Chaos 12: You're My Number One

Dunia tidak akan berhenti berputar, hanya karena hidupmu berjalan tidak sesuai yang kau mau. Peluklah pedihmu, jadikan itu alasan agar langkahmu bisa lebih panjang dari kemarin.
.

.

Setahun terakhir ini, jadwal konsultasi Lia dengan psikiater cukup tiga bulan sekali, karena kondisinya yang sudah nembaik. Ia baru bertemu Dokter Alice Juli lalu, yang berarti perempuan itu tidak seharusnya berada di ruangan ini sekarang. Ini baru awal September. Jadwal selanjutnya masih bulan depan. Namun, ia tak bisa menunda lebih lama. Sudah terlalu banyak obat tidur yang dikonsumsi untuk membantunya terlelap tiap malam. Nampaknya, Dokter Alice tidak begitu senang mendapati perempuan itu ada di sini sekarang.

"Selamat pagi, Lia ... saya nggak bakal bilang senang melihat kamu di sini. Tapi, saya senang kamu terlihat baik-baik saja sekarang, meskipun datang menemui saya satu bulan lebih cepat dari jadwal," tutur Dokter Alice diakhiri senyum menawan. "So, what makes you come here?"

"Ehm .... " Lia menggigit bibirnya, jari-jemari perempuan itu saling menekan di atas pangkuan.

"What do you feel right now, Julia? Apa kamu gugup? It's okay, Julia. Oh, kamu belum cerita gimana kemarin rayain ulang tahun bareng orangtuamu. Btw, rendang ibumu top banget." Wanita itu mengacungkan kedua ibu jarinya. "Waktu udah habis, tepak makannya masih banyak bumbu, saya masukin nasi buat dibersihin. Nggak rela kalau dibuang aja."

Lia terkekeh kecil. "Nggak kemanisan, Dok?"

"Nggak, pas. Selama ini, kalau makan rendang tuh, kadang ada yang terlalu asin di lidah. Karena saya memang suka manis, jadi ini oke banget."

"Ibu sebelumnya emang tanya dulu, Dokter Alice sukanya manis apa asin, ya? Terus, saya inget, Dokter besar di Jogja. Jadi, saya bilang Dokter suka manis. Keluarnya begitu deh rendangnya," terang Lia, merasa bangga dengan kemampuan memasak sang ibu.

"Sekarang orangtuamu sudah pulang?"

"Udah bolak-balik malah. Mereka baru ke sini lagi dua hari lalu. Istri kakak sepupu saya melahirkan."

Mata Dokter Alice berbinar. "Wow, congratulation! Became aunty once again! Actually you look so happy. I am glad you have nice birthday celebrations. Cerita dong, dapet surprise apa dari anak kafe?"

Lia tergelak. "Nggak ada surprise, orang ketahuan. Tapi, saya memang dapat kejutan waktu ulang tahun kemarin. Bukan dari anak kafe, sih."

"Want to share it with me?"

"My ex gave me a birthday gift."

"Kalian ketemuan lagi?"

"He accidentally found me. We met at my cafe months ago."

"Interesting scenario. Apa dia yang bikin kamu nggak nyaman akhir-akhir ini?"

Lia mengangguk. "Rasanya aneh dan nggak nyaman. Dia udah punya pacar. Dia ke kafe itu sama pacarnya. Sejak itu, dia nggak pernah berhenti datangi saya." Ia menarik napas dalam. "Saya juga udah cerita tentang kejadian lima tahun lalu. Dan, kayaknya itu kesalahan terbesar yang saya lakukan dalam lima tahun terakhir, selain coba bunuh diri."

"Kenapa kamu merasa bersalah?"

"Karena, dia akhirnya putus sama pacarnya dan mau balik ke saya. Saya nggak mau mereka berakhir. Kami udah nggak ketemu lima tahun, tapi kenapa dia harus pilih saya lagi? Padahal pacarnya perfect. I think any woman want to be her. Lihat dia lagi pun, bikin saya inget ke penyesalan saya dulu, kenapa nggak berani hubungi dia sebelum berangkat. Kenapa nggak berani hubungi dia waktu akhirnya pulang. Bebannya terlalu bertumpuk-tumpuk. I can't handle this feeling."

"Kayaknya kamu tahu betul pacar baru mantan kamu? Kamu sering stalk mantan kamu? Terus, gimana kamu tahu kalau mereka putus? Mantan kamu cerita?"

