13.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!

*

“Yang tadi malam itu, bener temenmu? Maksud Ibu, kalian kayaknya dekat.” Ibu tiba-tiba bertanya saat Lia sedang mengikat tali sepatunya. “Terus, hubungan kamu sama Lino, gimana? Masih saling ngasih kabar?”

Lia tahu apa yang dipikirkan oleh ibu. Sepertinya ibu kira Lia punya hubungan khusus dengan Nathan. Itu sebabnya dia bertanya tentang Lino juga. Pacaran dengan Lino sejak lama membuat ibu jadi tahu bagaimana perkembangan hubungan Lia dengannya. Karena Lino sering datang ke rumah untuk bermain dengan Jamal.

“Temenku, Bu. Kalau Lino, dia lagi sibuk siapin ujian masuk universitas. Makanya jarang hubungi.”

Setelah selesai mengikat tali sepatunya, ada satu pesan masuk dari Nathan yang katanya sudah menunggu di depan. Lia segera pamit pada ibu dan menghampiri Nathan yang sudah menunggu di luar.

Senyum maut Nathan menyambutnya ketika dia baru saja membuka gerbang. Senyum yang sangat tidak baik untuk kesehatan hati. Senyum indah yang hanya diberikan padanya.

“Plesternya udah kamu ganti?”

“Udah. Semalem udah aku buka karena mau tidur. Tadi udah pakai yang baru.”

“Kamu nggak keberatan sama semua ini? Maksudku, aku yang sering dateng ke sekolah dengan keadaan nggak baik. Aku yang nggak terlalu mementingkan pelajaran. Apalagi semalem kamu liat sendiri gimana aku kelahi sama Eric.”

Nathan yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah serius saat menatap Lia dan bertanya seperti itu. Lia juga kaget kenapa Nathan tiba-tiba bertanya begitu. Lia mengerejapkan mata berkali-kali, masih belum menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaannya. Maksudnya begini, itu pertanyaan yang ditujukan untuk seseorang yang dianggap dekat atau disukai dan Nathan saat ini bertanya padanya.

“Maaf, kalau pertanyaanku bikin kamu kaget. Maksudku, ya, kita emang masih sebatas saling kenal. Tapi aku udah nanya kayak aku nanya ke pacarku.”

Nathan mungkin menyadari bagaimana Lia yang masih diam saja. Lalu dia akhirnya bicara begitu. Lia benar-benar bingung dengan semua ini.

“Kalau aku ngelarang kamu. Aku takut kamu nggak suka dikekang. Kalau aku ngebiarin kamu. Nanti kamu kira aku nggak peduli sama kamu.”

“Aku tahu kamu bisa bedain mana yang baik buat kamu dan mana yang nggak baik.” Lia merutuki dirinya karena yang keluar dari mulutnya adalah kalimat lain.

Nathan tersenyum kecil dan mengangguk mengerti. Mereka baru sampai di depan sekolah dan langsung berhadapan dengan geng Mira yang baru sampai. Matanya memicing tapi Lia tidak peduli, biarkan saja. Ada Nathan yang bersamanya.

Serius, Lia merasa seperti orang spesial karena Nathan menatapnya sampai masuk ke kelas. Katanya memastikan Lia sampai dengan selamat. Ada-ada saja.

Lia dengar kalau Nathan dipanggil ke ruang guru untuk diinterogasi. Kebetulan Bu Irin menyuruhnya untuk membawa buku tugas ke ruang guru. Jadi dia bertemu dengan Nathan di sana. Lia heran, Nathan tidak sedikitpun terlihat terintimidasi di depan lima orang guru dan semuanya laki-laki. Nathan bahkan terlihat sangat santai, hingga pandangan mereka bertemu. Dia sempat tersenyum kecil dan buru-buru menatap guru yang saat ini bertanya.

Padahal sedang disidang tapi sempat-sempatnya menyapa Lia dengan senyuman.

“Kalau pihak sekolah udah ada bukti. Kamu siap-siap aja untuk dikeluarin dari sekolah.”

“Iya,” jawab Nathan.

Satu hal yang membuat Lia tidak habis pikir padanya. Fakta bahwa Nathan tidak merasa takut sedikitpun dengan ancaman itu.

Setelah menaruh buku, Lia bergegas keluar. Nanti dianggap menguping pembicaraan. Pikirannya terasa kalut, Lia mengkhawatirkan Nathan. Bagaimana jika ada yang melaporkan buktinya nanti?

“Lia!”

Itu Javi dan Rendy.

