06.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen. Terima kasih!
*
Nathan tidak habis pikir kenapa dirinya selalu sial dalam hal bermain batu, gunting, kertas. Padahal dia sangat malas untuk keluar malam ini. Tapi mau tidak mau dia harus melakukannya dan membeli snack di mini market terdekat untuk camilan sambil main game malam ini.
Dua kantong plastik besar bertengger di tangannya yang isinya sebagian besar minuman kaleng seperti cola, snack dan buah semangka pesanan Mark.
Saat melewati gang ada di sekitaran rumahnya, ekor matanya menangkap sosok yang terlihat familiar namun dia belum yakin sepenuhnya. Nathan sebenarnya mau mengabaikannya dan berjalan menjauh. Tapi orang itu sedang dikeroyok. Catat, dikeroyok. Dengan mengendap-endap, Nathan mendekati kerumunan itu. Ingin memastikan kalau orang yang dikeroyok itu adalah Felix. Iya, Felix.
Nathan melotot kaget saat netranya melihat dengan jelas bahwa anak itu memang benar-benar Felix. Walaupun sempat menaruh dendam pada Felix karena sebelumnya Felix membuat keributan dengannya. Tapi tak bisa dipungkiri kalau anak itu butuh pertolongan saat ini. Itu yang bisa Nathan simpulkan karena Felix hanya sendirian. Banyak orang mengerubunginya dan memukulnya secara membabi buta.
“Woy! Berenti!” teriak Nathan. Seketika, matanya semakin melotot kaget saat melihat bahwa orang-orang itu tidak sedikit. Sial bagimu, Nathan.
Tapi sudahlah, dia sudah masuk ke sarang harimau jadi mau tidak mau ya harus dihadapi. Walaupun sudah memutuskan untuk jadi orang jahat, tapi kalau aslinya baik, ya, dia tetap baik. Dengan membantu Felix saat ini misalnya.
“Lo ngapain di sini?!” suara Felix meninggi. Entah karena tidak ingin dilihat oleh Nathan atau memang karena terkejut.
“Lo sendiri ngapain? Lo beneran si jagoan sekolah? Kenapa malah terkapar kayak gitu?” Nathan meninggikan suaranya. Mengejek dan menyanjung Felix dalam satu waktu.
Nathan merasakan suasana buruk saat semua pasang mata menatapnya tajam. Ya, ini adalah keputusannya sendiri untuk masuk ke sarang harimau. Merasa suasana berubah, Nathan meletakkan dua kantong plastik belanjaannya dipinggir. Dia tidak bisa membiarkan pesanan teman-temannya hancur atau dia tidak akan mendapat kepercayaan lagi.
“Pergi! Jangan ikut campur!” seru Felix yang sudah melemah. Wajahnya terlihat berantakan akibat noda darah.
“Ayo pulang. Udah malem. Besok sekolah,” ujar Nathan seperti orang tua yang mengajak anaknya pulang. Yang langsung membuat salah satu dari anak-anak yang menganiaya Felix geram. “Kalian juga, berenti pukulin anak orang. Beraninya ngeroyok aja. Satu lawan satu, kan, bisa.”
Ok, Nathan Adinata. Kau sudah dengan nekat berkata seperti itu jadi tanggung sendiri akibatnya.
Dan, ya, perkelahian tidak bisa dihindarkan. Felix membeku, melihat Nathan yang mulai menumbangkan mereka satu persatu. Anggap saja Felix sudah tak punya tenaga untuk melawan dan membantu Nathan. Jadi, yang bisa dia lakukan hanya menonton dalam diam. Menyaksikan bagaimana Nathan bisa mengatasi mereka semua dengan tangan kosong.
Sebuah penyesalan besar bagi Felix karena sempat berseteru dengan Nathan sewaktu masih satu sekolah dulu.
Nathan mengulurkan tangannya dan membantu Felix berdiri. Napasnya masih tersengal karena kelelahan, dia menatap Felix. “Bodoh! Kenapa lo nggak ngelawan?” tanya Nathan, sembari membantu Felix berjalan. Anak itu memungut kantong plastiknya.
“Kalau gue ngelawan, mereka nanti makin menjadi,” jawab Felix. Dia berpegangan pada pundak Nathan. Kakinya serasa mati rasa karena terlalu lama berlutut. “Thanks.”
“Siapa mereka?” Nathan sebenarnya tidak terlalu mau tahu tentang siapa yang mengeroyok Felix. Tapi rasa penasaran menguasai dirinya.
“Kakak kelas waktu SMP. Gue heran gimana bisa mereka tahu gue di sekitaran sini.”
