Chaos 13: Warm Night and Us
Kau adalah orang pertama yang ingin kulihat di pagi hari setelah membuka mata dan sosok terakhir yang kupandangi sebelum mengarungi alam mimpi.
.
.
Jantung Lia berdebar cepat saat kakinya melangkah masuk ke dalam apartemen asing itu. Netranya bergerak liar memperhatikan ruangan yang didominasi warna putih itu. Dari sekali pandang pun, sudah kentara sekali, butuh banyak uang untuk mewujudkan hunian modern minimalis ini.
"Bagus apartemenmu," kata Lia melirik Brian yang berdiri di sampingnya dengan gugup.
"Mau minum apa?"
"Kan udah beli minum tadi di KFC. Aku minum itu aja."
"Oh iya, lupa." Brian menggaruk kepalanya. Kegugupan yang melandanya, membuat lelaki itu mendadak bodoh.
Keduanya lalu duduk di sofa ruang tamu yang menyambung dengan pantri. Jendela yang luas, membuat Lia bisa leluasa mengagumi pemandangan kota Jakarta di malam hari. Mengunjungi tempat asing, selalu jadi tantangan tersendiri bagi Lia, karena kejadian lima tahun lalu. Dapat dipastikan jantungnya akan berdentum cepat, serta telapak tangannya dipenuhi keringat. Namun, apartemen Brian, tidak menimbulkan reaksi semacam itu. Mungkin, karena ia tahu Brian tidak akan melakukan hal buruk padanya. Atau, aroma yang menguar dari rumah ini, yang sangat ia hafal. Perempuan itu merasa aman.
"Having you here, it is like a dream."
Lia menoleh dan mendapati Brian sedang menatap dirinya. "If it feels too good, then it probably a dream."
Brian meraih jemari Lia dan mengusapnya. "Aku nggak nuntut apa-apa ke kamu. Kita mulai pelan-pelan. Kenalan lagi, dulu ... jangan merasa ada beban. Asal kamu nggak minta aku buat pergi aja, udah cukup."
Senyum tipis terbit di bibir Lia. "We'll see."
"Kamu nggak makan?" Pandangan Brian tertuju pada makanan Lia yang sama sekali belum tersentuh.
"Nggak laper."
Brian membasahi bibirnya, gugup karena takut pertanyaan yang akan diajukan pada Lia, akan membuat suasana hati perempuan itu jadi buruk. "Jul ... sebenernya ada yang pengin aku tanyain ke kamu."
"Apa?"
"Kamu boleh nggak jawab pertanyaan ini, kalau kamu merasa nggak nyaman," terang Brian. "Aku bingung aja, kenapa berita penyekapan kamu nggak meledak? Maksudku, kalau ada warga negara kita diculik teroris, biasanya masuk berita, kan? Tapi, kenapa kamu nggak? Apa Alexandria nutupin kasus itu?"
Tentu, Brian penasaran akan hal itu. Cepat atau lambat dia pasti sadar kasus penculikannya terasa janggal. Dadanya bergemuruh ketika mengingat kembali kejadian menyakitkan itu. "Bukan Alexandria yang nutupin. Mereka malah bantu aku sama Hafiza biar bisa bebas dari sana."
"Terus?"
"Pemerintahan kita."
"Pemerintahan kita? Maksudmu?" Kedua alis Brian berkumpul di tengah, bersamaan dengan matanya yang menyipit.
"Red Land itu kelompok teroris dari Asia Barat. Mereka bisa berkembang di Asia Tenggara, karena ada bantuan dari orang lokal. Alasan tim jurnalis Alexandria menyelidiki mereka karena kami curiga ada tokoh penting dari negara kita yang ikut andil. Dan, ternyata benar." Lia menyunggingkan senyum pedihnya. Matanya menerewang. "Mereka sengaja melarang berita itu di-publish, karena takut nanti fakta salah satu tokoh penting negara kita, berpartisipasi membangun kelompok teroris itu terkuak. Negara nggak mau nama negara kita tercemar."
Brian mendengkus, dirinya langsung merasa kesal mendengar penjelasan Lia. "Terus, mereka bantu apa?"
"Mereka bantu usaha negosiasi sama pasukan militer, biar kita bisa bebas. Tapi, semua pergerakan itu nggak boleh masuk liputan. Pokoknya publik nggak boleh tahu."
"Sekarang tokoh yang terlibat itu, gimana?"
