Chaos 24: Another Support System

Sebelum jatuh cinta pada orang lain, jatuh cintalah pada dirimu sendiri.
.
.

"Kamu anteng aja di sini! Nggak usah ikut keluar." Lia melayangkan tatapan tajam pada sang kekasih.

Satu alis Brian terangkat. "Kenapa emang?"

"Ya, ngapain kamu ikut turun? Aku kan mau kerja." Perempuan itu mencebik kesal. "Please, nggak usah bikin heboh. Kamu balik sana."

Lia sambil menenteng tas, keluar mobil dan melangkah menuju kafe. Setelah perempuan itu menghilang di balik pintu, Brian menyusul. Dia mengabaikan perintah gadisnya, karena lelaki itu sedikit merasa khawatir. Ini pertama kalinya Lia kembali bekerja setelah break down insiden beberapa hari lalu.

"Eh, selamat pagi, Mbak ... " sapa Sheryl yang sedang membersihkan meja-meja kafe. "Udah baikan?"

"Udah .... "

"Eh, sama Bang Brian ke sininya?" Mata perempuan itu melebar, saat menangkap sosok idola yang baru muncul.

Lia langsung berbalik dan mendengkus kencang. "Ngapain ke sini?"

Brian cuma terdiam, terus melangkah mendekati kedua perempuan itu. "Udah sering ketemu, tapi belum kenalan, nih!" tuturnya pada Sheryl.

Sebagai penggemar fanatik, mendapat sapaan dari sang idola, membuat Sheryl membeku di tempat dengan senyum konyol terpatri di bibirnya.

"Gue Sheryl, Bang!" serunya antusias sambil mengulurkan tangan. "Eh, boleh salaman nggak, sih?"

Kekehan kecil meluncur dari bibir Brian. "Boleh kok." Ia menerima uluran tangan gadis di depannya.

Sedangkan Lia, mengawasi tiap gerak-gerik lelaki itu dengan lirikan tajam. "Udah? Buruan balik ke mobil. Ngapain ikut turun, sih?" Ia tidak mau membuat heboh teman-temannya.

"Jangan galak-galak, dong, Mbak Lia ... kasihan Bang Brian," cicit Sheryl tersipu malu sambil sesekali mencuri pandang ke arah idolanya.

"Tuh, denger ... nggak boleh galak-galak sama pacar," sahut Brian sambil mengedipkan sebelah matanya.

Lia mendengkus kesal. Tak ada gunanya ia menyerocos panjang lebar, ketika dengan jelas lelaki itu tidak menggubrisnya sama sekali. Sambil mendecakkan lidah, ia melenggang masuk, tak memedulikan Brian, yang tentu malah mengikutinya ke area dapur.

"Kalau kamu masih ngikutin aku, aku bakal ganti password apartemen!" ancam Lia tanpa menoleh pada sang kekasih.

Brian mempercepat langkahnya dan menarik tas di bahu Lia. "Sini, biar aku bawain."

Lia memutar mata jengah. "Please, aku biasa bawa tas ini sendiri. Kamu bikin aku kelihatan manja!"

"Kenapa kamu hari ini ngerepotin banget, sih?" Suara Lia meninggi tanpa ia duga.

"Wah, Julehaku kembali jadi nenek lampir!" Brian bersorak senang.

Omong-omong soal teman-teman, Lia baru sadar, mereka berdua pasti jadi hiburan menyegarkan di pagi hari untuk para pegawai Medang Cafe. Benar saja, ia mendapati Candy, Echa, Naya, Zizi, bahkan, Ghani sekali pun, yang tidak repot-repot mengalihkan pandangan mereka darinya.

"Please, Brian ... buruan balik, aku nggak mau bikin heboh, di sini." Lia mendongak, seraya berbisik, dengan tangannya menggenggam ujung baju sang pacar.

