16.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!

*

Ada yang berubah, Nathan yang biasanya duduk di bangku depan kelasnya setiap pagi sekarang tidak terlihat. Biasanya Nathan menyapa Lia saat Lia lewat kelasnya. Tapi, sekarang tidak ada lagi. Biasanya dia juga mengirimi Lia pesan selamat pagi tapi tadi pagi tidak ada. Sungguh, Lia sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia diskors karena kejadian itu? Lia benar-benar penasaran.

“Lia, Lia, cepet duduk. Ada yang mau gue tanyain!” Yesha heboh saat Lia baru masuk kelas. Lia heran kenapa Yesha sudah seheboh ini pagi-pagi.

“Nanya apa?”

“Gimana hubungan lo sama Nathan?” tanya Yesha sambil berbisik. Suaranya sangat kecil hingga semut saja tidak akan mendengarnya.

Lia mengerenyit heran. “Maksud lo?”

“Tadi, Nathan dateng sama Elena. Terus, anak-anak pada gosip, katanya mereka pacaran. Soalnya Elena bilang mereka pacaran,” jelas Yesha.

Lia terdiam sejenak. Apa itu alasannya menjauhi Lia? Jika iya, ya sudah, Lia tidak punya hak untuk marah. Nathan bebas dekat dengan siapa saja.

“Kita nggak ada hubungan apa-apa. Jadi terserah dia mau deket sama siapa aja. Itu haknya.”

Bicara tentang hak, Nathan selalu menekankan hal itu. Jadi, Lia harus menghormatinya.

“Brengsek banget emang. Dari awal deketin lo, kenapa sekarang pacarannya sama orang lain.” Yesha menggerutu. Lia tidak berkomentar apa-apa lagi.

Jam istirahat tiba. Seperti biasa Lia, Yesha dan Haikal pergi ke kantin untuk makan. Di sana, Lia melihat Nathan dan teman-temannya sedang bersama Mira dan Elena. Nathan juga terlihat sangat ceria. Seperti tidak ada masalah dengan insiden tempo hari. Plester masih menempel di wajahnya. Lia harap Nathan tidak lupa menggantinya.

Setelah mengambil makan, mereka duduk dan menyantap makan siang. Ibu mengirimi Lia pesan, katanya dia mau berangkat. Lia sudah minta maaf pada ibu dan ingin mengantarnya. Tapi Lia harus sekolah, ibu bilang tidak apa-apa, jadi Lia bisa tenang. Tadi malam Lia juga sudah pindah ke apartemen. Sudah tidak lagi hidup di lingkungan itu. Jadi, Lia tidak akan bertemu dengan Nathan lagi. Lia rasa itu lebih baik. Tadinya Lia berniat memberitahu Nathan kalau dia pindah tapi ponselnya tidak aktif. Hari ini pun rencananya mau memberitahu. Tapi ternyata, ya sudahlah.

Lia heran, kenapa dia selalu ingin ke toilet kalau sudah makan. Apa mungkin karena terlalu banyak minum. Saat di toilet Lia menatap seseorang yang ada di sampingnya. Lia membaca name tagnya yang bertuliskan Freya. Inikah mantan kekasih Haikal? Pikirnya.

Sebenarnya Lia mau menceramahinya. Tapi sudahlah, Lia tidak akan ikut campur urusan orang lain lagi. Lia keluar sedangkan dia masih mencuci tangannya.

“Lia..”

Lia menoleh ketika mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata Nathan. Lia tersenyum seperti biasa, tapi dia menatap Lia tanpa ekspresi.

Ke mana senyuman maut itu? Lia memang membenci senyuman mautnya karena tidak baik untuk jantung. Tapi saat ini Lia merindukan senyuman itu.

“Ada yang mau gue omongin,” ujar Nathan pelan. Lia sempat terkesiap kaget mendengar panggilang yang semula, aku, berubah lagi menjadi, gue.

Tapi, Lia belum menimpali. Dia mengikuti langkah Nathan ke atap sekolah. Pemandangannya indah, Lia baru pertama kali ke sini.

“Berenti ikut campur urusan gue!” desis Nathan dengan sorot mata yang dingin.

Lia membeku. “Maksudmu?”

“Urusan gue sama Eric. Berenti ikut campur, gue nggak suka. Jangan sok tahu tentang masalah gue sama dia mentang-mentang gue udah ngasih tahu lo semuanya.” Nathan mencercanya dengan kalimat yang terkesan menusuk.

Kalian tahu rasanya saat luka terkena air cuka? Seperti itulah rasanya hati Lia saat ini. Pedih. Lia mengerejapkan matanya. Otaknya tiba-tiba blank.

