09.
Jangan lupa vote dan komen ya temen-temen. Terima kasih!
*
“Oi bocah, mana uang? Cepet!” Edwin memegang kerah baju Nathan yang saat itu masih berstatus sebagai siswa baru.
Mimpi buruk bagi Nathan, hari pertama masuk sekolah saja sudah seburuk ini. Bagaimana dia harus menjalani hari-harinya sampai dia lulus nanti. Nathan masih bergeming, anak itu masih mengatupkan mulutnya rapat. Padahal kondisi kerah bajunya sudah acak-acakan.
“Lo tuli atau pura-pura tuli?” bentak Ferdi, si ketua geng. Ferdi hendak melayangkan satu pukulan pada perut Nathan tapi sebuah tangan mencegatnya.
“Ini hari pertamanya sekolah. Lo nggak kasian apa? Biarin aja dulu,” suara Mark menginterupsi pendengaran Ferdi.
Ferdi akhirnya membiarkan Nathan pergi. Oke, kali ini dia akan mendengarkan Mark. Nathan menatap Mark yang sudah menyelamatkannya hari ini. Walaupun dia tahu hari-hari berikutnya dia pasti tak akan bisa lolos dengan mudah. Tapi setidaknya hari ini dia masih bisa bernapas lega.
Dan benar saja, hari-hari berikutnya lebih buruk lagi. Nathan diperas, dimintai uang oleh Ferdi dan gengnya yaitu Mark, Arka dan Edwin. Geng yang terkenal bringas dan tidak segan-segan menganiaya jika keinginan mereka tidak dipenuhi.
Jika menolak, maka Nathan harus bersiap menahan sakit karena dipukuli. Itulah kenapa, Nathan selalu memberi mereka uang jajannya, memilih untuk tidak makan di sekolah dari pada harus kena pukulan. Bukan hanya Nathan, tapi siswa baru yang lain juga diperas oleh geng Ferdi. Bahkan Nathan sudah berkali-kali melapor pada sekolah kalau ada penindasan yang dilakukan oleh beberapa oknum tapi sekolah seakan menutup mata. Entah karena apa yang pasti pihak sekolah tidak pernah mengusut masalah penindasan sampai tuntas. Yang mereka lakukan hanya memberi peringatan dan teguran.
Suatu hari, Nathan menolak untuk memberi uang dan yang terjadi selanjutnya adalah dia terkapar bersimbah darah setelah dipukul habis-habisan oleh empat orang itu. Dia tidak masuk sekolah selama satu minggu karena sakit dan tidak ada yang peduli.
Hari-hari berikutnya pun Nathan masih menolak memberi mereka uang. Hampir setiap hari anak itu pulang dengan wajah yang babak belur. Sampai Nathan pernah berpikir bahwa dia akan pindah sekolah. Tapi, karena pekerjaan sang ayah, dia harus mengubur rapat-rapat keinginan itu.
Enam bulan berlalu dan Nathan masih saja mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Ferdi dan teman-temannya. “Beliin gue makan, cepet. Minum juga. Jangan lama. Awas kalau lama!”
Nathan menggeleng. “Lo bisa beli sendiri,” jawabnya. Oh Tuhan, sepertinya Nathan bersiap untuk bunuh diri.
Sorot mata Ferdi berubah, tangannya mengepal kuat. Dia mendekati Nathan dan mengangkat kerah seragam anak itu hingga kusut.
“Udah. Dia bener, lo bisa beli sendiri. Maksud gue, berenti bully dia, Fer.”
Ferdi menghempaskan tubuh Nathan keras dan menatap sosok yang sudah berani mengucapkan kalimat itu padanya. Mark, dialah yang buka suara.
Mark memang brengsek, dia akui itu. Dia memang melakukan hal-hal keji terhadap anak-anak yang lain termasuk Nathan. Tapi kali ini Mark sudah tidak tahan dengan kekejaman Ferdi. Dia sudah muak melakukan perbuatan keji seperti ini.
Tubuh Mark terhuyung ke belakang saat kaki Arka menendang perutnya. Mark tidak diam saja, anak itu melawan. Kekuatan mereka sama, jadi untuk apa Mark takut. Tiga lawan satu, Mark memang kalah jumlah tapi anak itu masih menguasai permainan. Dia terlihat lebih unggul dari Ferdi, Arka dan Edwin.
Nathan yang melihat baku hantam itu hanya bisa terdiam. Menyaksikan adegan bersimbah darah itu dalam diam.
Nathan menyodorkan plester kecil dengan takut-takut pada Mark. “Makasih udah bantuin.”
“Gue nggak ngebantu. Tapi gue cuma bela kebenaran. Supaya anak-anak yang lain juga nggak di bully lagi.” Mark masih punya sisi baik dalam dirinya. “Gue nggak lagi cari muka dengan berbuat baik setelah sebelumnya jahat. Gue ngaku salah. Tapi sekarang, gue mau berenti ngelakuin hal jahat.”
