11.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!
*
Bel rumahnya terus saja berbunyi. Ibu sedang di rumah sakit padahal ini hari minggu. Ibu dan Lia juga tidak banyak kenalan, jadi siapa yang bertamu pagi-pagi. Lia berjalan ke kamar mandi dan membasuh wajahku sekadarnya. Setelah itu keluar dan membuka gerbang rumah dan ternyata yang memencet bel dari tadi adalah Nathan. Jika Lia tahu itu dia maka Lia akan mandi terlebih dahulu baru membuka gerbang.
Lia segera menutup wajahnya dengan tangan. Lia tidak mau Nathan melihat wajah kusutnya.
“Nggak baik tidur sampai siang gini. Siap-siap sana, kita olahraga,” ujar Nathan
Lia meliriknya dari balik tangan. Yang benar saja, dia sudah memakai pakaian olahraga lengkap. Bukan pakaian olahraga, hanya celana training serta kaos hitam.
“Ini baru jam delapan pagi. Belum terlalu siang. Gue nggak mau. Lo aja yang pergi.” Lia menolak halus.
Nathan menahan Lia yang hendak masuk. “Diajak sehat malah nggak mau. Ganti baju sana. Gue tungguin.”
“Nggak mau. Lo aja yang pergi. Gue ada PR yang belum selesai.”
“Jangan bohong.”
“Gue nggak bohong.”
“Ya udah, bentar. Gue telepon Rendy dulu, mau nanya. Bener nggak ada PR.” Nathan mengeluarkan ponselnya. “Kalaupun ada, nanti gue mintain jawaban sama dia. Jangan khawatir.”
Lia menghela napas kesal. Kenapa dia suka sekali memaksakan kehendak. Nathan selalu bisa membuat Lia tidak dapat membalas ucapannya.
“Iya, iya!” Lia berdecak. Langkahnya terhenti dan kembali menatap Nathan. “Gue ganti baju bentar dan jangan tanya Rendy. Nggak ada PR.”
Nathan tersenyum kemenangan karena berhasil membuat Lia mau.
Begitu masuk, Lia segera berlari ke kamar mandi dan membasuh tubuh sekadarnya lalu mencuci muka. Menggosok gigi setelah itu berpakaian dengan rapi. Kemudian turun dan melihatnya masih berdiri menunggu. Lia bodoh, kenapa tadi tidak diajak masuk. Kasihan, dia lama menunggu di luar.
Nathan mengajak Lia mengelilingi lingkungan sekitar. Jangan jauh-jauh katanya, yang penting sudah keluar keringat. Dia bahkan menunjukkan rumahnya yang ada di ujung jalan seperti katanya tempo hari. Rumahnya minimalis, tapi terkesan mewah dengan design modern. Halaman rumahnya juga luas.
“Tiap hari lo olahraga kayak gini?” tanya Lia saat mereka beristirahat sebentar setelah mengelilingi taman yang ada di dekat komplek rumah. Ternyata banyak juga yang lari pagi.
“Hari minggu aja palingan.”
“Sama siapa larinya?”
“Kadang ayah. Kadang sendiri.”
Lia hanya mengangguk. Nathan membeli air minum dan memberikannya untuk Lia. Baginya ini merupakan hal yang baru, karena di Inggris dia tidak pernah rutin berolahraga seperti Nathan yang katanya setiap hari minggu selalu melakukan hal ini. Lia hanya bergerak sekadarnya di rumah dan cukup dengan pelajaran olahraga di sekolah.
“Nanti sore kita jalan-jalan bentar, ya?” Nathan melangkah dan menarik tangan Lia.
“Ke mana lagi?”
“Ke alun-alun, mau?”
“Boleh.”
Setelah berpikir sejenak akhirnya Lia mengiakan. Karena dia tidak pernah menginjakkan kaki di alun-alum yang katanya tempat orang biasa berkencan.
“Tumben nggak nolak?”
“Gue nggak pernah ke sana. Lo ngajakin, ya udah sekalian. Gue mau.”
“Ya udah. Lo bisa pulang sendiri, kan? Rumah lo lebih deket dari sini. Tapi kalau nanti ada yang gangguin, bilang aja lo pacar gue. Mereka nggak akan berani lagi,” ujar Nathan dengan senyum mautnya. Lia hanya menanggapinya dengan kekehan kecil. “Gue serius. Kenapa senyum?”
“Nggak ada. Gue pulang, ya.”
---
Ketika sampai di sana, teman-teman Nathan juga ada di sana. Lia menghentikan langkahnya, dia merasa malu karena sebelumnya tidak pernah bertatap muka dengan mereka. Lia hanya berpapasan dengan mereka secara sekilas. Kecuali Rendy, mereka sudah bisa dikatakan akrab karena dia adalah ketua kelas Lia.
