23.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!
*
Ponsel Lia bergetar. Dia menatap sebuah pesan masuk dari Nathan. Yang mengatakan bahwa dia akan menunggu di depan gerbang dan tidak menjemput Lia ke kelas.
Lia bahkan sudah merasa aneh sejak kemarin sore. Apalagi hari ini, Nathan tidak terlihat sama sekali. Maksudnya, Nathan memang sekolah. Tapi, tidak menemui Lia di jam istirahat.
Sungguh, Lia ingin meluruskan satu hal. Dia tidak tahu apa yang terjadi di Inggris dengan Lino. Semenjak masuk Universitas Lino tidak pernah menghubunginya sampai sekarang. Hanya di hari minggu dan itu pun satu atau dua kali. Lia juga tidak mau berprasangka buruk tentangnya.
Begitupun di sini, Lino tidak tahu apa yang terjadi padanya. Tapi itu bukan berarti Lia akan bersikap egois dan berpaling darinya. Ya, walaupun Lia menyukai Nathan. Tapi dia akan berusaha menjaga perasaan Lino. Lia masih akan berjuang untuknya. Biarlah perasaannya menjadi urusannya sendiri.
Mungkin, ini saatnya Lia akan memberitahu Nathan tentang Lino. Lia tidak ingin lagi bersikap egois dengan meberinya harapan. Walaupun Nathan sudah tahu dan sudah bertanya pada Haikal. Tapi Lia harus menjelaskannya sendiri.
“Maaf, lama. Tadi Hera pinjam buku latihanku,” ujar Lia begitu sampai di depan gerbang. Di mana Nathan sedang menunggunya.
Lia masih ingat dengan jelas apa yang dia katakan pada Nathan kemarin. Tapi sekarang saat Lia menatap wajahnya, terdapat luka baru di tulang pipinya.
Sepertinya, ini alasan Nathan tidak menemui Lia hari ini sampai pulang sekolah.
“Temenan sama dia emang ngerepotin,” sahut Nathan tertawa. Sepertinya ingin mengalihkan perhatian dan pembicaraan.
“Ada yang mau aku omongin.”
“Iya, ayo mampir ke cafe itu,” tunjuk Nathan pada cafe yang ada di seberang jalan.
“Nggak usah mampir. Sambil jalan pulang aja.”
“Katanya mau jalan-jalan. Kenapa malah bilang sambil jalan pulang?”
Nathan sebenarnya sadar bahwa Lia kesal padanya karena luka baru yang ada di tulang pipinya. Itu sebabnya dia berusaha mengalihkan perhatian.
“Nggak jadi. Aku lagi nggak enak badan. Mau cepet istirahat.”
“Ayo masuk!”
Nathan menarik tangannya. Ya, seperti biasa si tukang paksa kembali. Sementara Nathan memesan minuman, Lia melihat keluar jendela. Banyak siswa yang berlalu-lalang seperti mereka yang pulang sekolah.
Nathan datang membawa minuman dan langsung duduk di depan Lia. Raut wajah Lia masih tidak bersahabat. Masih masam dan tidak ramah.
“Aku punya pacar.” Lia berujar tegas ketika Nathan sudah duduk.
“Aku tahu,” jawab Nathan santai. Ya, karena memang sudah tahu.
“Aku masih pacaran sama dia sampai sekarang. Udah jalan enam tahun.”
“Woah, hebat!”
“Aku serius!” desis Lia karena Nathan menjawabnya seperti itu. Terdengar seperti ejekan.
Nathan yang semula mendunduk selagi menyeruput minumannya, kini mendongak dan menatap Lia. “Aku juga serius. Aku nggak masalah kamu pacaran sama siapa aja. Selama bukan Felix. Perasaanku nggak akan berubah buat kamu. Tetap suka, tetep mau, tetep sayang.”
“Tapi, aku..”
“Aku nggak paksa kamu buat suka sama aku. Aku pernah bilang, kan, kalah tiap orang punya hak buat suka sama siapa aja. Tapi..” Nathan menjeda kalimatnya kemudian menatap Lia. “Tapi, aku mau jadi yang kedua asalkan kamu berlaku adil.”