Senyum tulus mengembang di bibir merah muda Lia. "Udah ditangkap, dua tahun lalu. Setelah tim jurnalis berhasil diselamatkan, Alexandria nggak berhenti berusaha ungkap soal berita itu. Dibantu LBH sama Persatuan Jurnalis Indonesia. Karena terdesak dari banyak pihak, akhirnya pemerintah rilis statement soal keterlibatan tokoh penting yang bergabung sama Red Land. Dua tahun lalu, dia masih bisa jadi ketua partai. Padahal udah jelas dia terlibat dengan kelompok teroris. Gila, kan?"
Kening Brian semakin berlipat. Kerutan di sudut matanya juga semakin dalam. "Jul, jangan bilang ... "
"Kamu tahu?"
"Dua tahun lalu, aku inget ada politikus yang jadi ketua partai dicopot dengan tidak hormat, karena terlibat jaringan teroris. Amar Hakim, kan?"
Lia mengangguk. "Betul."
Mata Brian membulat, mulutnya menganga sempurna. "Itu artinya lima tahun lalu, dia ada di jajaran menteri negara."
"Yup. Itulah alasan kenapa negara mati-matian menutupi fakta itu. Dan, Pak Amar ini nggak ditangkap dengan alasan kurang bukti. Untungnya Alexandria nggak nyerah."
Brian mengusap tengkuk lehernya. "Aku merinding, sumpah! Dia dituntut hukuman mati, kan? He deserve it."
"Aku bahkan denger teroris itu nelepon Pak Amar waktu disekap," tukas Lia.
Brian mengangkat tangan kanannya. "Wait, kok bisa kalian curiga kalau ada satu tokoh penting negara kita yang terlibat Red Land?"
"Rahasia dapur jurnalis, Bri. I can't tell you." Lia mengedipkan sebelah matanya.
"Oke, alasan bisa diterima. Aku udah biasa dikecewain sama pemerintah, actually ... tapi untuk pertama kalinya aku merasa semarah ini sama mereka." Brian membuang napas, matanya menatap lurus ke jendela luas di depannya. "Kalau aja berita tentang jurnalis diculik teroris tersebar, nggak perlu sebut namamu, nggak perlu sebut nama kantormu, aku pasti langsung aware dan tanya ke Alexandria. Aku pasti langsung cari tahu, Jul. Jadi, kita nggak perlu pisah kayak gini."
"Bener juga, ya?" Lia menggumam. "Tapi, semuanya juga udah lewat. Aku berhasil laluin lima tahun tanpa kamu. Menurutku, nggak ada yang harus disesalkan."
Brian menggeser tubuhnya, mengikis jarak antara dia dan Lia, untuk merangkul bahu perempuan itu. Ia menghidu aroma manis yang menguar dari rambut perempuan di sebelahnya "I am glad that you are okay now and mine."
"Bri .... " Lia mengistirahatkan kepalanya di atas dada bidang Brian. Debaran kuat lelaki itu terdengar jelas di telinganya. "Kamu deg-degan?"
Seulas senyum tipis muncul di wajah lelaki itu. Matanya masih terpenjam, menikmati kehangatan yang menguar dari tubuh Lia. "Hm. Udah lama nggak peluk kamu begini. Terlalu senang."
"Aku cuma mau ingetin kamu, balik sama aku tuh, bukan pilihan bijak. Jalan yang bakal kamu hadapi, nggak akan mudah." Lia menggambar pola-pola tak beraturan dengan jarinya di dada Brian.
"Apa lagi?" Suara Brian terdengar mendayu. Lelaki itu mulai mengantuk.
"Jangan berharap banyak sama hubungan ini ... karena aku juga nggak tahu, bakal mampu bertahan berapa lama. Bukan karena aku nggak cinta kamu, tapi karena aku lupa gimana caranya mencintai diri sendiri dan lupa gimana rasanya dicintai."
"Udah, segitu doang?"
"Aku bakal rewel, cengeng, cerewet. Akan ada saat, aku nggak mau ketemu siapa-siapa. Nggak ada lagi Julia, si pemberani yang dulu kamu bangga-banggakan. Nggak ada lagi perempuan ambisius, penuh tekad kuat yang bikin kamu kagum. Semuanya udah hilang, nggak tahu ke mana dan nggak tahu juga sosok itu bisa kembali nggak."
"Hm ... it's okay."
Lia mendongak, meskipun kepalanya berat karena ditindih dengan kepala Brian. "Aku serius loh, Bri."
Brian membuka sebelah matanya dan terkekeh kecil. Ia menangkup kedua pipi Lia, lalu menunduk untuk mengecup bibir perempuan itu. "Aku juga serius. Lagian aku nggak cari Julia yang dulu. Kamu yang sekarang, itu lebih dari cukup."