Brian mengedarkan pandangan, menatap satu per satu rekan kerja Lia, dengan senyum tipis menempel di bibirnya. Matanya menyipit, lalu muncul lipatan di kening saat pandangannya bertabrakan dengan tatapan tajam seorang laki-laki berseragam koki. Oh, ia sangat ingat lelaki itu. Sosok yang mengusirnya waktu pertama kali Brian datang kemari untuk menemui Lia.

"Halo, temen-temennya, Julia ... " ujar Brian tiba-tiba, tak lupa memasang senyum profesional, yang biasa ia tampilkan saat bertemu awak media. "Gue titip, Julia, ya ... makasih udah jagain pacar gue di sini."

Mata Lia melebar sempurna. Tangannya langsung terulur mencubit pinggang lelaki itu. "Ngapain kamu?" desisnya.

"Walaupun agak nyebelin, Juleha baik, kok." Brian terus melanjutkan 'pidatonya' tanpa memedulikan protes sang pacar. "Gue seneng, kalau Julia punya banyak temen lagi. Gue juga minta maaf, karena beberapa kali bikin gaduh kafe. Sixth Sense juga akhir-akhir ini sibuk banget. Jadi, gue titip Julia, ya .... "

"Siap, Bang Brian!" Hanya Sheryl yang menyahuti lelaki itu, dengan senyum lebar pula!

Sedangkan, yang lain, masih terlalu terkesima dengan ketampanan vokalis band pop-rock itu dan terlalu terkejut mendapati salah satu rekan mereka ternyata adalah pacar selebriti papan atas. Candy beberapa kali menepuk pipinya sendiri. Sedangkan Echa, telapak tangannya sudah basah karena keringat. Ia jadi teringat obrolannya dengan Lia saat membicarakan video Erin menangis di atas panggung.

"Oke, semoga gue bisa diterima di sini, ya ... gue siap kok ikut arisan, serius!" imbuh Brian saat menyadari ia mendapat tanggapan dingin dari para pegawai di sini. "Bisa juga arisan di rumah gue. Iya kan, Babe?" Matanya langsung melirik tajam pada si koki, sambil menyeringai.

"Iya, biar cepet!" Lia mendengkus sambil mendorong tubuh Brian ke pintu keluar. "Udah buruan pergi! Kamu nggak ke studio apa?"

"Iya, ini mau ke studio." Brian berbalik saat mereka sudah keluar dari zona pandangan para pegawai Medang Cafe. "Nanti telepon aku kalau udah pulang. Kabarin juga kalau ada apa-apa."

"Aku bukan bayi."

Brian cuma terkekeh lalu menarik kepala Lia mendekat dan membubuhkan kecupan singkat di puncak kepalanya. "Love you, Jul."

"Love you too."

Helaan napas langsung meluncur dari tenggorokan Lia begitu punggung sang pacar lenyap dari pandangan. Ia kembali ke dalam, siap menyambut reaksi apapun itu dari para rekannya. Tatapan ingin tahu, bingung, tak percaya memantul dari bola mata mereka.

"Udah ya, balik kerja lagi. Maaf, Brian emang suka nggak jelas begitu," pungkas Lia tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.

"Jadi, lo sama Brian beneran pa---"

"Iya, beneran. Gue percaya kalian, berita ini nggak bakal jadi judul acara gosip besok pagi. Bisa, kan?"

"Bisa, Mbak!"

Dengan bantuan tongkatnya, Lia menuju ruangan kerja di lantai dua. Baru saja pantatnya menempel permukaan kursi, pintu ruangan perempuan itu terbuka, kemudian empat kepala menyembul dari balik pintu. Kedua alis Lia menyatu di tengah, menatap para pegawainya dengan bingung.

"Boleh masuk ya, Mbak?" izin Sheryl sambil senyum-senyum tak jelas. Wajahnya sangat kontras dengan tiga pegawai lainnya.

"Masuk aja. Kalian ngapain ke sini gerombolan begini?"

Keempat perempuan itu langsung menempati sofa yang ada di sana, duduk berdesak-desakkan.

"Ehm ... " Candy menyenggol Echa dengan sikunya, mereka saling melirik.