Nathan terdiam, dia seperti melihat dirinya sendiri pada sosok Felix. Apa mungkin Felix mengalami hal yang sama dengannya?
Tapi Nathan tidak mau terlalu ikut campur, yang penting dia sudah membantu Felix hari ini. Tidak peduli bahwa dulu dia dan Felix sempat terlibat baku hantam. Dia tidak mau membuat Felix merasa tertekan dengan pertanyaan yang bersarang di otaknya. Itu kehidupan pribadi Felix.
*
“Kayaknya kita nggak bisa ngebiarin lo keluar beli snack lagi.” Mark meraih kantong plastik ditangan Nathan dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan gelas dan nampan.
“Kenapa? Titipan kalian aman-aman aja, kan.”
“Pakai nanya lagi.” Javi mendelik kesal. Sempat melirik keadaan wajah Nathan saat anak itu masuk dan langsung geleng-geleng kepala bersama Rendy.
Nathan tidak menimpali, kali ini dengan sendirinya mengambil kotak obat yang ada di laci meja televisi dan mengobati luka pada wajahnya. Mark kembali bersama tangan yang penuh dengan makanan ringan serta minuman. Rumah Nathan memang sering jadi markas mereka kalau mau kumpul. Karena Pak Agung lebih sering ke luar kota atau ke luar negeri untuk mengurus pekerjaan.
“Tadi gue tolongin Felix. Dia dikeroyok.” Nathan bersuara tanpa menatap Mark, Rendy dan Javi. Dia masih fokus pada luka-lukanya.
“Baik banget.” Rendy menimpali tapi nada suaranya terdengar sarkas. “Lo lupa dulu, lo sempat adu jotos sama dia?”
“Iya, tuh!” seru Javi.
“Dia dikeroyok sama kakak kelasnya waktu SMP.”
Rendy dan Javier seketika menghentikan aktifitas mereka lalu menatap Nathan yang masih sibuk mengutak-atik kotak obat. Kalau sudah begini, mereka tidak bisa berkomentar lagi.
*
Setelah berganti pakaian olahraga, Lia, Yesha dan Haikal menuju lapangan basket. Karena hari ini materi pelajaran olahraga yaitu basket. Suasana mendadak ribut saat Lia sedang asik bicara dengan Yesha dan Haikal. Mereka mengalihkan perhatian dan melihat si siswa populer nomor satu yaitu Nathan Adinata bersama gengnya memasuki lapangan basket. Pantas saja ribut.
“Kelas sebelah juga ada jam olahraga, ya?” tanya Lia pelan.
Haikal mengangguk. “Makanya Yesha nggak suka pelajaran olahraga. Ya, karena harus ketemu sama mantannya.”
Yesha hanya memalingkan wajahnya. Tak lama, Pak Edi datang dan langsung memberi pengarahan. Pemanasan dimulai, Lia, Yesha dan Haikal mengambil barisan paling belakang. Karena anak-anak yang lain sudah duluan berebut di barisan paling depan. Tak lain dan tak bukan karena Nathan dan gengnya yaitu Javier juga Rendy.
“Lo liat nggak wajah Nathan tadi?” tanya Yesha berbisik. “Pasti kelahi lagi.”
Lia tidak peduli. Maksudnya itu bukan urusannya. Lia jelas melihatnya, sampai ngeri sendiri melihat plester yang banyak itu. Setelah pemanasan, mereka semua berkumpul di pinggir lapangan membentuk lingkaran dan Pak Edi memberi perintah untuk maju satu persatu mempraktikkannya.
Giliran Lia tiba. Lia di sini berstatus sebagai siswi baru jadi belum mengenal mereka semua. Ditambah tatapan tidak mengenakkan dari anak-anak yang lain sejak tahu kalau Nathan pernah meminta nomor ponsenya.
“Siswi baru, ya?” tanya Pak Edi saat Lia meraih bola basket yang ada di keranjang. Lia mengangguk dan mengulas senyum kecil. “Ok, mulai.”
Lia mulai men-dribbel bola basket setelah mengikat rambutnya. Kemudian melempar bola ke dalam ring dan.. nice shot! Langsung masuk.
“Nice shot! seru Pak Edi bertepuk tangan. Yesha dan Haikal juga bertepuk tangan untuk Lia. Dan juga, Nathan, Javier dan Rendy.
Lia tambah malu karena ketiga anak itu ikut bertepuk tangan. Lemparan kedua, ketiga, semuanya berhasil masuk dengan sempurna. Ada gunanya juga Jamal sering mengajaknya bermain basket bersama teman-temannya.