Pupil Lia membesar, tangannya terkulai lemas di sisi tubuh, ketika bibir mereka saling bersentuhan. Jantung perempuan itu seakan melompat dari tempatnya. Perutnya melilit karena dipenuhi letupan-letupan antisipasi. Sudah lama ia tidak merasakan keintiman seperti ini.
"Aku didiagnosa punya depresi sama PTSD loh, Bri. Kamu nggak takut?" Perempuan itu memandang lurus kedua bola mata cokelat di hadapannya dengan kalut.
"Nggak. Ngapain takut? Kamu pengin sembuh, kan?" Lia manggut-manggut. "Itu berarti kamu bakal berusaha buat lawan mereka."
"Oke. Masih nggak paham, kenapa kamu bisa se-optimis gini."
Tawa rendah lolos dari bibir Brian, membuat tubuh lelaki itu bergetar. "You are my sweet chaos, remember? You are the chaos I will always choose." Ia membelai puncak kepala Lia, merasa gemas karena gadisnya belum juga memahami perasaannya. Andai saja, perempuan itu bisa melihat dirinya sendiri dengan mata Brian, dirinya yakin, Lia akan sadar, bagaimana mudahnya untuk jatuh cinta lagi dan lagi padanya.
Lia merekam kata demi kata yang diucapkan Brian. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan manis. Tidak bisa dipungkiri, hatinya menghangat ketika tahu lelaki itu masih menginginkannya. Ia berharap, semoga takdir tidak mempermainkan jalan hidup mereka lagi, karena perempuan itu tak yakin akan bisa pulih untuk kedua kalinya.
"Janji ya, kamu nggak akan pergi, setelah lihat semua sisi baru yang belum pernah kamu temui sebelumnya?" Lia mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Brian.
"Janji, Jul. Kamu bisa pegang kata-kataku." Brian menautkan jari kelingkingnya dengan jari Lia dengan senyum terus menghiasi wajahnya. Kalau saja Lia masih jadi dirinya yang dulu, si idealis dengan ego tinggi, tidak mungkin perempuan itu melakukan hal konyol seperti ini. Kemungkinan besar, dialah yang akan merengek memohon Lia melakukan janji jari kelingking. Namun, ini tidak jadi masalah. Hanya secuil perubahan yang pasti ia terima dari gadisnya.
***
"Hari ini aku mau pulang kampung."
"Iya, semalem kan, udah bilang."
"Kamu nggak sedih emang? Kita bakal pisah lama. Nggak tahu juga kapan aku main ke Semarang lagi."
Lia memutar bola matanya, jengah. Kalau Brian sudah masuk ke mode manja plus merajuk seperti ini, sangat menjengkelkan. "Kita nggak hidup di zaman batu, Brian. Ada hape, ada video call. Kalau kamu kangen bisa main ke rumah. Gue deh yang ke rumah lo nanti."
"Jangan nakal ya, pokoknya selama aku nggak di sini." Brian mengacak-acak rambut Lia membuat perempuan itu mencebikkan bibir.
"Gue bukan anak kecil. Lo cari kerja aja yang bener. Kalau mau lamar gue nanti, butuh modal gede," tukas Lia membuat Brian mengangguk patuh.
"Iya, do'ain, ya ... biar bisa lamar kamu secepatnya."
"Gue nggak mau cepet-cepet. Mau kerja dulu."
Brian menyentil bibir pacarnya yang mengerucut itu. "Oke, aku jalan sekarang. Mulutmu, dikasih rem. Biar nggak kebablasan kalau ngomong!"
"Iya, Pak Guru! Bawel, ah!" dengkus Lia mencubit lengan lelaki itu yang barusan menyentil bibirnya. "Kalau ngantuk, berhenti. Jangan ngebut-ngebut. Motornya beneran dititipin di rumah tantemu yang di Solo, kan?"
"Iya. Nggak mungkin lah aku naik motor ke Malang dari Semarang." Brian tergelak.
"Salam buat keluarga di rumah. Itu ayam srundengnya jangan lupa dimakan kalau laper. Terus, lauk-lauk yang lain disimpen buat keluarga di rumah. Jangan lo habisin sendiri di kereta!"
"Iya, Juleha ... aku nggak serakus itu!" Brian menarik tangan Lia, membuat perempuan itu mendekat.
"Hayo, mau ngapain, nih?" Kedua mata Lia memicing ke arah kekasihnya. Ia harus waspada, dengan apa yang akan dilakukan lelaki itu.
"Pengin gigit kamu, gemes." Brian menggigit kepala Lia. Sontak saja, gadis itu menjerit, karena merasakan gigi yang keras bertubrukan dengan tempurung kepalanya.