Lia pernah mendengar kata-kata bahwa perasaan seseorang mudah berubah seiring berjalannya waktu hingga akhirnya menemukan cinta sejatinya. Perasaan seseorang yang sudah menikah saja bisa berubah hingga menyebabkan perceraian. Apalagi dia yang masih anak SMA.
Berniat ingin meluruskan soal perasaannya pada Nathan. Nathan malah membuatnya semakin menyukainya. Lia ingin menyudahi perasaannya pada Nathan. Tapi juga bilang ingin jadi yang kedua. Seolah Nathan tidak membiarkannya lepas.
“Astaga! Ngapain bilang gitu. Ngapain mau jadi yang kedua. Aku nggak mau jadiin kamu yang kedua!” sergah Lia. Nathan hanya menanggapinya dengan kekehan.
“Kalau gitu jadi yang pertama.”
“Nat..”
“Hm?”
Lia menunduk sejenak. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana dengan Lino yang sudah bersamanya sejak lama. Lia tidak mungkin meninggalkannya. Saat lulus nanti Lia akan kembali dan itu artinya hubungannya dengan Nathan akan berakhir. Lia harus bijak mengambil keputusan.
Terkadang, ada hal yang tidak akan berjalan sesuai dengan keinginan. Dan saat itulah, Lia harus bijak mengambil keputusan agar nantinya dia tidak menyesal.
Tapi saat ini, hatinya benar-benar terombang-ambing. Sungguh, pilihan yang sulit. Antara Lino yang sudah bersamanya sejak dulu atau Nathan yang saat ini ada di dekatnya.
“Semalem, lukamu yang itu nggak ada. Kenapa sekarang ada?” tanya Lia. Untuk mengalihkan pembicaraan.
“Ayo jalan. Mau jalan-jalan, kan?” Nathan lebih dulu beranjak dan berjalan keluar dari cafe. Dia pun sedang mengalihkan pembicaraan.
“Nggak jadi. Aku mau pulang aja. Nggak usah antar, nggak apa-apa.” Lia berjalan mendahului Nathan. Lia mendengar dengan jelas helaan napasnya.
Nathan menarik tangan Lia dan membuatnya berhenti. “Aku dipukul!”
“Oh, iya. Jangan lupa obatin nanti kalau kamu sampai rumah.” Lia kemudian melanjutkan langkahnya sambil berjalan beriringan dengan Nathan.
Jika dilihat-lihat, Nathan tinggi sekali. Proporsi badannya juga sangat bagus. Bahunya lebar, bisa dijadikan tempat sandaran. Lia bahkan sempat tertegun melihatnya.
“Sebenernya, kemarin aku, Javi, sama Rendy ketemu sama Heru. Tapi sumpah, dia yang pukul aku duluan. Bukan aku yang mulai. Kalau nggak percaya, kamu tanya Javi atau Rendy.”
“Iya, nggak apa-apa. Aku cuma nanya aja dan ingetin buat obatin. Dan juga, jangan janji-janji lagi kalau belum bisa ditepatin.”
Nathan menghela napas pelan. “Ya udah, jadi mau ke mana?”
“Pulang.”
“Tuh, kan, masih marah.”
“Astaga, aku nggak marah. Aku emang mau pulang aja. Jalan-jalannya lain kali.”
Nathan berdecak sebal. Dia kemudian menautkan jari-jemarinya pada jari-jemari Lia. Mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. Menikmati suasana malam hari.
Lia tidak menolak dengan tindakan Nathan. Dia membiarkan Nathan menggenggam tangannya. Ternyata, banyak sekali perbedaan yang terasa saat bersama Lino dan Nathan.
“Kalau gitu, aku main ke apartmu aja. Kamu, kan, nggak mau jalan-jalan. Jadi, kencannya di apart kamu aja,” ujar Nathan dengan cengirannya.
“Kalau nggak boleh?”
“Hm, mungkin aku hubungi Felix. Terus ngajak dia ketemu lagi sama Heru dan Hugo.”
“Mulai!”
Nathan tertawa kecil melihat ekspresi Lia. Mereka akhirnya sampai di gedung tempat tinggal Lia. Kemudian masuk dan sampai di depan unit Lia.