“Lia, duduk sini!” seru Rendy. Lia hanya mengangguk kaku dan duduk di dekatnya.
Sedangkan Nathan pergi membeli makanan. Lia merasa sedikit nyaman berasama Rendy karena dia teman sekelas. Tapi tidak dengan Mark dan Javier.
“Dari mana aja tadi?” tanya Mark.
“Nathan ngajak lari pagi.”
Mark hanya mengangguk, Nathan kemudian datang membawa makanan ringan dan minuman. Sore hari yang sangat cerah, banyak orang yang datang. Mereka duduk berkelompok sambil menikmati makanan ringan. Semacam piknik.
“Apa tiap hari kayak gini?” tanya Lia.
“Paling minggu aja. Selagi libur,” jawab Javi.
“Lia, maafin Mira, ya. Dia orangnya baik tapi kadang gitu,” celetuk Mark.
Lia tersenyum kikuk. Merasa malu karena Mark yang meminta maaf padanya. “Iya, Kak.”
Jika bukan Mark yang minta maaf, Lia mungkin akan selamanya mendendam. Nathan tersenyum sambil menatap Lia.
“Ya Tuhan, kenapa cuma Nathan yang dikasih senyum indah? Sempurna banget.” Lia hanya membatin.
Ponsel Lia berdering, dia segera membuka tas selempangnya untuk mencari benda persegi empat itu. Pasti Yesha atau Haikal. Karena Lia tidak punya teman selain mereka.
Yesha Keiramina. Dia yang menelepon.
“Pakai loudspeaker,” pinta Javi yang entah kapan melihat nama si penelepon di ponsel Lia.
“Halo, apa?”
“Lo di mana? Gue bosen di rumah. Nggak ada temen main. Haikal lagi kumpul sama temen basketnya.”
Javi langsung memberi Lia bahasa isyarat yang diartikan, suruh Yesha datang.
Rendy langsung menepuk kepala Javi. “Dasar! Karin mau lo kemanain?”
Rendy berucap, pengertian sekali anak itu. Dia tahu kalau Javi bicara sambil berbisik pada Lia. Jadi, dia juga tidak bicara keras-keras. Tidak salah memang dia dijadikan ketua kelas.
Nathan pun melempar Javi dengan plastik bekas makanan. “Dasar buaya!” seru Nathan kecil.
“Gue di alun-alun,” ujar Lia tanpa menyebut dia bersama Nathan dan teman-teman Nathan.
“Sama Nathan?”
Lia mengangkat alisnya dan menatap Nathan serta Javi bergantian. Menunggu perintah dari mereka, apa dia harus jujur atau tidak. Tapi mereka diam saja sambil menatap Lia.
“Sendiri.”
“Lo pikir gue bodoh. Lo belum tahu daerah sini dan lo bilang sendiri? Pakai google map aja lo masih bingung sama arah.”
Lia hanya terkekeh kecil. Yesha tahu sekali tentangnya walaupun baru kenal.
“Kenapa tahu gue lagi sama Nathan?”
“Emangnya siapa lagi yang lo kenal di sini selain gue, Haikal, sama Nathan?”
“Jadi dateng, nggak?” tanya Lia lagi.
“Kalau Nathan nggak keberatan, gue dateng. Gue bosen sendirian. Tapi kalau dia anggep gue ganggu kencan kalian, gue nggak akan dateng.”
Nathan hendak berucap tapi Javi langsung menutup mulutnya. Sepertinya Javi sadar kalau Nathan akan merusak rencananya. Mark dan Rendy tidak peduli dengan pergelutan dua orang itu. Sepertinya mereka sedang main game.
Javi memberi Lia isyarat lagi. Menyuruh Lia untuk cepat mengiakan kalimat Yesha. Lia mengangguk.
“Dateng aja. Nathan nggak keberatan.”
“Okay, wait me!”
Padahal Lia baru bertemu dan bicara secara langsung dengan mereka saat ini. Tapi rasanya seperti sudah kenal sejak dulu. Pembicaraan mereka mengalir begitu saja.
Javi melepas bekapannya dari mulut Nathan. “Sialan, Jav!” teriak Nathan kesal.
Lia hanya mengulas senyum kecil melihat tingkah mereka. Nathan kemudian melanjutkan. “Lo ini nggak jera, ya. Kemarin kelahi sama Heru gara-gara insiden di depan kelas Lia. Sekarang mau cari masalah lagi? Hell!”
Bekas luka di wajah Javi akibat berkelahi dengan Heru. Tapi kenapa Yesha tidak tahu. Kalau dia tahu pasti sudah heboh memberitahu Lia atau Haikal.
