Chaos 29: Definition of Miracle
Keajaiban akan datang, pada mereka yang tidak berhenti berusaha.
.
.
"Jadi, album ini dibuat untuk pacar baru Brian, gitu?"
"Terinspirasi dari pacar saya, diciptakan karena memang pengin kasih hadiah dia, tapi album ini didedikasikan untuk semua orang yang pernah jadi korban kekerasan seksual, penyiksaan, untuk memberi suntikan semangat."
"Intinya sih, dari lagu ini, mau kasih tahu mereka, kalau mereka itu hebat, sudah bisa bertahan sejauh ini. Mereka itu kuat, luar biasa, dan cantik."
Potongan wawancara Sixth Sense saat konferensi pers perilisan Imperfectly Perfect menjadi trending topic nomor tiga di Youtube. Sedangkan posisi pertama dikuasai oleh musik video Imperfectly Perfect. Dalam acara konferensi pers itu juga Brian menjelaskan, jika kekasihnya sekarang merupakan mantan jurnalis, yang jadi korban penculikan teroris enam tahun lalu, di Filipina.
Brian juga menjelaskan, mengapa lelaki itu mendedikasikan album ini untuk Lia. Ia tak terima sang kekasih mendapat hujatan, dipandang sebelah mata, padahal mereka tidak tahu cerita yang perempuan itu simpan.
"Brian, Lia ... set udah siap, ready?" Windi-produser PR Entertainment-berdiri di ambang pintu. Wanita berambut biru tosca itu bertanggung jawab atas acara bincang-bincang Brian dan Lia, dalam rangka bercerita tentang Imperfectly Perfect dan membuka tragedi pilu Filipina. "Farah juga udah dateng."
Lia menggigit bibirnya, kegugupan yang tadi hampir sirna kembali bergejolak di dada. Brian dengan sigap menggenggam jemari perempuan itu, menyalurkan kehangatan.
"It's okay. Farah orangnya asyik. Kamu pasti bakal kebawa suasana," tukas Brian meyakinkan.
Keduanya didampingi Deki dan Rendy, keluar dari ruangan Sixth Sense di gedung PR Entertaiment, menuju studio di lantai tiga di mana acara berlangsung.
"Acaranya kayak bincang-bincang biasa kok. Anggap aja Farah temen jauh," tutur Windi pada Lia.
Lia mengangguk dan menahan napas, saat Rendy menggeser pintu studio. Di dalam sana, sudah ada kamera, lighting, dan peralatan lainnya. Satu set sofa, tanaman hias, dan perintilan hiasan lainnya. Farah sudah menempatkan diri di sofa, dengan jumpsuit lilac, serta jilbab putih melilit kepalanya.
Wanita itu langsung berdiri, deretan gigi rapinya terpampang saat mulutnya membentuk senyuman lebar.
"Hai, astaga!" Farah memekik kencang. "Gila, lo ... baru ngenalin pacar lo sekarang!"
Brian terkekeh dan memeluk wanita itu. Setelahnya ia merangkul bahu Lia dan mengenalkan sang kekasih.
"Halo, Julia ... glad to finally see you. Gue Farah, temannya Brian."
Lia tersenyum, berjabat tangan dengan Farah. "Glad to see you too, Farah. Gue grogi banget."
"No need to be nervous. Acara bakal lancar kalau dipandu Farah. Gue bukan host kaleng-kaleng. Percaya gue."
Brian mendecakkan lidah. "Pedenya astaga, nggak ketulungan."
"Langsung duduk aja, gimana? Biar sekalian pemanasan?" Farah menunjuk sofa dengan dagunya.
Pembawaan Farah yang ceria dan hangat, berhasil menciptakan suasana yang menyenangkan selama taping. Apalagi, wanita itu memang penasaran dengan peristiwa yang menimpa Lia enam tahun silam. Dadanya menggelora, siap mengulik lebih dalam sosok inspiratif di depannya dan kisah cinta mengharukan mereka berdua. Pada awal obrolan, wanita itu bercerita tentang dirinya, pertemanannya dengan Brian, untuk membuat Lia tidak tegang.
"So, Lia ... apa yang bikin lo jatuh cinta sama Brian dulu waktu kuliah?" tanya Farah. "Kan tadi kata Brian, kalian awalnya musuhan, ya? Ketua BEM tengil versus jurnalis idealis."
