Chaos 19: Misery from the Hollow Soul

Dan, Tuhan menghadiahkan waktu bagi mereka yang mengharapkan kesembuhan dan keajaiban.
.
.

"Udah, jangan nangis lagi, dong .... " Agnes mengusap-usap bahu sang artis yang terus sesenggukan.

Erin mengangkat wajah dari bantal dan menarik selembar tisu untuk menghapus ingusnya. "T-tadi part gue berantakan banget, ya?"

"It's okay."

Masih sambil berbaring membelakangi Agnes yang duduk di tepi tempat tidur, perempuan itu menggeleng. "Harusnya gue tolak rekues mereka, waktu minta nyanyi lagu itu."

"Rin ... gimana kalau lo break dulu aja?" tanya Agnes hati-hati. "Lo mentally and physically not okay. It's been two months? Three months?"

Erin berbalik untuk menghadap sang manajer. Ia lalu bangun dan bersandar di headboard tempat tidur. "Menurut lo, kalau gue ambil break, kondisi gue bakal membaik?"

"Ya. Nanti gue bakal ajak lo jalan-jalan. Kita healing vacation ke Hawaii or Santorini. Lo buang semua pikiran lo ke laut," jawab Agnes meyakinkan. Ia menatap perempuan yang bukan hanya jadi bosnya, tapi juga sahabatnya itu dengan penuh kasih. Agnes tak sanggup, melihat Erin terpuruk untuk waktu yang lama.

Erin menggeleng lemah, setetes air mata kembali mengalir. "Gimana gue bisa baik-baik aja, setelah orang yang selalu nyembuhin gue pergi, Nes?"

"Lo harus belajar hidup tanpa Brian, Rin. Dia aja bisa, kenapa lo nggak?"

"Karena Brian pergi buat ketemu sama cinta sejatinya. Sedangkan gue kehilangan cinta sejati karena Brian pergi." Erin memeluk kakinya dan menyandarkan kepala pada lututnya.

"Kita pikirin nanti, lo butuh berapa lama buat move on. Yang penting, lo harus istirahat, tenangin pikiran lo. Pergi ke mana kek, lupain Brian," pungkas Agnes.

Andai semudah itu untuk merelakan Brian pergi dan membuang kenangan mereka, Erin akan bersuka cita pergi ke negara mana pun, untuk menghapus sosok lelaki itu dari pikirannya. Namun, tak ada orang yang mengerti, bagaimana hatinya merongrong meneriakkan nama lelaki itu tiap malam. Tidak ada yang mengerti betapa keras ia berusaha untuk melapangkan dadanya. Akan tetapi, batinnya semakin kalut, saat tahu Brian bahkan tidak lagi menyeka air mata untuk dirinya, karena terlalu terpaku pada gadis yang datang dari masa lalu itu.

Julia ... perempuan penghancur gelembung kebahagiaannya. Apa ia ingin merebut Brian kembali agar kembali ke pelukannya? Tentu iya. Apa ia sanggup memisahkan Brian dengan kebahagiaan lelaki itu? Tidak. Erin menarik napas panjang, karena dadanya kembali sesak. Dia harus bertemu wanita itu, untuk meyakinkan dirinya, jika melepas Brian bukanlah keputusan keliru. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri, jika Julia memang pantas bersanding dengan prianya.

"Kayaknya, gue emang butuh break deh, Nes. Ada orang yang pengin gue temui."

"Oke, besok waktu sampai Jakarta, gue langsung ke agensi, buat ngurus izin lo break."

***

Erin menyeret kakinya ke arah pintu karena bel apartemennya terus berbunyi mengusik ketenangan perempuan itu. Ia merapatkan sweater-nya dan mengecek intercom untuk melihat siapa tamunya kali ini. Dengan malas ia membuka pintu dan menatap sosok berjaket hitam itu.

"Kenapa dilihatin aja? Gue nggak dibolehin masuk, nih?"

Masih bungkam, dengan wajah ditekuk, Erin membuka pintu lebih lebar mempersilakan tamunya masuk.

"Ngapain ke sini?" Perempuan itu berjalan ke pantri untuk menyeduh kopi hangat.

"Emang gue nggak boleh nengokin lo?" Tamunya itu langsung menjatuhkan diri pada sofa tanpa disuruh.

Erin menggerutu, bersandar di pantri, sambil menunggu kopinya menetes dari mesin coffee maker. "Lo datengnya kepagian."

