Chaos 20: Her Last Wish (2)
Jadi pengecut itu tidak enak, ya? Terus bersembunyi di balik pintu. Tapi, apa sebenarnya yang membuatmu takut? Sesuatu yang mengintai di luar sana, atau pikiran yang berkecamuk di dalam kepala? Kadang, monster menakutkan sesungguhnya ada dalam diri kita.
Lia mengetuk-ngetukkan jemari ke meja, kegugupan belum juga menghilang dari dadanya, sejak surat dari Erin yang ia terima sore tadi. Perempuan itu langsung mengurung diri di ruangan tanpa memberikan sepatah kata pun pada teman-temannya. Ia menarik rambut panjangnya, merasa frustasi.
Ia lalu bangkit dari kursi, keluar dari ruangan berjalan dengan tongkat di tangannya. Beberapa pegawai mengulas senyum ketika berpapasan dengannya. Saat sampai di meja kasir, tubuh Lia menegang, karena menangkap sosok yang berdiam di meja sudut, sendirian. Tanpa melihat wajahnya pun, Lia tahu siapa sosok itu. Dengan terburu-buru, ia memutar tubuh dan kembali masuk.
Sampai kapan perempuan itu akan menunggu di sana?
"Mbak Lia .... " cicit Sheryl tiba-tiba yang sudah berdiri di sebelahnya.
"Eh? Kok belum pulang?" Harusnya, shift gadis itu sudah selesai pukul lima sore tadi.
"Gue double shift, ganti yang waktu itu. Mbak, ehm ... anu ... surat yang tadi, orangnya ... " Sheryl tergagap, kakinya mengetuk-ngetuk lantai.
"Erin ngapain sih dari tadi nggak balik-balik? Mana pesannya dikit doang lagi," dumal Hana---sang kasir---sambil melepas celemek yang jadi seragam. "Ryl, jaga meja kasir bentar, gue kebelet."
"Oh, oke, Han." Sheryl mengangguk lalu melirik ke arah Lia. "Yang kasih surat ke lo tadi, Erin. Lo mau nemuin dia nggak?"
"Nggak tahu, Ryl." Lia menggeleng lalu bergegas ke lantai dua.
Kedatangan Yves Erinka tentu menyedot banyak perhatian. Meskipun perempuan itu sudah menutup tubuhnya dengan sempurna, tapi tentu saja, pasti ada mata jeli yang menyadari kehadirannya. Apalagi jika sang bintang sudah berada di kursinya selama beberapa jam.
Hal ini, tentu saja membuat Lia semakin tertekan. Ia seperti terjebak dalam kotak kaca, dengan banyak orang yang siap menontonnya. Beberapa kali jari Lia tanpa sadar mencari nama Brian di ponsel, berharap lelaki itu bisa menyelamatkannya. Ia mengenyahkan benda persegi itu jauh-jauh. Tidak, dirinya tidak bisa terus bergantung pada lelaki itu.
Lia mengeluarkan pil penenang dan meminumnya. Menarik napas panjang, berusaha menenangkan dentuman di dada yang membuat tubuhnya bergetar. Ia menyandarkan tubuhnya pada sofa lalu memejamkan mata. Lemas, merasa kelelahan. Energinya terkuras habis, hanya untuk memikirkan ketakutan yang menggerogoti kepalanya.
***
Suara ketukan pintu membawa Lia terbangun dari alam mimpi. Ia mengucek mata dan bergegas membuka pintu. Ada Sheryl di sana dengan mimik wajah yang tak bisa dibaca.
"Kenapa?"
"Ehm ... Kafe udah mau tutup, tapi Erin nggak mau pulang sebelum ketemu sama lo, Mbak ... " tuturnya putus asa. "Kita udah bujuk dia, udah bohongin dia juga, bilang kalau lo nggak ada di kafe, tapi nggak percaya."
Ghani, yang sudah tidak pakai seragam kokinya berjalan menghampiri Lia dan Sheryl. "Lo kenal sama Erin?"
Lia menggeleng. "Gue sebenernya nggak kenal sih, tapi---"
"Ya udah, gue usir aja. Mentang-mentang artis, seenaknya sendiri," tukas Ghani.
"Emang bisa, Bang? Gue, Hana, Mbak Naya, udah suruh dia pulang, tapi itu orang masih anteng aja di kursi."
"Gila! Edan!" Hana berseru sambil meremas-remas lap di tangannya. Langkah kakinya menapaki anak tangga terdengar nyaring. "Erin belum mau keluar juga! Padahal udah diusir sama Mas Fajar itu!"
"Gue aja deh yang nemuin dia," kata Ghani dengan napas memburu. Sudah pukul sebelas malam, para pegawai sudah pasti kelelahan. Drama seperti ini, hanya akan membuat mereka naik pitam.
"Sebenernya, Erin mau ketemu Mbak Lia, ada apa, sih?" Hana mengembuskan napas sambil berkacak pinggang. "Lo nggak bisa nemuin dia bentar, Mbak? Biar itu artis bisa cepet cabut dari sini."
"Tapi, kalau lo emang nggak siap ketemu dia, nggak usah, Ya." Ghani menepuk bahunya.
