10.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!
*
Lia memberitahu Yesha semua yang terjadi di depan toilet kemarin dan ekspresinya sangat terkejut. Dia memeriksa seluruh tubuh Lia, apakah ada luka atau tidak. Lia bilang tidak apa-apa tapi Yesha terus saja memeriksa tangan dan wajahnya. Apa mereka semenyeramkan itu?
“Mereka bisa berbuat di luar batas kalau udah berkaitan sama Nathan dan temen-temennya,” ujar Yesha.
“Dia mau nampar gue,” ujar Lia. Yesha semakin melotot kaget. Haikal juga. “Tapi Javi dateng tepat waktu dan selametin gue. Dia pegang tangannya Mira.”
Yesha dan Haikal bernapas lega setelah Lia beritahu bahwa Javier datang.
“Mira itu kakak kelas. Dia pacarnya Kak Mark. Kak Mark temennya Nathan. Terus Elena, cintanya bertepuk sebelah tangan. Tapi nggak ada yang berani ganggu dia karena temenan sama Mira,” jelas Yesha lagi.
“Lebih baik jauhin mereka. Mira itu anak sponsor tetap sekolah. Jadi, dia diperlakukan sedikit sepsial dari anak-anak yang lain,” timpal Haikal.
Lia hanya mengangguk mendengar ucapan mereka. Mereka sangat peduli pada Lia. Syukurlah Lia bertemu dengan orang-orang seperti mereka. Dia jadi merasa bersalah karena saat pertama masuk sekolah dia tidak mau terlalu dekat dengan mereka. Bahkan menolak niat baik mereka saat mengajak ke kantin.
Jam terakhir sudah selesai, Yesha pulang duluan karena ada urusan keluarga. Sedangkan Haikal ada latihan basket bersama teman-temannya. Semoga Lia tidak bertemu mereka. Bukannya Lia takut, tapi Lia benar-benar tidak mau berurusan dengan mereka hanya karena hal sepele.
“Pulang sama siapa?”
Wait, itu suara Nathan.
“Lia!”
Lia menoleh dan melihat Nathan yang berjalan ke arahnya bersama Rendy dan Javi. Tidak, jangan mendekat, Lia harus menjauhi sumber masalah. Lia tidak bermaksud mengatakan kalau Nathan adalah sumber masalah. Tapi bertegur sapa dengannya saja sudah menjadi masalah. Ya Tuhan, Lia ingin sekolah dengan tenang tapi kenapa malah jadi begini.
“Gue pulang sendiri. Duluan, ya.” Lia berjalan secepat kilat agar menjauh dari Nathan. Padahal dia sudah mulai mengenalnya sedikit tapi siapa sangka masalah datang.
Kenapa Lia jadi merasa bersalah sudah begini padanya. Padahal dia sudah berbuat baik padanya. Tadi juga waktu Lia pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku, dia bertemu Nathan yang sedang bersama Javi. Tapi Lia tidak menyapanya. Lia hanya berekspresi datar saat lewat di depannya. Lia tidak mau mencari masalah dengan geng Mira.
Lia berjalan menuju gerbang sekolah, dia melihat Mira dan teman-temannya sedang menunggu jemputan. Mereka menatap Lia dengan tatapan tajam. Dia mengalihkan perhatian. Apa mereka melihat saat Nathan menyapanya tadi? Jika iya, matilah dia. Tatapan mereka benar-benar menakutkan, kalau tatapan bisa melukai maka sudah pasti Lia akan terluka.
“Lia! Grizellia!”
Lia menoleh dan melihat Nathan berlari kecil ke arahnya. Ya Tuhan. Lia berusaha menghindar dan terus berjalan tapi dia langsung meraih tangan Lia.
“Kenapa menghindar gini?” tanya Nathan. “Ada yang gangguin?”
“Nggak.”
Lia merutuk dalam hati. Pasti ulah Javi. Seratus persen, Javi yang memberitahu Nathan tentang kejadian kemarin.
“Terus kenapa menghindar?” tanya Nathan lagi. “Lo diganggu sama Mira dan Elena, ya?”
Lia diam. Kalau langsung mengiakan lalu Mira dan gengnya tahu. Maka mereka pasti menganggap Lia tukang adu.
“Bilang sama gue nanti kalau mereka gangguin lo lagi.”
“Tahu dari mana?”
Lia memang sudah menebak kalau Javi yang memberitahu Nathan. Tapi Lia hanya ingin memperjelas saja.
“Udah gue duga.” Nathan menghela napas. “Gue antar lo pulang.”
Mereka kemudian berjalan beriringan. Jika besok Mira dan Elena tahu maka Lia akan pasrah saja. Lia tidak jago berkelahi, dulu Jamal pernah mengajarinya teknik-teknik dasar Taekwondo. Lia bisa mempraktikkannya jika mereka menyerang nanti.
