Chaos 25: Sixth Sense Squad

You are always worth to fight, for someone that made for you.
.
.

"Bali?"

"Iya."

Kepala Lia langsung pening saat dengar ide konyol Brian. Pergi ke acara ulang tahun Dion, okelah, perempuan itu masih bisa datang. Tapi, ke festival musik di Indonesia? Di mana para media, ribuan penikmat musik, dan Erin juga jadi bintang tamu di sana? Gila.

"Brian ... please, jangan gila." Lia menghela napas. "Kamu mau nyembunyiin aku di mana?"

"Kenapa harus sembunyi?" Lelaki itu cuma mengedikkan bahu.

"Step by step, Brian ... aku belum siap ketemu sama media." Lia menghela napas. "Terus, nanti pas kamu manggung, aku sendirian di villa, gitu?"

"Ya, kamu ikut ke venue. Ada lounge khusus buat keluarga nonton. Rayyan bawa istri sama anaknya, kok. Kamu bisa gabung sama mereka. Arsen juga bawa pacar."

"Tapi---"

"Kamu udah lama nggak liburan, kan?"

"Iya sih, tapi---"

"Emang kamu nggak kangen jalan-jalan?"

"Kangen, tapi kan---"

"Ya, udah, kamu harus ikut. I promise you, it will be fun."

***

Jantung Lia berdebat kencang, ini pertama kalinya ia berlibur setelah sekian lama. Meskipun wajahnya sudah tertutup masker dan kacamata, perempuan itu masih merasa was-was takut ada wartawan yang memotret dirinya. Harusnya sih, Lia tidak perlu khawatir, karena Sixth Sense terbang ke Bali bersama rombongan staf dan keluarga anggota.

Ketika masuk ke lounge VIP bandara, ia menyadari sang pacar bersikap aneh. Ekspresi Brian terlihat tegang. Beberapa kali lelaki itu tampak berdebat dengan Dion, membuat Lia mengernyitkan kening.

"Kenapa, sih?"

Senyum kaku terbit pada bibir Brian. "Nggak apa-apa," katanya sambil menghela napas.

"Kamu mau coba bohongin siapa, sih? Aku? Nggak guna." Lia mendecakkan lidah. "Buruan cerita!"

"Jangan panik ya, janji?"

"Janji. Kenapa, sih? Kalau diem-diem begini, malah bikin aku parno."

"Aku kemarin bilang, Sixth Sense booking villa pribadi sama keluarga, you remember right?" Lia mengangguk. "Itu booking-nya udah lama banget, tahun lalu malah, before I met you, karena ini festival musik terbesar di Indonesia kan ... "

"Terus ... "

"Dulu kan aku masih bareng Erin."

Oke, firasat Lia mulai tidak enak. "And then?"

"Kemarin aku udah ngomong sama Dion, minta Erin buat move, tapi Erin nggak mau. Soalnya temen-temen Erin juga udah check in di sana."

Oh, god! This is nightmare! "Terus, nanti aku harus ketemu Erin? Bri, aku nggak bisa, aku ... "

Brian menggenggam kedua bahu Lia dan menatap matanya dengan hangat. "Tenang, oke? Dengerin aku dulu .... "

Perempuan itu menarik napas, lalu mengangguk. Meskipun sorot matanya masih mencerminkan kekhawatiran.

"Villanya punya bangunan beda-beda. Ada yang di depan, di tengah, di belakang. Dan setiap bangunan, ada kamar, living room, kitchen, dining room. Aku udah minta Dion buat atur, biar Erin sama temen-temen yang stay di villa depan," jelas Brian.

"Jadi, aku sama Erin nggak bakal ketemu?"

"Well, ya ... kalau kamu sama Erin main pakai ruangan gym, di waktu yang sama ya, pasti ketemu." Lelaki itu menyengir.

Lia memejamkan matanya, mulai membayangkan skenario liar yang dengan brutal berputar di kepala. "Aku nggak akan olahraga."

