24.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!
*
Bel apartemen Lia terus saja berbunyi. Membuat Nathan mau tidak mau membuka matanya perlahan. Sebenarnya dia masih sangat mengantuk karena hanya tidur beberapa jam saja. Nathan menatap ke arah kamar Lia, terdengar guyuran air dari dalam kamar mandi. Jadi, mau tidak mau dia bangun dan pergi membuka pintu.
Matanya masih belum terbuka dengan jelas ketika tangannya meraih kenop pintu dan membukanya.
“ASTAGA, NAT! LO NGAPAIN DI SINI DAN NGGAK PAKAI BAJU?!”
Hera berteriak ketika melihat Nathan yang membuka pintu. Apalagi kondisi Nathan saat ini tidak sedang memakai baju. Sedangkan Freya buru-buru menutup matanya dengan kedua tangan.
Lia muncul di belakang Nathan dengan wajah polos dan terkejut ketika melihat Hera dan Freya sudah datang. Sumpah, Lia benar-benar lupa kalau dia punya janji untuk mengerjakan tugas di apartemennya.
“Jangan teriak, nanti orang salah paham. Suara lo kenceng banget!” desis Nathan kemudian berbalik dan langsung masuk ke kamar Lia. Melanjutkan tidurnya di kasur empuk Lia.
“Kapan kalian datang?” tanya Lia sambil tersenyum kaku. “Ayo masuk.”
“Lo berhutang penjelasan,” ujar Freya saat mengikuti Lia masuk. Lia hanya tersenyum kaku.
Hera hendak duduk di sofa namun tidak jadi saat melihat seragam Nathan berserakan serta kaos putih yang dikenakannya. Gadis itu membelalakan matanya kaget.
Lia sadar akan arah pandang Hera, dia buru-buru meraih kedua baju Nathan dan melesat ke kamarnya. Lalu melempar sembarang ke atas ranjang.
“Bajumu kenapa dibuka semua. Mereka jadi salah paham!” Lia menggerutu namun tidak dipedulikan oleh Nathan. Anak itu malah berbalik memunggungi Lia.
Lia kembali ke ruang tamu membawa buku-buku pelajarannya. Hera dan Freya masih menatapnya, meminta penjelasan akan semua yang mereka lihat hari ini.
“Kalian mau minum apa?” tanya Lia.
Lia hendak beranjak namun Hera langsung mencegatnya. “Nggak usah minum, nggak apa-apa. Nanti kita bisa ambil sendiri. Jelasin aja semua ini!”
“Semalem Nathan nganterin gue pulang. Terus, dia mampir bentar di sini. Tapi, waktu nonton tv dia ketiduran. Jadi, gue nggak bangunin dia,” jelas Lia.
“Terus, kenapa dia nggak pakai baju? Kalian nggak ngelakuin hal terlarang, kan?” tanya Freya.
Lia menggeleng cepat. “Nggak, nggak. Lo ngomong apa, sih. Katanya gerah makanya buka baju. Lagian dia tidur di sofa dan gue di kamar.”
Freya menyipitkan kedua matanya. “Gue nggak sepenuhnya percaya. Kayaknya nggak mungkin kalau nggak terjadi apa-apa. Cowok kayak Nathan nggak mungkin cuma diem aja.”
“Kalian mau gosip atau kerjain tugas?” Lia berusaha mengalihkan topik.
“Ya udah. Kalau pun terjadi sesuatu, biarin aja. Itu urusan kalian. Kalian udah dewasa.” Hera mulai membuka buku pelajarannya.
Syukurlah, Lia bisa bernapas dengan lega. Bagaimana jadinya jika mereka terus menginvestigasinya layaknya tahanan.
Satu jam berlalu dan akhirnya mereka selesai. Hera menutup buku-bukunya dan tidur selonjoran di atas sofa. Sedangkan Freya berjalan ke dapur untuk mengambil minuman.
