Chaos 31: Sweet Chaos Journey (END)

Tak peduli bagaimana berkeloknya jalan yang akan ditempuh, saat kuingat, kita memiliki satu sama lain, untuk saling menguatkan.
.
.

Suara gemuruh tepuk tangan dan pembaca acara menembus dinding, sampai ke telinga Lia yang berada di ruang tunggu. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang mulai basah karena keringat dingin. Perempuan itu merasakan demam panggung hebat.

Banyak hal gila yang sudah ia lakukan sejak bersama Brian. Kehadiran lelaki itu seolah membebaskan jiwanya. Dan, hal gila yang akan ia lakukan malam ini adalah, tampil di acara showcase Sixth Sense, yang dihadiri kira-kira 2000 orang. Dibanding konser, showcase diadakan dalam skala kecil, untuk menciptakan kesan intimate dengan penggemar. Tidak hanya membawakan lagu, biasanya Sixth Sense juga akan bermain game di panggung, yang melibatkan penonton.

"Mbak Lia, siap?" Saking gugupnya ia tidak sadar, Deki berdiri di depannya.

"Siap nggak siap, gue harus keluar, kan?"

Lelaki itu terkekeh. "Betul. Ayo, game sesi pertama hampir selesai. Bentar lagi Mbak Lia naik panggung."

Mereka berdua berjalan beriringan menuju belakang panggung. Degup jantung Lia, semakin bertalu kencang. Ia mengembuskan napas beberapa kali, mencoba menenangkan diri. Seorang staf, tiba-tiba datang dari balik panggung  menghampirinya dengan langkah lebar.

"Ayo, Mbak Lia ... udah waktunya naik." Perempuan berseragam serba hitam, dengan HT terpasang di pinggangnya, mengulurkan tangan.

"Oke, oke ... " Lia mengangguk, menerima uluran tangan perempuan itu, "anjir, gue grogi parah."

"Nggak apa-apa, Mbak. Sekelas Sixth Sense aja masih suka nervous sebelum perform."

Pekikan para penggemar semakin memekakkan telinga, begitu langkahnya semakin mendekati bibir panggung. Dari tempatnya berdiri, Lia dapat mengintip keadaan panggung. Kelima lelaki itu duduk di kursi tanpa sandaran, menghadap ke arah penonton.

"Malam ini sesuai janji, akan ada penampilan kejutan dari Sixth Sense," ujar sang pembawa acara. "Siap? Yakin, siap? Mari, kita sambut bersama-sama, sosok luar biasa, yang menginspirasi lahirnya Imperfectly Perfect, pemilik podcast Sweet Chaos, Julia!"

Sorakan dan tepuk tangan langsung menggema memenuhi tiap sudut venue. Kelima anggota Sixth Sense, memutar kursi mereka secara bersamaan, untuk menghadap ke arah pintu, munculnya Lia. Brian bangkit untuk menyambut Lia yang baru saja muncul dari balik tirai. Senyum lebar menghiasi wajah lelaki itu.

Ombak kegugupan yang melanda Lia, sedikit terhapus begitu melihat senyum teduh sang kekasih. Matanya sesekali melirik ke arah barisan penonton. Tangannya menggenggam erat jemari Brian, yang terus menuntunnya menuju kursi kosong di antara tempat lelaki itu dan Dion.

"Kamu cantik banget hari ini," bisik Brian berhasil membuat pipinya bersemu merah.

"Teman-teman, finally the day I've been waiting for, came," tutur Brian begitu sampai di kursi yang berjajar di sebelah anggota-anggotanya, "the day, I bring this amazing, beautiful, and wonderful woman to you."

Kalau tadi pipinya yang merona, sekarang wajahnya seakan terbakar. Ia melayangkan tatapan tajam pada Brian, dan mencubit paha lelaki itu. Seolah tidak terjadi apa-apa, Lia kembali menghadap penonton, sambil tersenyum.