Lia menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosi yang siap meledak. Bagaimana bisa, Brian tidak menceritakan hal ini dari jauh-jauh hari? Perempuan itu melirik, melayangkan tatapan tajam pada sang kekasih. Ingin sekali menempeleng wajah sok polos yang ditampilkan Brian.

Di sisi lain, Brian yang menyadari suasana hati gadisnya memburuk, langsung merasa bersalah. Tangannya terulur mendekap bahu Lia dan mencium pelipis perempuan itu. Bukannya senyum hangat yang didapat, Lia malah mendorong dada Brian.

"Jangan ngambek, dong .... "

"Untung kamu itu pacar aku, kalau bukan, udah kutendang!"

***

Amarah dan rasa kesal yang bercokol di dada Lia, sejak sebelum terbang ke Bali, menguap begitu saja begitu ia memasuki kawasan villa. Mulutnya terus menganga mengagumi pemandangan yang terhampar di hadapannya. Pepohonan, sawah, menyejukkan matanya. Pemandangan indah ini didapatkan karena posisi villa berada lebih tinggi dari sekitarnya. Ia membuka sliding glass---.berada di sebelah timur---yang berada tepat di depan tempat tidur.

"So fucking wonderful," bisiknya.

Brian mengikuti Lia dengan senyum tersungging di bibirnya. "Gimana? Suka?"

Perempuan itu langsung mengangguk. Benar kata Brian, ia tidak perlu khawatir bertemu Erin di sini. Antara gedung satu dan lainnya, terpisah. Fasilitas serta pemandangan di setiap gedung pun, membuat Lia yakin, sepertinya ia tidak perlu berkeliling villa. Di sebelah utara kamar, ada sliding door yang menghubungkan ke living room terbuka. Di sana ada dua set sofa, dua set meja makan panjang, dan di sebelah living room terdapat master bedroom lainnya---kamar Rayyan dan keluarga. Sedangkan di depan living room, ada kolam renang pribadi, yang ditujukan untuk penghuni gedung ini.

Selain bersama Rayyan dan keluarganya, ada Dion dan Deki. Kedua lelaki itu menempati kamar terpisah, yang masing-masing berada di belakang kamar Brian dan Rayyan. Pemandangan dari kamar mereka tak kalah menakjubkan. Terdapat halaman luas, air mancur di sisi kamar. Living room di gedung ini, luasnya membentang dari teras kamar Brian dan Rayyan sampai ke kamar Deki serta Dion.

"Udah nggak marah, kan?"

Lia mendongak dan berbalik. Ia mengalungkan tangannya ke leher sang kekasih. "Kali ini, kamu beruntung." Perempuan itu lalu berjinjit untuk mengecup bibir Brian.

"Malam ini, kita semua bakal makan malam di sini. Barbeque party. Nanti ada staf hotel yang datang buat bantu kita."

***

Pagi ini, waktu terakhir anak-anak Sixth Sense bersantai, karena saat jam makan siang nanti, mereka sudah harus berangkat ke venue untuk gladi bersih tampil nanti malam. Suara gedoran di pintu membuat Lia yang sedang mengeringkan rambut dengan hair dryer, mengernyitkan kening. Terpaksa, ia beranjak dan membuka pintu yang menghubungkan dengan living room. Nampak Rafka dan Rigel dengan senyum lebarnya berdiri di sana.

"Onty Lia, udah ditungguin sarapan bareng-bareng," kata Rafka.

"Oke, tunggu sebentar, ya ... Om Brian masih mandi."

"Di tana ya, Onty ... yuyus, teyus beyok," imbuh Rigel.