"Anu, Mbak ... " sambung Naya, "itu---"

"Anu itu apa?" Lipatan di dahi Lia semakin dalam.

"Kita mau minta maaf," tukas Candy. "Soal waktu itu, yang ngobrolin siapa pacar Brian habis Erin."

"Sumpah, Mbak! Gue minta maaf banget. Gue nggak ada niat buat jelek-jelekkin lo!"

"Gue juga!" sambar Naya.

"Kita nggak tahu kalau pacar Brian sekarang itu lo, Mbak," cicit Candy sambil menggigit bibir.

"Oh .... " Lia manggut-manggut.

"Oh, doang, Mbak? Kita dimaafin nggak?" timpal Echa dengan wajah tak tenang.

Perempuan itu terkekeh kecil. "Dimaafin, tenang aja. Lagian kalian juga nggak tahu, kan?" Mereka bertiga mengangguk serempak. "Jadi, kalau kata kalian, siapa yang lebih oke? Gue apa Erin?"

Ada keheningan tercipta sesaat, karena ketiga perempuan di hadapan Lia, dilanda panik, dengan mata melebar.

"Hayo, lo! Pada panik, ya?" Berbeda dengan tiga rekannya, Sheryl malah terbahak setelah melontarkan ledekan.

"Oke Mbak Lia, pasti!" pungkas Candy, dengan suara lantang.

"Iya, betul!" sahut Naya.

"Kalau memang kata kalian lebih oke Erin, juga nggak masalah." Lia tertawa, matanya menatap mereka bergantian.

"Yang penting, di hati Mas Brian cuma ada Mbak Lia! Icikiwir!" celetuk Sheryl disusul tawa geli gadis itu sendiri.

"Mbak Lia kenal Mas Brian, di mana?" tanya Echa, tak bisa membendung rasa penasarannya lebih lama.

"Kuliah bareng. Udah pacaran empat tahun juga." Tentu saja, jawabannya membuat mulut mereka menganga, saking terkejutnya.

"Pacaran empat tahun?"

Lia mengangguk. "Betul. Kuliah, lulus, gue sempat dateng ke konser Sixth Sense pas mereka udah kontrak sama PR Entertainment."

"Kalau boleh tahu, putusnya kenapa?" sahut Naya.

"Putusnya karena gue liputan ke Filipina itu. Nggak kasih kabar, karena emang itu secret mission, waktu itu. Semua sosmed gue, gue non aktivin. Nomor hape gue ganti. Setelah balik ke Indonesia, gue terlalu fokus sama diri sendiri dan nggak berani hubungin Brian lagi. Malu, lah ... bingung, macem-macem pokoknya. Ya udah, gitu. Sampai akhirnya punya kehidupan masing-masing."

"Berapa tahun ya jaraknya, dari awal lost contact sampai ketemu lagi?" celetuk Candy.

"Lima tahun," balas Lia. "Ketemunya pun di sini, nggak sengaja. Waktu Naya izin, gue jaga di meja kasir sama jadi waiters kalau emang nggak ada orang. Brian dateng ke sini sama Erin."

"Iya, gue inget!" sambar Sheryl. "Gue bingung awalnya, kenapa ini orang tanya-tanya soal Mbak Lia terus."

"Ini yang namanya jodoh nggak akan ke mana," tukas Echa tersenyum lebar.

"Gue percaya semua pegawai di sini, apalagi kalian. Jadi, gue mau jelasin some facts about my relationship. Gue nggak merebut Brian dari Erin. Gue nolak dia mati-matian. Gue minta dia buat pergi, gue jelasin ke dia, kalau Julia yang sekarang beda jauh sama Julia pacarnya dulu. Semua udah gue lakuin biar dia sadar, kalau urusan gue sama dia, udah selesai sejak lima tahun lalu, dan nggak ada yang bisa diselamatkan lagi dari hubungan itu.

"Pikiran gue udah penuh, gue nggak mau  tambah pusing, karena punya beban tahu gue rebut kebahagiaan orang lain, hancurin hubungan orang lain. Bisa nerima Brian masuk ke hidup gue lagi itu, susah. Bukan karena nggak cinta, karena gue nggak yakin bisa diajak jalan lagi di depan, di saat gue masih sering stuck di masa lalu.