Ponsel Nathan berdering, kebetulan dia masih meletakkan ponselnya di atas meja dekat televisi. Lia beranjak dan melihat siapa yang menelpon, ternyata itu Javi.
Lia berjalan ke kamarnya dan membangunkan Nathan yang masih saja meringkuk padahal sudah pukul sepuluh pagi. Dia mengguncang pelan tubuh Nathan agar laki-laki itu bangun.
“Javi telepon ini. Angkat..” ujar Lia sambil menyodorkan ponsel itu di depan wajah Nathan.
Nathan mengerang kecil kemudian meraih ponselnya dan perlahan duduk. Masih dengan wajah ngantuknya. Saat ini dia masih bertelanjang dada membuat perut sixpacknya terlihat jelas di depan Lia.
“Apa?” jawab Nathan.
“Lo di mana? Om Agung bilang semalem lo nggak pulang.”
“Emangnya kenapa? Ngapain telepon sepagi ini?”
“Gue sama Rendy di rumah lo sekarang. Kita di kamar.”
“Hm, tunggu. Gue pulang sekarang.”
“Lo nggak kelahi, kan?”
“Cerewet.” Nathan langsung menutup panggilannya dan beranjak menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar Lia lalu membasuh wajahnya. Kemudian langsung memaki kaosnya dan meraih baju seragamnya.
Nathan keluar dari kamar Lia dan menatap Hera yang sedang selonjoran di atas sofa bersama Freya. “Berasa rumah sendiri, ya!” sindir Nathan dan melempar bantal sofa pada wajah Hera.
“Ngaca, woy! Lo sendiri ngapain di sini? Nggak pakai baju terus tidur seenaknya di kamar orang!” Hera tidak mau kalah.
“Anak kecil nggak usah tahu urusan orang dewasa,” sahut Nathan yang langsung membuat Lia melotot kaget. Lia takut Hera dan Freya bisa salah paham.
“WOAH!” Freya berteriak heboh.
“Aku pulang, ya!” ujar Nathan lalu menunduk dan mengecup singkat kening Lia. Karena Lia duduk di bawah. Dia juga mencuri satu kecupan pada bibir Lia.
Lia hanya bisa menghela napas pasrah, tamat sudah riwayatnya sekarang. Pasti Hera dan Freya akan menggodanya habis-habisan. Sedangkan Nathan berjalan dengan santai menuju pintu keluar.
“Nggak mungkin cuma diem-dieman aja. Pasti ada sesuatu!” sergah Freya. Menodong Lia dengan roti yang dimakannya.
Sudah tidak ada penjelasan lagi. Lia hanya bisa tersenyum kecil menanggapi ucapan Freya.
*
Saat sampai rumah, Nathan bergegas naik menuju kamarnya. Dia mendapati Rendy dan Javi yang sedang main game. Matanya menatap kedua anak itu dengan tajam karena snack berserakan di lantai.
“Semalem lo tidur di mana?” tanya Rendy tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar tv.
“Apart Lia..” jawab Nathan seraya meraih handuknya dan berjalan ke kamar mandi.
Javi tersedak. Padahal tidak sedang minum ataupun makan apa-apa.
“Sumpah?”
“Tanya Lia.”
“Lo nggak aneh-aneh, kan?” tuding Rendy.
“Kepo.”
*
Nathan dan Lia menjalani hari-hari layaknya sepasang kekasih. Nathan sering menjemput Lia untuk berangkat bersama. Mereka sering makan bersama di kantin. Ya, walaupun Lia selalu menolak karena takut oleh pandangan orang-orang yang mengaku menggemari Nathan. Tapi, Nathan tetap memaksanya.
Sekarang, Nathan sedikit berubah ke arah yang lebih baik. Nathan mulai ikut belajar bersama dengan Lia dan teman-temannya yang lain. Sering terlihat di perpustakaan juga bersama Rendy dan Javi.