Kedua bocah itu langsung melenggang pergi menuju lounge utama villa. Lia belum tahu persis di mana tempatnya, tapi ia tahu, itu adalah salah satu spot andalan villa. Seluruh tamu, dari gedung mana pun, bisa menggunakannya. Apalagi, lounge tersebut, kata Dion, memang tempat sarapan seluruh tamu. Itu artinya, ada kesempatan bertemu Erin jika sarapan di sana. Ia mendesah pelan, merasa bimbang. Perempuan itu belum siap bertemu Erin. Akan tetapi, ia merasa bersalah jika membohongi kedua bocah lucu itu, padahal dirinya sudah berjanji.

Kedatangan Lia dan Brian, disambut heboh anak-anak Sixth Sense. Setiap satu meja ada empat kursi. Seperti biasa, mereka berdua jadi satu tim dengan Deki dan Dion.

"Ceilah, yang pagi-pagi keramas," goda Dion mengundang tawa yang lain.

Satu hal yang membuat Lia nyaman menginap di sini adalah, selain gerombolan Sixth Sense, tidak ada orang lain lagi. Keluarga, manajer, pacar, asisten pribadi, staf Sixth Sense, semuanya di sini. Ya, anggap saja Erin masuk kelompok mereka.

"Curang, nih, masa udah curi start bulan madu!" celetuk Deki di sela-sela kegiatan mengunyahnya.

Brian mengambil tisu, membentuk jadi gumpalan bola lalu melemparkannya pada sangat asisten pribadi. "Berisik lo, ah! Ketularan Dion, jadi lemes begitu, bibirnya."

"Padahal semalam, pesta barbeque-nya sampai jam satu, ya?" ujar Arsen, yang duduk di seberang meja Brian dan Lia, bersama sang pacar dan asisten pribadi. "Nggak kecapekan apa?"

Lia menunduk, meneguk jus alpukatnya, pura-pura tidak mendengar obrolan mereka. Bisa dijamin, pasti pipinya sudah semerah udang rebus.

"Kalian usil banget, ya?" tutur Rayyan dengan suara rendahnya, membuat mulut-mulut usil itu seketika bungkam. "Nggak inget apa, semalam malam Jumat."

"YAAAA!" Dion dan Deki bersorak kegirangan.

"Anjir, lo!" Brian memutar tubuh dan menoyor kepala sang leader.

Suara tawa dan siulan mengudara membuat suasana pagi ini menjadi lebih hidup.

"Bang Rayyan jahat banget, ih!" gerutu Lia sambil mengerucutkan bibir.

"Kenapa gue terus yang digodain? Arsen itu, bawa cewek dua, nggak lo rusuhin?" protes Brian melayangkan tatapan tajam pada keyboardist Sixth Sense. Ya, Arsen memang satu-satunya yang punya asisten pribadi perempuan.

"Iri bilang, bos!" sahut Arsen terbahak. "Kalau bisa dua, kenapa harus satu?"

"Loh, lo juga pengin dapet dua, Bri? Kan ada E---" Belum selesai Jay berucap, Rayyan sudah menyumpali lelaki itu dengan kerupuk udang.

"Ya pastilah, Brian pengin punya dua cewek. Cewek dia sekarang mana bisa muasin dia." Suara nyaring itu berhasil menarik perhatian seluruh kru Sixth Sense, membuat mereka menolehkan kepala ke sumber suara. Termasuk Lia. Ia mendongak, dan mendapati dua orang perempuan berjalan sambil membawa sarapan menuju meja kosong paling ujung.

"Kalau ngomong yang bener, Ndy." Brian langsung berdiri, menghampiri perempuan si rambut cepak dengan lipstik ungu, dan mencekal tangannya.

"Loh, gue salah ngomong?" sahutnya tersenyum sinis, sambil melayangkan pandangan merendahkan ke arah Lia. "Emang dia bisa ngimbangin permintaan lo yang macem-macem? Lihat dari kakinya aja, buat berdiri nggak sanggup, sangat nggak meyakinkan."

Di sisi lain, Erin terlihat panik. Ia menepuk bahu sahabatnya beberapa kali. "Ndy, lo ngomong apaan, sih? Nggak lucu, tahu!"

