04.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Hari-hari Lia dipenuhi canda tawa karena mereka orangnya lumayan kocak dan lucu. Mereka selalu bisa membuat lelucon yang Lia tertawakan. Lia kira, dia tidak akan bisa beradaptasi dengan cepat. Tapi nyatanya mereka membantu sangat banyak.
Sungguh, Lia pun heran pada dirinya sendiri, kenapa bisa akrab dengan mereka. Maksudnya, ini terjadi di luar kendali. Sebelumnya, Lia sempat berpikir mungkin saja kehidupan sekolah barunya akan monoton karena Lia memang tidak berniat melakukan apa-apa. Maksudnya untuk aktif mencari teman dan bergaul. Tapi ternyata Yesha dan Haikal sangat humble, itu membuat Lia jadi tidak enak jika terus-terusan menolak.
Lia mencoba menahan diri untuk tidak terlalu berinteraksi dengan mereka. Tapi mereka terus mendekatinya dan mengajak Lia bicara. Jadi, oke, pelan-pelan saja.
Setelah pelajaran usai, Pak Budi menyuruh Lia untuk ke ruang guru. Katanya Lia harus membantunya mengangkut beberapa buku untuk dibawa ke gudang. Tapi nyatanya hanya Lia saja yang membawanya. Kenapa dari awal tidak minta tolong saja, kenapa harus bilang bantu saya.
Buku-bukunya lumayan banyak dan berat karena semuanya tebal-tebal. Lia cukup kesulitan tapi untunglah, dia masih bisa membawanya dengan selamat.
Saat berbelok menuju gudang, Lia mendapati sekelompok anak laki-laki sedang berbincang di lorong. Lia malu tapi hanya itu satu-satunya jalan menuju gudang yang ada di ujung. Lia hanya mengenali satu orang di antara mereka, yaitu Rendy, ketua kelasnya.
Lia memberanikan diri untuk lewat, melangkah dengan pelan tapi salah seorang dari mereka berdiri dan menghalangi jalan.
“Ren, tolong bawaian ini ke gudang,” ujarnya tanpa mengalihkan perhatian dari Lia.
Rendy berdiri, si ketua kelas berwibawa itu menurut saat anak di depan Lia ini menyuruhnya. Apa-apaan dia, sok-sokan memerintah orang. Apa dia bosnya, ketuanya, pimpinannya? Lia tidak peduli.
“Nggak usah. Gue bisa sendiri.”
Mana mungkin Lia membiarkan ketua kelas yang dia hormati itu membawa tumpukan buku ini. Ok, maksudnya, tenaganya memang lebih kuat tapi yang diberikan titah oleh Pak Budi untuk membawanya adalah Lia. Jadi Lia akan bertanggung jawab.
Tapi dia dengan sigap mengambil tumpukan buku yang ada di tangan Lia dan memberikannya pada Rendy. Lia menatap name tag yang ada didadanya, Nathan Adinata. Jadi ini wujud nyata laki-laki yang diceritakan Yesha tempo hari, laki-laki populer nomor satu. Waktu di kelas kemarin hanya dilihatnya sekilas. Ya, dia tampan tapi suka memaksa.
Rendy mengambil buku itu dari tangan Nathan dan berlari kecil menuju gudang yang tidak jauh dari tempat mereka duduk. Lia jadi tidak enak pada Rendy. Dia bilang terima kasih dan hendak kembali namun Nathan menarik tangannya. Lia menatapnya bingung karena Nathan masih memandangi dirinya dalam diam. Nathan kemudian menyodorkan ponselnya di depan Lia.
“Karena gue udah tolongin. Bisa kasih nomor hp lo?”
Jadi bantuan yang tadi itu tidak gratis? Tahu begitu Lia akan terobos mereka dari tadi. Dan lagi, yang membantu itu Rendy, bukan Nathan.
“Nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Gue nggak kenal sama lo dan gue baru aja ketemu sama lo sekarang. Jadi, gue nggak bisa ngasih nomor gue. Bantuan yang tadi, makasih. Tapi gue nggak minta tolong sama lo jadi gue nggak perlu ngasih imbalan.” Lia berujar tegas. Lalu, menatap Rendy. “Terima kasih atas bantuannya tadi, ketua kelas.”
“Ini bukan peretemuan pertama kita. Kemarin di ruang guru kita papasan.” Nathan masih berusaha.
Lia baru ingat kalau kemarin sempat melihatnya di ruang guru. Tapi tetap saja Lia tidak begitu mengenalnya.
Tanpa bilang apa-apa ataupun menimpali ucapannya, Lia kemudian pergi setelah bilang terima kasih lagi pada Rendy. Lia tidak bermaksud jual mahal atau apa. Tapi sungguh, dia hanya tahu Nathan dari cerita Yesha, dia tidak mengenalnya lebih jauh jadi wajar saja Lia menolak.
