07.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!

*

“Yuk!” Yesha membuyarkan lamunan Lia yang sebelumnya memikirkan tentang sosok Nathan. Wajahnya masih ditempeli plester saat Lia melihatnya waktu datang tadi pagi. “Lebih baik cari sekarang, makannya nanti saja. Selesai istirahat nanti banyak orang.”

Lia mengangguk dan beranjak berdiri untuk ke perpustakaan karena mau mencari beberapa buku untuk tugas dari Pak Budi. Haikal tidak ikut, dia ada meeting bersama teman-teman basketnya.

“Lia!”

Lia yang dipanggil tapi yang menoleh Yesha. Lia kenal, dia tahu, dia ingat dengan benar si pemilik suara yang akhir-akhir ini menganggunya. Maksudnya terus merecoki Lia dengan meminta nomor ponsel.

Tak lama, Nathan berdiri di depannya. “Mau ke mana?” tanya Nathan. Dia bersama Javi, itulah kenapa Yesha langsung menarik tangan kiri Lia untuk pergi. Sedangkan Nathan pun langsung mencegatnya dengan menarik tangan kanan Lia.

Tolong, siapa saja tolong Lia. Kalau tubuhnya terbagi dua nanti dia mati.

“Kamu sama aku.” Javi menarik tangan Yesha dan membawanya pergi entah ke mana. Yesha memberontak tapi tetap saja tenaga laki-laki lebih kuat.

Lia kembali fokus pada Nathan yang masih memegang tangan kanannya. Lia mau menariknya tapi dia menggenggamnya dengan kuat. Banyak orang yang berlalu-lalang karena ini jam istirahat, hampir semua pasang mata menatap mereka. Nathan membawanya ke halaman sekolah yang ada di samping perpustakaan. Padahal tadi Lia hampir mau masuk tapi naas dia malah bertemu dengan Nathan.

Serius, wajahnya benar-benar babak belur. Walaupun tertutup plester tapi goresan kecil terlihat di mana-mana. Lama, Lia menatapnya lama.

“Ganteng, kan?” suara Nathan membuat Lia tersadar. Dia langsung memalingkan wajahnya.

Nathan menyuruhnya duduk dan mengeluarkan beberapa makanan dan minuman dari dalam kantong plastik yang sedari tadi dibawanya. Dia menyodorkan Lia satu kotak susu rasa cokelat.

“Minum.”

Lia menggeleng. “Nggak usah. Nanti gue beli sendiri.”

Tidak bermaksud apa-apa hanya saja Lia tidak enak diberi terus-menerus. Cukup sekali saja kemarin waktu Rendy memberikannya. Kali ini dia tidak mau.

Lia tidak bermaksud sombong dengan menolak kebaikannya. Tapi, Lia tidak terbiasa.

Nathan meraih tangannya dan membuatnya mau tidak mau menggenggam susu kotak itu. “Apa susahnya tinggal diambil? Gue ngasihnya gratis. Nggak akan minta imbalan nomor hp.”

Lia mengulas senyum tipis mendengarnya. Sebenarnya sempat terlintas di otak Lia kalau dia akan bertanya soal nomor ponsel lagi. Jadi dari tadi Lia sibuk memikirkan jawaban untuknya.

“Dari tadi lo natap gue terus. Apa cuma perasaan gue aja atau lo emang lagi natap gue?”

Lia ketahuan. Iya, Lia memang mencuri-curi pandang saat Nathan sibuk mengunyah roti dan meminum ice coffee. Banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Tapi Lia tidak berniat menanyakannya.

Lia hanya diam, tidak menimpali ucapan Nathan. Tangannya sibuk memegang roti dan susu kotak yang Nathan berikan tadi. Saat hendak memasukkan sampah bekas plastik roti, Lia tidak sengaja menyenggol lengan Nathan. Nathan meringis, Lia kaget. Lia meraih tangannya dan melihat ada luka sobek di bawah siku. Tidak terlalu besar sobeknya tapi terlihat sangat perih jika terkena air.