Mata Nathan menelisik ke sana kemari setelah berhasil masuk. Menatap setiap sudut apartemen Lia. Lalu menatap bingkai foto kecil dekat televisi.
“Itu fotoku waktu masih kecil!” sahut Lia dari arah dapur karena melihat Nathan terus memperhatikan foto itu. Dia membawa air putih dan meletakkannya di atas meja.
“Cantik. Dari kecil aja udah cantik.” Nathan bergumam yang didengar oleh Lia. “Kenapa kamu nggak sekolah di sini aja dari dulu? Kenapa harus di luar negeri?”
“Aku, kan, ikut ayahku.”
“Sayang banget nggak ketemu kamu dari dulu. Ketemunya malah sekarang dan kamu udah ada yang punya.”
Lia hanya tersenyum kecil. Dia kemudian masuk ke kamar untuk mengganti baju tanpa menjawab ucapan Nathan. Tapi, Lia sempat melirik Nathan yang membuka baju seragamnya dan hanya menyisakan kaos putih polos. Ya Tuhan, apa dia berniat membuat Lia pingsan sekarang?
Setelah berganti baju, Lia keluar dan duduk di sofa seberang. Menonton televisi bersama Nathan.
“Kamu ada PR, nggak?” tanya Lia.
“Ada. Tapi, nanti aja nyontek sama Haikal.”
“Mana bukunya? Aku kerjain. Aku lagi nggak ada PR soalnya. Bosen juga nggak ada yang dikerjain.”
Nathan menggeleng. “Tadi diajakin jalan-jalan malah nggak mau. Sekarang bilangnya bosen!” desis Nathan dan beralih duduk di dekat Lia.
“Jangan macem-macem!” Lia mendorong pelan bahu Nathan.
“Nggak, kok. Aku cuma mau duduk deket kamu aja.” Nathan menyandarkan kepalanya di pundak Lia. “Sebenarnya, aku nggak nakal, dulu. Cuma ada insiden waktu SMP yang bikin aku jadi nakal gini. Dulu, aku sering dibully, diperas sama kakak kelas, ditindas. Makanya aku ngebales perbuatan mereka dan sekarang nggak mau lagi jadi orang yang diem aja kalau dijahatin.”
Lia diam mendengar cerita Nathan. Memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan, Nathan perlahan menggenggam tangan Lia dan mengelusnya pelan.
“Ayah nggak pernah marahin aku. Tapi, aku sadar diri. Maksudku, aku nggak pernah cari masalah duluan dan aku nggak akan jahat kalau nggak dijahatin. Aku nggak mau diem dan nggak ngelawan kalau dipukul. Luka emang sakit. Tapi, nggak apa-apa, selama aku juga bikin mereka rasain hal yang sama. Biar imbang.”
“Ya udah. Sekarang stop kelahi. Kemarin kamu yang duluan pukul Hugo sama Heru.”
“Karena mereka cari masalah. Apa maksudnya coba, ngadu domba aku sama Felix.” Nathan masih saja geram mengingatnya.
Lia tidak menimpali lagi. Dia membiarkan Nathan tetap pada posisinya. Saking asiknya nonton, Lia tidak sadar kalau Nathan tertidur. Lia jadi tidak tega kalau harus bergerak. Takut akan membangungkan Nathan.
Lia ngantuk. Sudah pukul sebelas malam tapi dia tidak enak membangunkan Nathan. Dia terlihat sangat nyenyak. Hingga Lia juga ketiduran.
Saat Lia bangun dan membuka mata, dia menatap Nathan yang sedang duduk di lantai. Posisi Lia bahkan sudah berbaring di sofa. Televisi sudah dimatikan begitupun dengan lampu. Hanya ada cahaya dari lampu dapur. Lia melirik jam dinding, pukul dua pagi. Sontak, Lia langsung duduk.
“Kapan bangun? Astaga, maaf, aku juga ketiduran.” Lia mengusap wajahnya.
“Maaf karena aku ketiduran. Kamu jadi nggak bisa gerak dan ikut tidur. Pindah ke kamar sana. Aku pulang,” ujar Nathan dengan suara seraknya.
Nathan beranjak tapi Lia menarik tangannya hingga dia terduduk lagi. “Ini jam dua pagi, Nat. Bentar lagi matahari terbit. Tidur di sini aja, besok minggu. Jalanan sepi.”