Semua orang benar-benar sibuk sejak naik kelas tiga. Benar-benar mempersiapkan diri dengan baik untuk ujian akhir nanti. Bahkan, hari minggu pun tetap belajar bersama. Lia, Yesha, Haikal, Freya, Hera, Nathan, Javi, Rendy, hingga Felix ikut belajar bersama walaupun beda sekolah.
Seperti sekarang ini, mereka sedang belajar bersama di sebuah cafe. Tidak hanya belajar memang, tapi juga bergosip. Belajar harus diselingi hal-hal seperti itu supaya tidak terlalu menjadi beban dan mengakibatkan stress.
“Eh, tahu nggak, kemarin gue sampai dicegat waktu pulang sekolah sama adik kelas. Dia nanya Nathan beneran pacaran nggak sama Lia. Asli, Eric langsung pelototin mereka dan mereka pergi.” Hera bercerita sambil terkekeh. Mengingat bagaimana keponya mereka terhadap hubungan Nathan dan Lia.
“Bilangin aja udah tidur bersama,” sahut Freya.
Sontak, Lia langsung kaget. “Astaga, Fey. Nanti orang salah paham. Nggak gitu, astaga.”
“Jangan biarin dia nginap lagi. Nanti yang kedua kebablasan.” Felix menimpali.
Sedangkan Nathan yang digosipi malah senyum-senyum tidak jelas. “Lagian mereka kenapa kepo banget, ya.” Nathan menggerutu.
“Namanya juga suka. Lo aja kemarin waktu suka sama Lia, ngikutin Lia terus. Paksa Lia ikut sama lo ke sana kemari. Kayak stalker!” sahut Rendy sarkas.
“Ya udah, nanti kalau misalnya ada lagi yang nanya sama kalian. Jawab aja, mereka pacaran. Biar selesai urusan. Biar nggak ribet lagi.” Nathan memberi solusi.
Solusinya membuat teman-temannya yang lain riuh. Sedangkan Lia hanya mengulas senyum kecil. Dia ingin menyangkal. Tapi memilih diam.
Terkadang, saat Lia sedang sendiri di dalam kamar. Dia kembali mengingat hal-hal yang dia alami setelah sekolah di sini. Dari awal Lia sudah tanamkan pada pikirannya bahwa dia tidak boleh menciptakan suatu hubungan yang nantinya akan menyulitkannya. Seperti sekarang ini.
Lia ingin menjalani satu tahun setengah dengan tenang. Tapi banyak orang yang berhasil mengusik ketenangannya. Mulai dari teman-temannya yaitu Yesha, Haikal, Freya, Hera dan Felix. Mereka seolah mengikat Lia dengan hubungan yang akan sulit dilupakan nantinya. Mereka banyak membantu Lia, membuat Lia tertawa, dan membuat Lia tidak ingin meninggalkan mereka. Bahkan, ada yang sampai membuat perasaannya pada seseorang goyah yaitu Nathan. Dia berhasil menembus pertahanannya yang sebelumnya sangat kuat.
Tapi, sepertinya Lia tetap bertekad untuk kembali ke Inggris. Karena dia punya lebih banyak alasan untuk kembali. Keluarganya, mereka adalah alasan pertama dia ingin segera kembali, dia sudah rindu. Lino juga masuk alasan kenapa dia ingin segera kembali. Mereka sudah lama berjuang bersama-sama. Jadi, Lia tidak akan melupakannya.
“Maaf, Nat. Aku nggak bermaksud jahat. Tapi, aku beneran harus balik. Semoga nanti kamu ketemu cewek yang lebih baik dari aku.” Lia membatin seraya memperhatikan Nathan dalam diam. Memperhatikan Nathan yang sedang membolak-balik buku pelajarannya.
Saat Nathan bersama Elena kemarin, Lia memang merasakan hal yang tidak seharusnya dia rasakan yaitu cemburu. Tapi Lia tidak mengatakannya.