"Halo teman-teman penggemar Sixth Sense, salam kenal semua!" sapa Lia melambaikan tangannya.

"Kehadiran Lia di sini, yaitu buat bawain special track yang akan dirilis secara digital besok," terang Rayyan.

"Penasaran nggak? Lagu apa yang bakal kita bawain?" pancing Arsen.

"Coba deh, biar Lia aja yang jelasin," tutur Brian menepuk bahu Lia pelan.

"Ehm ... lagu yang bakal aku dan Sixth Sense bawain adalah lagu lama mereka. Lagu yang udah ada sejak mereka kuliah, lagu yang aku pikir cocok banget untuk perjalanan dan kisah aku sama Brian," tutur Lia perlahan. "Lagu itu adalah Sweet Chaos."

"So, here we go ... Sweet Chaos versi Sixth Sense dan Juleha," tukasnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Para anggota Sixth Sense yang lain tertawa kecil karena tingkah usil Brian. Keempat lelaki itu bangkit dari kursi menuju ke spot mereka masing-masing, menyisakan Brian dan Lia di tengah panggung. Dua orang staf lelaki datang, lalu menyingkirkan kursi-kursi yang tidak diduduki ke belakang panggung.

Lampu panggung menggelap sejenak, sebelum lampu sorot mengarah pada Brian dan Lia. Dawai gitar pun dipetik, dan dimulailah pertunjukkan mereka.

"The world I lived in has flipped over. Inside out because of you. Right is left Left is right .... "

***

"Oh, Babe ... I am so proud of you!" Brian mengangkat tubuh Lia dan memutarnya. Keduanya tertawa lepas, seakan dunia diciptakan hanya untuk mereka.

Meskipun suasana di ruang tunggu Sixth Sense sebenarnya tidak sepi, Brian dan Lia seperti terjebak dalam gelembung kebahagiaan mereka sendiri.

Brian menurunkan tubuh mungil Lia dan menangkup wajah perempuan itu. "I love you so much."

Tanpa sadar Lia menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang hampir lolos dari tenggorokannya. Tiba-tiba ia merasa emosional. Napasnya tercekat. "I love you too."

"Why are you crying?" Timbul kerutan di antara kedua alis Brian.

"I am just too happy," bisik Lia.

"Oh, Baby ... " Brian menundukkan kepala dan menyatukan bibirnya dengan wanita di dekapan. Ia mengecap rasa manis, bunga-bunga pada musim semi, dan wangi vanilla yang ikut menusuk hidungnya.

Bibir mereka bergerak mengikuti irama, dengan mata tertutup. Namun, bukan kegelapan yang mereka saksikan, melainkan jalan tiada ujung, dengan bunga di sisi kanan-kirinya, serta bulan dan matahari berjajar menghiasi langit, bersama kembang api yang meletup. Keduanya merasa penuh dan lengkap.

"Please, get a room lovebirds." Dion bersedekap, bersandar pada daun pintu, menatap Brian dan Lia dengan sengit.

"Ada jomlo ngiri, nih," sahut Arsen yang duduk di kursi menghadap kaca, wajahnya sedang dibersihkan dari make up.

Mau tak mau, Brian pun menarik dirinya menjauh dari wanita yang menjadi candunya. Ia berdecak kesal dan berjalan ke sofa, masih dengan menggandeng Lia. Perempuan itu lalu duduk di sebelah Brian, menundukkan kepala, terlalu malu.

"Tch ... tch ... "

"Apaan, sih?" Brian menggerutu sambil menatap Dion dengan sebal. "Gue udah berhenti, nih."

Dion malah mengedipkan sebelah matanya, sambil menunjuk ke arah luar dengan lidahnya. Lelaki itu membuat banyak gerakan konyol yang Brian tak mengerti.

"Gue nggak ngerti," erang Brian.

"Bego! Rencana kita gimana selanjutnya?" Dengan terpaksa, Dion menanyakan hal itu terang-terangan.

"Rencana apa? Oh, ren---" Mata Brian membulat, ia menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.