Lia kembali duduk di tengah-tengah Yesha dan Haikal. Untuk apalagi selain berlindung dari tatapan-tatapan mematikan anak-anak yang mengaku penggemarnya Nathan. Akhirnya, setelah selesai mereka memutuskan untuk berganti baju kemudian akan pergi makan siang. Lagi-lagi, Nathan menghadang jalan. Apa hobinya mencegat orang?
Dia menyodorkan satu botol air minum pada Lia. “Pasti haus. Ambil, ini.”
“Nggak. Makasih.” Lia menolak dengan sopan.
Tadinya mau diambil tapi langsung sadar dengan tatapan yang menusuk dari berbagai arah padanya. Jadi, Lia menolak. Itu lebih baik, dari pada cari keributan.
Tapi yang namanya Yesha ini sepertinya sengaja ingin menjerumuskan Lia. Dia malah mengambil botol itu dari tangan Nathan dan memberikannya pada Lia. “Perhatian banget, sih, sama Lia. Thanks, ya.”
“Sama-sama. Tapi, kapan lo mau kasih gue nomor lo? Masih belum mau ngasih, kah?” tanya Nathan sambil mengusap tengkuk kepalanya.
“Gue duluan. Kita ketemu di kantin.” Haikal lebih dulu pergi.
Yesha hendak menimpali ucapan Nathan. Tapi Lia langsung memegang tangannya. “Makasih, airnya.” Lia buru-buru menyeret Yesha.
Lia akui Nathan tampan bahkan sangat tampan. Lebih tampan dari Lino, pacarnya. Apalagi saat dia berdiri di depan Lia tadi, Nathan memasukkan kedua tangannya ke saku celana olahraga dan hanya mengenakan kaos berwarna putih ditambah sisa keringat yang belum kering. Pantas saja dia digilai banyak orang. Tapi tetap saja Lia lebih suka Lino.
Tapi serius, Lia heran kenapa Nathan selalu datang dengan keadaan wajah babak belur. Apa dia punya musuh atau sejenisnya? Sepertinya anak-anak yang lain sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu karena mereka tidak terlihat kaget kalau Nathan terluka. Pihak sekolah juga tenang-tenang saja. Apa mereka tidak mau menindaklanjuti kasus ini? Atau seperti kata Yesha dulu kalau buktinya tidak ada? Lia juga berkali-kali heran karena hanya Nathan sendiri yang terluka sedangkan Javier dan Rendy tidak.
Siapa Nathan?
Mungkin ini hari sialnya, entahlah. Tapi saat Lia keluar dari toilet, Lia mendapati tiga orang perempuan sedang menghadang jalan. Saat Lia mau lewat mereka menghalangi. Jadi, Lia rasa target mereka adalah dirinya.
Apa ini berhubungan dengan Nathan?
“Jangan macem-macem di sini. Anak baru tapi udah banyak tingkah!” ujar salah satu dari mereka.
Lia menyipitkan mata untuk melihat name tag yang tertempel di dadanya. Mira, itulah namanya. Sepertinya dia adalah ketua gengnya karena dia berdiri di tengah. Lia ridak tahu juga dan pastinya tidak mau tahu.
“Gue nggak ngerti maksud lo. Gue nggak pernah macem-macem di sini.” Lia tidak mau diam saja. Karena dia memang tidak pernah melakukan hal yang merugikan bagi mereka. Lia juga tidak mengenal mereka.
Mira tersenyum sinis dan berjalan mendekati Lia, dia terlihat menyeramkan. “Nathan cowoknya Elena. Jadi, jangan macem-macem sama dia. Kalau nggak mau kenapa-kenapa, mending lo jauh-jauh dari Nathan.” Mira langsung pergi setelah mengatakannya.
Sialnya, Lia belum sempat mengutarakan pikirannya. Menjauh? Yang benar saja. Bukankah Nathan yang mendekati lebih dulu, bicara apa dia. Lia ingin segera lulus agar bisa cepat kembali ke Inggris. Tidak pernah terpikirkan hari seperti ini akan ada di hidupnya. Membayangkannya saja tidak pernah.
Saat pelajaran berlangsung, Lia tidak fokus. Pikirannya tertuju pada kejadian tadi. Bagaimana jika mereka membully, menganiaya, melempari Lia dengan tepung dan telur seperti di drama korea? Memikirkannya saja membuat Lia merinding. Tidak mungkin, kan? Ya, itu hanya drama.
Lia berniat memberitahu Yesha dan Haikal. Tapi tidak jadi karena Lia pikir itu tidak penting. Mungkin mereka hanya menggeretak saja. Lagi pula Lia juga tidak berniat dekat dengan Nathan. Jadi, Lia tidak perlu berurusan dengan mereka.
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
Thanks.
©dear2jae
2020.09.06 — Minggu.
2024.02.14 — Rabu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top