“Udah diobati?” tanya Lia.

“Udah,” jawab Nathan. “Nggak sakit, kok.”

Saat dia bilang begitu, Lia dengan sengaja menyentuh lukanya. Benar-benar di bagian yang sobek itu. Nathan memekik tertahan dan menarik tangannya.

Tidak sakit katanya? Lia saja yang melihatnya merasa ngilu, bagaimana dia. Sok-sokan bilang tidak sakit.

“Sakit. Iya, ini sakit,” ujar Nathan akhirnya. Setelah Lia yang dengan sengaja membuktikan ucapannya.

“Kalau ada salep, obati pakai itu aja. Jangan ditempel plester kalau lukanya agak besar. Biarin aja kebuka, biar cepat sembuh,” ujar Lia.

Lia hanya ingin berbagi tips yang pernah diberitahu oleh ibu. Tidak bermaksud menceramahi dan merasa paling tahu, tidak. Ibunya dokter. Jadi paham dengan hal-hal macam ini.

Nathan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tak lama, dia mengangguk.

Lia benar-benar lupa akan tujuan awalnya yaitu ke perpustakaan untuk mencari buku. Bel masuk sudah berbunyi, jadi Lia harus segera ke kelas. Jika nanti kena marah oleh Pak Budi maka dia akan pasrah saja. Lia juga tidak tahu apakah Yesha sudah mencarinya atau tidak. Dia dibawa kabur oleh Javier tadi.

“Yesha!” teriak Lia di lorong kelas ketika melihatnya bersama Javi masih bicara di depan kelas. Semoga anak itu ingat untuk mencari buku, ya, semoga. Lia berlari kecil, meninggalkan Nathan di belakang. “Bukunya?”

Yesha menepuk jidatnya, Lia menghela napas pasrah. Kalau sudah begitu, ya pasti lupa. “Gue juga lupa.”

“Kalian ngapain di sini?” Rendy sudah berdiri di dekat mereka dan memegang tiga buku.

Lia juga sangat rajin sewaktu di sekolah lama. Tidak ada waktu untuk berbincang-bincang macam ini di depan kelas. Tapi sekarang kenapa Lia jadi begini. Apa lingkungan mempengaruhi perubahan sifatnya? Entahlah.

Javi meraih satu buku yang ada di tangan Rendy dan memberikannya pada Yesha. “Ambil ini..” ujar Javi enteng. Anak itu bahkan tidak menghiraukan tatapan tajam Rendy.

“Nggak usah.” Yesha menolak.

Rendy menyipitkan matanya dan menggeleng. “Heru tadi liat waktu lo kasih Yesha buku,” sahut Rendy pada Javi dan hendak masuk namun Yesha langsung menarik tangannya.

“Sumpah?” sergah Yesha. Dia takut pacarnya tahu tapi baru saja kembali bersama Javier.

Rendy menganggguk, mengiakan pertanyaan Yesha dan masuk ke kelas. Javier malah tidak peduli dengan itu.

Nathan tertawa. “Siap-siap aja.”

Nathan mengelus kepala Lia pelan lalu menepuk pundak Javi dan berlalu pergi ke kelasnya. Lia mematung diiringi dengan jantungnya yang berpacu cepat.

“Gue udah ambil. Cepat masuk!” si penyelamat Haikal datang.

Lia tersenyum lebar dan mengekori Haikal masuk ke kelas seperti anak ayam yang mengikuti induknya.

Satu kelompok isinya tiga orang. Tapi ketika mereka mulai membahas pelajaran, Yesha tidak bisa fokus karena hal tadi.

“Mampus gue!” pekik Yesha sambil memegang kepalanya. “Tadi tuh gue nggak bisa nolak waktu Javi narik tangan gue. Kayak, tubuh gue gerak sendiri. Heru sama sekali nggak gue pikirin.”

