15.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!

*

Nathan berbisik pada ayahnya dan permisi keluar untuk membuka pesan masuk sekalian mau menghirup udara segar karena sudah terasa sesak berada di dalam ruangan selama berjam-jam.

Saat sampai di luar, Nathan menatap pesan yang dikirim oleh nomor yang tidak dia tahu. Tangannya perlahan membuka pesan itu dan menatap dua buah foto. Matanya memicing ketika menatap siapa yang ada di foto itu. Nathan menatapnya lama tanpa berniat membalas pesan itu. Dia kemudian memilih untuk menonaktifkan ponselnya dan kembali masuk.

Hari menjelang sore ketika acara itu akhirnya selesai. Jika bukan karena dipaksa ayahnya, dia juga enggan duduk berjam-jam seperti ini.

“Mau mampir makan atau langsung pulang?” tanya Agung ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang.

“Pulang aja. Aku capek. Mau tidur.” Nathan menjawab tanpa menatap ayahnya. Dia asik memandang jalanan yang padat oleh kendaraan itu. Entah apa yang dia pikirkan yang pasti pikirannya melayang kemana-mana.

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam. Mereka akhirnya tiba di rumah. Betapa terkejutnya Nathan ketika melihat Mark, Rendy dan Javi sedang tidur terlelap di bangku yang ada pada halaman depan rumahnya. Nathan keluar dari mobil dan berjalan menghampiri mereka.

“Kenapa nggak ngasih tahu Ayah kalau mereka mau datang? Kalau tahu, kita belikan makanan tadi.”

“Aku juga nggak tahu mereka mau datang.”

Javi perlahan membuka matanya ketika mendengar perbincangan kecil Nathan dengan ayahnya. Dia kemudian duduk sambil mengucek matanya.

“Hp lo kenapa nggak aktif? Kayaknya udah ratusan kali kita telepon.” Javi berdecak sebal.

“Hp gue mati.” Nathan cengengesan dan ikut mengajak teman-temannya masuk. Nathan hanya mengucap asal kalau ponselnya mati. Memang mati karena sengaja dimatikan bukan karena kehabisan batre.

Tanpa perlu membeli makanan pun di dalam kulkas dan lemari dapur sudah banyak makanan. Nathan hanya perlu mengeluarkannya dan memberi teman-temannya. Dia kemudian masuk ke kamar untuk berganti pakaian dan melempar ponselnya ke sembarang arah di atas ranjang. Membiarkan benda persegi empat itu tergeletak tanpa dihidupkan. Setelah mengganti baju dia keluar.

“Lukanya udah mendingan?” tanya Rendy saat melihat Nathan melepas beberapa plester yang menempel.

Nathan hanya bergumam dan mengobati sisa lukanya. Setelah selesai dia bergabung bersama Mark, Rendy dan Javi yang sudah mulai bermain game.

*

Lia menatap pesan masuknya yang masih kosong. Biasanya Nathan selalu mengiriminya pesan ucapan selamat pagi. Tapi dari kemarin setelah pulang sekolah, Nathan tidak menghubunginya. Lia semakin khawatir kalau dia benar-benar sakit. Malah Felix yang mengiriminya pesan. Dia mengajak Lia bertemu, untuk bermain karena sedang tanggal merah.

Lia mencoba menghubungi nomor ponsel Nathan tapi tidak ada jawaban. Lia menghubunginya sampai lima kali tapi tetap saja tidak ada jawaban. Lia heran, sejak kapan dia jadi menunggu pesan dari Nathan begini. Sepertinya Lia gila.

Tapi sungguh, Lia khawatir Nathan kenapa-kenapa.

“Sayang, Ibu mau ngomong,” ujar ibu tiba-tiba membuka pintu kamar Lia dengan wajah serius. Lia hanya diam dan beranjak lalu mengikuti ibunya ke ruang tengah.

“Ibu..” wanita itu mengambil jeda pada kalimatnya dan menatap Lia. Suasananya tiba-tiba muram, hingga Lia heran. “Ibu dipanggil buat kerja di rumah sakit yang Ibu mau itu.”

Seketika Lia terdiam. Dia tidak tahu mau bereaksi seperti apa. Lia tidak pernah membayangkan hidupnya akan serumit ini. Maksudnya, Lia berpindah ke sana kemari. Harus bersosialisasi dengan lingkungan baru. Coba pikir, siapa yang tidak frustasi.

Ini baru enam bulan sejak mereka pindah, enam bulan. Sekarang ibu bilang mau kembali ke Inggris. Walaupun ibu belum mengatakan mau kembali tapi Lia tahu ibu pasti kembali. Karena itu adalah rumah sakit impian ibu sejak dulu.

Lia senang, bahkan sangat senang. Tapi Lia juga kesal, kenapa tidak menunggu sebentar saja di Inggris kalau seperti ini.

“Ibu minta maaf, sayang. Ibu nggak bermaksud buat kamu ngalami hal kayak gini. Tapi, Ibu beneran harus balik.” Ibu sepertinya menyadari perubahan raut wajah Lia.

Lia masih diam. Sungguh, Lia benci ibu. Dia berdiri dan meninggalkan ibu sendirian di ruang tamu. Tanpa pikir panjang Lia langsung keluar. Dia tidak mau berdiam diri dengan pikiran kalut yang akan berakibat keluarnya kalimat menyakitkan untuk ibu nantinya.

Lia merasa bersalah sudah mengabaikan ucapan ibu. Tapi dia butuh waktu untuk memikirkan masalah ini. Apa dia harus pindah lagi ataukah tetap di sini sampai lulus SMA dan kembali.

