Chaos 20: Her Last Wish (1)
Manusia memiliki akhir perjalanan berbeda-beda. Sebagian orang menggunakan akhir orang lain, untuk awal tumpuan petualangan.
.
.
Plak!
Satu tamparan mendarat mulus di pipi Brian. Bekas warna kemerahan tercetak jelas di sana. Lelaki itu tetap tenang, bahkan mimik wajahnya pun tidak berubah. Mata Brian terpaku lurus pada perempuan dengan tinggi sebahunya itu yang mendongak sambil memelotot tajam.
"Dasar cowok nggak tahu malu!"
"Apa salah Erin sampai lo tega tinggalin dia?"
"Dia udah ngelakuin semuanya buat lo, Bri! Berengsek banget emang lo!"
"Udah, Ndy? Puas?"
"Berengsek lo!" Indy mendecih. "Selama sepuluh tahun temenan sama Erin, gue nggak pernah lihat dia sejatuh ini, Bri. Lo apain temen gue, hah?"
"Ndy? Ini di backstage, lho ... lo nggak takut ada yang ngegep kita berantem?" tanya Brian pada perempuan yang didapuk sebagai MC konser ulang tahun salah satu bank terbesar di negeri ini.
"Bodo amat! Gue nggak peduli!" Dada Indy naik turun terengah-engah karena tersulut emosi.
"Jangan mentang-mentang lo tahu Erin secinta itu sama lo, lo bisa nyia-nyiain dia! Dia nunggu lo itu lama banget! Dan, sekarang lo tega ninggalin dia begitu aja?! Di saat Erin mikir kalau usaha dia bangun hubungan kalian berhasil! Lo malah pergi. Lo punya hati nggak, sih?" Indy memukuli dada Brian.
Brian mencekal tangan Indy sebelum kepalan perempuan itu menyentuh dadanya. "Ndy, kalau lo pengin tahu semua permasalahannya, bisa tanya ke Erin sendiri. Percuma gue jelasin panjang lebar ke lo, lo nggak akan percaya sama gue."
"Bullshit!" Indy memicingkan mata tajam pada Brian sambil mencoba menarik tangannya dari cekalan tangan Brian. "Kalau lo terbukti ninggalin Erin karena cewek lain---"
"Enough!"
Seketika Brian dan Indy menoleh pada Erin yang melenggang cepat ke arah mereka. Di belakang perempuan itu ada Agnes, berlari kecil mengikutinya.
"Udah lah, Ndy ... lo nggak perlu habisin tenaga buat marah-marah ke Brian," tutur Erin. "Ini keputusan gue bareng Brian."
"Tapi ini laki, perlu tahu, nggak bisa bertingkah seenaknya." Indy berdecak kesal sambil mengacungkan jari telunjuk di hadapan wajah Brian.
"Kita nggak perlu ikut campur, Ndy. Lagian ini urusan mereka berdua," kata Agnes lalu menyeret Indy menjauhi Brian dan Erin. "Lo buruan balik ke ruang tunggu aja, siapa tahu ada yang mau diomongin Erin sama Brian."
"Sorry, ya ... gue nggak tahu kalau Indy bakal meledak begini," ujar Erin dengan kepala menunduk begitu Agnes dan Indy menghilang dari pandangan.
"Bukan salah lo juga, Rin. Artinya dia emang sayang lo." Brian menolehkan kepalanya ke kanan kiri, berjaga-jaga ada seseorang yang lewat. Untungnya, ruang tunggu Sixth Sense ada di ujung lorong dan berhadapan dengan ruang tunggu Erin, sehingga jarang ada orang yang melewati ruang mereka. "Ya udah, gue masuk dulu. Gue tadi dari toilet, dicegat Indy."
Tangan Erin tiba-tiba terulur dan mencekal tangan Brian, sebelum otaknya sempat berpikir.
"Kenapa, Rin?"
"Ehm .... " Erin dengan gelagapan menarik tangannya, terlalu kaget karena tubuh perempuan itu bergerak tanpa sadar. Ia menggigit bibir bawahnya gugup. Sudah telanjur basah, sekalian saja ia memanfaatkan kesempatan ini. "H-habis acara ini kelar, lo sibuk?"
Brian mendongak sebentar sambil bergumam, lalu mengangguk. "Ehm ... nggak, sih."
"B-bisa ngobrol berdua sebentar?"
Lelaki itu menatap lekat-lekat perempuan di hadapannya. Kantong mata Erin tetap terlihat meskipun sudah ditutupi make up. Nampak pipinya lebih tirus dari biasa. Tulang selangka Erin yang menonjol jelas tambah membuat hati Brian teriris. Perempuan itu sudah pasti kehilangan berat badannya.
"Oke."
***
Untuk pertama kalinya sejak nama Yves Erinka melambung sebagai penyanyi, ia memiliki waktu luang untuk akhir tahun. Agnes berhasil merayu bos mereka untuk memberikan cuti dan menolak beberapa show yang sudah ditanda tangani dengan alasan sakit. Namun, ada juga acara yang tidak bisa dibatalkan meskipun dirinya ingin. Konser ulang tahun salah satu bank ternama di negeri ini salah satunya.