"Astaga, lemot banget otak lo!" Saking kesalnya, Dion memukul kepala Brian, membuat lelaki itu mengaduh.

"Jul, kamu tunggu sini bentar, ya ... aku sama Dion mau keluar," izin Brian pada sang kekasih.

"Apaan, nih? Pakai rahasia-rahasiaan. Rencana apa yang kalian omongin?" Lia menatap Dion dan Brian bergantian, dengan kening mengernyit.

"Urusannya panjang. Kalau dijelasin di sini, nggak kelar sampai besok." Setelah mengatakan itu, Dion menarik Brian keluar dari ruang tunggu, meninggalkan Lia dengan penuh tanda tanya.

***

"Mereka ada di mana?"

"Di ruang belakang."

"Astaga, kok bisa gue lupa, sih?" Brian menyugar rambutnya ke belakang.

Dion mendengkus. "Gue kan udah ngodein dari tadi. Tapi otak lo nge-bug."

Kedua lelaki itu memasuki ruangan yang berada tepat di belakang ruang tunggu Sixth Sense. Mereka memutari lorong, berjaga-agar bila Lia mengintip keluar. Padahal, ruang tunggu Sixth Sense berada di ujung yang bersebelahan dengan jalan menuju deretan ruang di belakangnya.

Brian mengetuk pintu berwarna putih itu. Tanpa menunggu lama, pintu pun bergeser dan menampakkan sosok perempuan dengan rambut pirang lurus melebihi bahu. Penampilannya tampak feminim dengan gaun floral biru muda, yang jatuh di bawah lutut.

"Sorry ya, nunggu lama ... gue lupa!" ujar lelaki itu benar-benar menyesal.

"Gimana sih, Bang?" Si rambut pirang mengerucutkan bibir.

Dion melongok ke dalam dan meminta para wanita yang berdiri tak jauh dari pintu, dengan wajah excited dan was-was mendekat. "Udah siap semua, kan?"

"Udah siap dari tadi!" Kini yang menyahut adalah perempuan rambut pendek sebahu, dengan ujung yang di-blow. Setelah celana kulot merah marun yang dipadukan blazer warna senada, dengan kaus putih sebagai dalaman, membuat penampilan dokter spesialis anak itu, terlihat tambah chic.

"Udah puluhan tahun gue nggak lihat kalian, pada tambah cakep, ya?" tutur Dion terkekeh pelan.

"Modusnya ditunda dulu, bos. Bisa?" desis Brian.

"Oke, oke ... kita langsung ke ruang tunggu. Lia udah nunggu di sana," pungkas Dion lalu memimpin jalan.

Orang pertama yang memasuki ruang tunggu adalah Dion. Sedangkan para wanita itu bersama Brian menunggu aba-aba dari sang drummer, dengan tak sabar. Ia berdiri di depan pintu, sambil menatap Lia yang sibuk dengan ponselnya.

"Lia ... "

"Apa? Eh, Brian ke mana?" Ia mendongak, kepalanya celingukan, tidak menemukan keberadaan sang kekasih.

"Brian selingkuh."

Bukannya marah, Lia malah tergelak. "Oh," jawabnya lalu kembali bermain ponsel.

"Lo nggak percaya sama gue?" Dion tak puas dengan respon Lia yang sama sekali tidak terpancing. "Gue lihat dia sama empat cewek sekaligus."

"Ya udah, bawa ke sini aja. Biar gue nonton Brian selingkuh."

"Yakin kuat? Gue bawa ke sini beneran loh, ya .... " Ketika Lia mengangguk, Dion mengetuk pintu untuk memberi tanda agar rombongan di luar masuk, kemudian bergeser menjauh dari pintu.

Lia melipat tangan di depan dada, bersiap akting memarahi sang kekasih. "Jadi, sekarang udah berani seling—"

Sisa kalimat Lia melayang di udara begitu saja, ketika matanya menangkap wajah-wajah tidak asing di belakang Brian. Wajah-wajah yang selama ini ia rindukan. Wajah-wajah, yang selalu ingin ia temui.