Lia pikir, menghindari Erin cukup membuatnya terhindar dari kekacauan. Akan tetapi, hal itu hanya mengganti kekacauan satu dengan kekacauan yang lain.
"Pelanggan udah nggak ada?" tanya Lia pada akhirnya.
"Udah kosong, Mbak."
"Ya udah, gue temuin dia sebentar."
Sheryl mencekal tangannya, tatapan gadis itu terlihat khawatir. "Lo yakin, Mbak?"
Memaksakan senyum tipis terulas di bibirnya saat ini adalah hal mustahil. Bibir Lia menipis membentuk sebuah garis menanggapi kekhawatiran satu-satunya orang yang tahu akan hubungannya dengan Brian. "Nggak apa-apa."
Dengan langkah tertatih, ia menghampiri Erin yang duduk membelakanginya. Suara tongkatnya beradu dengan lantai terdengar nyaring di tengah malam yang hening ini. Erin menoleh, dan tatapan mereka bertabrakan untuk beberapa saat. Lia pun melanjutkan langkahnya sampai berada di hadapan perempuan itu.
"Akhirnya, kita ketemu juga," ujar Erin memandangi Lia dengan seksama. Mata gadis itu mengikuti setiap gerak-gerik dirinya.
"K-kenapa lo pengin ketemu gue?" Suaranya bergetar, berbeda jauh dengan sang lawan bicara yang terlihat tenang.
"Gue selalu penasaran sama lo dari empat atau lima tahun yang lalu." Bibir perempuan itu membentuk senyum kecut. "Gue penasaran, gimana sosok perempuan yang bikin gue harus berjuang tiga tahun untuk dapetin Brian. Dan, ternyata itu cewek yang sama, yang bikin gue harus ninggalin Brian, dua tahun kemudian."
Lalu, apa? Dirinya harus memberi jawaban apa?
"Beberapa hari lalu, gue ketemu Brian. Gue bilang ke dia, kalau gue pengin ketemu lo. Tapi, Brian nolak permintaan gue. Dia larang gue buat ketemu lo. Padahal, gue nggak akan ngapa-ngapain lo. Gue bukan cewek yang nggak tahu tata krama. Gue juga bukan kriminal yang bakal nyelakai orang lain," cerita Erin. "Sekarang, di sinilah gue, tanpa sepengetahuan Brian, akhirnya bisa duduk berdua sama lo. Walaupun harus nunggu berjam-jam."
Lia meremas ujung kemejanya yang memanjang sampai ke paha. Kepalanya menunduk, tak berani memandang lawan bicaranya. "S-sekarang lo udah ketemu gue. A-apa yang lo mau?"
"Please, nggak usah takut sama gue. Gue nggak akan jahatin lo," tandasnya. "Apa yang gue mau, nggak akan gue dapet. Gue mau Brian, Julia ... dan lo pun sama. Sebesar apa pun keinginan gue buat dapetin Brian, itu nggak ada artinya. Karena, yang Brian mau bukan gue. Kedatangan gue ke sini, pengin pastiin, kalau lo memang lebih butuh Brian daripada gue."
"Jadi ... lo pengin lihat selemah apa gue?" bisik Lia tercekat.
"Bisa dibilang begitu." Erin mengangguk. "Harusnya, gue berani nolak permintaan Brian putus dari gue ... harusnya gue bisa! Gue punya hak. Gue pacarnya. Tapi, how can I do that, when I know your condition? Gue nggak akan tega minta Brian nggak pergi, di saat dia pengin lindungin lo. Eventho he is mine. It's kinda unfair, ketika gue merasa bersalah, pengin pertahanin dia."
Lia mendengkus lalu menggeleng. "Emangnya gue mau begini? Nggak, Rin ... gue nggak pernah minta jadi cewek menyedihkan begini."
"Kalau lo baik-baik aja, gue bakal hancurin lo karena lo datang ke Brian, setelah menghilang lima tahun lalu, Julia .... And it will became easier, to beat you up."
"Nggak ada yang nyuruh lo buat kasihan sama gue .... Gue juga nggak mau jadi lemah begini. Gue nggak mau jadi cacat kayak gini. Kalau lo emang mau Brian, ambil dia, Rin ... nggak perlu merasa kasihan sama gue," pungkas Lia tak terima dengan suara parau. "Gue nggak pernah minta Brian buat balik ke gue. Gue udah ngomong sama Brian, kalau jalan kita udah beda. Gue udah larang dia berkali-kali untuk mutusin lo. Gue udah minta ke Brian berkali-kali buat balik ke lo. Karena gue, nggak mau jadi penyebab orang lain patah hati. Apa kata lo, lo anggap ini nggak adil karena lo merasa bersalah pertahanin Brian, padahal dia pacar lo? Bagi gue juga nggak adil, dengan lo menyalahkan kondisi gue."
