Chaos 18: A Heartbroken Wailing

Aku tak ingin kau berakhir seperti senja. Menghilang saat memancarkan keindahannya.
.
.

#Translet Bahasa Inggris ada di in line komentar. Cek aja.

"You need to run. The situation is getting worse," bisik Aisyah begitu masuk ke ruangan, sambil membawa kotak obat.

"R-run? But my country will save us. They already called us." Lia sedikit meringis ketika Aisyah membungkus luka bekas tembakan. Peluru tersebut telah diambil oleh Aisyah secara diam-diam. Beruntung, ruangan ini tidak ada kamera pengawas.

Wanita berkerudung hitam itu menggeleng. "Do you guys don't notice the amount of the army? Half of them arleady went to the Cameroon. They will bring you there. And, your chance to escape from them is really thin."

"W-what?" Lia mengompres kakinya yang memar, karena dipukuli para teroris itu.

Aisyah kini berpindah pada Hafiza, untuk mengobati luka di bahu gadis itu. "This is nightmare. You guys will end up like me, if you don't run."

Lari? Melewati para pasukan itu dengan keadaan kaki pincang seperti ini? Sepertinya itu adalah hal mustahil. Ia dan Hafiza berpandangan beberapa saat. Sorot mata kedua perempuan itu menumpahkan beragam emosi. Kalut, takut, dan putus asa.

"H-how?" cicit Hafiza seraya mencengkeram lengan Aisyah. "Tell us how we can escape from this place."

"They are not watching you closely because they are busy preparing to return to Cameroon. The main base at there is under attack. And, if I am not wrong, one of the conditions for you to be freed is that your country must provide weapons for them, but your country can't do that. So, they will bring you to Cameroon in a few days," jelas Aisyah menatap Lia dan Hafiza bergantian.

"Gue mau pulang, Ya ... Gue nggak mau di bawa ke Kamerun," tukas Hafiza. "Gue pilih mati daripada harus hidup sama mereka."

Lia menggigit bibir, bimbang. Bukannya ia rela tinggal bersama para teroris ini, tapi perempuan itu ragu bisa melarikan diri dari sini. Namun, benar kata Hafiza, lebih baik mati berjuang, daripada hidup terkekang.

"Gue juga, Za. Gue juga."

Aisyah lalu menjelaskan area di sekitar markas. Markas berada di tengah hutan. Untuk mencapai desa terdekat harus berjalan sekitar tiga kilo. Dua kilo sebelum sampai desa ada sungai yang membentang. Jika Lia dan Hafiza berhasil menyeberangi sungai tersebut, kemungkinan selamat sangat besar, karena diperkirakan pasukan negara kedua gadis itu ada di sana, mendirikan tenda. Jadi, mereka hanya perlu berjalan sejauh satu kilo lalu menyeberangi sungai.

Beruntungnya, kamar ini terletak tidak jauh dari pintu keluar. Jumlah pasukan yang ada juga sudah sangat berkurang. Kebanyakan dari mereka ada di gudang, untuk menyiapkan senjata di lantai dua. Aisyah juga memberi tahu jadwal istirahat penjaga. Bahkan, perempuan itu memberi pereda rasa sakit, perban, dan obat merah untuk berjaga-jaga.

"You have to come with us," ajak Lia.

Senyum sendu terbit pada bibir perempuan itu. "I can't. They put GPS in my head. They will know our position."

"I am sorry and thank you. You are really our angel." Pipi Lia kini berurai air mata. Ia menarik Aisyah dan memeluknya erat. Berterima kasih pada Tuhan, karena telah mengirimkan penolong di saat sulit seperti ini.

***

Lia menatap perempuan rambut pendek berwarna biru di depannya dengan saksama. Ia lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Senyum merekah di bibir ke dua perempuan itu bersamaan.

"Selamat Arzita, kamu hari ini resmi bekerja sebagai asisten patissier di Medang Cafe."