Lia beranjak dari kursi, meskipun kakinya terus bergetar. Brian dengan sigap, berdiri di sebelahnya, membantu wanita itu untuk berjalan.

"G-gimana bisa?" Ia tercekat, bulir-bulir air mata menggelincir bebas di pipinya.

"Kangen nggak sama mereka?" Brian berbisik, seraya menyelipkan rambut Lia ke belakang telinga. Ia mengangguk bersamaan dengan air matanya yang terjatuh.

Keempat wanita yang berdiri di hadapan Lia juga sudah sesenggukan tak terkendali. Mereka lalu menghambur memeluk sahabat mereka yang dulu sempat menghilang. Brian mundur, memberi ruang untuk para perempuan itu melepas rindu.

***

Lia tak menyangka, kebahagiaannya hari ini sungguh berlipat ganda. Perempuan itu melanjutkan reuni bersama empat sahabatnya di apartemen Brian. Tanpa ia tahu, Brian telah memesan katering makanan, mendekorasi ruang tamunya, untuk merayakan pesta kecil mereka.
Seuntai ucapan terima kasih pun, tidak bisa menggambarkan rasa syukur yang ia rasakan, karena bisa memanggil Brian sebagai kekasihnya.

"Jadi, kalian udah dihubungi Brian dari minggu lalu?"

Yezy mengangguk. "Gue nggak tahu kontak lo sama sekali. Gara-gara album Sixth Sense yang baru ini, akhirnya gue tahu nama IG lo. Kayaknya juga itu IG baru, kan? Gue DM lo berkali-kali, tapi nggak pernah lo balas. Dibaca pun, nggak."

Lia meringis, merasa bersalah. "Ini emang IG baru. IG gue yang dulu, yang gue pakai selama gue ngilang, itu rahasia. Kerjaan gue tiap hari itu stalking kalian!"

Ryuka dengan setelan merah marunnya terlihat mencolok duduk di sofa putih. "Ngapain stalking? Kenapa nggak langsung DM aja?"

"Gue nggak pede aja. Udah lama banget gue nggak kontak kalian. Dan, waktu itu pikiran gue terlalu fucked up sih."

"Tahu nggak, gue nangis sesenggukan waktu denger kabar lo. Gue tontonin semua konten YouTube yang ada lonya. Kok nasib lo bisa begitu sih, Ya? G-gue nggak sanggup bayanginnya .... " Echa tiba-tiba menangis. Kulitnya yang seputih susu kembali memerah.

"Udah dong, jangan nangis ... kita di sini kan mau seneng-seneng .... " Lia menarik kepala Echa ke dadanya, mengusap-usap rambut cokelat bergelombang yang terasa halus di tangannya.

"Bener, waktu kita juga terbatas kan di sini," tukas Ayuna, si perempuan termuda. Perempuan itu terlihat manis dengan blouse merah muda dan celana jeans biru muda. Rambut hitam berkilaunya dibiarkan tergerai, dengan barret merah muda putih, motif kotak-kotak, jadi pelengkap.

"Oh, iya ... kalian pada tinggal di mana sekarang?" Lia memandang teman-temannya satu per satu.

"Gue sama Yezy di Jakarta. Katanya lo sering stalking kita, kenapa nggak tahu?" sahut Ryuka.

"Ya kan, gue nggak tahu tempat-tempat yang di foto kalian," balas Lia membela diri.

"Gue kerja sekarang jadi copy writer buat perusahaan iklan, di Jakarta. Kalau Ryuka ini, jadi dokter anak di RSIP," jelas Yezy.

"Pantes lo kelihatan gaul banget ya, Zy? Rambutnya jadi blonde begini."

Yezy terkekeh. "Gue sering lihat selebriti pas kerja di Shopee dulu, dan kayaknya cakep sih, rambut blonde."

"Kalau lo gimana, Na?"