Lia sempat berpikir untuk membalas pesan Felix dan mengiakan ajakannya. Tapi, dia memilih untuk tidak membalasnya dan berjalan keluar gerbang rumahnya dengan pelan. Tatapannya tertuju pada ujung jalan yang tidak terlihat. Karena, Nathan pernah bilang bahwa rumahnya ada di sana.

Dengan langkah pelan, Lia menelusuri jalan itu. Sambil sesekali menatap ponselnya. Melihat apakah ada pesan dari Nathan. Sayangnya, tetap tidak ada.

“Gue kenapa?” gumam Lia pelan sambil terus menelusuri jalan itu.

Sedikit lagi dia sampai di rumah terakhir yang ada di ujung jalan. Yang artinya, itu adalah rumah Nathan.

Ketika langkahnya sampai di sana, Lia melihat rumahnya sepi. “Apa dia pergi main sama temennya?” gumam Lia lagi. Masih dengan posisi berdiri di depan rumah Nathan.

Lia mondar-mandir di sana. Sambil sesekali melihat ponselnya. Berpikir apakah dia akan menghubungi Nathan lagi atau tidak.

Cukup lama Lia di sana, mungkin tiga puluh menit. Pada akhirnya, Lia memilih kembali ke rumahnya. Tapi dengan jalan mengelilingi komplek. Dia masih berpikir apakah harus ikut ibu kembali atau menyelesaikan sekolahnya di sini.

Sesampainya di rumah, Lia mendapati ibu sedang bersih-bersih. Dia masuk lalu duduk dan menyalakan televisi. Menunggu ibu selesai bersih-bersih dan mengatakan apa yang harus dia katakan. Dari awal Lia memang sudah mendapatkan jawabannya. Tapi dia mau memperlihatkan pada ibu kalau dia sedikit kesal.

Ibu selesai dan duduk di dekat Lia. Televisinya dimatikan supaya pembicaraan mereka lancar, tidak terhalang suara televisi.

“Aku nggak akan ikut. Aku mau selesein sekolahku di sini.”

Alasan kenapa Lia bisa mengambil keputusan itu karena dia benar-benar lelah harus berpindah ke sana kemari. Lia bukan orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Lia memang akan kembali ke sekolah lamanya jika dia ikut kembali bersama ibu. Tapi pelajarannya pasti akan sangat berbeda, dan lagi dia akan naik kelas tiga. Lia tidak mau terlalu stress belajar di sana. Jadi, Lia akan menyelesaikan SMAnya di sini dan kuliah di sana nantinya.

Sungguh, tidak ada alasan lain. Jika kalian pikir Lia tidak mau kembali padahal di awal dia tidak mau datang ke sini karena Nathan, maka itu salah. Lino juga sedang menunggunya di sana. Jadi untuk apa Lia pikir panjang saat ibu bilang mau kembali. Murni karena Lia lelah harus ke sana kemari.

“Bentar lagi naik kelas. Jadi, aku mau sekolah di sini aja. Nanti lulus baru aku balik buat kuliah.”

“Tapi, kamu tinggal di sini sama siapa?” tanya ibu dengan wajah khawatirnya.

“Sendiri. Emang mau sama siapa? Aku mau pindah ke apartemen aja. Rumah ini besar banget kalau cuma sendiri. Ibu nggak usah khawatir. Anggap aja aku belajar mandiri.” Lia menjelaskan.

“Kalau itu keputusanmu, Ibu nggak akan maksa. Nanti biar Ibu yang ngomong sama ayahmu.”

Lia mengangguk dan beranjak masuk ke kamarnya. Ada tugas yang harus dia selesaikan. Baginya, percakapan juga sudah selesai.

Lia melempar pulpennya ke sembarang arah. Entah kenapa dia merasa gelisah. Gelisah karena Nathan tidak pernah menghubunginya lagi. Apakah dia sudah masuk salah satu alasan Lia tidak mau kembali, tapi Lia tidak menyadarinya? Atau mungkinkah Lia menyangkal alasan itu?

Tidak, tidak.

Lia mengerang frustasi karena Nathan masih belum bisa di hubungi. Sampai dia mempertanyakan, dirinya kenapa?

Akhir-akhir ini, Lia tidak pernah mempertanyakan lebih lanjut kenapa Lino jarang menghubunginya. Dia juga tidak terlalu khawatir saat dia jarang mengiriminya pesan.

Apa mungkin Nathan sudah berhasil mengusik hatinya dan menggoyahkan pertahanannya? Tapi Lia tidak menyadarinya dan malah menyangkalnya. Apa mungkin seperti itu?

Stop, Grizellia, sadar! Ini cuma perasaan sesaat yang muncul karena lo nyaman sama dia. Kalau nanti balik, semuanya akan selesai. Lo akan ninggalin semua rasa nggak jelas ini. Kalau udah ketemu temen lama dan ketemu sama Lino, semuanya akan lenyap dalam sekejap mata. Please, bertahan satu tahun lagi!”

Lia mendoktrin dirinya supaya tidak goyah.

*

Ketika sore menjelang, Nathan pulang setelah seharian bermain dengan Javi dan Rendy. Dia menghela napas lirih dan merebahkan tubuhnya di sofa.

“Tadi kayaknya ada yang cari kamu,” celetukan ayahnya membuat Nathan memberikan atensi padanya. “Cewek. Mondar-mandir depan gerbang sambil liat sini.”

Pikiran Nathan langsung tertuju pada Lia. Dia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto pada ayahnya. “Ini?” tanyanya.

Agung langsung mengangguk. “Pacarmu?”

“Bukan.”

**

FIKSI GUYS. FIKSI.

©dear2jae
2020.11.03 — Selasa.
2024.05.06 — Senin. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top