Chaos 30: The Perfect Closure

Tidak ada perpisahan yang baik-baik saja. Tapi, itu cara mereka untuk menyembunyikan luka.
.
.

Pengunjung Medang Cafe membludak berkat rangkaian perilisan album terbaru Sixth Sense. Lia jadi pembicaraan di seluruh negeri. Kasus penculikan enam tahun silam kembali mencuat. Dengan keterampilan warganet, mereka berhasil menemukan tempat Lia bekerja. Tiap hari, ada saja wartawan yang ingin mewawancarainya. Selain orang media, masyarakat umum juga sering berkunjung, karena penasaran ingin melihat sosok Lia secara langsung.

"The power of Bu Manajer, penjualan meningkat tiga kali lipat," kata Naya sambil bertepuk tangan, mengawali rutinitas gosip pagi.

"Ya seenggaknya sebelum gue resign, gue pernah berjasa buat Medang Cafe," sahut perempuan itu sekenanya.

Candy membelalakkan matanya. "Lo beneran mau resign, Mbak?"

"Iya, gue mau lanjutin podcast gue dan ada rencana gue mau nulis buku," jelasnya. "Gue enjoy kerja di sini, ketemu kalian. Tapi, jadi manajer kafe buka passion gue."

"Good luck, lah, Mbak. Biar lo bisa sering berduaan sama Brian. Dia kan jadwalnya super padat nggak, sih?" timpal Sheryl.

Lia menggut-manggut. "Betul, dia itu cerewet banget, kalau gue balik lama. Mana tanya terus, pulang sama siapa, kalau gue naik taksi, minta difotoin wajah driver-nya. Parnonya dia nggak ketulungan."

"Lah, kalau gitu, kenapa nggak balik sama Ghani aja? Biar pacar lo nggak parnoan."

"Nggak parno sih, tapi senewen," dengkusnya. "Dia itu cemburu sama Ghani .... "

Suara gelak tawa langsung mengisi suasana pagi itu di dapur. Ya, siapa yang menyangka, sekelas Brian Mahesa, vokalis band ternama Sixth Sense, masih bisa cemburu.

"Kok bisa sih, Mas Brian cemburu? Kalau gue jadi pacar dia juga, nggak akan lirik yang lain," tukas Sheryl senyum-senyum nggak jelas.

"Ya, gue juga nggak akan lirik yang lain, Ryl .... Tapi, emang Brian resek, ngese---"

Kalimat Lia terpotong karena dering ponselnya yang memekakkan telinga. Ia mendesah pelan. Apa lelaki itu tahu jika ia sedang bergosip tentang dirinya? Perasaan yang bergumul di dadanya saat ini, sama persis seperti yang ia rasakan waktu kuliah. Kesal karena pacar yang over protective. Dirinya seakan terlempar ke masa lalu.

"Kenapa?"

"Jutek amat." Dengkusan lelaki itu terdengar jelas di telinganya.

"Lah, kamu kenapa nelepon? Aku baru sampai kafe ini."

"Cuma mau ingetin, hari ini kamu bakal dijemput jam dua siang. Inget kan, kamu udah setuju mau manggung bareng Sixth Sense?"

Lia menepuk jidat. Astaga, hampir saja ia melupakannya. "Cuma satu lagu aja, kan? Sweet Chaos doang?"

"Iya. Jangan kabur, loh ... anak-anak beneran pengin manggung sama kamu lagi."

Meskipun gugup setengah mati, tapi ada percikan semangat yang menyala dalam dirinya. "Hm. Emangnya aku pengecut, apa? Main kabur-kaburan .... "

Ucapan 'I love you' dari Brian menutup pembicaraan di telepon pagi itu. Ia lalu pamit pada yang lain, untuk naik ke ruangannya. Lia sudah memikirkan rencananya keluar dari Medang Cafe matang-matang. Serta kegiatan apa yang akan ia ambil kemudian. Tentu, resiko keluar dari kafe Bude Wati adalah ia kehilangan satu-satunya pendapatan tetap yang dipunya.