Lia terbahak. "Mungkin peribahasa, tresno jalaran saka kulino, ada benernya. Tiap hari ketemunya Brian terus. Lama-lama juga gue lihat, oh ternyata dia nggak seburuk itu. Receh juga orangnya, perhatian, dan dia ngerti aku, support aku. Ya udah, lama-lama luluh. Kasihan juga sih, kalau gue tolak terus. Udah pernah diomelin bokap gue."
Farah ikut terbahak. "Astaga, emang bokap lo galak?"
Brian geleng-geleng. "Nggak main-main, galaknya."
"Eh, ngomong sembarangan, nanti nggak dikasih lampu hijau buat nikahin Lia, lho," tegur Farah.
"Sekarang udah akrab, kok." Brian menghadap ke kamera dengan tangan menangkup di depan dada. "Bapak, saya sekarang udah mapan, punya kerjaan, udah jadi kriteria mantu idaman, kan Pak?"
Wanita itu kembali mengambil alih obrolan. "Kalian kan berarti udah saling support sejak kuliah, pas merintis karier, ya. Gimana tanggapan lo, sekarang lihat Brian sama Sixth Sense udah sesukses ini?"
"Seneng banget, bangga, dan nggak nyangka, gue sekarang punya teman selebriti besar. Gue lihat mereka tampil dari fakultas ke fakuktas. Bayaran pakai nasi kotak, Brian masih gulung kabel sendiri. Sekarang, ada asisten pribadi, ada manajer, ada banyak staf. I am really proud of him."
"Kalau lo sendiri, Brian? Gimana tanggapan lo, pas Lia memutuskan untuk jadi jurnalis?"
"Udah gue duga dari awal. Passion dia di dunia jurnalis itu nggak main-main, Far. Dan waktu dia akhirnya jadi jurnalis sesuai cita-cita dia, gue bahagia, bangga, tapi juga khawatir," jelas Brian. "Lia ini bukan jurnalis yang mau cari berita tentang selebriti, berita yang ringan-ringan gitu, nggak mau. Maunya cari berita konflik, politik, pokoknya yang bahaya-bahaya. Bikin gue nggak bisa tidur nyenyak."
"Ya, karena gue nggak suka dunia showbiz, kurang menantang." Lia meringis, merasa bersalah. "Tiap gue mau liputan ke daerah konflik, luar negeri, gue selalu pamit sama Brian, kasih kabar. Tapi, nggak minta izin, ya... cuma bilang, 'Brian, doain aku mau liputan ke mana gitu'."
"Dan setelah dikabarin, bukannya tenang, gue malah nggak bisa tidur," tukas Brian. "Dulu, pas kuliah, Lia pernah diculik soalnya, gara-gara mau ungkap kasus pelecehan seksual di kampus. Itu salah satu mimpi buruk yang gue takutin. Gue inget, tangan gue dingin banget, gue langsung bayangin yang nggak-nggak waktu denger dia telepon, dan bilang kalau dia disekap. Gue nggak sanggup kalau harus lihat dia di posisi yang sama lagi. Tapi ternyata, gue kecolongan. Kalau inget gue nggak ada di sisi Lia, waktu dia down, waktu dia butuh banget seseorang di sebelah dia, gue nggak bisa maafin diri gue sendiri."
Brian mendongak untuk menghalau air mata yang sudah menggenang, tidak menetes. Lelaki itu menarik napas perlahan, menenangkan dadanya yang bergemuruh. Membicarakan tragedi yang Lia alami, tidak akan pernah mudah.
"Oke, gue ngerti. You must be feel terrible sorry." Farah mengangguk dengan senyum tipis. "Lia, boleh diceritain, gimana kronologinya, sampai kamu diculik selama dua bulan di Filipina?"
Lia menoleh ke arah Brian, mata mereka bertatapan beberapa saat. Lelaki itu menganggukkan kepala, dengan senyum menguatkan tersemat di bibir. Mata teduh kekasihnya, mampu menenangkan debaran dada Lia yang menggila.
"Jadi gue sama tim dari Alexandria, ke Filipina, tepatnya di Jolo, buat meliput kegiatan teroris, Red Land. Itu salah satu kelompok teroris terbesar di Asia dan ada tokoh politik, tokoh masyarakat negara kita yang bergabung di sana. Pak Amar Hakim, yang sekarang masih mendekam di penjara."
"Benar, dan berita itu baru dirilis dua tahun lalu. Itupun karena kegigihan ikatan jurnalis, ya ... sangat disayangkan banget, tokoh terkemuka negara jadi anggota teroris," Farah menimpali.