“Jangan khawatir. Gue akan lindungin lo dari mereka. Mereka nggak punya hak buat ngelarang lo deket sama gue. Gue berhak nentuin gue mau deket sama siapa dan..”
“Dan?”
“Dan berhak suka sama siapa aja. Termasuk lo.”
Napas Lia rasanya tercekat lagi. Kalimat Nathan menenangkan sekaligus menegangkan. Apalagi kalimat terakhirnya. Lia salah tingkah dan mengangguk pelan.
Walaupun dicap nakal oleh pihak sekolah tapi Nathan bukan anak nakal seperti yang ada di drama-drama. Kadang mereka ke sekolah tidak membawa tas dan hanya membawa satu buku dan satu pulpen. Tapi Nathan tidak, dia ke sekolah dengan pakaian rapi dan membawa tas sebagaimana mestinya. Paling dia kadang mengeluarkan bajunya dan tidak memakai dasi.
Nathan tidak jadi mengantar Lia pulang. Dia mengajak Lia masuk ke sebuah rumah makan. Rumah makan pinggir jalan.
“Gue nggak nerima penolakan.” Nathan menarik tangan Lia dan memaksanya untuk duduk. Lia juga tidak berniat menolak. Karena dia merasa lapar. “Pernah makan di warung pinggir jalan gini?”
“Nggak pernah.”
“Sekarang pernah, kan. Nasi campurnya enak di sini. Favorite gue kalau makan di sini.”
“Gue ikut keluarga waktu baru masuk sekolah dasar dan nggak pernah balik sampai sekarang.” Lia mempertegas alasannya kenapa dia tidak pernah makan di warung pinggir jalan. Dia hanya tidak ingin Nathan salah paham.
“Pantesan.” Nathan menyodorkan satu porsi nasi di depan Lia. Terlihat menggiurkan memang. “Nanti jangan minta pulang dulu, ya. Gue mau ngajak lo keliling. Nggak apa-apa, kan? Atau perlu izin orang tua?”
Lia bingung mau jawab apa. Berniat menjauh, kenapa malah jadi dekat begini.
“Nggak perlu izin. Ibu juga lagi sibuk.”
Lia mengutuk dirinya lagi. Mulut sialan. Tadinya mau menolak tapi yang keluar dari mulutnya malah kalimat lain.
Setelah makan, Nathan benar-benar mengajak Lia keliling sambil memberitahu nama daerah sekitar. Seperti tour guide saja. Dia kemudian mengajak Lia ke bioskop. Katanya tiba-tiba mau nonton film.
Tapi Lia hanya diam dan menurut. Mungkin itu adalah caranya agar lebih dekat dengan Lia. Tapi, sepanjang perjalanan menuju bioskop. Jantung Lia terus bekerja dua kali lipat karena tindakan Nathan. Genggaman tangan mereka tidak pernah terlepas sampai berada di bioskop sekarang.
Alasannya adalah. “Nanti lo tiba-tiba pergi kalau nggak dituntun gini.”
“Taruh tas lo di atas paha. Gue nggak bawa jaket buat tutupin. Gue nggak suka liat mereka natap lo.” Nathan kembali setelah membeli tiket. Dia bahkan memperhatikan pandangan orang-orang di saat Lia biasa saja.
Satu hal yang paling Lia benci yaitu horor. Catat!
Ketika Lia melihat pada selembar tiket itu, film apa yang akan mereka tonton. Lia langsung membelalakkan mata kaget. Itu film Pengabdi Setan, film bergenre horror. Lia tahu film itu karena Yesha pernah membahasnya di kelas dan dia mengajak Lia untuk nonton. Tapi langsung ditolak.
“Kenapa?” tanya Nathan. Mungkin dia sadar saat Lia seketika membeku setelah menatap selembar tiket itu. “Nggak sabar, ya?”
Lia merotasikan bola mata malas. “Gue nggak suka film horror. Bukan nggak suka lagi, tapi benci,” ujar Lia dengan wajah memelas.
Berharap Nathan mengganti film yang akan mereka tonton. Tapi sayang uangnya. Atau dia saja yang masuk untuk nonton, Lia akan menunggunya di luar. Kapan pun dia selesai akan Lia tunggu. Asal Lia tidak ikut.
“Dikit aja horrornya.”
“Tapi tetep horror. Gue nggak suka.”
Raut wajah Nathan berubah, dia terlihat kecewa. Lia jadi merasa bersalah. Pada akhirnya..
“Ya udah. Gue ikut nonton.” Lia memutuskan untuk masuk karena dia benar-benar tidak mau membuatnya kecewa karena sudah membeli tiket itu. Sayang uangnya.
“Yakin?”
“Iya.”
“Jangan nangis,” goda Nathan.
“Gue bukan anak kecil.”
