Chaos 17: Between Nightmare and the Dark Past

Ingat, setiap orang yang hadir di hidupmu, selalu punya misi tersendiri, yang akan mempengaruhi bagaimana kau menjalani hidup.
.
.

Dengan langkah limbung, Lia berjalan  seperti kerbau dicucuk hidungnya, mengikuti para teroris itu. Dari percakapan mereka yang bisa perempuan itu tangkap, ia akan dipindahkan ke ruangan lain, bersama Hafiza. Entahlah, apa rencana mereka. Lubuk hatinya membisikkan antisipasi, apakah mereka akan dibebaskan? Namun, logikanya segera menepis harapan itu. Tidak mungkin, kan? Para biadab itu terlalu bengis untuk merasakan belas kasih pada mereka, kan?

Ruangan baru itu lebih terang. Tak ada jendela, tapi setidaknya ada beberapa ventilasi di sana, yang menyalurkan sinar mentari dari luar.  Saat kedua matanya bersinggungan dengan Hafiza setelah sekian lama, ia hanya bisa berdiri terpaku. Perlahan, Lia meneliti kondisi rekan kerjanya yang juga masih menatapnya. Air mata pun tak bisa dibendung. Gadis itu terlihat sangat buruk---mungkin, kondisinya juga sama, tapi karena ia tak bisa bercermin, ia lebih merasa sedih untuk Hafiza---ada memar di wajahnya dan jilbab yang selalu dipakai menghilang. Lia mendekati Hafiza, setapak demi setapak. Ketika mereka hanya berjarak sejengkal tangan, ia langsung merengkuh gadis itu. Keduanya menangis bersamaan. Entah menangisi apa. Terlalu banyak hal yang bisa mereka tangisi.

"Lia, lo ... " Hafiza menggelengkan kepalanya, enggan melanjutkan apa yang ingin ia katakan, "gue seneng lo masih hidup. Gue nggak mau pulang dari sini sendirian."

"Gue juga seneng lo bisa bertahan, Za .... Bahkan, gue nggak tahu, kalau bisa hidup selama ini."

Seminggu sudah ia ditempatkan di ruangan baru, tanpa disiksa sama sekali. Makanan selalu datang dua kali sehari. Lia merasa ada sesuatu yang ganjil di sini. Kenapa mereka tiba-tiba diperlakukan seperti manusia? Ia dan Hafiza pun mendapat baju baru. Aisyah---pelayan yang dulu ia ajak bicara--- juga datang, untuk mengobati luka-luka mereka.

"Do you know what happen out there? Why we getting new clothes? They give us food too."

"Maybe they will release you." Aisyah membersihkan luka di punggung Lia.

Mata Lia membelalak, kebahagiaan membuncah di dada. Rasa perih di punggungnya tiba-tiba sirna. "Really?"

"I heard your country had a negociation with them. I hope both of you can get out from here, quickly. This place bring no good thing."

"What about you?"

Tangan Aisyah yang sedang memberi obat merah di punggung Lia terhenti. "I am trapped here."

Sorenya, dua orang tentara Red Land masuk, anehnya mereka membawa ponsel dan terdengar suara dari benda itu. Lalu, si pembawa ponsel mengarahkan kameranya ke arah kami.

"They are healthy. They are in good clothes. We gave them a good food too."

"Let us talk with them." Suara berat lelaki terdengar dari sana.

Tentara itu kemudian memberikan ponselnya pada kami. Sedangkan seorang tentara yang berdiri di sudut ruangan, menodongkan senapan laras panjangnya pada kami. Dengan tangan bergetar, Lia memegang ponsel itu. Terlihat beberapa orang asing dengan seragam tentara negaranya dan oh ... air matanya tiba-tiba menetes saat melihat Edwin---bos Alexandria ada di sana.

"Ya, Za ... ya Tuhan, kalian baik-baik aja?"

Lia mengangguk-angguk sambil terus menangis.

"Talk ini English!" seru tentara Red Land yang berdiri di belakang mereka, sehingga bisa melihat tampilan layar yang sedang melakukan video call tersebut.

"Be patience, okay ... We will pick you up. We will getting you out from there. I promise."

"Okay, Mas."

"Are they hurt you?"

Lia melirik ke arah tentara yang siap menembak kapan saja, jika mereka salah bicara. Perlahan, ia menggelengkan kepalanya, masih sambil menangis.

Edwin mengusap sudut matanya dengan tisu. "I love you Lia, Hafiza ... you two are like my little sister. I promise, I will getting you out from there."

Setelah sesi panggilan video itu, hidup Lia dan Hafiza kembali jadi mimpi buruk. Mereka disiksa habis-habisan. Seorang tentara, yang Lia perkirakan memiliki jabatan tinggi di sini, selalu menyuruh anak buahnya untuk melakukan hal-hal keji pada mereka.

"Kenapa mereka babak belur begitu?" Suara teriakkan dari telepon membuat Lia cukup terkejut, karena dua orang pria itu berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.

"Hamaz did that. He asked the subordinates to torture them."

"Told Hamaz stop that! Nggak akan ada pasokan senjata lagi dari Indonesia. They arleady knew, that I am part of Red Land."