Namun, hatinya tidak bisa berbohong lagi. Lia jatuh cinta dengan podcast-nya. Perempuan itu bisa merasakan nyawanya kembali, hatinya terisi penuh, saat menuliskan rentetan kalimat penyejuk hati yang akan ia bacakan untuk para pendengarnya. Toh, Brian dan orangtuanya juga mendukung keputusan Lia seratus persen.

"Nggak usah pikirin soal gaji, soal duit. Lakuin apa yang pengin kamu lakuin. Aku mampu nafkahin kamu lahir batin, mulai hari ini."

Itu kalimat yang meluncur dari mulut sang kekasih beberapa waktu silam. Senyum tipis merekah pada bibir Lia saat otaknya memutar percakapan itu kembali. Meskipun menyebalkan, ia tidak bisa membayangkan hidup dengan lelaki lain, kecuali Brian. Lelaki itu pelengkap hidupnya. Urusan dengan Erin pun, sudah benar-benar selesai. Tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Solois cantik itu memilih pergi ke Paris, untuk melanjutkan kuliah atau pelatihan di sana. Lia tidak begitu mengerti. Walau pertemuan terakhir mereka di apartemen Brian cukup canggung, ia senang, Erin kembali punya alasan melanjutkan hidup.

***

Lelaki itu menarik rambutnya, mengerang frustasi, karena suara bel yang terus berbunyi mengusik paginya. Perlahan, ia melepaskan tangan mungil Lia yang membelit dadanya, berusaha sebisa mungkin tidak membangunkan perempuan itu. Masih dengan mata tertutup dan dumalan tanpa akhir meluncur dari mulutnya, Brian menuruni tempat tidur, menarik celana dari lemari, dan memakainya.

Ia menggerutu pelan, menanyakan orang bodoh mana, yang bertamu sepagi ini. Lelaki itu mengucek matanya sekali lagi, sebelum menekan tombol di interkom untuk memeriksa siapa si pengacau mimpi indahnya. Matanya membelalak sempurna begitu mengenali sosok wanita yang berdiri di depan pintu.

"Ngapain Erin ke sini, sih?" erangnya, "mana ada Lia di dalem lagi."

Meskipun berbagai skenario berputar liar di kepalanya, ia tidak bisa mengabaikan wanita itu. Brian pun membuka pintu. Kerutan tercetak jelas di kening lelaki itu, membuat Erin tersenyum canggung dan meminta maaf. Lelaki itu langsung mempersilakan sang mantan masuk, daripada ada yang memergoki mereka bicara di lorong.

"Aku mau ambil buku-bukuku yang masih di sini," cicitnya.

"Sepagi ini, Rin?"

"Maaf. Soalnya pesawatku nanti take off jam satu."

"Take off?"

"Aku mau ke Paris."

"Liburan?"

Dia menggeleng pelan. "Aku mau stay beberapa bulan di sana. Entah belajar nyanyi, belajar mode, anything I like. You know, Paris will always be my dream."

Brian tahu, dan tanpa sadar kedua sudut bibirnya menukik ke atas membentuk senyuman. "Semoga petualanganmu menyenangkan ya, di sana .... "

"Bukunya ... "

Lelaki itu memejamkan mata dan meringis. "Masih ada di kamar. Kamu tunggu sini, aku ambilin."

"Nggak perlu, aku bisa ambil sendiri. Ada banyak, kan?" Erin mengikuti Brian yang berjalan menuju kamarnya.

"Nggak usah, Rin, serius," tolak Brian. "Kamu duduk manis aja, aku ambilin."

"Biar cepet, nggak masalah, Bri---"

"Ada Lia di dalem," potong Brian cepat, merasa tak enak. "Dia masih tidur."

"Oh," pipi Erin bersemu merah, sangat malu karena tidak memikirkan itu. Tentu saja, Brian bukan lagi pacarnya. Pasti lelaki itu akan mengajak Lia kemari. "Sorry, sorry ... aku nggak tahu."

"Yeah ... " Brian menggaruk kepala bagian belakangnya, meski tak gatal. Kecanggungan langsung terasa di antara keduanya. "Duduk dulu, ya ... kalau kamu mau minum, di kulkas ada jus jeruk."