“Aku..”

“Gue nggak suka ada orang yang ikut campur urusan gue!” desis Nathan lagi dan berbalik.

Lia masih tertegun mendengar bagaimana dinginnya nada bicara Nathan padanya. “Harusnya kamu juga nggak ngasih tahu aku kemarin tentang semua masalahmu. Harusnya kamu nggak cerita, supaya aku juga nggak khawatir.”

Langkah Nathan terhenti mendengar ucapan Lia. Awalnya Lia ingin membiarkan Nathan pergi begitu saja. Tapi, Lia tidak ingin jadi lemah lagi. Kalau memang ini akhir dari perkenalannya dengan Nathan. Ya sudah, biarkan saja.

Nathan mengembuskan napas kasar dan mengusap wajahnya. Ketika Lia mendekatinya lagi dan berdiri di depannya. “Aku minta maaf kalau kamu ngerasa aku ikut campur. Aku minta maaf karena tindakanku buat kamu jadi kesel gini. Maaf, karena aku udah ikut campur padahal aku bukan siapa-siapa.” Lia menekankan kalimatnya dan lebih dulu meninggalkan Nathan.

Ke mana perginya sosok Nathan yang perhatian padanya. Ke mana perginya sosok Nathan yang mengatakan akan melindunginya jika ada yang berbuat jahat. Oh Tuhan.

Sebelum turun, Lia sempat berbalik lagi dan menatap Nathan dengan mata sendu. “Jadi, itu alasanmu ngejauh karena nggak suka aku ikut campur. Iya, aku ngerti. Aku cuma khawatir setelah denger ancaman dari guru. Maaf, kalau yang aku lakuin ini kelewatan. Aku tahu, kita nggak ada hubungan apa-apa. Tapi, karena kemarin liat perkelahian itu, aku bener-bener khawatir.”

Setelahnya, Lia langsung pergi.

“Ternyata pacar lo perhatian juga, ya. Dia sampai ngejar gue dan bilang berenti kelahi sama Nathan.” Eric terkekeh. Nathan menatap Eric yang berdiri di depannya dengan angkuh.

“Jangan peduliin dia. Dia nggak ada sangkut pautnya sama masalah kita. Jadi, tolong berenti ganggu dia. Lagian, dia bukan pacar gue.”

Tidak ada perkelahian malam itu di antara mereka. Mereka hanya kebetulan bertemu.

Lia kembali ke kelas dengan tatapan kosong sepanjang perjalanan. Ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Nathan terlihat sangat marah hingga Lia sedikit merasa takut.

Moodnya benar-benar buruk hari ini. Entah kenapa Lia malah merasa kecewa.

“Satu orang lagi. Kita cuma bertiga,” ujar Yesha. Mata pelajaran matematika hari ini harus berkelompok. Ada dua lembar soal yang harus dikerjakan.

“Go, ayo gabung sama kita!” sahut Lia. Hugo mengangguk dan segera bergabung dengan mereka.

“Kenapa dia?” protes Yesha sambil berkacak pinggang.

“Hugo suka ngajak temennya buat gabung kalau misalnya nanti jadi PR.” Haikal sedikit berbisik.

Lia tersenyum kikuk. Dia baru sadar kalau Yesha dan Heru sudah putus.

“E-eh, bagus dong. Jadi, ramai nanti.” Lia berusaha mencairkan suasana. Sudah terlanjur juga mengajak Hugo untuk bergabung.

Yesha menyenggol lengan Lia saat mereka menunggu bus untuk pulang. Lia mengikuti arah pandang Yesha dan melihat Nathan yang akan pulang bersama Elena. Mereka lewat di depan Lia dan Yesha.

Lia hanya mengulas senyum tipis sebagai tanggapan.

Mereka sampai di apartemen Lia. Haikal langsung ke toilet sedangkan Yesha langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Lia segera mengganti baju dan menyiapkan minuman untuk mereka. Untung saja kulkas sudah penuh. Hugo nanti akan menyusul.

“Gue emang nggak yakin apa nanti Hugo akan ngajak Heru. Tapi kalau emang ikut, gue nggak apa-apa, sih. Biasa aja.” Yesha bermonolog sendiri di sofa. “Sial banget. Javi masih aja keliaran di otak gue.”

“Kalau masih suka, bilang aja suka. Gengsian banget,” sahut Haikal yang baru keluar dari kamar mandi. Lia hanya tersenyum kecil melihat mereka.