"Siap, Pak. Kapan dua orang itu bakal dibebaskan?"

"Tunggu perintah aja."

***

Pukul sebelas malam, Medang Cafe mulai berbenah. Jam operasi sudah usai. Lia mematikan komputernya, bersiap untuk pulang. Hari ini cukup melelahkan, karena harus mewawancarai tiga pelamar calon asisten Pastry Chef. Ia tidak tega harus menolak dua orang. Selama dua tahun bekerja sebagai manajer, ini adalah tugas terberatnya.

Menyetujui menu baru, memeriksa buku keuangan, mengelola anggaran belanja, meng-update trend terbaru, memang sulit, tapi bisa dipelajari. Namun, menyeleksi pelamar, tidak mungkin tidak melibatkan hati.

"Gue denger lo udah nggak tinggal sama Bu Wati lagi?" Ghani menghampirinya yang baru menuruni tangga, mereka lalu berjalan menuju depan.

Kursi-kursi sudah dinaikkan, lantai pun sudah kembali bersih.

"Oh, iya. Gue sewa apartemen sekarang."

"Lo pulang pergi pakai taksi?" Lelaki itu menyisir rambutnya dengan tangan, sebelum memakai beanie.

"Iya. Kadang sopir Bude gue masih jemput, sih."

Lelaki itu lalu tersenyum lebar. "Great step, Lia."

"Thanks, Ghan."

"Tumben mobil putih nggak jemput, nih," celetuk Sheryl yang baru saja selesai mengelap meja. Gadis itu lalu meletakkan kanebo dan cairan pembersih meja ke rak.

Lia mengerucutkan bibir. Sheryl jadi sering menggodanya setelah tahu ia berpacaran dengan Brian. "Ribut lo."

"Oh, sopirnya nggak jemput?" Ghani ke arah jendela, memeriksa parkiran di luar. "Nggak ada mobil."

"Gampanglah gue pakai taksi."

"Bareng gue aja." Ghani mengeluarkan kunci mobilnya.

"Bener! Udah malem juga, Mbak," imbuh Sheryl.

Lia pun mengangguk. Tidak ada salahnya menerima bantuan Ghani. Menaiki taksi semalam ini cukup membuatnya merinding. Tadi, Bude Wati memang sudah mengiriminya pesan jika tidak bisa menjemput. Tak ingin membuat wanita itu khawatir, Lia berdalih mengatakan jika Brian yang akan menjemputnya.

"Ryl, hati-hati, ya ... jangan ngebut."

"Udah dua tahun gue di sini, udah jago, nih. Jadi, anak malam jalanan," tukas Sheryl sambil mengenakan jaket denim, bersiap keluar juga mengambil motornya.

Jalanan Jakarta di tengah malam, cukup lengang. Lia dan Ghani pun tidak banyak bicara. Selain Sheryl, memang tidak ada yang dekat dengannya, sampai bisa mengobrol panjang lebar. Kesunyian di dalam mobil terpecah karena nada dering dari ponsel Lia. Nama Brian terpampang di layarnya.

"Kenapa?"

"Udah pulang?"

"Masih di jalan ini."

"Aku pulang pagi, kayaknya jam empat baru kelar, deh."

Lia terkekeh kecil. "Terus, kenapa harus lapor aku?"

"Eh, jahat banget, sih."

"Besok libur, kamu free nggak? Jalan, yuk."

"Tumben nih, ngajakin jalan?"

"Besok ada jadwal ke Dokter Alice."

"Please, jangan pagi, please ... aku nggak akan bisa bangun."

"Jam empat sore kok. Kamu datengnya jam tigaan aja."

"Nginep di kamu ajalah malam ini."

"Ogah! Aku mau bersih-bersih apartemen. Kalau ada kamu, aku nggak bisa produktif. Kamu bisanya cuma ngerusuhin aja."

"Baru kali ini punya pacar, tidak merasa diinginkan."

"Ya udah, balik sama mantanmu aja sana!"

"Loh, udah, kan? Aku udah balik sama kamu."

Lia segera mengakhiri panggilan dari Brian sebelum lelaki itu semakin melantur. Setelahnya, ia baru sadar jika sedang menumpang Ghani pulang. Diam-diam ia melirik ke arah rekan kerjanya itu, yang terlihat fokus memandang ke arah jalan.

"Sori, ya .... " Siapa tahu Ghani terganggu karena ia keasyikan mengobrol dengan Brian.

"Santai aja. Temen apa pacar?" Ghani melirik Lia sekilas sebelum kembali fokus ke depan.

Ia terkekeh pelan. "Pacar."

"Udah lama ya, pacarannya? "

Kedua alisnya menyatu di tengah, penasaran kenapa Ghani menebak begitu. "Kenapa emang?"

"Selama dua tahun kenal lo, lo itu tipe orang yang males keluar atau ngumpul, kalau nggak penting-penting banget. So ... kemungkinan besar pacar lo itu bukan orang baru di hidup lo."

"Lo itu observer banget, ternyata."