"Tapi, dia nggak pernah berhenti. Dan, sekeras apa pun usaha gue buat menjauh dari Brian, kalau Tuhan masih kasih dia ke gue, gue bisa apa? Gue nggak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua itu. Dapat Brian kembali ke hidup gue itu keajaiban. Setelah gue nggak hubungi dia lima tahun, dengan kondisi gue seperti ini, dan dia masih mau menerima gue, ngertiin gue banget, itu berkah yang sangat luar biasa buat gue.

"Kenapa gue jelasin panjang lebar ke kalian, karena gue anggap kalian teman, dan gue nggak mau kalian mikir kalau gue tipe orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain. Gue sama-sama sakitnya, waktu lihat video Erin di atas panggung sambil nangis. It hurts me too. Dulu, gue bisa bodo amatan sama omongan orang. Tapi sekarang, susah. Gue tahu banget, bakal banyak orang yang sulit menerima gue kalau tahu siapa gue. Tapi gue berharap, kalian nggak begitu, karena gue nggak punya siapa-siapa. Terserah kalian mau percaya atau nggak, yang penting gue udah cerita."

"Kita percaya sama Mbak Lia," tukas Candy. "Secara pribadi, gue percaya banget sama lo, Mbak. Gue bener-bener amazed denger cerita lo. Tahu, lo punya sosok yang bakal selalu ada di sisi lo, bikin gue terharu. The power of love is real. Udah pisah lima tahun, tapi akhirnya kalian bisa ketemu lagi, kekuatan Tuhan emang nggak bisa dilawan."

"Nggak salah gue ngefans Bang Brian," timpal Sheryl. "Udah ganteng, tajir, bucin lagi, kurang apa coba?"

"Kurangnya, nggak bisa lo miliki!" ledek Echa.

"Ye, gue nggak akan nikung Mbak Lia, lah!"

"Lo mau nikung pun, nggak akan dilirik sama dia, lah! Siapa lo?" Naya terbahak kencang.

Sheryl mencebikkan bibir, tapi tatapannya kembali fokus pada sang atasan. "Pokoknya, gue seneng banget lo bisa cerita ini ke kita, Mbak! Selama ini gue cuma tebak-tebak aja. Lo akhirnya pelan-pelan bisa berdamai sama masa lalu, bisa menerima Bang Brian lagi, bisa menerima kalau lo deserve to be loved, itu step besar menuju kebahagiaan lho, Mbak. Katanya self love is the best type of love! Jadi, sebelum jatuh cinta sama orang lain, jatuh cintalah pada diri sendiri."

Wow! Lia takjub dengan kalimat ajaib yang barusan meluncur dari mulut Sheryl. Darimana bocah itu belajar? "Brian emang bikin gue jadi bisa lebih cinta ke diri sendiri, dan bikin gue sadar kalau cinta itu nggak mengenal batas, fisik, waktu, atau jarak. Tapi, by the way, itu bagus banget, lo dapat quotes dari mana?"

Sheryl meringis sambil menyisir rambutnya ke belakang. "Gue baca di YouTube-nya Sweet Chaos."

Astaga! Hampir saja Lia terpingkal. Ternyata, itu quotes yang ia ciptakan sendiri.

"Gue hampir bangga sama lo, padahal, Ryl. Ternyata .... " Candy mendecakkan lidah.

"Kenapa, sih? Emang nggak boleh?" Sheryl bersungut-sungut.

"Lain kali, kasih kredit! Plagiat lo!" cemooh Echa.

"Kan udah barusan!"

Lia memijat pelipisnya, karena pertengkaran di antara keempat gadis itu. Suara nyaring mereka sangat memekakkan telinga. Sepertinya, sudah saatnya mengirim mereka kembali ke dapur, untuk bekerja.

TBC
***

Happy Reading wankawan. Mumpung ga lupaaa...


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top