“Dia kelahi kemarin malem. Waktu gue pulang setelah anterin lo. Gue langsung ke rumahnya,” seolah tahu apa yang sedang Lia pikirkan, Nathan langsung memberitahu detailnya dan itu langsung menjawab pertanyaan Lia.
“Lo sendiri nggak ngaca?” gerutu Javi yang langsung mendapat tatapan tajam dari Nathan. Mungkin maksud Javi adalah Nathan juga sering berkelahi jadi kenapa masih menceramahi Javi.
“Lia!”
Tak butuh waktu lama untuk Yesha datang. Baru dua puluh menit setelah dia menutup telepon. Sepertinya dia benar-benar sudah siap berangkat saat menelpon Lia tadi. Bagaimana jadinya jika Lia mengatakan untuk jangan datang.
Lia tidak tahu kalau teriakan Yesha itu adalah teriakan kesal atau teriakan panggilan. Karena wajahnya sangat kusut saat menghampiri Lia.
“Lo bilang cuma berdua sama dia!” tunjuk Yesha pada Nathan yang masih fokus pada layar ponselnya. “Kenapa ada mereka?”
“Gue nggak pernah bilang berdua. Lo yang simpulkan kalau gue cuma berdua sama Nathan,” jawab Lia. Sangat menyebalkan.
“Duduk!” Javi menarik tangan Yesha hingga anak itu terduduk di samping Lia. “Nggak suka karena ada aku, ya?”
Javi masih menggunkan panggilan aku-kamu dengan Yesha. Walaupun faktanya mereka sudah putus.
Mereka sama-sama punya pasangan. Tapi sepertinya masih ada rasa yang tertinggal. Karena dari tatapan Javi, terlihat masih ada benih-benih cinta.
“Sha, lo tahu nggak kemarin Javi sama Heru kelahi?” celetuk Mark.
Yesha melotot kaget dan menatap Javi. Melihat wajah Javi yang terluka. “Kenapa bisa kelahi?” tanya Yesha heboh.
Kemarin mereka tidak bertemu dengan di kantin. Mungkin itu sebabnya Yesha tidak tahu. Kemarin memang Yesha sempat menggerutu karena Heru tapi Lia juga tidak bertanya lebih lanjut. Kemarin Lia sedang memikirkan masalahnya dengan Mira.
Yesha sontak memegang tangan Javi, dia terlihat khawatir. Terlihat bahwa Yesha masih punya sisa rasa terhadap Javi. Sepertinya. Dilihat dari bagaimana reaksinya saat ini.
“Insiden di depan kelas lo kemarin,” sahut Nathan. “Cowok lo cemburuan banget, ya. Padahal cuma hal-hal biasa kayak gitu. Kalau dia liat lo ciuman sama Javi, baru kayaknya pantas ngamuk.”
“Dih, apaan sih.” Yesha menggerutu mendengar kalimat terakhir Nathan. “Heru bohong sama gue. Dia bilangnya luka karena bantuin Felix.”
Mark dan Rendy benar-benar tidak peduli dengan lovey-dovey yang ada di hadapannya saat ini. Mark memang punya pacar. Tapi Rendy, dia tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan.
“Cemburuan parah si Heru. Aku cuma ngajak kamu ngomong dan nyodorin buku. Eh, dia malah ngajak ketemu dan berakhir kelahi.” Javi mencibir.
“Karena lo mantan pacarnya. Makanya bereaksi berlebihan,” sahut Nathan yang kini berbaring di dekat Lia sambil bermain game.
“Udah kamu obati?” tanya Yesha. Dia benar-benar memperhatikan wajah Javi. Javi mengangguk. “Dia sempat nanya sama aku, apa yang aku lakuin sama kamu kemarin. Terus aku jawab kamu bantu aku cari buku, dan dia nggak bilang apa-apa setelahnya. Mana tahu aku kalau dia mau ngajak kamu ketemu terus kelahi. Kalau tahu, aku pasti larang.”
“Pantesan nggak percaya, lo bohong, sih. Kalian, kan, pergi kencan diam-diam kemarin,” sahut Lia.
Yesha manatap Lia tajam. Lia hanya terkekeh melihatnya. Yesha sepertinya belum bisa menentukan hatinya akan benar-benar berlabuh untuk siapa. Status pacaran masih dengan Heru. Tapi melihat Javi sakit, dia jadi khawatir.
Matahari sebentar lagi akan menyembunyikan dirinya di ufuk barat. Tapi tidak satupun dari mereka buka suara untuk mengajak pulang. Mark dan Rendy benar-benar larut dalam permainan mereka. Sesekali menyeruput cola dan mencomot snack.
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
Thanks.
©dear2jae
2020.09.26 — Sabtu.
2024.02.28 — Rabu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top