Chaos 16: Embrace the Past with You

Jika kamu tidak mencintai dirimu sendiri, bagaimana orang lain akan melakukannya?
.
.

Tunggu sebentar ... jangan kau buru-buru untuk menghilang.

Jika lelahmu sudah tak dapat terbendung, duduklah ... pikirkan hal-hal kecil yang dapat menarik kedua sudut bibirmu.

Carilah, alasan-alasan sederhana untuk tetap bertahan, di sini, mengarungi hidup bersamaku, meski tempat kita berbeda-beda.

Bertahanlah, demi secangkir kopi di sore hari ....
Bertahanlah, demi lagu kesukaanmu diputar di radio yang kau sukai ....
Bertahanlah, demi melompat-lompat di tengah konser yang sudah kau nanti-nanti ....
Bertahanlah, demi berbagi semangkuk popcorn dengan orang yang kau cintai ....

Siapa tahu, ada seseorang yang menantimu di ujung jalan.
Seseorang yang akan membuatmu percaya dengan sebuah harapan ....

Seseorang yang akan menuntun tanganmu memetik setiap impian yang pernah kau gantungkan ....

Seseorang yang akan membuatmu jatuh cinta kepada dirimu sendiri, lebih dalam ....

-Sweet Chaos, Oktober 2029-

@arianagrandekw selalu suka dengerin podcast kakak.. Siapapun kamu makasih banyak ya❤❤ sayang yang punya akun ini banyak-banyak.

@justinfever aku udah ngikutin akun ini dari 2 th lalu... Dan ini, adalah episode podcast terbahagia? Apa ya? Kesannya kayak penuh harapan gitu .... Dulu kan pernah bilang, dia bikin podcast begini buat menyemangati diri sendiri.. Kalo didengar podcast nya yg sekarang, kayaknya kakak udah membaik ya? Long live for u❤ semoga kakak beneran udah nemu sosok itu.. Sosok yg bisa bikin kakak jatuh cinta sama diri kakak lagi.

@kendalbener aku penasaran banget sumpah, siapa sosok keren di balik akun sweet Chaos ini... Kakak kapan mau reveal sih? 😭😭 kalo denger suaranya kayak adem banget..

Lia tak kuasa menahan senyum ketika membaca komentar-komentar positif di bawah unggahan terbaru Instagramnya. Selama dua tahun menjadi sosok anonymous di balik akun Sweet Chaos, ia tidak pernah mendapatkan komentar buruk. Kebanyakan pendengarnya mungkin sama seperti perempuan itu, sedang mencoba menyelamatkan diri sendiri. Jadi, tak punya waktu untuk mengurusi hidup orang lain.

Seiring berjalannya waktu, kata-kata yang ia tulis, tentu berkembang, mengikuti suasana hatinya, keadaannya. Dan, Lia sangat bahagia saat para pendengarnya juga menyadari hal itu.

"Kayaknya aku harus buka sesi Q and A, deh. Biar mereka nggak terlalu penasaran sama aku," gumam Lia sambil mengetuk-ngetukkan telunjuk ke dagunya. "Next time bisa dicoba, lah. Nggak mungkin aku sembunyi terus, kan?"

Tangannya lalu kembali menyusun kata demi kata pada selembar kertas, untuk episode podcast selanjutnya. Ia tidak menyangka akan jadi sosok yang cukup puitis seperti ini. Dulu, ia hanya bisa membuat kumpulan kata tajam dan mengintimidasi. Sekarang? Dunia memang tempat yang tidak bisa diterka. Keningnya mengernyit tanpa sadar, terlalu serius. Lia bisa betah berjam-jam menuangkan isi hatinya. Lupa makan, itu hal bia---

"What the---" Lia memekik kencang saat ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang.

"Selingkuh sama siapa, sih? Sampai nggak tahu kalau pacar sendiri dateng." Brian melongok ke arah laptop Lia, kemudian beranjak untuk melepas jaketnya.

"Brian! Nyalain bel dong, kalau ke sini! Aku kasih tahu password apartemen ke kamu, bukan berarti kamu bebas keluar masuk ke sini, ya!" Lia mendumal, menembakkan tatapan tajam pada lelaki itu.

Sudah hampir dua minggu ia menempati apartemen ini. Tidak mudah untuk meninggalkan rumah Bude Wati, apalagi melihat respon Bude Wati yang tak rela melihatnya pergi.

"Kenapa harus pindah, Lia? Kamu udah nggak betah tinggal di sini?" tanya Bude Wati setelah Lia menyampaikan bahwa dirinya akan pindah ke sebuah apartemen.