Sudut bibir Ghani menukik ke atas, membentuk seulas senyum. "Nggak juga, sih."

"Dia memang bukan orang baru. Udah kenal dari kuliah."

"So lucky." Meskipun lirih, Lia bisa mendengar gumaman Ghani.

"Bener. Gue emang beruntung banget bisa ketemu dia lagi sekarang." Lia menunduk, menatap jari jemarinya yang terjalin di pangkuan.

"Well, maksud gue dia. He is lucky to have an amazing woman like you as his girlfriend."

Lia mendongak, menoleh ke arah Ghani, yang menampilkan wajah tanpa ekspresi. "Thanks."

***

Terbangun pukul delapan pagi dan menemukan seonggok tubuh manusia bergelung di sofa ruang tamu, padahal kamu tinggal sendirian, bukanlah pemandangan yang diinginkan setiap orang. Lia hampir saja terjatuh, karena terkejut menemukan penampakkan itu. Ia mengelus dadanya dan merasakan jantungnya berdentum cepat. Ia lalu berjalan perlahan, menghampiri sosok yang terbaring itu dan berdecak kesal.

"Udah dibilangin ke sininya jam tiga aja, kenapa malah tidur di sini, sih?" Lia menggerutu sambil menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu. "Bangun!"

Dia tidak kejam, hanya saja Lia tahu, lelaki sebesar itu, tidur bergelung di sofa pasti akan membuat sekujur tubuhnya pegal. Brian masih tidak bergerak, ketika dia menepuk-nepuk punggungnya. "Brian ... bangun!"

Brian mengerang, mengubah posisi tidurnya jadi telentang.

"Bri ... bangun, pindah kamar aja. Badanmu bakal sakit." Lia memencet hidung pacarnya, membuat Brian terbangun karena sulit bernapas. Lelaki itu membuka mata, menatap ke arah Lia bingung. Lia terkekeh pelan melihat ekspresi lucu yang ditunjukkan Brian. "Pindah ke kamar sana, aku mau beres-beres."

Brian bangun, mengucek matanya dan melangkah ke kamar mandi. Wow! Lia kira lelaki itu akan tidur lagi.

"Laper, Jul." Brian kembali dengan wajah basah.

"Aku kira kamu ngantuk," jawab Lia yang sudah di pantri, siap untuk membuat bread toast untuk sarapan.

"Mau makan dulu, baru tidur lagi. Jam empat, kan?" Lelaki itu kembali berbaring di sofa. Namun, pandangannya tertuju pada rak buku sebelah televisi, yang dulu sepertinya tidak ada. "Kamu pasang sendiri?"

"Beli online." Lia melirik Brian yang berdiri di depan rak buku, tampak serius membaca judul di punggung-punggung buku.

"Oh, what is this?" Dia mengambil buku paling besar di sana. "K-kamu punya album foto lima tahun lalu?"

"Itu yang bikin Alexandria. Kata Mas Edwin, suatu hari, momen lima tahun itu harus diceritakan ke publik. Tapi, sampai sekarang aku belum berani."

Brian membawa album foto yang berisi foto-foto perawatan Lia dan Hafiza ke meja pantri. Satu per satu lembar album foto dibukanya. Dadanya berdegup bertambah kencang menyaksikan bayangan di kepalanya menjadi nyata. Rasa sesak kembali menguasai tubuhnya.

"Ya Tuhan .... "

"Jangan dilihat sekarang, nanti kamu nggak doyan makan." Lia menarik album foto tersebut, tapi tangannya ditahan Brian.

"Aku nggak bisa bayangin rasa sakit seperti apa yang harus kamu terima waktu itu, Jul .... " Pandangan lelaki itu terpaku pada punggung Lia yang penuh luka sedang diobati seorang perawat. Belum lagi kepalanya yang plontos, membuat hati Brian merasakan nyeri kembali.

"Ini pertama kalinya aku buka album ini, by the way," tutur Lia setelah meneguk susu cokelatnya. "Aku kira lihat foto-foto di sini bakal bikin aku trauma atau nggak nyaman. Tapi, ternyata ... ini kayak pengingat aja, aku pernah melalui masa sulit ini."

Brian membuka kembali lembaran baru, yang kali ini menampilkan Lia masih belajar berjalan dengan fisioterapisnya. Ada Suci juga di sana, mendampingi sang putri. Ia dengan serius memperhatikan foto demi foto yang tertempel di sana. Hanya dengan cara itu, Brian seolah bisa masuk kembali ke momen lima tahun lalu. Ia merasa malu, karena tidak hadir saat Lia terpuruk.

Dengan menghela napas panjang, Brian pun menutup halaman terakhir album foto tersebut. "Makasih, ya ... udah bertahan sejauh ini, Jul." Ia menatap Lia dengan perasaan haru  dan bangga.

"Aku juga berterima kasih sama diriku sendiri, karena masih mau bertahan."

"Jul, kamu belum cerita, gimana kamu bisa keluar dari sana." Brian kemudian menyuapkan bread toast ke mulutnya.

"Aku bisa keluar, karena pertolongan salah satu hostage di sana juga. Her name is Aisyah."

TBC
***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top