"Gue di Semarang bantuin bisnis brand busana muslim nyokap gue. Tinggal di Jogja, tapi sering pergi-pergi."

"Gue ikut suami ke Bandung dan nggak kerja." Echa tergelak.

Jadi, di antara keempat sahabat Lia, hanya Echa yang sudah menikah. Ayuna baru akan menggelar pernikahan mereka dua bulan lagi. Sedangkan Yezy dan Ryuka, masih nyaman berpacaran. Katanya, mereka belum siap menyandang status istri. Apalagi Yezy, ia masih belum rela melepaskan masa lajangnya.

"Lo sama Brian kapan nikahnya, nih? Duluan gue apa kalian?" tanya Ayuna.

"Duluan lo, lah. Gue dilamar aja belum."

"Kamu yang nggak mau aku lamar tahun ini ya, Jul! Jangan fitnah!" Seruan balasan terdengar, bebarengan dengan Brian yang datang dari arah kamar.

Lia mencebik dengan tingkah kekanakkan Brian. "Ya, paling cepat tahun depan, sih .... "

"Deal. Tanggal satu Januari, gue kawinin lo pokoknya," tukas lelaki itu tak mau kalah.

Kelima perempuan di sana, hanya menoleh ke arah Brian sekilas---tanpa repot-repot menanggapinya---sebelum kembali sibuk dengan obrolan mereka.

"Kita bahas seragam buat nikahan gue dulu, yuk ... mumpung ngumpul, nih!"

FIN
***

Alhamdulillah, akhirnya perjalanan Julia dan Brian, selesai juga. Nggak, bukan selesai ding, tapi menuju awal mula yang baru.

Terima kasih, udah ngikutin Julia-Brian dari Double Trouble, atau pun yang baru ketemu mereka di Sweet Chaos. I don't care. Kalian sama-sama berharganya.

Terima kasih untuk dukungan dan doa yang temen-temen tulis di kolom komentar. Kalau Julia adalah sosok nyata, aku yakin dia bakal sangat bersyukur mendapat cinta sebanyak itu.

Semoga, temen-temen pembaca juga mendapat kekuatan untuk bangkit dan terus berjalan seperti Julia.

Untuk epilog, tenang, pasti ada. Tunggu aja. Kapan sih aku nggak post epilog? Hehe ....

Dan untuk yang mengharapkan Sweet Chaos jadi buku, aku minta maaf banget, karena rasanya untuk saat ini, aku pengin kisah Julia berada di Wattpad saja. Kenapa? Karena aku ingin banyak orang membaca cerita ini, aku ingin banyak orang yang dapat kekuatan dari Julia, dengan gratis.

Menulis cerita ini itu rasanya kayak menampar diri sendiri. Banyak banget scene yang bikin aku malu. Dan, jujur, aku pribadi jadi belajar banyak dari Julia. Semoga pesan yang ingin kusampaikan juga sampai ke kalian, ya...❤❤❤

Di Instagram aku udah mulai post foto-foto Julia-Brian. Tapi, nggak bisa langsung banyak, 9 foto, biar nggak diprotes, karena terlalu banyak post🤣

Video nikahan Julia-Brian bakal di-post terakhir. Don't expect too much!

Untuk yang udah bikin trailer Imperfectly Perfect, terima kasih banyak🙏🙏 Kutunggu sumbangan video lainnya🤣🤣 Nanti akan kupost barengan sama trailer buatanku, yang belum dibikin sama sekali.

Nah, seperti biasa, adakah yang ingin  disampaikan untukku? Seperti kritik dan saran? Serius, aku akan menerima dia hal tersebut dengan senang hati. Please, pakai bahasa yang sopan untuk menyampaikan kritik, karena hatiku nggak sekuat Cinderella 🤣🤣

Rate this story, 1-10, Kira-kira Julia dan Sixth Sense, dapat nilai berapa?

See you when I see you! Semoga projek baru bisa segera dirilis!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top