"Terima kasih, Mbak Lia ... panggilnya Zizi aja, Mbak. Arzita kepanjangan," katanya dengan senyum malu-malu.

"Oke, Zizi. Sekarang kita ke dapur, dan kenalan sama head chef terus patissier-nya."

Kedua perempuan itu menuruni tangga dan menuju dapur yang berada di lantai satu. Zizi juga sudah mengenakan seragam dapur Medang Cafe. Dapur sudah mulai beroperasi menyiapkan bahan-bahan. Candy—patissier Medang Cafe—meskipun kafe belum buka, jadi orang tersibuk di sini, karena harus membuat berbagai macam pastry dan bakery.

Keterbatasan budget, membuat Medang Cafe memiliki tenaga ahli seperti chef di dapur, juga terbatas. Bidang pastri dan bakery hanya diisi 3 orang. Sejak salah satu asisten patissier keluar, Candy jadi kewalahan. Untungnya, beberapa waiter cukup cekatan untuk membantu.

"Bu bos!" Candy memekik dengan semangat.

"Loh, Sheryl ke mana?" Biasanya, pagi-pagi seperti ini, bocah itu sudah membantu Candy di dapur.

"Shift malem dia. Tukeran sama Echa."

"Gue nggak kalah rajin dari Sheryl kok, Mbak Lia ... tenang aja." Echa menimpali sambil mengaduk blueberry yang sudah meleleh di wajan.

"Kenalin, ini Zizi, asisten patissier yang baru," tutur Lia sambil menepuk bahu Zizi. "Lo udah lihat CV-nya, kan?"

"Udah, udah .... " Candy mengangguk-angguk. "Lo nanti lihat dulu sambil dijelasin sama Amar, ya. Dia asisten satu di sini."

"Ghani ke mana?" Lia mengedarkan pandangan mencari head chef Medang Cafe.

"Ke gudang kayaknya sama Alma," jawab Amar yang datang sambil membawa seloyang croissant dari oven.

"Bentar Zi, lo belum kenalan sama Ghani, bos dapur ini. Ati-ati, naksir nanti lo. Cakep dia," tukas Lia.

"Tuh, Mbak Lia aja ngakuin Mas Ghani cakep. Berarti pendapat gue nggak salah kan?" sahut Echa. "Lo aja, Can ... yang bilang Mas Ghani biasa aja."

Candy mengedikkan bahu. "Loh? Kan selera."

Zizi hanya manggut-manggut mendengarkan para seniornya asyik berbincang. Ia lalu diajak Amar untuk berkenalan dengan beberapa chef di dapur. Lelaki itu juga menjelaskan tentang job desk yang harus ia kerjakan sebagai asisten dua.

Suasana dapur di pagi hari selalu menyenangkan, karena mereka tidak harus berpacu dengan waktu untuk menyajikan makanan. Aktivitas dapur dimulai jauh sebelum jam buka kafe. Apalagi bagian pastry, karena ketika kafe dibuka, sudah harus ada macam-macam pastry dan bakery bertengger di etalase.

"Lo lihat trending YouTube nggak?" celetuk Candy.

"Apaan? Semalem gue bukanya Twitter. Anjir, Can ... itu siapa, si Erin trending! Bentar, gue cari videonya!" Echa mengeluarkan ponsel dari kantong celemeknya.

Erin? Erin mantan Brian kah, yang dimaksud?

"Yves Erinka kan, maksud lo?" sambung Candy, yang dijawab anggukan Echa. "Nah, itu yang jadi trending di YouTube."

"Emang Erin kenapa?" tanya Lia dengan suara pelan. Dia penasaran apa yang membuat kedua perempuan itu heboh.

"Kasihan banget tahu, Mbak ... dia nangis waktu nyanyi lagu yang diciptain sama Brian di festival jaz apa, ya?" gumam Echa sambil terus menggulir layar hapenya. "Nih, lihat ... "

Ia menerima ponsel Echa dan menonton video yang gadis itu maksud. Erin, dengan dress biru muda, sambil menggendong gitar, ciri khasnya saat menyanyi, nampak tergugu dan tak dapat melanjutkan lagu yang ia bawakan.