Lia menghampiri mereka. Tadinya setelah kembali dari ruang guru Lia mau ke kantin untuk menemui Yesha dan Haikal yang sudah lebih dulu ke sana. Tapi sepertinya mereka mau bertanya sesuatu.

“Nathan kenapa?” tanya Javi langsung. “Maksud gue, kemarin dia baik-baik aja pas pulang sama lo. Kenapa sekarang wajahnya babak belur gitu?”

Nathan sepertinya belum memberitahu mereka.

“Tadi malam Nathan kelahi sama Eric.” Lia berbisik pelan supaya tidak ada yang mendengar.

“Lo tahu Eric?” Rendy agak terkejut saat Lia menyebut nama Eric. Lia mengangguk. “Nathan ngasih tahu lo, ya?”

“Apa aja yang lo tahu? Maksud gue, Nathan ngasih tahu lo tentang yang mana aja?” kali ini Javi yang bertanya.

“Hubungannya dengan Eric. Alasan kenapa Eric benci dia. Itu aja kayaknya.”

Ok, gue harap lo adalah orang yang tepat buat dia. Dia suka sama lo, Grizellia. Jadi tolong, jaga kepercayaannya buat lo.” Javi menepuk pelan pundak Lia dan langsung berlalu bersama Rendy.

“Tunggu, woy! Apa ini? Maksud gue, woy, biarin gue jawab dulu. Kenapa kalian pergi gitu aja?” teriak Lia. Tapi mereka tidak mendengar. “Gue mau bilang, kalau gue bukan orang yang tepat. Gue udah punya pacar. Tolong jangan berharap lebih. Mau jelasin juga belum ada waktu yang tepat.”

——

Saat pulang sekolah, Nathan mengirimi Lia pesan. Dia bilang Lia pulang sendiri dulu, dia masih ada urusan di ruang guru. Lia heran, Nathan diinterogasi seperti seorang tersangka saja sampai berjam-jam lamanya. Apa mereka tidak membiarkannya istirahat makan. Kejam sekali.

“Nathan belum selesai di ruang guru?” tanya Nathan saat mereka berjalan pulang. Lia hanya mengangguk tanpa buka suara. “Lo bisa pulang sendiri, kan? Gue ada urusan.”

“Iya. Gue bukan anak kecil yang nggak tahu jalan.”

“Lo emang anak kecil. Belum tahu arah dengan baik.”

Lia kesal dan memicingkan matanya. Haikal terkekeh kemudian berlalu pergi. Meninggalkan Lia yang masih berdiri sendirian.

“Hai!”

Seseorang tiba-tiba menghampiri Lia. Lia tidak mengenalnya. Dia hendak menatap name tagnya tapi baru sadar kalau dia memakai hoodie warna hitam. Jadi jelas kalau name tagnya tertutup.

“Gue Felix.”

Seoalah dia tahu ke arah mana mata Lia melirik, dia mengulurkan tangannya. Apakah dia Felix yang diceritakan Yesha?

“Grizellia.” Lia menyambut uluran tangannya sambil tersenyum karena dia juga senyum.

Setelah itu dia pergi. Lia pikir dia akan sama seperti Nathan yang meminta nomor ponsel. Tapi tidak. Apa Lia yang terlalu besar kepala.

“Ganteng juga. Gue rasa wajar aja kalau gue berpendapat. Maksud gue soal Felix yang ganteng. Bukannya apa, ya. Tapi, level mereka beda. Bener kata Yesha.” Lia bergumam sepanjang perjalanan pulang.

*

“Kak, jangan ganggu Lia.” Nathan menekankan kalimatnya agar pacar Mark itu berhenti melakukan hal-hal yang akan membuat dirinya dibenci. “Kemarin lo juga maki Hera. Gue nggak suka.”

Mira memang sering memaki Hera sebelumnya. Tapi Hera tidak pernah mengadu pada Nathan. Palingan Nathan tahu karena dia memaksa Hera untuk bicara.

Mark hanya diam. Dia tidak tahu mau membela siapa. Nathan adalah sahabatnya sedangkan Mira adalah orang yang dicintainya. Mira merotasikan bola mata malas, menatap Nathan dengan wajah datar.

“Elena suka sama lo. Lo itu dari dulu udah dibutain sama si Hera. Tambah sekarang si anak itu baru itu!”

Mira meninggikan suaranya dan menggebrak meja makan. Membuat Rendy dan Javi yang sedang bermain game terlonjak kaget. Mark menahan tangan Mira, mengelusnya lembut, seolah mengatakan untuk tetap tenang. Tapi yang namanya perempuan kalau sudah marah ya tidak akan bisa dihentikan.