“Biarin aja. Percuma ngomong sama dia sekarang. Nggak akan fokus-fokus.” Haikal mencibir.

Lia dan Haikal kembali menyelesaikan tugasnya. Sedangkan Yesha larut dalam pikirannya sendiri. Memikirkan Heru dan Javier.

*

Ibu sangat sibuk akhir-akhir ini, jadi sering pulang larut malam. Dan berakhir dengan Lia yang selalu kalang kabut untuk mencari makanan. Sebenarnya dia malas untuk keluar cari makan, tapi perutnya terus berbunyi dari tadi. Di dapur juga tidak ada stok makanan karena ibu tidak sempat membelinya. Lia akhirnya memutuskan untuk keluar, mencari rumah makan yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal. Kalau tersesat nanti tinggal buka google map, simple.

Setelah memesan, Lia duduk di pojok sambil menunggu makanan datang dan mengutak-atik ponselnya. Tidak ada satu pun chat dari Lino. Lia tahu dia sibuk, jadi dia mengerti. Ujian masuk universitas tidak bisa disepelekan. Chat terakhir darinya satu minggu yang lalu, mengatakan kalau dia rindu Lia. Lia juga rindu.

Hampir semua orang ada teman makannya. Tapi Lia tidak iri, dia benar-benar sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Makan sendiri pun sudah jadi kebiasaan. Kalau di sekolah makannya bersama teman-teman, kalau di luar sekolah hang outnya hanya sekali seminggu. Karena benar-benar tidak ada waktu untuk sekadar saling kirim pesan. Hari-harinya dipenuhi dengan belajar dan belajar.

Lia sudah kenyang, waktunya untuk pulang. Tadinya dia ingin menikmati semilir angin malam tapi tidak tahu mau ke mana. Saat hendak berbelok menuju jalan yang mengarah ke rumahnya, Lia ditabrak seseorang hingga tersungkur. Tangan kiri luka pada telapaknya karena Lia menjadikannya tumpuan saat jatuh. Lutunya juga luka, tapi untung luka kecil. Tapi itu benar-benar perih.

Lia mau mengutuk orang itu, tapi dia berusaha menahannya. Dia tidak mau menyia-nyiakan energi untuk orang tidak tahu diri. Sudah salah tidak minta maaf. Tapi sepertinya, Lia bisa memahami situasinya karena dia sedang dikejar oleh banyak orang.

Lia berusaha berdiri dan membersihkan tangannya. Orang-orang jadi menatapnya. Lia kemudian melihat sebuah bayangkan mendekat.

“Lo nggak apa-apa?”

Lia mendongak untuk menatapnya, menatap seseorang yang dengan entengnya bertanya apa dia baik-baik saja. Dan saat itulah dia menatap sosok Nathan Adinata berdiri di hadapannya.

Lia belum sempat bicara ketika Nathan menarik tangannya untuk masuk ke sebuah mini market yang ada di dekat lingkungan itu. Dia menyuruh Lia untuk duduk diam. Tak lama, dia kembali setelah membeli obat. Jadi dia orang yang menabrak Lia tadi? Tapi, dia kemanakan orang-orang yang mengejarnya itu? Itu tidak sedikit, sungguh, Lia bahkan tidak bisa menghitung berapa orang yang melewatinya. Lia mulai penasaran tentangnya karena setelah mendengar cerita dari Yesha. Awalnya Lia tidak begitu peduli dengan cerita Yesha. Tapi tadi, itu sungguh banyak, orang-orang yang mengejarnya sangat banyak.

“Maaf. Tadi gue nggak sengaja,” ujar Nathan pelan sambil membuka tutup obat salep dan meraih tangan Lia kemudian mengoleskannya. Lia mendesis karena merasakan sakit. “Lo tadi liat waktu gue dikejar orang-orang, kan? Kenapa nggak nanya, lo nggak penasaran?”