"Yang ninggalin lo itu Brian, kenapa sinisnya ke gue, sih?" Sang tamu melipat tangan di depan dada sambil mencebik.

"Ya, karena lo dateng ke sini pasti mau nanyain gue tentang video kemarin, Bang!"

"Gue khawatir, Rin. Emang nggak boleh? Nyokap lo nelepon gue mulu."

Erin memilih tak menanggapi kakak sepupunya. Ia lalu membawa dua cangkir kopi panas ke meja ruang tamu. Perempuan itu pun duduk di sebelah lelaki itu dengan cangkir di tangan, sambil menyesap kopinya.

"Gue udah kabarin mama kok."

"Lo udah baikan?"

"Menurut Bang Yon?"

Dion menghela napas panjang. "Lo sama Brian itu sama-sama orang terdekat gue. Gue nggak bisa bela salah satu dari kalian."

"Gue nggak minta lo bela gue kok, Bang .... " kata Erin setengah berbisik.

"Maksud gue, walaupun gue sahabat Brian, lo tetep bisa curhat ke gue. Kalau lo butuh gue, lo tetep bisa panggil gue, Rin," jelas Dion. "Gimana pun juga, lo adik gue."

"Kabar dia gimana?"

Kedua alis Dion mengernyit, lalu mendecakkan lidah. "Gue ke sini kan mau tahu keadaan lo. Kenapa malah nanyain dia?"

"Ya sesuai yang Bang Yon lihat. Gue hidup." Erin mengedikkan bahu, tak acuh.

"Masih kontakkan sama Brian?"

Erin menggeleng. "Nggak berani."

"Brian lihat video itu, kemarin pas Sixth Sense manggung di Papua."

"Kayaknya udah ada sepuluh juta orang yang lihat, deh," balas Erin, mengingat berapa jumlah penonton video ia menangis di YouTube.

"Dia agak kaget ... sedih juga. Brian itu, sekalinya care sama orang, pasti bakal care terus. Termasuk sama lo. Walaupun dia mutusin lo, bukan berarti dia anggap lo musnah, hilang dari hidupnya."

"Tapi, kalau gue minta dia balik jadi pacar gue, nggak akan mau, kan?" Erin menoleh menatap Dion dengan sorot mata berkaca-kaca.

"Apa yang bikin lo susah relain Brian?" Dion membelai rambut Erin. "Jangan harap Brian buat balik sama lo lagi. It will never happen. Lia itu ... terlalu istimewa buat Brian. Mereka punya sejarah yang kuat. Apalagi Brian tahu apa yang bikin Lia ngilang dulu. Gue ngerti, denger ini bikin lo sakit. Tapi, daripada lo berharap sama ketidak pastian, mending lo tahu dari sekarang."

Erin mulai sesenggukan, air matanya terus menetes tanpa henti. "Gue cinta Brian sebelum dia cinta gue, Bang .... Gue kira, cinta gue cukup dia move on. Tapi, ternyata ... "

Dion menarik Erin ke dadanya dan mengusap-usap punggung perempuan yang bergetar itu. "Pasti ada cowok di luar sana, yang punya cinta lebih besar dari cinta lo ke Brian."

"B-Brian ... dia b-bahagia banget ya, sama Lia?"

"Sama kayak lo, dia masih berjuang. It's not an easy journey for him too, to make Lia trust him and herself again," tutur Dion, "menurut gue, posisi dia sekarang kayak posisi lo dulu. Berusaha keras, untuk mencintai pasangan yang bahkan nggak mampu lagi buat mencintai diri sendiri."

Lidah Erin kelu, hatinya semakin pedih. Ia tak habis pikir, Brian rela bersusah payah, memilih hati yang patah untuk dicintai, daripada bersamanya yang pasti akan memberikan seluruh jiwa pada lelaki itu. Namun, Erin sadar ... inilah yang dinamakan cinta. Buta dan tanpa syarat.

"Gue tahu, Lia lebih butuh Brian daripada gue, Bang ... tapi bukan berarti hati gue nggak sakit."

"Take your time, Rin. Hope time will heal your broken heart and sewing your broken wing."

***

Brian mulai menggila, karena nomor Lia tak bisa dihubungi. Bodohnya dia, ia tak punya satu pun nomor kerabat Lia, termasuk orangtua perempuan itu. Sempat berpisah selama lima tahun, membuatnya menghapus semua kontak yang berhubungan dengan Lia. Sudah tiga hari ia di Papua sejak ia menonton video Erin, dan Lia belum juga bisa dihubungi.