Mark selalu berada di posisi yang serba salah. Mau membela pacarnya tapi yang dilakukan pacarnya membuat temannya risih. Mau membela temannya, tapi dia tidak tega terus-menerus membuat pacarnya marah.

“Gue nggak suka sama dia. Gue udah kasih tahu dengan jelas kalau gue nggak suka. Dan juga, jangan ngomong sembarangan lagi soal Hera sama Lia.”

Nathan tak mau kalah, dia juga meninggikan suaranya. Mark hanya bisa menghela napas pasrah. Bukan sekali atau dua kali dia berada dalam suasana seperti ini. Jadi ya, dia sudah terbiasa.

Rendy dan Javi memilih untuk keluar. Padahal Rendy adalah si empunya rumah. Tapi dia lebih memilih untuk menghindar dari pada kena getahnya. Mereka keluar sembari mencari angin malam sekalian makan.

“Apa, sih, yang lo liat dari mereka? Kenapa suka cewek bodoh kayak mereka!”

Nathan naik pitam. Apa kata Mira? Cewek bodoh? Nathan mengembuskan napasnya, berusaha menormalkan detak jantungnya, dia sangat marah saat ini. Jika saja Mira bukan perempuan, maka sudah bisa di pastikan kalau Mira akan berakhir babak belur.

“Udah. Jangan gitu. Ayo pulang.” Mark meraih tangan Mira tapi gadis itu langsung menepisnya.

“Hera sama Lia nggak bodoh. Mereka itu pendiam. Nggak kayak cewek lain yang cari perhatian terus di depan gue!” bentak Nathan. Laki-laki itu kemudian keluar sebelum dia hilang kendali.

Sungguh, kalau bukan pacarnya Mark, maka dia sudah memaki Mira habis-habisan. Tapi Nathan masih punya sedikit kesabaran di dalam dirinya.

Nathan melampiaskan amarahnya dengan menendang kaleng bekas yang ada di halaman rumah Rendy. Entah sengaja atau tidak, kaleng bekas itu mengenai kepala Rendy yang sedang duduk bersama Javi di sebuah kursi yang ada di halaman depan. Berniat ingin mencari makan tapi tidak jadi karena tidak mau kenyang sendiri. Sungguh teman yang baik.

Woy!” pekik Rendy sambil memegangi kepalanya. Javi langsung menyemburkan minuman yang ada di mulutnya karena tidak tahan mau tertawa. “Kampret lo, Nat!”

Nathan yang tadinya sedang dalam mood yang buruk langsung tertawa ketika melihat Rendy kesakitan. Anak itu melangkah mendekat, melihat Javi yang masih tertawa terpingkal-pingkal. Kemudian mengambil duduk di tengah-tengah mereka.

“Lo serius mau sama Lia?” tanya Javi setelah kembali ke alam sadarnya.

“Emangnya gue pernah bercanda?” Nathan bertanya balik.

“Dia cewek pertama yang beneran menarik perhatian lo. Hebat sih,” timpal Rendy. “Kalau Hera, kan, cuma sahabat aja. Karena dulu dia satu-satunya orang yang mau temenan sama lo waktu SMP.”

Nathan menyandarkan punggungnya. Menatap hamparan bintang yang ada di langit, ditambah terangnya sinar rembulan. Mengingat betapa kejamnya hidup yang pernah dialaminya sewaktu SMP.

Mengingat, saat tak ada satupun orang yang mau berteman dengannya ketika dia dibully habis-habisan oleh Ferdi dan gengnya. Tapi Hera ada, Hera adalah orang yang pertama menyapanya setelah berbulan-bulan sekolah. Ketika Nathan kehilangan pulpen, Hera meminjamkan dengan sukarela. Bahkan dia sudah lebih dulu mengenal Hera dari pada Mark, Rendy dan Javier.

Itulah kenapa Nathan sangat menyayangi gadis itu. Dan anehnya, perasaan Nathan pada Hera hanya sebatas rasa sayang terhadap sahabat. Tak lebih. Walaupun seumuran, Nathan selalu menganggap Hera adalah adiknya. Adik yang akan selalu dia lindungi.

Beda dengan perasaannya pada Lia. Perasaan yang dia rasakan saat ini adalah rasa suka terhadap lawan jenis. Rasa ingin memiliki, tapi sulit sekali mendapatkan hati gadis itu. Nathan pusing.

**

FIKSI GUYS. FIKSI.
Thanks.

©dear2jae
2020.10.08 — Kamis.
2024.04.21 — Minggu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top