Lia pun menceritakan bagaimana ia dan Hafiza-rekan jurnalisnya-tertangkap teroris. Bagaimana ia disiksa di sana, mendapat perlakuan keji, meskipun tidak detail, karena Lia mulai terisak. Farah langsung menyodorkan tisu. Sesama perempuan, hatinya merasa teriris mendengar pengakuan Lia. Wanita itu ikut menitikkan mata.
"Gue shock banget, gue bener-bener nggak habis pikir, kenapa ada orang sekeji itu," kata Farah tercekat.
"Nah, lo yang nggak kenal Lia aja, denger cerita dia barusan nangis, kan? Apalagi gue ... gue hancur," tutur Brian. "Selama dia disiksa, masa penyembuhan, gue enak-enak manggung, minum-minum, pacaran. Mana gue sempat nyumpahin Lia yang nggak-nggak, karena gue pikir dia kejam banget, ninggalin gue tanpa kabar."
"How did you survive? What did you do, to handle it?" Farah kembali mengarahkan pertanyaan pada Lia.
"Jujur, bisa bertahan sampai saat ini, menurut gue itu keajaiban," balasnya jujur. "Sampai sekarang, gue masih berhubungan dengan Dokter Alice, psikiater gue. Sesekali konsultasi."
"Ya, pasti lah. Tragedi yang lo alami itu udah level berat," tukas Farah. "Waktu pertama kali sampai di Indonesia, akhirnya bisa pulang setelah dua bulan lo di sana, apa yang lo rasakan?"
"Dua minggu pertama di Jakarta, gue masih waras, secara mental. Merasa save, secure, walaupun kadang masih kayak mimpi, ternyata bisa balik," jelas Lia setelah menghela napas. "Tapi, after two weeks, gue beneran nggak stabil. Dan dokter berusaha banyak biar fisik gue pulih. Kaki kiri gue, kena tembak dua kali. Patah juga. Rusuk gue juga patah. Punggung gue sobek-sobek bekas cambukan, badan gue babak belur. Gue kesakitan, hopeless, bingung, putus asa. Seinget gue, gue sempat mogok bicara, gue kena PTSD juga. Sering dapat mimpi buruk, tiba-tiba histeris, gue takut sama orang. It was not easy at all. Gue juga sempat bingung, kenapa gue hidup? Kenapa nggak mati aja? Karena tiap pagi pas bangun, yang gue rasain cuma sakit, ketakutan, panik, nggak merasa aman."
"Oh ini ya, foto-foto waktu perawatan di rumah sakit?" Farah menghadap ke layar proyektor -yang berada di depan- menunjukkan foto-foto Lia di rumah sakit.
Farah meringis, menyaksikan kondisi Lia yang terlihat memprihatinkan. Jika tidak ada keterangan nama di bawahnya, ia tak akan mengenali gambar wanita tersebut. Sosok Lia di foto sangat berbeda dengan sosok Lia yang duduk di hadapannya.
Perbincangan lalu bergulir pada topik bagaimana usaha Lia mencintai diri sendiri, menerima masa lalu, dan tidak merasa rendah diri.
"Menurut gue, wajar ya, manusia merasa insecure, nggak pede, iri sama orang lain, bingung tujuan hidup. Tapi porsi merasa rendah diri, insecure itu harus ditekan. Gue akhirnya bisa melangkah keluar, berani menyambut mimpi, berani menerima Brian lagi, itu step-nya bertahap," tuturnya, "Yang pertama gue berterima kasih sama orangtua, karena punya lingkungan yang suportif itu kunci utama buat sembuh. Jujur, Brian salah satu sosok yang bantu gue bisa kayak gini. Dia berhasil mengembalikan rasa percaya diri gue, yakinin gue, kalau gue layak dicintai, dan bikin gue nggak malu sama diri gue sendiri.
"Kalau ditanya kiat-kiatnya apa, nggak ada. Gue jalanin aja apa. Tapi yang jelas, harus mendapat bantuan dari tenaga profesional. Apalagi selain PTSD, gue juga kena depresi. Going with the flow, Tuhan ternyata masih kesempatan panjang ke gue, dan gue berterima kasih untuk itu."
Syuting acara itu pun usai setelah berjalan hampir satu setengah jam lamanya. Selain membahas tentang perjuangan Lia untuk bangkit, Brian juga menyinggung hubungannya dengan Erin. Dia menegaskan kandasnya hubungan mereka, bukan karena Lia yang meminta. Ia juga bercerita jika Lia sempat menolaknya habis-habisan. Butuh waktu tiga bulan-setelah ia dan Erin putus-Lia baru bisa menerima Brian kembali.