Secangkir teh hangat di tangannya sudah hampir habis setengah, tapi lelaki yang ia tunggu tak kunjung tiba. Erin mulai berpikir, jika Brian tidak akan datang. Namun, perkiraan perempuan itu salah, saat lelaki berpakaian serba hitam, lengkap dengan masker, kacamata, dan topi menghampiri meja mejanya.
"Sorry, nunggu lama." Brian mengedarkan kafe kecil yang buka 24 jam tersebut. Lampu yang menyala temaram dengan dinding warna cokelat bermotif kayu, membuat suasana jadi lebih hangat dan intim.
Erin menggigit bibirnya, mengangguk. "Nggak apa-apa. Anak band kalau beres-beres pasti lama."
Kegugupan tidak hanya melingkupi hati Erin, tapi juga Brian. Telapak tangannya mulai berkeringat. Hatinya berdegup kencang karena tidak bisa menerka apa yang ingin perempuan itu katakan. Lelaki itu hanya bisa berdoa, agar pertemuan ini, bisa menuntaskan segalanya.
"How are you doing, Rin?"
Helaan napas terdengar dari seberang meja. "Kalau aku jawab, I'am doing fine, it is totally bullshit."
"H-how can I help you, Rin? Aku ninggalin kamu nggak berharap kamu berakhir begini." Dengan tatapan sendu, Brian memandangi manik cokelat yang mulai berkaca-kaca.
Erin menggeleng pelan. "Nggak ada orang yang baik-baik aja setelah diputusin, kan?"
"I hope you get better, Rin. There must be a guy, who will love you better than me. Jangan berharap sama aku, it will only hurt you more."
"Kamu kelihatan baik-baik saja." Erin berujar pelan, mengabaikan tanggapan mantan kekasihnya. "She makes you happy?"
"Rin, please .... " Brian mengerang putus asa.
"Kamu suruh aku jangan berharap sama kamu lagi. Gampang menurutmu, nggak gampang buatku, Bri. Aku nggak akan bisa baik-baik aja tanpa kamu. Tapi, aku juga nggak bisa rebut kamu, karena aku tahu dia lebih butuh kamu. Selama ini, aku coba nyalahin Lia, karena kamu lebih milih dia. I tried to hate her, but I can't. How can I hate someone who is more broken than me?" Tetes demi tetes air mata pun lolos membasahi pipinya yang pucat.
"I am sorry, Rin ... I am sorry .... Kalau aja ada yang bisa aku lakuin biar kamu membaik, I would .... "
"Aku pengin ketemu Lia, Bri ... biar aku tenang. Biar aku yakin, kalau pilihan melepasmu itu pilihan tepat."
Tubuh Brian membeku. Napasnya bagaikan tercekat di tenggorokan. "N-nggak bisa. Julia nggak bisa ketemu kamu."
Kedua alis Erin bertaut menjadi satu di tengah kening. "Kenapa? Aku nggak bakal ngapa-ngapain dia, Bri. Nggak usah khawatir."
Lia bakal hancur kalau ketemu kamu.
Tentu saja hal itu hanya terucap di hatinya. Meskipun Brian yakin Erin bukan perempuan picik, tapi tetap saja, ia tidak akan membiarkan mereka bertemu. Lelaki itu terlalu takut, Lia kembali merasa tidak pantas dan terus membandingkan dirinya dengan perempuan yang pernah bersamanya. Ia tidak berani membayangkan gadisnya kembali masuk ke dalam lubang kegelapan, membuat hatinya menciut.
"Maaf, Rin ... aku nggak bisa. Lia ... she needs time, kalau dia siap, pasti kalian bakal ketemu."
"Tapi, aku nggak akan tenang sebelum ketemu dia, Bri .... Aku perlu mastiin with my own eyes, kalau dia berhak dapetin kamu, daripada aku. Kalau kamu, di tangan cewek yang emang nggak akan nyia-nyiain cinta kamu," jelas Erin. "It's my last wish, Brian ... aku janji nggak akan gangguin kalian lagi, habis ini."
Lelaki itu mengembuskan napas perlahan. "Aku nggak janji, Rin ... aku bakal ngomong sama Lia, tapi kalau dia nggak mau, aku nggak akan maksa."
Satu sudut mulut Erin terangkat, membentuk senyum kecil. "Makasih."
***
Sesering apa pun Brian meminta Lia untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri, tidak bisa menghapus rasa sesak setiap kali teringat video Erin meraung penuh kesedihan di atas panggung. Rasanya ia memang pelaku paling pantas untuk disalahkan. Tidak pernah terlintas di benak perempuan itu akan jadi perenggut kebahagiaan orang lain. Namun, ia juga tak bisa melepaskan Brian begitu saja ... lelaki itu penopang hidupnya saat ini dan nanti.
Lelaki itu juga sekarang berubah jadi alarm pribadinya. Hampir tiap jam sekali pasti ada pesan masuk dari kekasihnya itu. Entah mengingatkannya makan, menanyakan kabar, atau hanya sekadar setor rayuan.