"Brian! Kurang ajar banget, sih!" Lia mengangkat tangan untuk memukul pacarnya, tapi lelaki itu berhasil menguncinya lebih dulu. Brian lalu membubuhkan kecupan kecil di puncak kepalanya.
"Jaga diri, ya .... semoga kita bisa ketemu lagi, secepatnya."
"Hati-hati, Brian."
Dua minggu setelah wisuda, tibalah saatnya untuk Brian meninggalkan Kota Lumpia itu. Hampir seluruh barang lelaki itu sudah dibawa pulang oleh keluarganya, setelah wisuda. Sehingga, ia sekarang hanya bawa dua tas punggung dan mengendarai motor matic-nya ke Solo, untuk dititipkan di rumah sang tante.
Pikiran Brian bercabang memikirkan banyak hal saat menyusuri jalan demi jalan membelah keramaian. Memikirkan bagaimana masa depannya, pekerjaan apa yang harus ia ambil, bagaimana nasib Sixth Sense, dan kelangsungan hubungannya dengan Lia.
Ia mengambil napas panjang saat motor yang dikenderai berhenti di depan rumah yang sangat ia kenal. Lelaki itu melewati warung makan yang berdiri kokoh di depan dan langsung menuju ke rumah utama. Oke, Brian ... tenang, demi masa depan harus berani. Setelah mengucap basmalah, ia mengetuk pintu yang tak tertutup itu.
Seorang perempuan yang tidak ia kenal menyambutnya. "Iya, ada apa Mas?"
"Pak Danunya ada?"
"Ada, silakan masuk. Saya panggilin sebentar."
Brian mengangguk dan masuk ke ruang tamu. Kepalanya mendongak melihat-lihat lukisan dan foto-foto yang tertempel di dinding. Tidak ada yang berubah, sejak terakhir ia berkunjung.
"Oh, Brian? Sendirian?" Suara berat Pak Danu mengagetkan lelaki itu. Ia bergegas berdiri untuk menyalami calon mertua.
"Iya, Pak. Ini mau pulang ke Malang, sekalian mampir aja," jawab Brian gugup. Lelaki itu tersenyum tak jelas sambil terus menggigiti bibir bawahnya.
"Oh, gitu ... Lia kan di Semarang, nggak di rumah."
"Memang mau ketemu sama Bapak, bukan sama Lia." Jantungnya semakin berdegup keras.
Kening Pak Danu mengernyit, kumis tebalnya terlihat berkedut. "Ketemu saya? Kenapa?"
"Saya mau minta izin, Pak." Brian meremas ujung kemejanya, lalu menarik napas panjang. "Saya serius sama Lia, Pak."
Lipatan di kening pria paruh baya di hadapan Brian semakin dalam. "Kamu mau lamar anak saya?"
"Belum, Pak." Ia langsung menggeleng. "Saya belum mampu lamar Julia, Pak ... saya belum punya pekerjaan, saya belum layak untuk meminang putri, Bapak. Tapi, saya datang ke sini memang untuk minta Bapak buat pertimbangkan saya jadi calon mantu Bapak."
Satu alis Pak Danu menukik ke atas. "Maksudnya?"
"Tolong, tunggu saya siap buat lamar Lia. Jangan kasih Lia ke cowok lain ya, Pak," kata Brian memohon.
"Kenapa saya harus nolak lelaki yang memang serius sama Lia dan mampu?" Pak Danu melipat tangannya di depan dada sambil memicingkan pandangan ke arah Brian.
Ia meneguk ludah, mendengar jawaban Pak Danu yang menjurus ke arah penolakan. Dia ditolak, kah? "Ya, tunggu saya aja ya, Pak ... saya serius sama Lia. Saya janji bakal bekerja keras untuk memantaskan diri, biar bisa melamar Lia dengan layak."
Pria paruh baya itu menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa. "Brian, jodoh nggak ada yang tahu. Saya juga nggak akan atur jodoh anak saya. Kalau kamu memang serius sama Lia, ya udah, buktikan aja."
Brian mengangguk semangat. Bibirnya melebar membentuk senyuman bahagia. Lia, seenggaknya aku udah mengantongi restu bapakmu. Tunggu, aku ya, please ... aku pasti bakal kerja keras biar bisa jadi pasangan yang pantas buat kamu.
"Makasih ya, Pak."
TBC
***
Perjalanan Ijul dan Brian masih panjang ya ... Makasih udah setia nungguin mereka.
Btw, jangan lupa vote & komen, koreksi typo juga! ❤❤ Semangat menghadapi hari Senin ya, yorobunnnn ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top