Lia penasaran. Sangat, malah. Tapi dia memilih untuk tetap diam sambil memperhatikan Nathan yang masih mengobati luka di telapak tangannya. Nathan menempel plester setelah selesai mengobatinya dan menatap Lia yang masih diam.

“Kenapa diam aja? Nggak mau nanya apa-apa?”

Nathan kembali bertanya, seolah memaksa Lia agar mau bicara dengannya. Lia tidak tahu apa maksudnya tapi dia menangkap kalau Nathan ingin bicara dengannya. Bukan apa-apa, hanya saja pikiran Lia masih blank.

“Terima kasih. Bukannya nggak mau nanya. Tapi gue nggak tahu nanti, lo bisa ngasih jawaban atau nggak dari pertanyaan gue.” Lia berujar pelan.

Nathan tersenyum kecil, dan itu membuatnya terlihat sangat tampan. Lia pernah melihatnya tersenyum kemarin. Tapi entah kenapa, malam ini terlihat berbeda dan jantung Lia berdebar lagi.

“Lo pasti pernah dengar tentang gue yang suka berantem. Gue berantem sama yang ngejar gue tadi.” Nathan menjelaskan. “Lo pasti pernah dengar, kan? Apa karena itu lo nggak mau temenan sama gue?”

“Nggak!” sergah Lia cepat. Padahal tebakan Nathan sangat akurat. “Jangan asal nuduh. Gue nggak gitu.”

Nathan hanya tersenyum, dia kemudian hendak membersihkan sampah bekas plester tadi. Tapi Lia mencegahnya dan mengambil kembali salep yang ada di tangannya. Lia tidak bermaksud apa-apa tapi saat ini dia juga sedang terluka, sudut bibirnya terluka. Bagaimana bisa Lia mengabaikan hal itu di saat dia sudah mengobati lukanya. Padahal lukanya yang kemarin belum terlalu sembuh tapi dia sudah mendapat luka baru lagi.

“Lo juga luka,” ujar Lia dan mulai mengobatinya.

Nathan diam dan memperhatikan wajah Lia yang tepat berada di depan wajahnya. Sialnya, Lia jadi gugup. Jantungnya semakin berdetak dua kali lebih cepat.

“Kalau gitu, kasih gue nomor lo. Tadi lo bilang lo bukan orang yang kayak gitu.” Nathan mencari kesempatan.

Lagi-lagi dia membahas itu, Lia sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Lia masih diam. Setelah selesai mengobatinya, Lia membuang semua sampah itu dan meninggalkannya yang masih duduk.

Saat Lia kembali, dia langsung menyodorkan ponselnya. Sebenarnya alasan utama kenapa Lia menolak karena dia tidak mau terlibat dengan laki-laki. Lia sudah punya pacar, dia tidak mau memberi mereka harapan dengan menjadi lebih dekat karena Lia memberinya nomor ponsel. Lagi pula setelah lulus dari SMA, Lia akan kembali. Lia tidak mau menciptakan suatu hubungan yang bisa membuatnya bingung nanti.

Tapi entah kenapa tangannya dengan sendiri mengambil ponsel itu dan mengetikkan nomornya. Lia tidak tahu kenapa dia begitu. Semua itu terjadi di luar kendali, kali ini dia sungguh tidak bisa menolak.

Finally, gue berhasil dipercobaan keempat. Kalau ini nggak berhasil, gue juga akan coba terus nanti.”

“Biasanya cowok akan berenti setelah percobaan ketiga.”

Nathan mengeluarkan senyum mautnya. Lia menganggapnya begitu karena setiap melihatnya tersenyum rasanya hatinya bisa meleleh. Seperti es batu yang mencair saat terkena panas.

“Lo bener. Tapi, gue akan terus coba. Karena orangnya itu, lo.”

**

FIKSI GUYS. FIKSI.
Thanks.

©dear2jae
2020.09.08 — Selasa.
2024.02.17 — Sabtu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top