Lia berpelukan dengan Farah cukup lama. Meskipun baru pertama kali berjumpa, ia tahu jika Farah adalah orang yang menyenangkan.
"Mulai dari hari ini, gue jadi fans lo, Lia."
Perempuan itu cuma terkekeh kecil mendengar deklarasi konyol barusan. "Gue bukan siapa-siapa. Kenapa lo ngefans?"
"Kayaknya ini pertama kali gue syuting sampai nangis, ya .... " celetuk Brian membuat Lia dan Farah terkikik.
"Brian ... wajahku nggak berantakan, kan? Pertama kalinya make up proper, dan malah nangis sesenggukan," timpal Lia.
Brian menghadap sang kekasih yang mendongak. Ia menangkup pipi wanita itu, memeriksa dengan saksama, tapi ia tidak menemukan kecacatan apapun di sana. "Well, you still look perfect."
"Ih, Brian .... " Pipinya bersemu merah.
Lelaki itu tidak peduli jadi tontonan dan malah mendaratkan kecupan singkat di antara kedua alis Lia.
"Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian, ya ... gue bahagia banget hari ini pokoknya," ujar Farah tiba-tiba memunculkan lengkungan tipis di bibir Brian dan Lia.
***
Nama Julia Maheswari menguasai trending media sosial setelah video bincang-bincang dengan Farah dan film dokumentasi singkat dari Alexandria rilis di You Tube pada hari yang sama. Dua video itu langsung menduduki peringkat pertama dan kedua, dalam waktu singkat.
Banyak warganet yang kaget, terharu, dengan wanita yang sempat jadi sosok misterius beberapa bulan lalu. Channel Sweet Chaos pun langsung kebanjiran pelanggan dan dukungan. Para penikmat podcast Lia, berbondong-bondong menulis pesan hangat padanya di kolom komentar membuat perempuan itu menangis di depan komputer. Tidak hanya dapat dukungan dari warganet, jajaran selebriti terutama teman Brian juga Sixth Sense, juga menyuarakan dukungan dan kekagumannya terhadap wanita yang genap berusia 30 tahun itu.
Unggahan para anggota Sixth Sense juga menambah semakin membuat heboh. Bagaimana tidak? Mereka mengunggah foto-foto saat Sixth Sense dan Lia di bangku kuliah.
@diondoran: jaman manggung bayarannya nasi padang. Gapapa, untung ada juleha yg bawain bronis bikinan emaknya😆
@rayyansixthsense: jaman Brian sama lia kerjaannya berantem mulu. Bikin pening...
@arsen_S6: dan lo selalu dapat lengkuas yg lebih gede drpd rendangnya🤣🤣🤣
@jay_la_ni: anjir, gue jd inget dulu Brian sama Lia duet bawain Sweet Chaos, eh besoknya pas mau manggung lagi, penonton mintanya vokaliss cwek.. Gamao Brian🤣🤣🤣
@callmebrian: pdhl suaranya fals, ga berani adep penonton, heran deh, knp fansnya banyak. Mana judes lagi... iya ga beb @juliamaheswari
@juliamaheswari: gue jadi kangen dijajanin martabak sama bang rayyan hehe...
@callmebrian: jul.. ini lho, pacar lo di sini, kenapa kangen sama suami orang? @juliamaheswari
Percakapan kocak di kolom komentar Dion berhasil mengocok perut para penggemar. Tidak sedikit warganet yang mencoba nimbrung, meskipun tidak mendapat sahutan.
@hempaskanaku: aduh yg dulu sempet nyinyirin Brian, pacarnya, bela Erin mati-matian pada kemana yaa... Mana percaya sama gosip sesat lagi.. Pokoknya buat mbak julia, aku akan ada di garda terdepan melindungimu @callmebrian @juliamaheswari
Seolah tidak cukup dengan momen kebersamaan itu, Brian menjatuhkan kejutan tengah malam. Ia mengunggah foto bersama Lia di Instagram, dengan bubuhan keterangan manis.
callmebrian
callmebrian Julehaku sayang... kita sama-sama terus ya? I fall deeper for you everyday since the day I met you ten year's ago. You're perfect just the way you are. Nggak ada yang perlu diubah, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. For me, you are always became my juleha, nenek lampir, pacar judes, dan my sweet little girl at the same time. Untuk sampai ke tahap ini kita udah melewati banyak hal. Jalan yang kita lewati sama sekali nggak mudah. But I will always take this path again and again if this only way to meet you, to love you again. This sweet chaos journey, will be my favorite journey ever.
TBC
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top