Lia terdiam sejenak sambil mengetuk-ngetukkan kaki di lantai, berpikir apakah harus bercerita pada Dokter Alice tentang siapa sosok mantannya ini. "Ehm ... ada sesuatu yang belum saya ceritakan ke Dokter tentang mantan saya ini."

"Okay ... I will listen."

"Actually, my ex boyfriend is someone famous. He is singer and his girlfriend is also singer. So, I now about their break up through internet. Mereka baru aja putus, katanya."

"Kalau boleh tahu, siapa?"

"Brian, vokalis Sixth Sense."

"Gosipnya masih anget. Belum ada seminggu. Dia udah menghubungi kamu setelah ada gosip mereka putus?" Luar biasanya, Dokter Alice tidak memperlihatkan wajah keterkejutan berlebih. Dia juga tidak menanyakan sesuatu yang di luar konteks pembicaraan. Sangat profesional.

Lia mengangguk. "Nggak saya angkat. Kirim chat juga, tapi belum saya balas. Kayaknya jadwal Sixth Sense lumayan padat, jadi saya ada waktu buat berpikir, sebelum dia dateng nanti."

"Gini deh, lupain kalau Brian sudah punya pacar. Lupain soal dia minta balikan. Lupain rasa bersalah kamu karena nggak berani hubungi dia dulu. Close your eyes and ask yourself, do you still love him? Apa yang paling kamu sukai tentang dia?"

"I am always love him. Saya nggak pernah jatuh cinta dengan orang lain. Dia ... laki-laki paling baik yang pernah saya temui. Dia tulus, menyenangkan, nggak menuntut banyak. Dulu, waktu kuliah sebelum pacaran kami musuhan. Dia nggak suka sikap saya yang terlalu blak-blakan dan asal ngomong, kata dia. Tapi, dia bisa stuck sama saya dan sabar kasih tahu ke saya gimana efeknya kalau saya terus-terusan begitu. Akhirnya pun, saya sadar. Saya pasti filter dulu apa yang mau saya omongin. Walaupun, masih galak sama nyablak juga." Ia terkekeh mengingat momen-momen waktu pacaran dulu. "Saat semua orang nggak percaya kemampuan saya, dia selalu ada di barisan paling depan untuk dukung saya. He is one of the best support system ini my life.

"Tapi, sekarang udah nggak penting lagi, saya masih cinta Brian atau nggak. Saya udah terbiasa lihat dia dari jauh. Asal dia bahagia, saya juga bahagia. Dia udah punya hidupnya sendiri. He has perfect life, perfect woman. Kenapa dia dengan mudah meninggalkan itu, demi saya? Itu yang bikin saya pusing, Dok. Lagian udah lima tahun lewat. Kenapa harus balik lagi ke saya? Dan, karena itu juga, ada perempuan patah hati, gara-gara saya. Walaupun Brian ngomong itu bukan salah saya mereka putus. Tapi, how can I don't blame myself? They broke up because Brian want to be with me."

"Tapi, gimana kalau yang diomongin Brian itu benar. Itu bukan salahmu?" tutur Dokter Alice menatap Lia lekat-lekat sambil tersenyum. "Mereka berdua udah dewasa. Brian punya pilihan tentu. Bertahan sama pacarnya atau balik sama kamu. Mendengar cerita kamu, saya bisa menyimpulkan kalau dia sangat bekerja keras untuk menjalin komunikasi lagi dengan kamu. Sudah berapa bulan kira-kira?"

Lia membuka matanya kembali, menatap wanita berusia empat puluh tahunan di depannya. "Dua bulan."

"Dua bulan. Dan, pastinya kamu nggak selalu mau untuk ditemui. Tapi, kenapa dia masih terus bersikeras ketemu kamu, sampai mutusin pacarnya sendiri. Kenapa coba?"

Lia menggeleng pelan. Dia tidak mau berpikir macam-macam, atau lebih tepatnya tidak berani berharap lebih.

"Ya, karena dia memilih untuk melakukan itu. Brian bisa saja memilih untuk bertahan dengan pacarnya. Dia punya kendali penuh mau melakukan apa. Keputusan Brian, ya seratus persen punya Brian, tanggung jawab dia. Kenapa kamu harus merasa bersalah?"

Otak Lia membetulkan apa yang baru disampaikan Dokter Alice. Namun, tidak dengan hatinya. Dia terus merasa tidak ada alasan masuk akal, kenapa Brian bisa meninggalkan Erin dengan segala kesempurnaan yang dia miliki, demi dia?