“Mark!” sebuah suara mengalihkan perhatian mereka. Mark menatap Rendy dan Javier yang berlari kecil menghampirinya. “Lo nggak apa-apa?”
Mark dan Rendy sudah saling kenal karena mereka bertetangga sejak SD. Sedangkan Javier adalah teman SDnya Rendy. Begitulah bagaimana mereka saling kenal. Itulah sebabnya, Rendy dan Javier bebas dari perlakuan buruk Ferdi. Karena mereka berteman dengan Mark.
Mark mengangguk. “Bantu obatin dia.”
Rendy dan Javi membantu menempel plester pada luka Nathan. “Lo punya temen?” tanya Javi.
“Nggak ada.”
“Ya udah. Temenan sama kita aja,” sahut Rendy.
Awalnya Nathan merasa ragu, tapi hari-hari berikutnya dia merasa seolah-olah beban yang menumpuk di pundaknya berkurang sejak bergaul bersama Rendy, Javier dan Mark. Setiap hari saat berangkat sekolah, dia selalu menghela napas berat memikirkan bagaimana dia akan menghabiskan sisa harinya di sekolah karena takut dengan gengnya Ferdi. Tapi sekarang, tidak ada yang mengganggunya lagi karena ada Mark yang bersiap membela. Mark juga sudah berhenti melakukan hal buruk. Kini, mereka sudah lengkap dengan datangnya Nathan.
Saat lulus SMP, Mark dan keluarganya pindah. Menyisakan Rendy, Javi dan Nathan yang masih harus melalui satu tahun terakhirnya di SMP neraka ini. Tapi setidaknya Ferdi dan dua temannya itu juga sudah lulus.
Yang paling mengejutkan adalah bagaimana seorang Nathan berubah menjadi laki-laki populer sejak naik kelas. Rendy dan Javi juga tak kalah populer, visual mereka begitu mempesona bagi para gadis.
Tetap saja, di saat Rendy dan Javi menggoda para gadis, Nathan sendiri tidak peduli akan teriakan menggema yang memanggil namanya di lorong kelas. Kecuali satu orang, ada satu orang pengecualian bagi Nathan yaitu gadis bernama Hera. Sayang, Hera sudah pindah sekolah karena ikut orang tua sejak mereka naik kelas.
Yang namanya takdir memang bukan hanya untuk sepasang kekasih saja. Tapi itu juga berlaku bagi persahabatan Rendy, Javi dan Nathan. Mereka sudah melakukan pesta perpisahan kecil-kecilan setelah lulus SMP karena mereka akan berpisah. Tujuan pasti belum diketahui karena mereka bertiga akan ikut orang tua.
Tuhan mungkin sudah menuliskan bahwa mereka akan kembali bertemu sejauh manapun mereka pergi. Ya, siapa sangka ke empat orang itu kembali bertemu di satu SMA.
Dan Nathan pun bertemu dengan Hera. Gadis yang selalu dia ingat dan akan selalu diingat.
*
“Thank you, Lia. Lo terbaik!” Haikal mengacungkan jempolnya. Dia berterima kasih karena Lia sudah membagi jawaban tugas padanya dan Yesha.
Lia hanya tersenyum kecil. Bahkan sekarang dia sudah terbiasa membagi jawaban tugasnya. Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.
Lia masih berpikir, apa dia harus bertanya pada Yesha lebih jauh tentang sosok Nathan atau tidak. Satu sisi otaknya berkata begitu, tapi satu sisinya lagi juga melarangnya untuk tahu tentang Nathan lebih jauh.
“Lo ngelamun aja dari tadi. Mikirin apa?” Yesha bertanya saat mereka berada di kantin sekolah untuk makan siang.
“Nathan Adinata. Dia orangnya kayak gimana?”
Akhirnya Lia memutuskan untuk bertanya. Dia ingin tahu tentangnya. Ya, Lia ingin tahu.
“Wait! What? Lo udah mutusin buat deket sama dia?”
“Jawab aja.”
Yesha tersenyum jahil. “Gue udah pernah bilang, kan, kalau Nathan orangnya misterius. Dateng ke sekolah kadang penuh luka. Walaupun sempat pacaran sama Javi yang notabene adalah temennya Nathan. Tapi Javi nggak pernah bahas dia,” jelas Yesha sambil berbisik.
“Nggak ada yang pernah liat dia kelahi. Sekolah butuh saksi kayak kasusnya Felix. Tapi jejaknya beneran nggak ada. Felix, kan, dikeluarin karena ada yang lapor dan ngasih bukti. Dia juga nggak pernah keliatan ada hubungan sama cewek. Kecuali Hera,” sambung Yesha dan menjelaskan lebih detail tentang sosok Nathan. “Hera bener-bener aman sekolah di sini. Nggak ada yang berani ganggu karena backingannya Nathan. Gue juga nggak terlalu tahu hubungan mereka. Tapi lumayan deket, tapi nggak pacaran. Nggak tahu gue.”