"It's okay." Erin mengangguk dan menempatkan diri di sofa empuk nyaman itu.

Brian bergegas menuju kamar untuk mengemas buku-buku Erin. Ia mengerang, karena tak punya wadah cukup besar yang bisa memuat buku-buku itu. Ia membawa setumpuk buku keluar dari kamar, karena tak ingin mengganggu Lia yang terlelap. Namun, karena tergesa-gesa, lelaki itu dengan bodohnya tersandung kakinya sendiri, dan terjerembab.

"Shit." Ia mengumpat cukup keras sambil memegangi lututnya yang ngeri.

"Brian?" Suara serak Lia, meskipun lirih, cukup nyaring terdengar di kamarnya yang sepi.

Dan, usahanya untuk membuat Lia tertidur, paling tidak sampai Erin pergi, gagal total.

Perempuan itu membuka mata karena suara debuman yang cukup keras, mengagetkannya. Ia beranjak duduk, sambil memegangi selimut yang menutup dada telanjangnya, untuk memeriksa dari mana sumber suara tersebut.

"Kamu ngapain di bawah?"

"Jatuh."

Mata Lia langsung terarah pada buku-buku yang berserakan di sekitar Brian. Seolah tahu pertanyaan yang berputar pada kepala sang kekasih, lelaki itu memberi jawaban, "ini buku-buku Erin, dia mau ambil."

"Oh, diambil kapan?"

"Sekarang."

"Sekarang?" Suara Lia meninggi.

Brian mengangguk. "Dia ada di ruang tamu."

Lia tanpa sadar mengembuskan napas. Ia tiba-tiba merasa canggung. "Dia tahu aku ada di sini?"

"Tahu, soalnya tadi Erin mau ikut bantuin ambil buku. Ya udah, kubilang aja, ada kamu di dalam," jelas Brian sambil menyusun kembali buku-buku yang berserakan, dan siap membawanya keluar.

Penjelasan Brian, entah bagaimana, menurut Lia membuat situasi semakin rumit. Kebimbangan melanda dirinya. Haruskah ia menampakkan diri pada wanita itu? Lagian ini baru pukul tujuh lewat sepuluh. Ia memekik, begitu menyadari hari masih sangat pagi.

"Kamu di sini aja. Nggak usah keluar, kalau emang nggak nyaman," imbuh lelaki itu sebelum melenggang keluar.

Lia mengerang pelan. Meskipun hubungannya dengan Erin, jauh dari kata baik, tapi aneh rasanya jika ia tak keluar untuk menyapa tamu. Dan, astaga ... ia sangat penasaran kenapa perempuan itu datang sepagi ini hanya untuk mengambil buku?

"Gue harus keluar." Lia segera bangun dan langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka, gosok gigi. Tak lupa, ia menyisir rambut, menguncirnya, dan memakai baby doll bersih dari lemari.

Namun, kakinya membeku ketika mendapati Erin seorang diri, sedang melihat-lihat deretan foto di rak dinding dekat meja televisi.

"Itu foto yang diambil habis panggung pertama dan terakhir gue bareng Sixth Sense," tuturnya saat melihat tangan Erin menyentuh salah satu foto lawasnya bersama Sixth Sense.

Erin berbalik, mulutnya sedikit menganga dan mata melebar. "Oh, gue nggak tahu kalau lo penyanyi dulu."

"Gue bukan penyanyi, waktu itu gue cuma dipaksa nyanyi sama mereka," balasnya. "Itupun dengan syarat, gue bawain lagu favorit dari Sixth Sense, Sweet Chaos."

"Well, we have same taste," kata Erin, tersenyum kecut. Jadi, itu alasan kenapa Brian nggak pernah mau duet lagu Sweet Chaos sama aku? Pikirnya sendu. "Tapi, kayaknya lagu kesukaan lo bakal berubah, ya?"

"Imperfectly Perfect? That's masterpiece. My new favorite song. But, Sweet Chaos always has a special spot in my heart."

Keheningan menyelimuti begitu saja, karena Erin pilih menutup mulut. Kedua wanita itu berdiri berseberangan dengan jarak aman.