Perempuan itu menggeleng lemah. "Nggak. Kalau nggak betah, nggak mungkin sampai lima tahun, Bude."

"Terus, kenapa?" Dahi Bude Wati berlipat-lipat, membuat kedua alisnya menukik ke tengah.

"Lia pengin tinggal sendiri. Apalagi, kata Dokter Alice, kondisi Lia udah semakin baik."

Bude Wati menghela napas. "Kenapa harus tinggal sendiri, sih? Yang masakin kamu siapa nanti? Yang nemenin kamu kalau bosen siapa? Yang belanja kebutuhan dapur siapa? Kamu bakal repot, Lia."

"Lia udah gede, Bude. Hampir tiga puluh tahun. Lia pasti bisa. Dulu aja Lia bisa. Masa sekarang nggak bisa?"

"Tapi kan dulu---"

"Bude nggak percaya Lia bisa hidup mandiri?"

Bude Wati kembali menghela napas, ia meraih wajah Lia dan mengusap pipinya pelan. "Kamu itu udah kayak anak ragil, Bude. Bukannya Bude nggak percaya, Bude cuma terlalu sayang sama kamu. Bude khawatir .... "

"Lia bakal sering main ke sini kok."

"Apa jangan-jangan kamu denger---"

"Apartemennya deket sama apartemen Brian. Jadi, nggak bakal kejauhan kalau Brian mau dateng," potong Lia segera, karena tak ingin Bude Wati tahu, jika ia mendengar pembicaraan wanita itu dengan Gea beberapa tempo lalu.

Akhirnya Bude Wati mengangguk. "Besok, waktu kamu pindahan, Bude ikut. Mau lihat apartemennya kayak apa ... kalau nggak bagus, nggak aman, harus pindah."

"Boleh. Apartemennya bagus, Bude bisa lihat sendiri nanti. Brian yang pilihin."

"Ya udah, kalau itu emang maumu."

Senyum Brian tetap mengembang, ia tak memedulikan sang kekasih yang marah, sampai hidungnya kembang kempis. Lelaki itu malah menghampiri gadisnya dan memeluknya erat. Ia menyerukkan hidungnya ke leher Lia. "Laper, Jul ... makan, yuk. Belum makan pasti."

"Kamu bawa apa?" Ia tidak bisa marah dalam waktu lama pada lelaki itu. Tidak, setelah lima tahun mereka berpisah. Lia mengusap-usap rambut hitam tebal Brian dan menghidu aroma mint yang menguar dari sana.

"Peka banget ya, kalau soal makanan?" Brian mencubit hidung Lia, tapi tangan kirinya masih melingkari pinggang perempuan itu.

"Loh, kamu katanya pacar idaman? Pasti ke sini buat kasih makan aku, kan?"

"Aku bawa mi goreng sama bebek peking."

Mulut Lia seketika dipenuhi liur. Perutnya pun ikut memeriahkan suasana, dengan bersuara, membuat Brian terkekeh kencang.

"Ayo, ayo ... makan." Lia menarik kekasihnya menuju dapur.

Keduanya berbagi tugas, Brian menyajikan makanan ke piring, sedangkan Lia mengambil sebotol air dingin dan menuangkan jus lemon ke dua gelas. Mereka kini duduk saling berhadapan di pantri, menikmati makan malam.

"Sebenernya, aku nggak ngerti kenapa kamu harus sewa apartemen sendiri, padahal aku dateng ke sini tiap hari? Kenapa nggak tinggal bareng aku aja, sih?"

"Mulai kan .... " gerutu Lia.

"Lebih hemat begitu, kan? Aku punya ruang kosong buat studiomu," pungkas Brian. "Terus, uangmu bisa dipakai buat kebutuhan lain."

"Kalau gitu, apa bedanya waktu aku tinggal sama Bu---"

"Buka mulut, makan dulu ... " Brian menyuapkan sepotong daging bebek di depan mulut Lia, yang diterima perempuan itu sepenuh hati.

"Pakai saus itu, ternyata enak, ya?" tandas Lia di sela-sela kegiatan mengunyahnya.

"Mau lagi?" Lia mengangguk. "Enak mana sama sausmu?" Brian kembali menyuapi Lia.

"Enak semuanya. Lagi, Bri .... " kata Lia membuka mulutnya, siap disuapi.