Apa Nathan memang sepopuler itu di sekolah ini? Tapi, Hera siapa? Kalau Nathan menyukainya kenapa dia mau minta nomor ponsel Lia?
Apa mungkin Nathan mau berteman dengan Lia? Setidaknya hanya itu alasan yang terlintas dipikiran Lia saat ini.
“Dia perhatian, kah, sama cewek yang dia suka?”
“Nggak tahu. Gue cuma tahu dia orangnya nggak peduli sama orang lain. Dia cuma temenan sama temen-temennya dan Hera. Dia juga langsung nolak kalau ada yang deketin terus dia nggak mau. Gue nggak tahu gimana perlakuannya sama orang yang dia suka. Karena belum ngeliat dia deket sama cewek di sekolah. Kecuali Hera,” jelas Yesha. Dia mengambil jeda dengan meminum susu kotaknya. “Lo kayaknya cewek pertama yang dia mintain nomor secara terang-terangan gini.”
Lia hanya menganggukkan kepala tanda mengerti. Cukup sampai di sini saja bertanyanya, nanti Yesha jadi curiga. Lia juga tidak penasaran tentang siapa Hera dan tidak mau tahu. Itu urusan Nathan dan Lia tidak punya hak ikut campur.
“Lo mulai suka sama Nathan?” tanya Haikal yang sedari tadi diam. Oh Lord, kenapa tidak diam saja dan jangan bertanya apa-apa Haikal.
“Nggak, nggak. Gue nggak suka. Cuma nanya aja tadi.”
Lia mengelak, semoga pertanyaannya tidak merembet. Semoga. Lia berpikir sejenak, apa sikapnya yang tadi malam padanya murni karena dia tertarik pada Lia? Dari pernyataan Yesha, itulah yang bisa Lia simpulkan. Tapi entahlah, Lia tidak mau ambil pusing.
Mereka kemudian kembali ke kelas setelah selesai makan siang. Lia ke toilet dan menyuruh Yesha bersama Haikal untuk duluan ke kelas. Terlalu banyak minum air jadinya ya begini.
Saat Lia keluar dari toilet, dia kembali bertemu dengan Mira dan Elena. Sumpah, ini seperti deja vu. Sorot mata Mira benar-benar menakutkan.
“Lo tuli kayaknya. Kemarin gue bilang jauhin Nathan. Tapi kenapa lo masih aja nempel sama dia?!”
Lia tersentak kaget karena suranya yang sangat keras. Sampai-sampai ada beberapa anak yang lewat di dekat toilet menatap mereka. Anehnya, tak ada satupun dari mereka yang berani menegur Mira. Ya Tuhan, seperti inikah kehidupan sekolah di sini.
Jika Lia berkata Nathan yang mendekatinya duluan. Maka seratus persen mereka tidak akan percaya. Percuma saja Lia berkata jujur. Mau berkata bahwa dirinya cantik, maka mereka akan langsung menghempaskan tubuh Lia ke lantai.
“Gue nggak pernah deketin dia.”
Bodoh, kenapa Lia malah menciut di depan mereka. Mungkin karena Lia tidak pernah menjumpai hal macam ini di sekolah lama. Jadi Lia tidak tahu harus berbuat apa.
“Apa lo bilang?!” Mira mengikis jarak antara mereka. “Terus yang kemarin apa?! Lo makan berdua sama Nathan!”
Lagi, Lia tersentak kaget. Suaranya benar-benar nyaring. Mira tidak takut di dengar orang. Bukankah kemarin dia mengatakan kalau Nathan milik Elena? Tapi kenapa jadi dia yang naik darah, aneh. Pikir Lia.
“Ngomong Lia. Jangan jadi pengecut!” Lia membatin.
“Nathan yang ngajak gue.”
Persetan jika Mira mau membantingnya saat ini juga. Terserah, Lia tidak peduli. Karena tak ada jawaban lain yang bisa dia jadikan alasan. Tapi itu adalah jawaban yang sejujurnya.
Elena dari tadi hanya diam menyaksikan. Kalau memang benar suka pada Nathan kenapa tidak dia saja yang menggeretak Lia. Kenapa harus menyuruh orang lain.
Mira mengepalkan tangannya kuat. Lia melotot kaget saat dia mulai mengangkat tangannya. Sepertinya ingin menampar. Lia menutup matanya...
“Kak, udah. Stop.”
Ketika Lia membuka mata, dia melihat Javi menghalangi tangan Mira yang hendak menampar Lia. Mira tidak suka dengan tindakan Javi, dia menghempaskan tangan Javi dan mengajak Elena untuk pergi.
Lia masih membeku di tempat. “Lo nggak apa-apa?” tanya Javi menyentuh lengan Lia.
“Iya. Terima kasih, Jav.” Lia segera pergi dan meninggalkan Javi. Tidak bermaksud mengabaikan. Tapi dia masih shock dengan kejadian tadi.
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
Thanks.
©dear2jae
2020.09.19 — Sabtu.
2024.02.19 — Senin. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top