"Menurut saya, sebagai teman kamu, bukan psikiater kamu, saya pikir Brian sangat peduli denganmu Jadi, kenapa kamu nggak kasih kalian kesempatan once more dan lihat ke mana hubungan kalian bakal berjalan? Tidak harus jadi pasangan, tapi terima dia dulu jadi teman. Sebelum kejadian ini, sepertinya dia punya pengaruh yang baik untuk kamu."

Peduli atau kasihan? Kenapa bisa Dokter Alice bisa berpikiran begitu? Nggak mungkinlah dia masih punya perasaan sama aku. Jelas-jelas dia udah punya pacar lagi.

***

Suara ketukan pintu terdengar, kemudian kepala Suci menyembul dari luar. Ia menatap sang anak yang sedang sibuk dengan laptop di meja kerjanya.

"Julia? Jul?"

Perempuan itu segera melepaskan earphone-nya. "Iya, Bu?"

"Kebiasaan deh, kalau pakai earphone dipanggil nggak nyahut."

Lia meringis. "Maaf, Bu. Kenapa?"

"Ada tamu di bawah."

Keningnya mengernyit. "Tamu?"

"Brian dateng." Meski tipis, senyum ibunya cukup terlihat. Kedua sudut bibirnya terangkat dengan mata sedikit menyipit.

"Suruh tunggu sebentar, Bu. Nanti Lia turun."

"Siap." Suci mengacungkan ibu jarinya pada sang putri, kemudian menutup pintu kamar Lia.

Ia menegakkan punggung kemudian menarik napas perlahan. Oke, seminggu sudah berlalu sejak berita tentang putusnya hubungan Brian dan Erin. Mungkin, memang ini waktunya ia menemui Brian. Untung saja, jadwal lelaki itu sangat padat, sehingga memberikan jeda waktu untuk ia berpikir sejenak.

Lia turun menggunakan tongkat. Celana jeans abu-abu pudar tiga per empat membungkus kaki rampingnya dengan apik. Perempuan itu memadukannya dengan kaus putih oversize dan kardigan rajut berwarna cokelat. Rambut hitam panjangnya tergerai sempurna. Rupanya, Brian ditemani Suci di ruang tamu. Kedua manusia itu segera menoleh ke arah Lia, ketika mendengar suara langkah kaki perempuan itu.

"Kalian mau pergi?" tanya Suci.

Lia melirik ke arah Brian kemudian mengangguk. "Iya, Bu. Boleh, kan?"

"Boleh, boleh!" Kedua sudut bibit wanita itu seketika terangkat ke atas, membentuk lengkungan manis.

"Ayo, Bri ... keburu malem." Lia sudah berjalan lebih dulu ke arah pintu.

Meskipun dengan kerutan tercetak jelas di keningnya, lelaki itu mengangguk, dan beranjak dari kursi. Ia menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Suci, sebelum menghampiri Lia.

"Titip Lia ya, Brian ... jangan malem-malem pulangnya." Suci menggenggam tangan lelaki itu erat sembari tersenyum.

"Kita mau pergi ke mana?" Brian menyejajari langkah Lia.

"Terserah ke mana aja, yang penting jangan di rumah. Kamu mau ngomong sesuatu, kan?"

***

Mobil Brian berhenti di tepi taman kota. Ada beberapa mobil lain yang juga terparkir di sana, membuat keberadaan kendaraannya tidak mencolok. Kaca film super gelap yang menutupi jendela, membuat orang luar tidak akan bisa mengintip ke dalam. Awalnya lelaki itu mengusulkan untuk makan di fine dining resto milik temannya, agar mereka bisa makan di ruang VIP, yang sudah pasti akan menjamin privasi mereka. Namun, Lia menolak usulnya dan memilih untuk memesan makanan cepat saji lewat drive thru untuk dimakan di mobil.

"Jadi ... " Lia membuka suara lebih dulu. "Kalian putus juga. Erin tahu, kamu suka nemuin aku akhir-akhir ini?"

"Dia tahu aku nemuin kamu, karena aku bilang sama dia waktu minta putus."

"Bri ... sumpah aku nggak ngerti gimana jalan pikiranmu." Lia menghela napas, menyugar rambutnya ke belakang. "Kamu putus sama Erin, terus sekarang mau apa?"

"Aku mau ada di sampingmu. Selama ini kamu berjuang sendiri. Sedangkan aku menikmati hidup, padahal kamu menderita, kamu sakit."