"Anter gue ke sini." Brian mengatur tujuan maps di mobil menuju apartemen Lia.

Deki mengangguk, tidak banyak tanya. Ia menyadari bosnya dalam mode senggol bacok, sejak kemarin. Ketika mobil memasuki pelataran parkir area apartemen, Brian segera keluar dengan tas punggungnya. Ia menitipkan koper berisi pakaian dan barang-barang yang tidak terlalu penting pada Deki.

"Besok atau lusa gue ambil. Nitip di lo dulu."

Begitu kakinya memasuki apartemen, Brian langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Televisi di ruang tamu menyala tanpa suara. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat ada beberapa piring kotor di atas pantri. Ia mengambil remot televisi dan mematikannya dan berjalan ke arah kamar yang terkunci rapat.

Lelaki itu mengetuk pintu perlahan dan menempelkan telinganya di sana. "Jul?"

Hening, tanpa balasan.

Ia berdoa semoga apa yang akan ditemuinya di dalam sana, bukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal tidak memaksa pulang meninggalkan konser, untuk segera menemui gadis ini. Brian menekan daun pintu dan membukanya. Kakinya melangkah ragu, memasuki kamar. Kondisi kamarnya, cukup kacau, tapi untungnya bukan kekacauan yang ia takutkan terjadi. Brian menghela napas lega, begitu melihat Lia berbaring menghadap jendela. Beberapa potong pakaian berserakan di lantai. Ada juga piring dan gelas kotor yang menumpuk di meja.

Suara yang cukup nyaring terdengar ketika kakinya yang masih terbalut sepatu tidak sengaja menginjak pecahan vas bunga. Oh, lelaki itu baru sadar, rak susun yang berisi tanaman hias di kamar Lia, kini kosong. Sambil berjingkat—menghindari pecahan vas—ia menuju tempat tidur dan duduk di tepi kasur. Tangannya menyentuh bahu wanita itu yang tidak tertutup selimut.

"Jul ... " Brian berbisik, ia tahu dari cara wanita itu bernapas, Lia belum pulas tertidur. "Aku pulang."

Masih belum ada balasan.

"Kangen, Jul ... kamu nggak kangen?"

Saat tak ada suara merdu wanita itu yang memasuki gendang telinganya, Brian sadar betul, Lia tidak sedang baik-baik saja. Wanita itu kembali terjun ke jurang. Terjebak di dalam kegelapan sendirian. Semoga saja, ia tidak terlambat untuk membawanya kembali naik permukaan.

Brian melepas sepatunya dan ikut berbaring di belakang Lia. Tangannya melingkari perut wanita itu. "Not your fault, Julia ... not your fault. It's mine. Aku yang ambil keputusan itu. Aku yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang bersangkutan dengan itu. So, don't blame youself."

Helaan napas lolos dari mulut Lia yang dari tadi terkatup rapat. "Tapi, kamu nggak akan pergi kalau aku nggak dateng kan, Bri?" bisiknya dengan suara parau.

"Kalau pun kamu nggak datang, aku akan tetap ninggalin Erin, dengan cara yang berbeda," balas Brian setelah membubuhkan kecupan di puncak kepala gadisnya.

"Kamu nggak perlu ngada-ngada jawaban buat hibur aku."

"Nggak, Julia ... pada suatu hari, aku pasti sadar, kalau aku mencintai Erin untuk menyembuhkan lukaku sendiri. Aku menahan dia di hidupku, demi aku bisa hidup lagi. I took her love for granted. So, I will leave her, because she deserve someone who will give all his love for her."

Kembali hening, karena Lia kembali menutup mulutnya. Brian mengeratkan pelukannya, sambil terus memberi kecupan manis pada puncak kepala wanita itu.

"Jul, ke mana pun kamu pergi, ajak aku. Kamu nggak pernah sendiri," bisik Brian.

"Gimana bisa aku ajak kamu, di saat aku sendiri pun nggak tahu, aku udah jalan ke mana."

"Itu artinya kita harus sama-sama terus. Kalau kamu lupa jalan, ada aku yang bakal nemenin kamu buat nyasar bareng. Dan, di saat aku yang lupa jalan, aku nggak takut karena ada kamu di sisi aku."

TBC
***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top