Ketika hari mulai gelap, mereka pulang dan berpisah. Sepanjang perjalanan, Nathan menggenggam tangan Lia. Tidak ada percakapan, sampai Lia heran kenapa Nathan sediam itu.
Nathan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Memikirkan percapakannya dengan Yesha tadi.
Mereka bertemu ketika sama-sama baru keluar dari kamar mandi. Lalu, Nathan menghadang langkah Yesha.
“Lia ada cerita nggak, dia mau lanjut ke mana?”
“Kayaknya balik ke Inggris. Lupa juga gue, apa dia pernah cerita atau nggak. Tapi setahu gue, Lia kayaknya emang mau balik.”
“Hm, iya.” Nathan bergumam pelan lalu melangkah. Tapi..
“Lo mau nyerah gitu aja?” pertanyaan Yesha membuat langkahnya terhenti. Nathan menoleh. “Maksud gue, gue tahu kalau ngerebut pacar orang itu salah. Tapi, gue juga mau Lia tinggal di sini aja. Biar gue nggak pisah sama dia. Lo usaha dong biar Lia punya alasan buat nggak balik.”
Nathan tersenyum tipis. “Udah, gue udah usaha. Gue bilang mau jadi yang kedua, asalkan Lia berlaku adil. Tapi ya, mungkin emang beneran nggak mau sama gue.”
“Iya juga, sih. Gue juga kalau jadi Lia nggak akan semudah itu berpaling. Udah pacaran enam tahun lagi.” Yesha menghela napas pelan. “Ya, tapi lo usaha lagi dong!”
“Nat..” sentuhan Lia pada lengannya membuat Nathan kembali ke alam sadar. Dia langsung mengulas senyum kecil. “Kamu, kok, diem banget dari tadi. Ada masalah?”
Nathan menggeleng. “Bisa nggak, kamu bilang sekarang kalau kamu nggak suka sama aku? Bilang ke aku, kalau kamu nggak mau sama aku.”
Lia mengerutkan alis heran mendengar ucapan Nathan yang tiba-tiba. “Kenapa? Emangnya kenapa aku harus bilang gitu?”
“Supaya aku sadar kalau kita emang nggak bisa bersama. Supaya nggak berat kalau nantinya kamu pergi.”
Lia terdiam. Dia benar-benar bingung dengan situasi ini. Disatu sisi, tekadnya untuk kembali sudah bulat. Disatu sisi, dia benar-benar merasa begitu menyukai Nathan. Mengatakan hal itu akan membuat dia berbohong. Karena nyatanya, Lia menyukai Nathan. Tapi, sepertinya dia memang harus mengatakannya jika ingin kembali.
“Aku..”
Nathan masih diam, memperhatikan Lia yang sedari tadi menunduk. Dia tidak bermaksud membuat Lia bingung. Tapi, Nathan memang ingin mendengar kalimat penolakan dari Lia.
“Harusnya itu nggak susah, dong. Aku tahu kamu emang nggak mau sama aku. Tapi, aku pengen dengar aja kalimat penolakannya.”
Nathan tahu itu berat untuk Lia. Bukan bermaksud memaksa. Hanya saja, Nathan juga ingin melihat, apakah benar Lia tidak punya perasaan untuknya atau hanya pura-pura.
“Ayo ngomong. Ayo bilang. Jangan diem aja.” Lia membatin. Mendoktrin dirinya untuk mengatakan bahwa dia tidak suka Nathan. “Aku.. Aku, aku nggak mau bilang gitu.”
Setelahnya, Lia langsung masuk ke gedung apartemennya. Meninggalkan Nathan yang saat ini tersenyum kecil oleh tingkahnya. Sudah berusaha untuk mengatakannya. Tapi, Lia benar-benar tidak bisa.
“Kalau emang jodoh, ya nanti ketemu lagi.” Nathan bergumam pelan seraya berbalik untuk pulang.
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
©dear2jae
2020.12.26 — Sabtu.
2024.06.17 — Senin. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top