Seketika, Lia merutuk dalam hati atas apa yang dia katakan tadi.
“Eh, aku nggak ada maksud apa-apa. Cuma ngasih solusi aja. Iya. Kamu di sofa sini. Aku di dalem. Gitu.”
Lia merutuki dirinya yang sejak tadi bicara tidak jelas. Sedangkan Nathan sudah senyum-senyum sendiri mendengar omongannya yang ngelantur.
“Lucu..” gumam Nathan. Lia menunduk malu. “Yakin ngasih solusi kayak gitu? Di sini cuma ada aku sama kamu. Berdua. Yakin?”
Lia sedikit termangu saat mendengar betapa rendahnya suara Nathan. Hampir saja kesadarannya hilang.
“Aku yakin kamu bukan cowok brengsek yang akan macem-macem sama cewek. Walaupun kamu emang brengsek dalam hal kelahi.”
Walaupun di ruang tamu gelap. Tapi cahaya dari arah dapur sedikit menerangi. Lia melihat dengan jelas kalau Nathan mengulas senyum kecil.
Sorot mata Nathan tiba-tiba berubah, dia semakin memajukan wajahnya hingga deru napasnya bisa Lia rasakan. Seketika, napas Lia tercekat. Sialnya, tidak ada space lagi kalau Lia mundur.
“Nat..” lirih Lia sambil memegang lengan Nathan.
“Hm?”
Maju sedikit lagi maka bibir mereka akan bersentuhan. Karena Nathan sedekat itu dengan Lia saat ini.
Tangan kiri Nathan bertumpu pada sofa sedangkan tangannya kanannya kini memegang tengkuk Lia dan mencium bibir Lia lembut. Hanya kecupan biasa dan Nathan langsung berhenti. Tapi mereka masih dalam posisi seperti tadi. Sontak, tubuh Lia langsung menegang.
Jika pencahayaannya terang maka sudah pasti Nathan meliat pipi Lia yang saat ini memerah. Lia menunduk malu, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat saat ini. Rasanya seperti ingin meledak.
Nathan kembali memajukan wajahnya dengan pelan. Dia kira Lia akan menolak tapi ternyata Lia lebih dulu memejamkan matanya. Dan ya, Nathan langsung mencium Lia. Kali ini lebih dalam dari sebelumnya.
Nathan mendorong pelan bahu Lia hingga Lia berbaring dan bersandar di sandaran sofa. Tangan kiri dan kanannya dia jadikan tumpuan agar tidak menindih tubuh Lia.
Idealnya, orang berciuman itu selama 12 detik (cr.google). Tapi mereka saat ini sudah berciuman selama hampir 40 detik. Hingga akhirnya Lia menepuk-nepuk bahu Nathan.
Nathan berhenti dan menatap Lia yang sedang berusaha menormalkan napasnya. Nathan tersenyum kecil melihatnya. Dia hendak mencium Lia lagi tapi Lia menahan bahunya.
“Udah berapa orang yang kamu cium sebelum aku?” tanya Lia. Masih menormalkan deru napasnya.
“Kenapa?”
“Pro banget. Aku aja udah nggak bisa napas. Tapi, kamu keliatan baik-baik aja.”
Kali ini, Nathan tertawa mendengar kalimat Lia. “Kalau aku bilang nggak ada. Kamu percaya?”
“Nggak!” jawab Lia cepat yang lagi-lagi membuat Nathan tertawa.
“You’re the first, Grizellia. I swear.”
Setelah perbincangan kecil itu, Nathan kembali menundukkan kepalanya untuk mendaratkan ciumannya lagi. Tapi Lia masih menahan bahunya. Lia saja masih berusaha deru napasnya.
Tidak peduli akan tindakan Lia, Nathan menyingkirkan tangan Lia dengan tangan kirinya dan menggenggamnya erat lalu mencium Lia lagi.
Pertahanan Lia runtuh malam ini. Jika ini sudah dikategorikan sebagai selingkuh. Maka, biarkan saja. Lia benar-benar dibuat mabuk oleh Nathan.
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
©dear2jae
2020.12.25 — Jumat.
2024.06.11 — Selasa. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top