"Tapi nyatanya, itu yang hati gue rasain waktu tahu kondisi lo, Julia. Lo nggak bisa nyalahin empati dan simpati orang lain. Gue manusia, gue punya hati. Dan, hati gue memilih buat relain Brian pergi, walaupun sakit," jelas Erin dengan napas tersengal-sengal. "Lo juga harus tahu, sebesar apa cinta gue ke Brian .... Gue rela lakuin apa aja, asal dia bahagia. Kebahagiaan dia, tujuan hidup gue. Mungkin cinta gue ke dia, sama besarnya kayak cinta dia ke lo. Jadi, please ... gue mohon, lo harus sembuh, Julia .... Lo harus sembuh, biar lo bisa mencintai Brian dengan layak. Biar Brian dapat cinta yang semestinya. Tapi, kalau lo nggak sanggup jamin kebahagiaan Brian, lo bisa panggil gue. Gue bakal kasih sebanyak apa pun cinta yang dia butuhin, buat dia bahagia."
Erin terdiam di tempat duduk untuk beberapa saat. Ia menandaskan segelas air putih di depannya, sebelum bangkit dan meninggalkan kafe begitu saja.
Tubuh Lia langsung merosot di tempat duduk. Jika tidak karena sandaran kursi, ia pasti sudah terkulai di lantai. Keringat dingin bercucuran memenuhi keningnya. Jari jemarinya saling terjalin, berpegang erat, karena terus bergetar. Ia mengembuskan napas perlahan, mengatur agar tidak tersengal-sengal. Ia meraih tongkatnya dan berjalan melewati beberapa pegawai yang sedang membersihkan meja dan lantai. Ia tahu, beberapa pasang mata membuntutinya dengan rasa penasaran menggebu-gebu di hati mereka.
Kalimat yang terlontar dari mulut Erin menggema semakin kencang dalam kepala. Apa dirinya memang selemah itu sampai ada perempuan lain yang mau merelakan sang kekasih untuknya? Apa dirinya patut berbangga diri dengan kondisinya saat ini, karena membuat seorang lelaki lebih memilihnya?
Sebenci apa pun Lia dengan tatapan belas kasihan, orang-orang akan tetap mengasihaninya. Sekeras apa pun ia mencoba membaur, berusaha untuk tidak terlihat beda, di mata mereka, ia hanyalah perempuan lemah yang menyedihkan. Bahkan, Erin tak percaya ia mampu bisa membahagiakan Brian karena kondisinya. Tentu, perempuan itu tak salah beranggapan demikian. Nyatanya, untuk mencintai diri sendiri saja, Lia belum bisa melakukan dengan sempurna. Apalagi menciptakan kebahagiaan untuk orang lain, dengan cintanya? Iya, kan? Jadi, ia tak akan mungkin bisa memberikan cinta yang cukup untuk Bri---
"Auw!" Pekikan kecil Lia mengundang para pegawai mendatanginya yang terpeleset saat menaiki anak tangga.
"Mbak Lia nggak apa-apa? Ada yang sakit nggak, Mbak?" Sheryl berjongkok di sebelah Lia dengan raut wajah khwatir.
"Nggak apa-apa." Sambil berpegangan dengan tongkatnya, Lia berusaha berdiri.
Beberapa pegawai termasuk Sheryl dan Candy memegangi tangan dan punggungnya. "Gue bisa sendiri."
"Tapi, Mbak---" Candy tetap memegangi punggung Lia, berjaga-jaga berdiri di belakangnya.
"Gue bilang, gue bisa sendiri!" potong Lia setengah berteriak.
Para pegawai seketika mematung di tempat. Tidak pernah sekali pun, Lia meninggikan suaranya seperti ini. Ia lalu membanting tongkatnya dan mencoba berjalan dengan bertumpu pada pegangan di sisi tangga. Namun, ternyata pergelangan kakinya yang normal terasa sakit luar biasa saat memijak lantai, karena terkilir, membuat ia kembali terjatuh dan terduduk di anak tangga.
"Mbak Lia .... " Sheryl berbisik penuh iba ketika menyaksikan atasannya kembali tersungkur.
Keheningan yang mencekam itu pun terpecah karena raungan tangis Lia yang memekakkan telinga. Lia terus menangis menumpahkan hal yang mengganjal di hatinya lewat air mata. Ia menundukkan kepala sambil memeluk lutut, tidak peduli jadi tontonan. Semua mematung di tempat, memandangi rekan mereka dengan perasaan carut marut. Tak ada yang berani mendekati perempuan itu.
Lia mengusap sudut matanya ketika suara ponsel berdering nyaring. Ia segera mengeluarkan ponsel dari saku kardigannya, saat benda itu berdering. Ia segera menerima panggilan itu, ketika melihat nama kekasih terpampang di layar. Lia tak memedulikan kalimat yang diucapkan Brian dan langsung menyuarakan maksudnya.
"J-jemput aku, please. Brian, jemput aku .... "
"Babe, are you okay? Kamu di mana?"
"A-aku di kafe. Aku p-pengin pulang ... aku mau pulang sekarang .... Kamu bisa jemput, kan?"
"Kamu tenang... aku jemput kamu. Tunggu, ya ... ini masih jalan ke sana."
TBC
***
Ya, ini masih lanjutan yang kemarin...
Hihi..
Happy Reading.. Nggak terlalu malam ya.. Jam 9 malam😝 semoga semakin galau.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top