. Kata-kata ayah lebih membuat Lia sedih dari berita pertunangan Lino. Entah kenapa, pikiran Lia langsung tertuju pada Nathan dan kalimat yang dia ucapkan sebelum Lia berangkat kemarin.
Lia terduduk di ranjangnya sambil memikirkan kata-kata Nathan. Dia sempat meraih ponselnya tapi beberapa detik kemudian dia tersadar bahwa yang akan dia lakukan ini adalah sikap egois. Maksudnya, Lia selama ini selalu menolaknya. Menolak untuk menerima hatinya yang tulus, menolak kata hatinya bahwa dia menyukai Nathan. Tapi sekarang di saat dia dan Lino sudah putus, dia langsung ingin mengabari Nathan. Baginya, itu adalah tindakan yang egois.
Lia meletakkan ponselnya, tidak jadi menghubungi Nathan. Mungkin di sana, dia sudah menemukan seseorang yang bisa dia andalkan. Tidak seperti Lia yang menyusahkannya. Jadi, Lia rasa lebih baik untuk tidak menghubunginya.
“Sis, are you ok?” Jamal mengetuk pintu kamarnya sambil menyembulkan setengah kepala.
Lia mengangguk dan menyuruhnya untuk masuk.
“Really, ok?” Jamal kembali memastikan.
“Iya, aku nggak apa-apa. Beneran.”
“Kamu suka sama cowok Indo, ya?” tanya Jamal.
“Kenapa nanya gitu?”
“Kamu nggak keliatan sedih sama sekali. Biasanya cewek akan nangis atau seenggaknya nafsu makan hilang atau malah nggak mau ngapa-ngapain.”
Lia akhirnya tersenyum dan mengangguk. “Namanya Nathan. Ganteng banget dia, Kak. Menurutku dia baik. Tapi, orang-orang bilang dia nggak baik.”
“Kenapa bisa dia nggak baik menurut orang?” tanya Jamal.
“Nathan itu, siswa populer di sekolah, Kak. Banyak cewek yang suka sama dia. Tapi, dia itu orangnya dingin, cuek, sama orang lain. Kalau ke aku, dia baik terus cerewet juga. Dia juga suka kelahi, sih. Kalau ke sekolah kadang luka-luka. Makanya orang-orang bilang dia nggak baik.”
Lia bersemangat sekali saat menceritakan sosok Nathan pada Jamal. Bahkan terlihat sangat excited.
Jamal selalu menjadi pendengar yang baik dikala Lia sedang sedih maupun senang dan Lia sangat bersyukur tentangnya.
“Sedikitpun, aku nggak liat kamu sedih,” sahut Jamal.
“Tapi, aku ngerasa bersalah sama dia. Nathan udah bilang ke aku, kalau dia suka. Tapi, aku malah tolak dia, terus bilang aku udah punya pacar. Sebenarnya, aku juga suka sama dia. Cuma kemarin aku masih jaga perasaan si brengsek Lino walaupun lagi LDR. Siapa sangka, akhirnya jadi kayak gini. Cowok nggak tahu diri.” Lia menggerutu dengan nada jengkel.
Entah kenapa, air mata Lia mulai mengalir. Lia menangis saat menceritakan kisahnya dan Nathan pada Jamal. Jamal mengelus pundaknya lembut. Lia mengusap air mataku.
“Kakak tahu apa yang makin buat aku bersalah sama dia?”
“Apa?”
“Dia pernah bilang ke aku, kalau dia nggak akan paksa aku buat suka sama dia. Masalah perasaanku, itu urusanku. Dia juga bilang, kalau nanti aku putus sama pacarku, aku harus kabarin dia dan dia akan datang langsung ke aku..” cerita Lia pada kakaknya.
“Hatiku sakit waktu dia bilang gitu. Aku merasa jadi orang yang paling egois,” lanjutnya, masih dengan mata yang berair.
“Terus, sekarang gimana? Kamu mau hubungi dia?”
“Tadi sempat mau hubungi. Tapi, kayaknya aku egois jadinya. Nolak dia waktu aku punya pacar dan sekarang mau langsung telepon dia waktu aku udah putus.”
“Apapun keputusanmu, Kakak dukung!” tegas Jamal. Lia tersenyum dan mengangguk.
“Aku jadi kangen karena ceritain dia ke Kakak.”
“Ya udah, telepon aja.”
Lia menggeleng, dia tidak mau mengganggu Nathan lagi. Dia tidak boleh bersikap egois dengan perasaannya sendiri walaupun dia tahu Nathan menyukainya. Kali ini, Lia tidak akan memaksakan kehendak padanya.
Jika suatu saat bertemu lagi, maka apa yang terjadi saat itu biarlah terjadi. Apakah saat mereka bertemu nanti mereka sudah punya pasangan masing-masing atau Nathan sudah punya pasangan dan Lia belum, atau Lia yang sudah punya pasangan baru dan Nathan belum atau bisa saja mereka belum punya pasangan masing-masing.
Hidup Lia tidak terhenti hanya karena putus hubungan dengan Lino. Bisa saja Lia gila jika tidak ada Nathan. Bayangkan saja, jika Lia tidak mengenal Nathan yang sudah membuat pendiriannya goyah, apa yang akan terjadi padanya sekarang saat putus dengan Lino? Membayangkannya saja membuat Lia merinding. Hubungan yang tidak singkat dan diputuskan secara tidak terpuji seperti ini, siapa saja pasti stress.
Thank you for coming into my life Nat. I’ll always remember our short story. See you, if it’s possible. I love you, really.
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
©dear2jae
2020.12.29 — Selasa.
2024.07.07 — Minggu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top