“Ya, ini, kan, gue udah jujur sama kalian. Javi juga kenapa tiba-tiba baik lagi.”

Bel berbunyi, Yesha sontak bangun dan berlari menuju pintu. Dia melihat di monitor siapa saja yang datang. Dia kemudian kembali sambil tersenyum kecut. Pasti ada Heru.

“Heru ikut walaupun tahu lo ada. Itu artinya, dia nggak menghindar. Kayaknya masih punya sisa rasa,” sahut Lia dengan kekehan seraya berjalan menuju pintu untuk membukanya. “Masuk, guys!”

Ada Hugo, Heru, dan juga Felix.

“Woah, ramai!” seru Felix dan beranjak duduk. Dia meraih remote televisi dan menyalakannya.

“Ngapain lo ikut? Lo bukan siswa SMA kita lagi!” sindir Yesha pada Felix. Dia hanya sedang mencari topik lain supaya tidak canggung dengan Heru.

“Yang punya rumah aja nggak ngomong apa-apa. Ngapain lo yang sewot banyak omong?” sahut Felix dengan wajah mengejek.

Yesha benar-benar tidak terdistraksi sama sekali dengan kehadiran Heru. Sepertinya Javi adalah pemenang.

“Ayo mulai. Biar cepat selesai!” sahut Haikal yang sepertinya tidak tahan dengan geng itu.

Mereka mulai mengerjakan tugas, sambil sesekali bercanda. Felix dan Heru sedang asik nonton tekevisi.

“Bukannya kemarin lo tinggal sama nyokap lo?” tanya Yesha.

“Ibu udah balik. Gue diem aja di sini soalnya sayang satu tahun lagi lulus. Capek bolak-balik masuk SMA. Nanti aja kalau udah lulus, baru gue balik.”

Sebenarnya Lia tidak mau memberitahu mereka bahwa dia akan kembali setelah lulus. Karena Lia kira hubungan pertemanan mereka tidak akan sedekat ini. Tapi mereka sudah berhasil membuat Lia menganggap mereka sangat berarti. Jadi, Lia pikir harus memberitahu mereka yang sebenarnya. Supaya kalau berpisah nanti tidak terlalu sedih.

“Lo mau kuliah di sana?” tanya Haikal dan Lia mengangguk kecil.

“Kenapa gue malah sedih,” sahut Yesha.

“Masih lama. Satu tahun lagi,” ujar Lia untuk menghibur. “Oh ya, kalian mau minum apa?” tanya Lia berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Apa aja yang ada. Jangan repotin diri. Mereka juga bukan tamu spesial.” Felix menimpali.

“Okay..”

“Bukannya Nathan suka sama lo, ya? Dari tadi mau nanya tapi lupa aja.” Hugo nyeletuk tiba-tiba. “Gue pernah liat kalian pulang bareng kemarin.”

Pertanyaan Hugo sukses membuat raut wajah Felix berubah masam. Dia menatap Lia lama, menunggu jawabannya. Sampai Lia salah tingkah sendiri karena Felix tidak mau mengalihkan perhatiannya.

“E-eh, nggak, kok. Kita temenan aja.” Lia menjawab kikuk.

Hari sudah mulai sore, mereka akhirnya pamit pulang. Lia sedikit bernapas lega karena Yesha yang mengajak mereka pulang. Yesha menyelamatkannya dari situasi canggung karena pertanyaan Hugo.

Tapi, ada yang aneh dari sikap Felix. Dia terlihat jadi diam padahal sebelumnya dia yang paling ribut dan mengganggu mereka yang sedang mengerjakan tugas.

“Hati-hati pulangnya.” Lia melambaikan tangan saat mengantar mereka sampai lobi.

“Kenapa nggak ngasih tahu gue kalau lo sama Nathan lagi deket? Kalau tahu, gue nggak akan gangguin lo.” Felix yang sudah berjalan duluan tiba-tiba berbalik dan kembali menghampiri Lia.

Lia mengerejapkan matanya sejenak. “Nggak, kok. Gue, kan, udah bilang tadi kalau kita cuma temen. Temen kayak gue sama Yesha dan Haikal.”

Felix hanya menganggukkan kepalanya. Dia kemudian pergi tanpa mengucapkan sepatah kata dan tanpa melihat ke belakang lagi.

Semuanya jadi rumit. Padahal, Lia ingin sekolah dengan tenang. Lia tidak berniat terlibat dalam hubungan yang memusingkan.

Tapi, semua sudah terjadi.

**

FIKSI GUYS. FIKSI.

©dear2jae
2020.11.17 — Selasa.
2024.05.09 — Kamis. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top