08.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!
*
Karena orang itu adalah Lia. Kenapa?
Lia tidak mau membahasnya. Dia segera beranjak berdiri dan keluar dari mini market itu sebelum dia meledak. Karena jantung sialannya sekarang berdetak tiga kali lebih cepat.
Setelah mendengar cerita Yesha tentang Nathan, Lia membayangkan kalau dia mungkin orangnya akan dingin. Mengingat dia dikatakan misterius, apalagi dia diperebutkan oleh banyak siswi. Tapi kenapa sikapnya begini? Dia gombal sekaligus perhatian pada Lia. Apa hanya pada Lia? Atau ada cerita lain yang belum dia dengar dari Yesha? Sudahlah.
“Gue antar lo pulang. Ini udah hampir jam sepuluh. Nanti ada yang ganggu di jalan,” ujar Nathan.
Lia mau menolak tapi lidahnya terasa kelu. Padahal rumahnya dekat, sangat dekat malah. Rasanya dia sudah berhasil menyihir Lia dengan pesonanya. Lia jadi semakin penasaran tentangnya. Semakin ke sini, banyak hal yang ingin Lia ketahui. Tapi Lia akan berusaha untuk tidak bertanya apa-apa karena dia akan menjaga jarak dari Nathan.
“Udah sampai. Ini rumah gue.”
“Ini rumah lo? Rumah gue ada di ujung sana. Pas di ujung jalan.” Nathan menunjuk ke ujung jalan.
Lia melotot kaget. Kenapa jadi satu lingkungan begini. Tidak, Lia tidak mau jantungnya bekerja dua kali lebih cepat lagi.
“Kenapa ngasih tahu?” tanya Lia. Maksudnya, dia juga tidak penasaran.
“Kali aja mau mampir nanti.” Nathan tersenyum. Lagi-lagi, dia menepuk pelan kepala Lia sebelum berlalu pergi.
Lia berpegangan pada gerbang rumahnya agar tidak terjatuh. Ya Tuhan, senyumannya sangat tidak baik untuk hati Lia.
Berkali-kali menghadap ke kiri dan ke kanan, Lia tidak kunjung terlelap. Pikirannya kembali saat di mana tadi Nathan dikejar oleh banyak orang. Maksudnya, hey, jumlah mereka tidak sedikit. Lalu, Nathan kemanakan orang-orang itu karena belum sempat dia berdiri setelah terjatuh, Nathan kembali datang dan membantunya berdiri. Rasa penasaran memang menguasai tapi sebisa mungkin Lia tidak akan bertanya. Karena biarlah itu urusannya, Lia tidak mau ikut campur.
Lia melirik jam yang ada di atas nakas samping ranjang. Pukul 23.30 malam. Ponselnya bergetar, dia meraihnya dan melihat sebuah pesan masuk.
“Ini gue, Nathan. Pastiin setelah ini save nomor gue, ya. Kalau belum tidur, bisa balas chat ini? Tapi kalau udah tidur, ya udah, sleep well, Grizellia. See you tomorrow.”
Lia tidak tahu apakah dirinya masih waras atau tidak. Karena sekarang dia sedang tersenyum. Tersenyum. Sepertinya dia harus memeriksa kondisi jiwa. Sadarlah Grizellia, ada hati yang harus kau jaga baik-baik.
Tangan Lia dengan cekatan menyimpan nomor ponsel Nathan. Sebelumnya dia sempat bingung mau menamai kontaknya apa. Tapi akhirnya dinamai Nathan. Ya, karena itu namanya.
Setelah menyimpan nomornya, Lia membalas pesannya. Tadinya mau diabaikan supaya dia pikir Lia sudah tidur tapi Lia tidak enak. Ya Tuhan, sebenarnya sejak kapan Lia jadi tidak enakan begini pada perasaan orang?
“Udah gue save.”
Setelah memencet send, Lia melepas ponselnya di samping ranjang. Percayalah, kalimat itu adalah keputusan akhir setelah dua menit Lia mempertimbangkan balasan yang akan dia kirim. Tak sampai satu menit, ponselnya kembali berdering. Nathan membalasnya cepat sekali.
“Gue kira lo udah tidur karena lama bales. Tidur gih, udah malem banget ini.”
“Iya. Kalau lo mau tidur, lepas aja plesternya. Besok kalau ke sekolah jangan lupa pasang yang baru. Supaya lukanya nggak kena debu dan nggak infeksi.”
“Alright! Tidur, ya. Ini udah malem. Gue nggak akan bilang have a nice dream. Karena gue nggak mau lo terganggu sama mimpi. Tidur yang nyenyak tanpa mimpi, ya.”
“Iya. Thanks.”
“Tadi gue lupa minta maaf. Maaf, ya, gara-gara gue, tangan sama lutut lo luka.”
“Iya. Nggak apa-apa.”