"Jaga diri baik-baik, ya ... " Brian menangkup pipinya dengan tangan besar lelaki itu.
"Iya ... " Lia menggerak-gerakkan kepalanya mencoba lepas dari Brian. "Ngapain sih mampir ke sini?"
"Aku bawain serundeng daging, buah, sama kue. Itu kiriman dari mama," kata Brian melirik ke arah kardus di atas meja pantri. "Akhir tahun begini aku sibuk, jangan kangen-kangen, ya .... "
Lia mendecih kecil. "Aku bukan bayi, nggak perlu ditengokin begini." Ia tidak meminta untuk diperlakukan begini. Diperhatikan terus-menerus. Seolah-olah ia tidak bisa menjaga diri dan harus selalu bergantung dengan orang lain. Dirinya terlihat lemah.
"But, you are my baby." Brian tersenyum lebar sambil merapikan poni rambut Lia yang mulai memanjang.
"Udah sana buruan berangkat, kasihan Deki nunggu kelamaan." Lia mendorong pelan tubuh kekasihnya, ke pintu keluar.
"Siap. Jangan lupa kabarin kalau udah sampai kafe. Pulang sama siapa juga kasih tahu." Brian mencuri kecupan dari bibir gadisnya sebelum melenggang meninggalkan apartemen.
Setiap langkah yang ia ambil menyiksa hatinya, karena dipaksa meninggalkan sang terkasih di saat seperti ini. Permintaan terakhir Erin untuk bertemu Lia pun, tidak berani ia sampaikan. Melihat gadisnya sekarang bagaikan menggenggam bom waktu. Ia harus selalu menyiapkan diri, apabila bom meledak dengan tiba-tiba. Jika dirinya beruntung, bom bisa dijinakkan sebelum waktu yang tersedia habis.
***
"Pacarnya nggak jemput lagi?" tanya Candy.
Gara-gara mulut lebar Sheryl, seluruh pegawai Medang Cafe tahu jika Lia berpacaran dengan seseorang pemilik mobil putih yang sering terparkir lama di halaman.
"Nggak." Lia menggeleng kecil. Tangannya kembali sibuk memotong dark chocolate tipis-tipis.
Kehadirannya di Medang Cafe memang tidak diwajibkan setiap waktu. Sebagai manajer, Lia bisa saja masuk seminggu tiga kali, karena sudah mempercayai para pegawai di sini. Namun, untuk menjaga otaknya tetap waras, ia perlu kesibukan untuk mengalihkan pikirannya dikuasai para monster itu. Jadi, jika memang tidak ada yang bisa ia kerjakan, Lia akan membantu di dapur.
"Sekarang jarang kelihatan, ya?" Si patissier kembali bertanya.
"Masih keluar kota terus."
"Kerjanya apa, Mbak? Pengusaha pasti, ya? Sering ke luar kota," timpal Echa yang baru mengeluarkan adonan dari oven.
Lia cuma tersenyum simpul. "Kenapa tiba-tiba pada ngepoin gue?"
"Ya, penasaran aja, siapa yang bisa bikin Mbak Lia tiba-tiba senyum padahal lagi nggak ngapa-ngapain." Echa mengedipkan sebelah matanya sambil membawa loyang menuju meja, bersiap menata kue tersebut di penampan.
"Mana pernah gue begitu!" sangkalnya sambil memutar mata.
"Ehm ... kalau dilihat, akhir-akhir ini, Bu bos jarang senyum lagi, nih ... masih banyak pikiran, Mbak?" tukas Candy.
"Biasa ... mikirin cicilan akhir tahun," kelakarnya dengan kekehan ringan.
Sheryl dengan seragam waitress-nya melenggak-lenggok bak model menghampiri bagian pastri. Satu tangannya memegang secarik kertas. Dengan gaya ala-ala pelayan yang memberi hormat pada bangsawan, ia membungkukkan badan.
"Hamba membawa pesan untuk Yang Mulia Ratu Julia," tuturnya lantas menyerahkan secarik kertas itu.
Dengan kening mengernyit, Lia menerima pesan tersebut. "Dari siapa, nih?"
"Cowok?" sela Echa menyempil di antara Lia, Candy, dan Sheryl yang berkerubut.
"Cewek, pakai masker, kacamata item, topi. Kayak teroris begitu." Sheryl mengedikkan bahu. "Buruan dibuka, Mbak ... gue penasaran."
Tulisan rapi yang tak pernah sekali pun ia lihat, tercetak jelas di sana. Entah mengapa, jantungnya berdegup kencang setelah menerima sepotong kertas putih tersebut. Ia seperti punya firasat yang buruk akan surat ini. Manik matanya merekam dengan seksama kata demi kata yang tertulis di sana. Kalimat yang berisi tidak lebih dari sepuluh kata itu berhasil membuat rongga dadanya kembang kempis saat itu juga.
Halo Julia...
Aku di depan.. Bisa ngobrol sebentar?
Dari,
Erin.
TBC
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top