"You're the poet in my heart .... The changes in my mind, pounding in my heart .... " Sambil memetik gitarnya, Erin menjiwai setiap lirik lagu yang ia lantunkan. " You're everything in my ... h-head. You're the dreams I've always wished .... A chance to be better .... Flowers in my path, my love .... "

Wanita itu berhasil menyanyikan bagian reffrain lagu dengan tersedu-sedu. Setelahnya, ia mencoba menenangkan diri. Beberapa kali, Erin terlihat mencoba membuka mulut, tapi isakan menyedihkan yang malah memenuhi venue festival.

Ia berdiri sambil menutupi wajahnya, berusaha mengontrol air mata yang semakin deras. Erin berbalik, memunggungi kamera dan beberapa saat kemudian, musik pun berhenti.

"I am s-sorry," katanya dengan suara parau, "G-gue nggak bisa ... lanjutin lagu ini. I am sorry .... " Di akhir kalimat, suaranya terdengar bergetar.

Lia menyetop pemutaran video itu, tak kuasa untuk melanjutkan menonton video yang mencabik-cabik hatinya. Ia menyerahkan ponsel Echa pada gadis itu kembali. Tangannya mendadak dingin. Ia dapat mendengar dengan jelas kepedihan dan keputusasaan dari setiap isakan yang Erin ambil.

"Kenapa Mbak? Nggak kuat kan lo?" tukas Echa ketika menerima ponselnya. "Gue denger dia nangis aja, dada gue sesek gitu. Nggak bisa bayangin deh, gimana sakitnya dia."

"Ini Erin nangisin Brian kan, ya?" sambung Candy masih fokus mengaduk bahan-bahan untuk membuat puff pastry. "Mereka putus kenapa, sih?"

"Selingkuh kayaknya si Brian!" timpal Alma sambil membawa sekantong sayur-sayuran. Gadis itu lalu ikut nimbrung obrolan mereka.

"Selingkuh? Kalau pacar gue selingkuh, nggak bakalan gue tangisin sampai segitunya." Candy mendengkus. Ia lalu menutupi baskom berisi adonan puff pastry dengan kain lap, yang tadi dia aduk, untuk didiamkan sepuluh menit. Setelah itu dengan cekatan, tangannya memotong bawang bombay untuk isian menu savory puff pastry di Medang Cafe, spicy tuna pastry.

"Pokoknya sih, entah selingkuh atau nggak. Yang minta putus lakinya, bukan si Erin," balas Alma bersandar pada lemari. "Erin itu kurang apa lagi coba? Gue aja yang cewek demen."

"Kita tunggu aja, siapa pacar baru Brian. Oke mana sama si Erin," pungkas Echa setelah memasukkan sweet pie isian berry ke dalam oven.

"Bu bos ... kok melamun?" Candy mengguncang badan Lia yang mematung di tempat.

"Eh, anu ... gue ke kantor dulu. Minta tolong, Zizi dikenalin ke Ghani, ya .... " Lia tersenyum sendu dan memutar tumit meninggalkan dapur dengan perasaan yang berkecamuk.

***

Sebagai musisi sekaligus anak band yang aktif di dunia hiburan, mendekati akhir tahun seperti ini adalah waktu tersibuk Brian bersama Sixth Sense. Dalam sebulan ia bisa mengunjungi sepuluh kota untuk melakukan pertunjukkan. Seperti akhir November ini, ia dan lima sahabatnya berada di Papua, lebih tepatnya Manokwari, untuk menghibur masyarakat di sana. Tidak hanya harus berkeliling memenuhi jadwal konser album baru mereka, tapi juga menghadiri berbagai festival dan acara akhir tahun.