Nathan mengulas senyum kecil. Mereka kemudian bersiap untuk masuk.
“Jangan teriak.”
“Nggak janji,” kali ini Lia yang menggoda Nathan hingga langkah Nathan terhenti tepat pada anak tangga pertama untuk menuju kursi mereka. Lia terkekeh melihat raut wajah Nathan. “Iya. Nggak, kok.”
“Nanti pegang tangan gue kalau takut.”
“Alasan, dih. Bilang aja mau pegang tangan gue.”
“Tahu aja.” Nathan nyengir.
Lia sudah mendoktrin dirinya untuk tidak memegang tangan Nathan jika takut. Tapi itu sia-sia. Bahkan saat film baru mulai, Lia langsung menutup mata. Lia benci suara-suara hantu yang menakutkan, jadi dia menutup telinga kanan menggunakan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya digenggam oleh Nathan. Kesempatan dalam kesempitan, dasar. Lia bahkan berlindung di pundaknya sambil memejamkan mata.
“Nggak serem. Liat deh,” bisik Nathan.
Lia menggeleng, masih dengan posisi yang sama. Tidak berniat membuka mata ataupun melepas tangan dari telinga. Itu menyeramkan, Lia tidak suka.
Selama hampir dua jam penayangan, yang Lia lakukan hanya menutup mata dan telinga. Ya, memang sia-sia dia masuk karena tidak menonton. Tapi Lia tidak mau membuat Nathan kecewa karena sudah mengorbankan uangnya untuk membeli tiket.
Film selesai, Lia akhirnya membuka mata setelah lampu menyala. Nathan menatapnya dan tertawa melihat wajahnya yang terlihat berantakan. Dia merapikan anak rambut yang menghalangi pandangan Lia.
“Lain kali kita tonton genre kesukaan lo,” ujar Nathan dan meraih tangan Lia kemudian menuntunnya untuk menuruni anak tangga.
Setelah nonton, Nathan mengajak Lia berkeliling di pusat perbelanjaan sambil melihat-lihat barang. Anehnya, Lia tidak menolak sama sekali apa yang dilakukannya. Seperti anak ayam yang mengekori induknya ke sana kemari.
“Mau itu?” tanya Nathan menunjuk sebuah boneka.
“Nggak.”
Nathan tersenyum kecil, masih menggandeng tangan Lia. Anehnya lagi, Lia tidak menolak dengan tindakannya itu. “Ya udah, bilang mau apa?”
“Nggak ada. Lagian uangnya masih minta orang tua. Nanti kalau uang lo sendiri, baru gue mau.”
Bukannya sombong menolak tawaran, tapi Lia mau mengajarkannya untuk berhemat. Dari pada seperti tiket tadi, sudah dibeli tapi Lia tidak menonton filmnya. Lebih baik uangnya disimpan.
“Ok, nanti kalau udah ada penghasilan sendiri. Apapun yang lo mau, gue beliin.”
Lia tidak menimpali ucapannya, dia hanya tersenyum. Jika sekarang Lia mengatakan kalau dia sudah punya pacar maka suasana ini akan hancur. Lia tidak mau menghancurkan moodnya. Bukannya egois, tapi Lia akan anggap perkataan itu hanya ucapan gombal dari anak remaja. Jodoh tidak ada yang tahu kecuali Tuhan. Jika mereka tidak di takdirkan bersama maka dia tidak perlu menepati ucapannya.
“Mau makan lagi?”
“Gue masih kenyang.”
Nathan terkekeh. “Mau ice cream?”
“Mau!” Lia langsung menganggukkan kepala begitu Nathan menyebut ice cream. Nathan terkekeh lagi melihat Lia yang langsung cepat tanggap.
“Mau rasa apa?” tanya Nathan.
“Rasa vanilla.”
“Itu ada rasa strawberry juga.”
“Nggak terlalu suka.”
Nathan menyodorkan satu cup ice cream rasa vanilla. Lalu mereka masuk dan duduk di dalam toko sekalian istirahat. “Gue malah nggak suka.”
“Rasanya asam, gue nggak suka.”
“Kita punya satu kesamaan. Kalau pacaran cocok.”
Lia hanya menanggapinya dengan kekehan kecil. Apa benar, dia adalah Nathan yang dielu-elukan misterius oleh anak-anak seantero sekolah? Apa benar, dia adalah Nathan yang dikira nakal oleh pihak sekolah?
Kenapa di mata Lia dia tidak terlihat seperti itu. Memang benar, banyak hal yang belum Lia tahu tentangnya. Tapi caranya memperlakukan Lia dengan baik sudah bisa disimpulkan kalau dia tidak hanya sekadar nakal. Tapi juga bisa memperlakukan perempuan sebagaimana mestinya.
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
Thanks.
©dear2jae
2020.09.22 — Selasa.
2024.02.23 — Jumat. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top