"Memangnya aku sakit karena kamu? Nggak, kan? Memangnya aku larang kamu menikmati hidup? Nggak, kan? Jangan merasa bertanggung jawab sama hidupku, Bri .... "

"Kamu pikir aku bisa lanjutin hidup lagi dengan normal, setelah tahu keadaanmu kayak gini?"

"Jadi, kamu nyalahin keadaanku? Toh, aku juga nggak minta hidup kayak gini!"

"Bukan gitu maksudku!" Brian mengerang frustasi. "Aku nggak mau ninggalin kamu sendirian lagi, berjuang sendirian lagi, nangis sendirian lagi, karena aku peduli sama kamu! Aku cinta sama kamu, Jul ... dulu, sekarang, dan nanti."

"Ini makin bikin aku nggak ngerti. Kenapa bisa kamu cinta aku setelah lima tahun? Padahal, kamu punya Erin?"

"Aku coba buat melanjutkan hidup, Julia ... she is great woman. But, you're my number one." Suara Brian terdengar parau, pandangannya terlihat lelah. Kerutan di sudut mata lelaki itu membuat Brian terlihat semakin kelelahan. Lelaki itu menjulurkan tangan ke depan, lalu mendarat pada pipi perempuan di sampingnya.

Lia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lipatan-lipatan kecil tercetak jelas di kening. Dia ingin sekali membedah isi kepala Brian dan melihat bagaimana cara lelaki itu berpikir. Sangat tak masuk akal!

"Apa lagi yang kamu cari dari aku, Bri?" Lia memberanikan diri menatap mata nanar lelaki hanya berjarak beberapa senti darinya. "Julia yang bikin kamu jatuh cinta dulu udah nggak ada. I'm not her dan mungkin tidak akan jadi dia lagi."

"Gimana kamu yakin aku masih cari Julia yang dulu?" bisik Brian dengan suara serak.

"Get your shit together. I'm beyond broken," desis Lia. "Cinta nggak akan pernah cukup jadi landasan hubungan kita, di saat aku bahkan nggak tahu gimana cara mencintai diri sendiri."

"My love will big enough for both of us." Brian membelai rambut perempuan di depannya.

Lia menggelengkan kepala. Matanya pedas, karena air mata yang menusuk keluar. "Kenapa kamu mempersulit dirimu sendiri, Brian? Secara mental dan fisik, aku udah banyak berubah. Look at me, now! How can you still love me?" Ia menyeka air matanya yang menetes di pipi dengan cepat. "Berbahagialah sama kekasihmu. She is kind, beautiful, brave, smart woman. Apa yang kamu cari lagi? Practically, you have perfect woman by your side. Kenapa masih pilih yang cacat?"

"Karena itu kamu. Mauku itu kamu. Apa pun kondisimu." Brian menarik kedua tangan Lia dan menggenggamnya erat. "Kenapa harus cari kamu yang dulu kalau kamu yang sekarang udah cukup buat aku? Di mataku kamu yang sekarang lebih luar biasa daripada kamu yang dulu. Aku cuma mau menebus waktu yang nggak aku habiskan sama kamu, Jul. You're the kind of perfect woman I am looking for. You're perfect."

Lia menunduk menyembunyikan wajahnya yang dibanjiri air mata.

"I am not perfect and never will be. Kalau kamu mau bareng sama aku karena merasa kasihan, bersalah, nggak ada gunanya, Brian ... aku bener-bener udah beda sama Julia pacar kamu dulu. Aku moody-an, aku cengeng, aku nggak jadi pemberani lagi, aku kehilangan arah hidup. Kamu bakal capek sendiri."

"Ya, apa artinya hidup kalau cuma diisi yang enak-enak? Kita pasti bakal bisa kalau saling percaya, Jul. Trust me?" Brian mengangkat dagu wanitanya dan mengusap bulir-bulir air mata yang tersisa di pipi. Ia lalu menarik Lia ke dalam pelukan dan mendekapnya erat. "I love you, Lia. I always do."

Lia menumpahkan air mata di dada lelaki yang dulu jadi tempat berkeluh kesahnya. Badan perempuan itu bergetar kecil bersamaan dengan setiap isakan yang lolos dari tenggorokannya.

Brian tanpa bicara mengusap-usap punggung Lia. Lelaki itu membubuhkan kecupan hangat di puncak kepalanya sambil memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan merengkuh erat-erat tubuh mungil di lengannya. Hatinya terasa damai sekarang. Dunianya sudah ada di dalam pelukan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lelaki itu lagi. Dari balik kelopak matanya yang tertutup, air mata meluncur bebas ke pipi.

TBC
***

Muluskah jalan merekaa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top