Lia kembali ke kelas dan memberitahu Yesha kalau dia bertemu dengan Nathan. Yesha terlihat antusias dan langsung menyuruh Lia untuk menceritakan detailnya. Lia bilang padanya kalau Nathan minta nomor ponselnya, Lia juga bilang kalau dia menolak permintaannya.
“Astaga! Itu kesempatan emas, woy. Lo nggak tahu apa kalau itu hal yang paling dinanti sama anak-anak cewek di sini. Biasanya mereka yang nanya nomor Nathan. Tapi ini, Nathan yang minta langsung sama lo. Oh my god, gue nggak tahu apa yang lo pikirin, Grizellia.” Yesha memijit pelipisnya.
Mungkin semua orang memang menantikannya. Tapi bagaimana dengan Lia yang baru saja bertemu dengannya? Ya, mana mau dia memberitau nomor ponselnya kalau tidak mengenal Nathan dengan jelas.
Pertemuan pertama saja sudah menyebalkan. Maksudnya, dengan Nathan yang seenak jidat memerintah Rendy untuk membawa buku-buku itu. Lia memang membela Rendy karena anak itu sudah memperlakukannya dengan baik sebagai seorang ketua kelas.
“Lia!”
Yesha mengguncang lengan Lia dan mengembalikan fokusnya yang sempat teralihkan karena memikirkan Nathan. Bukan memikirkan dirinya tapi kondisi wajahnya saat Lia bertemu dengannya tadi. Sumpah, wajah Nathan dipenuhi plester seperti yang dikatakan Yesha tempo hari padanya.
“Sha..”
“Apa?”
“Tadi waktu ketemu sama si Nathan itu, gue liat wajahnya luka. Ada plester di bagian tulang pipi, rahang, sama pelipis.”
Tadinya Lia tidak mau memberitahu Yesha. Maksudnya, dia tidak mau terlalu peduli dan tahu tentangnya karena itu urusannya. Lia kira cerita Yesha dilebih-lebihkan tapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri ternyata itu benar.
“Gue bener, kan. Liat, nggak ada orang satu pun yang liat. Karena kalau ada yang liat, pasti udah dilaporin kayak kasusnya Felix.”
Lia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak penting juga untuk tahu kenapa dia berkelahi. Lia mencuri pandang pada Rendy yang sibuk dengan buku tulisnya. Setelah dia kembali ke kelas, Lia merasa tidak enak padanya walaupun sudah bilang terima kasih. Tapi tetap saja Lia merasa tidak enak.
Apa benar mereka berteman? Kenapa Nathan berbuat semaunya dan suka memerintah kalau memang teman. Rendy juga, kenapa mau-mau saja.
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, menyudahi pelajaran Pak Budi. Lia melihat Rendy membantu membawa buku Pak Budi, Lia langsung mencegatnya ketika dia keluar kelas. Bukan untuk mencari perhatian tapi untuk meminta maaf soal insiden tadi.
“Apa?”
“Soal yang tadi.. Gue minta maaf.”
“Yang mana?”
“Buku.”
“Oh.. Ok, nggak apa-apa. Kenapa minta maaf segala?”
“Nggak enak aja.”
“Nggak apa-apa. Santai.”
Lia hanya tersenyum kecil dan membiarkan Rendy pergi. Dia kemudian melangkah perlahan sambil memperhatikan punggung Rendy yang hendak hilang dibalik belokan menuju ruang guru. Yesha dan Haikal sudah lebih dulu pulang karena ada acara keluarga katanya. Kenapa bisa samaan, Lia juga tidak tahu.
*
Setelah insiden penolakan oleh Lia waktu dilorong menuju gudang, Nathan semakin penasaran padanya. Pembawan gadis itu terlalu tenang, tidak banyak tingkah, dan sangat pendiam seperti kata Rendy.
“Kalau diingat-ingat, dia cewek pertama yang nolak dimintain nomor sama lo. Haha! Lucu. Nathan Adinata ditolak mentah-mentah.” Mark tertawa mengejek. Nathan juga ikut menertawakan dirinya.
“Tadi Lia minta maaf sama gue waktu mau pulang,” sahut Rendy.
“Sok-sokan mau jadi pahlawan. Tapi, ujung-ujungnya malah nyuruh Rendy. Lia pasti mikir buruk tentang lo.” Javi mengutarakan pendapatnya.
Mereka saat ini nongkrong di sebuah cafe yang ada di dekat sekolah. Tongkrongan para anak hits sepulang sekolah atau kuliah. Nathan sibuk mengutak-atik ponselnya, tak menghiraukan Javi, Rendy dan Mark yang sedang bercanda. Tak lama, Hera datang dan bergabung bersama mereka.