Bonus paling menyenangkan saat Sixth Sense terkenal adalah bisa mengunjungi banyak tempat, ke penjuru dunia. Pertengahan tahun depan, Sixth Sense akan melanjutkan world tour ke tiga benua. Asia, Australia, dan Eropa.

Tiga jam sebelum acara dimulai, Brian berkumpul dengan anggota yang lain di kamar sang manajer, untuk membahas perintilan konser nanti.

"Sebelum lagu Zombie kita salam-salam dulu. Terus, Dion kasih self show baru masuk ke Zombie," tutur Rayyan.

Brian menyemburkan asap rokoknya, lalu mengetuk-ngetukkan puntung rokoknya ke asbak. "Jadi, abis lagu ke enam, kita baru ngomong?"

"Iya. Enam lagu pertama lagu lawas semua. Jangan dipotong habis Zombie, biar Zombie jadi lagu baru pertama yang kita bawain," pungkas sang ketua.

"Deal." Brian manggut-manggut.

"Deal, ya? Nggak usah ada yang diubah-ubah lagi?" Dion memastikan. "Pusing gue ngi—" Ucapan lelaki itu tergantung karena ponsel yang di tangannya berdering kencang. Nama sang adik, terpampang di layar.

"Kenapa, Hel?"

"Kak Erin nggak bisa ditelepon."

"Sibuk kali."

"Lo belum nonton video dia yang trending, ya?"

"Video apa?" Kedua alis Dion bertautan.

"Nanti gue kirim, deh. Habis ini lo coba telepon Kak Erin ya ... Tante Ghina—ibu Erin, yang tinggal di Cianjur—minta tolong ke gue. Dia khawatir banget soalnya nomor Kak Erin nggak aktif dari kemarin."

"Oke, oke."

Dion segera membuka kotak masuknya dan membuka video yang dikirim Helma. Keningnya mengernyit ketika gambar panggung dan Erin yang sedang bernyanyi memenuhi layar. Tak perlu waktu lama untuk Dion menyadari jika ada yang salah dengan penampilan itu. Adik sepupunya terlihat menangis hebat sambil membawakan lagu.

"Shit!" Dion mengumpat sambil menghela napas dan menutup kembali video tersebut.

"Apaan, tuh?" Arsen menunjuk Dion dengan dagunya. "Kayak kenal gue sama lagu barusan."

"Kalian tahu, kalau Erin jadi trending topic?" tanya Dion menatap mereka satu per satu, lalu mengfokuskan pandangannya pada Brian.

"Kenapa?" Brian menyahuti.

"Dia nangis sambil nyanyi. Dan, sekarang nomornya nggak aktif. Nyokapnya panik."

"Coba videonya kirim grup," pinta sang vokalis.

Kepala keempat anggota Sixth Sense itu seketika menunduk untuk menonton video Erin yang membuat mereka penasaran. Baru beberapa detik video itu terputar, hati Brian sudah tersayat-sayat. Ia mengenal betul lagu ini. Lagu yang ia ciptakan untuk mini album Erin. Melihat gadis itu menangis, tidak pernah membuat hatinya baik-baik saja. Rasanya sesak, rasa bersalah langsung bergumul memenuhi rongga dadanya.

Bukan ini yang ia harapkan. Brian tidak menyangka, Erin akan membutuhkan waktu selama ini untuk merelakannya pergi. Ia menyimpan kembali ponselnya sambil mengembuskan napas panjang.

"Kapan video itu trending?"

Dion mengedikkan bahu. "Kemarin kayaknya."

Kemarin? Bukankah itu waktu yang cukup lama untuk Lia menyaksikan video tersebut? Tidak ... tidak .... Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada gadisnya. Brian segera menghubungi nomor sang kekasih, karena tahu bagaimana liarnya pikiran gadis.

"Angkat, dong ... angkat .... "

"Nomor yang Anda tuju .... "

Lelaki itu memejamkan mata saat panggilannya tidak tersambut. Jul ... it's not your fault ... don't blame yourself.

TBC
***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top