*
Nathan menyentuh plester yang terpasang rapi pada lukanya kemudian tersenyum seperti orang gila dalam perjalanan menuju rumahnya yang ada di ujung gang. Saat hendak membuka gerbang, sebuah pesan masuk dari Rendy yang mengatakan kalau dia dan Mark ada di rumah Javier. Karena Javier dalam keadaan terluka setelah berkelahi dengan Heru. Jangan tanya masalahnya apa, kalian pasti tahu.
Nathan tidak jadi masuk dan berbalik menuju rumah Javier yang tidak terlalu jauh. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam ketika Nathan sampai di rumah Javier. Dia masuk dan mendapati Rendy sedang mengobati luka Javier sedangkan Mark malah tertidur lelap. Entah benar-benar tidur atau hanya memejamkan mata.
“Di mana lo ketemu sama Heru?” tanya Nathan dan beranjak duduk.
“Dia hubungin gue dan ngajak ketemu. Mau ngomong baik-baik katanya soal Yesha. Eh dia dateng sama temen-temennya terus langsung nyerang gue.”
“Felix ikut?”
“Iya. Tapi nggak ikut pukul gue. Mungkin segan karena tahu gue temen lo. Lo, kan, pernah nolong dia waktu itu.”
“Sebenernya gue masih speechless karena kalian. Maksud gue, woy, gue udah jadi baik sedangkan kalian kenapa jadi jahat gini? I mean, nakal. Like, woah, dulu kalian nggak tahu sama sekali tentang dunia baku hantam gini. Tapi sekarang, berubah jadi monster.” Mark bangun dari tidurnya dan langsung berdiri lalu ceramah dengan suaranya yang nyaring.
“Gue udah bilang, kan, kalau gue bosen jadi orang baik.” Nathan menimpali ucapan Mark yang diangguki oleh Rendy dan Javier. Mark hanya bisa geleng-geleng kepala.
Nathan Adinata, anak laki-laki itu sudah memutuskan sejak menginjakkan kaki di sekolah SMA pada hari pertamanya masuk bahwa dia tidak akan pernah mencari masalah dengan kakak kelas atau dengan siapapun. Karena dia hanya ingin sekolah dengan tenang.
Keputusannya adalah, jangan terlalu mencari perhatian, jangan melakukan hal-hal yang akan merugikan diri sendiri, jangan melakukan hal-hal yang akan mengundang perhatian anak-anak lain. Cukup lakukan sendiri, baik itu belajar maupun kegiatan lainnya.
Namun naas, wajah tampannya saja sudah menjadi perhatian seluruh warga sekolah bahkan sejak masa ospek. Di tambah dia hanya bergaul dengan Mark si kakak kelas populer, Rendy dan juga Javier. Wajah ketiga temannya itu juga tidak main-main tampannya.
Surat cinta yang berisi kekaguman akan ketampanannya. Surat yang berisi pernyataan cinta, cokelat, susu, wafer dan berbagai jenis makanan dan minuman selalu memenuhi lokernya setiap hari. Dan semua itu selalu berakhir di tong sampah. Bukannya sombong, hanya saja Nathan masih tetap pada pendiriannya yaitu sekolah dengan tenang.
Hingga suatu ketika, ada satu geng yang mendatanginya ketika dia dan teman-temannya sedang berada di kantin.
“Punya wajah ganteng aja udah sombong,” sahut Felix. Si ketua geng.
Nathan menatap mereka dengan tatapan bingung. Memangnya seberdosa itukah punya wajah yang tampan? Oh Tuhan.
“Jangan cari masalah di sini. Kita masih di sekolah.” Mark menengahi. Status dirinya yang seorang kakak kelas mungkin akan di segani oleh Felix dan teman-temannya.
“Lo jangan ikut-ikutan,” sebuah suara menginterupsi telinga Mark. Tak lain adalah teman Felix yang bernama Heru. Ternyata statusnya sebagai kakak kelas tidak dipedulikan.
Mark menatap bocah itu tidak percaya. Naluri petarungnya muncul seketika, dia berdiri hendak meraih kerah Heru namun Nathan dengan cekatan menahan tangannya.
Nathan berdiri dan menatap Felix tepat di manik matanya. “Nanti aja di luar. Gue nggak mau ribut di sekolah,” bisik Nathan.
Sepertinya, Nathan harus mengubur rapat-rapat soal dirinya yang ingin sekolah dengan tenang. Dia tidak mau terus-terusan jadi orang baik jika kenyataannya masih ada saja orang yang tidak suka padanya.
“Lo yakin sama omongan lo?” tanya Javier ketika masuk kelas.
“Percuma juga diem terus. Kayaknya gue mau coba jadi jahat kali ini,” jawab Nathan.
Javier hanya mengangguk kecil. “Kita ada. Kalau lo butuh, kita selalu ada.”
Felix, Heru dan Hugo sudah menunggu Nathan di sebuah lapangan kosong. Seperti ucapannya, Nathan menemui mereka bersama Mark, Rendy dan Javier. Empat serangkai itu tidak pernah bisa dipisahkan.