Cengkeraman Brian semakin menguat. Rahang lelaki itu mengetat. Amarahnya di puncak. Indy sudah keterlaluan. Sesekali matanya melirik ke arah Erin yang mencoba membujuk temannya mundur.

"Kebutuhan ranjang gue, bukan urusan lo. Gue bisa bikin lo pergi dari sini kalau lo banyak tingkah," desisnya.

Dion ikut berdiri, menghampiri Brian. "Sumpah ya, ini pertama kalinya gue lihat cewek lebih rendah dari sampah," tukasnya pada Indy.

"Please, Yon, jangan bikin semakin ricuh," tukas Erin.

"What? Sekarang kalian pada berpihak dan sok akrab sama dia? Kayak yang kalian lakuin ke Erin dulu? Basi!" dengkus Indy.

"Ndy, udah ... kita per---"

Tanpa aba-aba, Brian mendaratkan tamparan di pipi perempuan itu, membuatnya terkesiap. Erin juga ternganga. Ini pertama kalinya ia menyaksikan Brian, melakukan kekerasan pada perempuan. Rayyan, yang menyadari situasi sudah tidak kondusif langsung menghampiri Brian, berniat untuk menarik anggotanya mundur.

"Kamu nggak perlu nampar Indy begitu, Brian .... " tutur Erin terlalu terkejut, sambil melirik ke arah Indy yang masih memegangi pipinya yang memerah.

"Dan, teman kamu dari awal harusnya nggak perlu ngerendahin Lia, kan?" timpal Brian tidak mau kalah.

"Gue nggak nyangka, lo rela mukul perempuan, karena pacar baru lo!" desis Indy menambah panas suasana.

"Gue bisa lakuin yang lebih dari ini, kalau lo masih kurang ajar dan ngomong yang nggak-nggak soal Lia," ujar Brian dengan rahang mengeras.

"Brian, mending kita mundur. She is not worth it," tukas Rayyan.

"Denger, Ndy, percuma lo jelek-jelekkin Lia di depan kita. Nggak ngefek," tutur Jay dari tempat duduknya. "Dari awal Sixth Sense kebentuk, Lia udah sama kita. She is part of Sixth Sense. Dia sama kita bukan karena pacar Brian. Bahkan, kalau Brian masih sama Erin, Lia tetep bagian dari kita."

"Do you get it? Know your place, before open your mouth," pungkas Brian kemudian berbalik, menuju mejanya, menjemput Lia.

"Rin, educate your friend, please .... Meskipun lo sepupu gue, tapi gue nggak bisa menolerir kelakuan temen lo," kata Dion lalu berbalik pergi.

"Lo pikir keren gitu, ngerendahin orang lain? Ndy, asal lo tahu, lo nggak ada apa-apanya dibanding Lia." Arsen berdecih, menyunggingkan seringai mengejek.

Serentak, anak-anak Sixth Sense beranjak dari kursi. Mereka menghampiri meja Brian dan Lia, bersiap meninggalkan lounge sarapan.

"Ayo, Babe ... kita makan di kamar aja," Brian mendekap bahu Lia. "Kamu nggak perlu sedih ... yang dukung kamu lebih banyak daripada yang pengin jatuhin kamu."

Lia mendongak, dengan senyum terukir di bibirnya, meskipun air mata tergenang di sudut mata perempuan itu. Tentu dirinya sakit hati mendengar ucapan Indy. Namun, hatinya menghangat karena semua anggota Sixth Sense, langsung berdiri untuk membelanya. Lima lelaki yang sudah ia anggap sebagai sahabat, tidak pikir panjang untuk bertarung di sisinya.

"Aku tahu kok. Makasih, ya ... udah berbagi sahabat sama aku. Harusnya kalian nggak perlu sampai---" Suaranya tercekat.

"Because you are worth to fight, Julia."

TBC
***

Mau kasih tau.. Setelah cerita ini tamat, ada epilog sama ekstra part. Ditunggu yaw😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top