Kedua sudut bibir Brian terangkat naik. Kalau Lia yang dulu, tidak akan mungkin minta disuapi seperti ini. Jangankan meminta, saat Brian mencoba melakukan hal-hal romantis seperti itu, Lia pasti akan mengomel panjang lebar. Tapi kini, ah ... sepertinya kebahagiaan Brian akan terus memuncak karena sikap perempuan ajaib itu.

"Tinggal sama aku, nggak sama kayak tinggal sama budemu. It will totally different," ujar Brian kembali ke topik awal

"Sama, Brian ... aku sama aja bergantung sama orang lain."

"Apa salahnya bergantung sama orang lain? Kalau memang butuh? Aku juga bergantung sama banyak orang. Manusia itu makhluk sosial, Babe .... "

"I need my own space. Rasanya kayak, finally aku bisa mandiri. Take a little step to face the world after anything. Mungkin, di matamu itu nggak kelihatan, tapi menurutku, it really mean alot. Aku itu sekarang masih kayak anak TK yang belajar gimana dunia sekolah, dunia luar .... Walaupun ini semua bukan hal baru, tapi rasanya asing, Bri ... aku pengin jadi normal lagi. Jadi Lia yang dulu lagi, buat aku sendiri."

"Why you have to be normal, when you already became an amazing woman?" tukas Brian, satu alisnya menukik ke atas. "I am sorry, if I can't understand you fully, yet. But, listen to me, you don't need to be normal. You don't need to be your old self. Kamu yang sekarang it's perfect. Semua orang berubah. Aku, kamu, dan banyak orang lainnya. Dan, ada perubahan yang memang harus terjadi. Daripada fokus gimana caranya berubah kembali ke masa lalu, kenapa kamu nggak eksplor, apa yang bisa dilakukan sama kamu versi baru ini? Aku yakin, banyak hal luar biasa yang menunggu kamu, yang bisa kamu raih, tanpa harus jadi Lia yang dulu."

Lia merenungi kata demi kata yang baru meluncur dari mulut lelaki di depannya itu. Ia merasa tertampar. Benar juga, kenapa harus susah payah untuk jadi sosok yang sudah tidak ada? Namun, keraguan juga tak begitu saja langsung lenyap dari hatinya. Memang, dirinya yang sekarang bisa apa? Selain menangis dan menyalahkan diri sendiri?

"Aku nggak yakin, Lia versi baru, cukup kuat untuk memulai petualangan baru," gumamnya pelan.

"What a lie. Julia, mau itu versi baru atau versi lama, selalu siap menghadapi petualangan baru. When the time comes, you will know it and you absolutely will kick it," tandas Brian penuh percaya diri. "Memangnya ini bukan petualangan baru? Kamu mau balikkan sama aku? Kamu punya channel Spotify, YouTube, sama Instagram buat podcast? Kamu itu berani, tapi kamu nggak sadar, karena kamu terlalu takut. Sekarang yang terpenting, you have to be happy with whatever you do. Kalau kamu bahagia, kamu bakal cepat sembuh. Selain itu, kamu harus belajar lagi untuk love yourself more and know how worthy you are. Karena kalau kamu udah bisa melakukan itu, kakimu bakal semakin ringan untuk melangkah, ke mana pun kamu mau."

"It won't be easy, right? Gimana kalau aku gagal di tengah jalan?" Lia mengembuskan napas, tiba-tiba merasa lelah.

"Ada aku, Jul. Kamu nggak perlu takut. Aku bakal ada di setiap langkah yang kamu ambil." Brian mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari Lia.

Matanya mulai memanas. Perempuan itu mendongak untuk menghalau agar air mata itu tak berhasil lolos. Namun, isakan yang menekan dari tenggorokan berhasil mencuri jalan keluar. Lia mengusap sudut matanya yang mulai berair. Ia menatap penyelamatnya itu dengan berkaca-kaca.

"Mau peluk," bisiknya tercekat.

Brian---tanpa diminta dua kali---segera beranjak dan mendekap erat wanita favoritnya setelah sang mama, ke dadanya. Ia membelai puncak kepala Lia penuh sayang. Perasaannya campur aduk. Sedih, haru, bangga, melingkupi rongga dadanya. Ia bangga gadisnya mencoba untuk terus melangkah. Namun, lelaki itu juga merasa sedih, karena Lia kehilangan kepercayaan dirinya. Ia tak mau, perempuan itu terus dibayangi dengan perasaan jika dirinya tidak cukup baik.

"I love you." Meskipun suara Lia teredam, Brian bisa menangkapnya.

"You know, I love you too, Juleha."

TBC
***
Selamat Idul Adha bagi yang merayakan❤🌌 Sorry aku lupa kalo harus up cerita ini😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top