Sederhana saja, Felix hanya iri karena Nathan lebih populer darinya. Nathan terlalu dipuja-puja oleh para gadis sedangkan dirinya kurang mendapat perhatian. Bisa di bilang, ini adalah pembuktian siapa yang akan berkuasa di sekolah nantinya. Padahal mereka baru kelas satu SMA tapi sudah ingin menguasai sekolah.
Oke, perkelahian tidak bisa dihindarkan. Felix yang sudah menahan emosinya sejak di sekolah tadi akhirnya tersalurkan setelah berhasil melayangkan satu pukulan pada wajah Nathan.
Nathan meringis kesakitan. Mark hendak membantu tapi Javi melarangnya. “Tunggu. Tunggu instruksi Nathan,” ujar Javi.
Ya. Nathan yang memutuskan untuk menjadi orang jahat itu kini membalas pukulan Felix. Tangannya mengepal kuat, melayangkan pukulan balasan pada Felix hingga laki-laki itu tersungkur. Nathan menarik kerah baju Felix dan mengangkatnya kemudian memukulnya lagi tanpa jeda.
Heru dan Hugo menendang tubuh Nathan yang ada di atas perut Felix hingga Nathan pun terpental. Dan saat itulah Rendy dan Javi membantu Nathan. Nathan vs. Felix, Javier vs. Heru dan Rendy vs. Hugo.
Mark menatap teman-temannya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia kagum dan kaget secara bersamaan.
Nathan, Javier dan Rendy si anak polos yang dia kenal dulu sewaktu SMP sekarang sudah berubah. Berubah menjadi laki-laki brutal dan menakutkan. Sorot mata teduh yang selalu Mark lihat kini berubah menjadi sorot mata tajam. Mark semakin menutup mulutnya tidak percaya ketika Nathan, Javier dan Rendy berhasil menumbangkan Felix, Heru dan Hugo. Ya, walaupun dengan kondisi wajah yang mengenaskan tapi trio itu cukup puas.
Nathan, Javier dan Rendy bangkit berdiri. Mendekati Mark yang semakin berjalan mundur. “Mau mundur sampai mana, woy!” Rendy berteriak kecil.
“Jangan deket-deket. Sorry, gue nggak tahu siapa kalian. Kayaknya ada setan di tubuh kalian.” Mark benar-benar tidak percaya dengan pengelihatannya. “Woah! Nat? Hah! WOY, KALAU LO BISA BELA DIRI KENAPA DULU DIEM AJA!”
“Jangan teriak. Nanti ada yang pikir kita mau keroyok lo,” sahut Javi. Walaupun Mark lebih tua satu tahun, tapi anak nakal itu tidak pernah memanggil Mark dengan sebutan kakak.
Sebenarnya Javier dan Rendy juga tak kalah terkejut dengan Nathan. Ya, laki-laki berwajah malaikat itu kini berubah menjadi sosok iblis menyeramkan.
Dan begitulah, geng Nathan menguasai sekolah. Mark menyarankan nama Dream Squad untuk geng mereka. Karena kata Mark, mereka memiliki banyak mimpi yang harus digapai. Tapi dalam kenyataannya, mereka bahkan tidak terlalu peduli dengan pelajaran.
“Lo gila, ya? Dari tadi senyum sendiri.” Rendy melempar bantal yang langsung mengenai wajah Nathan.
“Gue udah dapet nomornya Lia.”
“Sumpah? Woah, gimana bisa?”
“Tadi nggak sengaja gue tabrak waktu dikejar sama Eric dan gengnya. Tangan sama lututnya luka, jadi gue obatin. Dia juga yang obatin luka ini.” Nathan menunjuk plester yang tertempel di wajahnya dengan bangga. Mark, Rendy dan Javier hanya geleng-geleng kepala. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang dengan bangganya memiliki luka. “Gue manfaatin keadaan terus coba minta lagi. Eh, ternyata ngasih.”
“Ini pertama kalinya gue liat lo setertarik ini sama cewek.” Javi meletakkan satu botol minuman di atas meja. “Padahal Elena juga cantik kalau diliat-liat. Anak-anak di sekolah cantik semua.”
“Lia beda.”
“Apanya yang beda?”
“Gue nggak suka cewek yang terlalu agresif. Lo tahu sendiri kalau mereka tiap hari deketin gue dan minta-minta nomor gue. Gue maunya, gue yang deketin duluan. Tapi sejak awal Lia emang sulit banget di deketin. Liat aja, gimana gue tiap hari ngemis nomor dia.”
“Beda, ya. Yang lain jual murah sama lo. Sedangkan Lia langsung jual mahal.”
“That’s why I like her. Kayak, gue juga maunya dari hati, cuy. Bukan sekadar yang tertarik aja.”
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
Thanks.
©dear2jae
2020.09.12 — Sabtu.
2024.02.18 — Minggu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top