“Wajah lo kenapa lagi?”
“Lo tahu penyebabnya. Tapi masih nanya?” Javi menimpali sambil menyeruput minumannya.
“Nggak sakit. Jangan khawatir.” Nathan mengedipkan sebelah matanya. Yang membuat Hera dan Rendy terkekeh geli.
“Emangnya siapa yang khawatir? Gue kasih tau juga lo nggak akan mau dengerin. Jadi, up to you mau ngapain aja.” Hera mengambil minuman milik Rendy dan menghabiskannya.
Setelah lama berbincang, tak terasa hari sudah mulai sore. Mereka beranjak dan membayar di kasir. Javi menghela napas berat sebelum menyerahkan uangnya pada kasir. Jika mereka makan bersama maka mereka pasti akan bermain batu gunting kertas untuk menentukan siapa yang akan membayar. Kali ini, Javi yang kalah.
Mark, Rendy dan Javi melambaikan tangan saat mereka berbelok menuju gang rumah mereka. Sedangkan Nathan mengantar Hera pulang.
“Ra, gue mau nanya. Tapi, jawab serius, ya.”
Hera mengangkat sebelah alisnya karena bingung dengan ucapan Nathan yang tiba-tiba. Tapi, Hera menganggukkan kepalanya.
“Apa?”
“Kalau lo suka sama gue. Bilang aja..”
Sontak Hera tertawa keras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Nathan. Hera bahkan berhenti berjalan dan berpegangan pada tembok saking lelahnya dia tertawa. Dia menepuk-nepuk pundak Nathan dengan sisa tawanya. Kemudian menempelkan telapak tangannya pada dahi Nathan, memeriksa apakah laki-laki itu dalam keadaan baik-baik saja.
Nathan menepis tangan Hera dengan wajah kesal. “Gue serius, woy!”
“Denger, ya. Jangan tanya pertanyaan konyol kayak gitu lagi. Gue sayang sama Eric. Perasaan gue nggak main-main.”
“Bagus.”
“Kenapa emangnya? Lo suka sama gue?”
“In your dream.”
“Terus kenapa nanya?!” Hera meninju lengan Nathan. Membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. Ya, walaupun tidak benar-benar sakit.
“Kayaknya gue suka sama cewek, nih.”
“Hah? Siapa?”
“Grizellia. Siswi baru di kelas IPA 1.”
“Woah! Nat!”
Hera menutup mulutnya tak percaya. Selama mengenal Nathan sejak SMP sampai SMA, dia tidak pernah mendengar Nathan membicarakan perempuan. Satu kali pun tidak pernah. Itulah kenapa Hera kaget saat Nathan bilang begitu. Bahkan Hera pernah berpikir Nathan sudah kehilangan seleranya terhadap perempuan.
“Gimana tadi kalau gue bilang, gue suka sama lo?”
“Gue akan bilang, maaf. Gue suka sama cewek lain. Gue cuma mau negasin supaya lo nggak bertepuk sebelah tangan.”
“Sialan!”
Mereka kemudian tertawa bersama hingga akhirnya mereka sampai di rumah Hera. Nathan memastikan Hera masuk ke rumah setelah itu barulah dia berbalik dan berjalan pulang.
Katanya hubungan di antara perempuan dan laki-laki itu tidak ada yang namanya teman. Walaupun mereka bersikeras bilang bahwa mereka teman tapi pasti ada saja salah satu dari mereka yang merasakan rasa cinta atau suka. Tapi dalam hubungan Nathan dan Hera yang pada kenyataannya sudah terjalin lama, tidak ada dari mereka yang menyukai satu sama lain. Hera lebih menyukai Eric, musuh bebuyutan Nathan dari pada Nathan sendiri. Nathan pun mendukungnya walaupun Hera menyukai musuhnya.
Aneh saja, bagaimana Lia mengabaikan Nathan di saat orang-orang tergila-gila padanya. Ini menurut pendapat Nathan, ya. Wajah Lia kalau tidak senyum memang sedikit terlihat jutek, tapi kalau sudah senyum maka dia bisa membuat laki-laki jatuh padanya. Nathan saja yang belum melihat wajah senyum Lia, sudah bisa merasakan suka apalagi kalau lihat Lia senyum nantinya.
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Nathan masih berpikir keras apa alasan Lia menolaknya mentah-mentah. Apa benar karena belum kenal? Entahlah. Saat ini dia hanya perlu menyiapkan rencana untuk mendekati Lia.
**
FIKSI GUYS. FIKSI.
Thanks.
©dear2jae
2020.08.22 — Sabtu.
2024.02.12 — Senin. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top