"Kenapa pagi-pagi banget ambil bukunya?" Tidak tahan dengan atmosfer kecanggungan yang semakin tebal, Lia pun menyuarakan pertanyaan di otaknya.

"Jam satu gue harus pergi ke Paris. Maaf ya, ganggu tidur lo," jawabnya sambil berjalan menghampiri Lia. "I am sorry for everything, Julia. Tindakan gue menemui lo di kafe dan ngomong sesuatu yang nyakitin lo, itu kekanakkan banget. Gue malu karena gue udah ngelakuin hal serendah itu."

Erin menatap wajah polos Lia lama. Ia menggigit pipi bagian dalamnya saat kejadian di kafe beberapa waktu lalu berputar di kepala. Erin, bodoh! Bego!

Ia sama sekali tak pernah membenci Lia. Namun, kembalinya Brian pada gadis itu, memang membuat amarah besar menelusup di dadanya. Perasaan rendah diri langsung menghantamnya habis-habisan. Apa kurangku? Apa cintaku nggak cukup? Apa aku kurang tulus? Apa yang bikin Brian pergi? Berbagai pertanyaan serupa mengeroyok pikirannya. Perempuan itu merasa jika Brian pergi, karena ia tak mampu jadi pacar yang baik. Semua kesalahan seolah berakar darinya. Padahal, itu hanya masalah hati. Brian tak bisa mencintainya sedalam ia mencintai lelaki itu, karena dari awal, tempat itu tak kosong. Sudah ada Lia di sana.

Namun, pikiran egoisnya, membuat ia melontarkan kalimat tidak pantas pada Lia, hanya untuk menghibur hatinya, hanya untuk membesarkan hatinya, yang terluka.

"Semoga lo bisa bener-bener sembuh, bukan karena Brian. Tapi, karena gue yakin, lo bisa sembuh dan ada banyak hal luar biasa yang lagi menunggu lo di luar sana," katanya tulus  kali ini. Tidak ada keinginan terselubung.

"Rin, sorry lama ... aku cari wadah di gudang du---" Permintaan maaf Brian menggantung di udara, begitu matanya menangkap pemandangan yang membuat jantungnya berdenyut cepat.

Udah berapa lama Lia di sini? Mereka ngobrolin apa aja? Anjir, ini mereka kok diem-dieman, sih? Erin baru ngapain Lia?

Berbagai pertanyaan langsung menghantam pikirannya saat itu juga. Matanya berpendar dari Lia dan Erin bergantian. Sebisa mungkin lelaki itu mencoba untuk tetap tenang.

"Ini bukunya." Brian meletakkan sekotak buku di meja. "Apa ada barangmu yang masih ketinggalan di sini? Nanti aku cariin."

Erin menggeleng, dengan senyum tersemat di bibirnya. "Kalau ada pun, buang aja. Aku butuhnya ini." Ia lalu mengangkat kontainer berisi buku itu, tapi badannya malah terhuyung, karena beban yang terlalu berat.

"Sini, biar aku bawain ke bawah." Brian segera mengambil alih kontainer dari tangan sang mantan.

"Nggak usah, Bri ... aku bisa sen---"

"Biar dibawain Brian aja," potong Lia cepat.

Dua pasang mata itu langsung melayangkan tatapan pada Lia. Mereka memandang gadis berpiyama dengan mata membulat sempurna, seolah perempuan itu memiliki dua kepala. Lia menggigit bibir, agar tawanya tidak tersembur, karena mimik wajah menggelikan Brian dan Erin.

"Udah, buruan ... kok malah bengong?" Lia menyodok perut Brian dengan tongkatnya membuat lelaki itu tersentak.

"Oh, iya ... iya .... " Brian mengangguk kaku, lalu menoleh pada Erin. "Ayo, Rin ... aku antar sampai bawah."

"Rin, have a wonderful trip, ya .... " kata Lia yang dijawab dengan anggukan perempuan berambut cokelat sebahu itu.

TBC
***

Ada sedikit yang kurevisi...
Happy reading.. Seneng banget hari ini Women double Badminton dapat emas😭😭 Nangis bombayyyy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top