Chaos 10: It Ends Here

Jika ditakdirkan patah, meskipun dijaga sepenuh hati pun, tetap akan patah. Jika memang diharuskan lepas, digenggam sekuat tenaga pun, pasti akan lepas.

.
.

"Kenapa nggak kasih kabar dulu kalau mau mampir?" Dengan senyum lebar, Erin membukakan pintu apartemennya menyambut Brian.

"Harus banget kasih kabar?" Lelaki itu membuntuti sang pemilik rumah.

"Untung aku baru aja beli pizza. Kebetulan di rumah lagi nggak ada apa-apa."

Kening Brian mengernyit, ia lalu menilik jam yang melingkar di tangannya. "Jam sebelas malam, lho, Rin ... kamu belum makan?"

Perempuan itu meringis lalu menggeleng. "Belum laper aja tadi."

Mereka berdua duduk bersebelahan menghadap televisi yang menyala. Erin dengan nyaman menyandarkan kepalanya di dada lelaki itu, menghirup wangi maskulin yang menguar. Sedangkan Brian, diam-diam menatap puncak kepala kekasihnya dengan nanar.  Ia tak bisa melanjutkan lagi. Langkah demi langkah yang lelaki itu ambil, akan melukai kekasihnya nanti. Jadi, sebelum terlambat, ia harus mengakhirinya di sini.

"Rin .... "

"Iya?" Perempuan itu masih terpaku pada tontonan di layar televisi.

"Ada yang mau aku omongin."

Erin membenarkan posisi duduknya, dan berbalik untuk menghadap Brian. "Apa?"

Sudut kanan bibir Brian terangkat, matanya merekam setiap ekspresi gadis di hadapannya. Senyum kecut terpatri pada bibir lelaki itu. Lalu, Brian mengembuskan napas perlahan.

Oh, hati Erin mencelos. Tanpa sepatah kata pun, ia sudah bisa menebak apa yang akan lelaki itu sampaikan. Sejak dua bulan lalu, ia sudah memikirkan skenario terburuk yang mungkin terjadi pada hubungan kami. Tidak perlu jadi orang pintar untuk tahu hal ini akan datang. Gerak-gerik dan sikap Brian selama dua bulan terakhir, sudah mengatakan semuanya. Lebih tepatnya, sejak lelaki itu bertemu mantan kekasihnya.

Setiap harinya, dengan jantung berdebar-debar, ia menantikan apakah kata terkutuk itu akan meluncur dari bibir sang kekasih. Dan, saat malam hari dirinya masih berakhir dalam pelukan lelaki itu, ia tak lupa mengucap syukur dalam hati dan berdoa, semoga esok keberuntungan masih berpihak padanya. Namun, sepertinya jatah keberuntungan perempuan itu habis hari ini.

Brian mengaitkan jemarinya pada jemari lentik perempuan yang sudah menemani lelaki itu selama dua tahun terakhir. "Terima kasih, udah jadi perempuan kuat selama dua tahun ini. Makasih juga, udah menemani dan mau mencintai kekuranganku."

Air mata meluncur dari mata Erin. Ia menggigit bibir, sambil memaksakan diri untuk terus menatap manik cokelat di hadapannya. Meskipun setiap kata yang keluar dari mulut lelaki itu menyayat hatinya. Brian langsung menghapus buliran air mata di pipi kekasihnya dengan ibu jari.

"Jangan nangis, Rin .... "

Perempuan itu malah terisak. "Kamu mau pergi. Kamu mau ninggalin aku, kan?"

Brian mengembuskan napas berat, penuh sesal. "Maaf, Rin ... maaf. Aku cinta kamu. I really do. Dua tahun ini, benar-benar unforgettable moments that I will treasure in my life, Erin. Tapi---"

"Kamu lebih cinta dia, kan?" sambar Erin cepat.

Brian menangkup wajah kekasihnya yang sudah menangis pilu. "You deserve someone better, Rin. Seseorang yang bisa kasih sepenuh hatinya buat kamu."

"A-apa yang Julia punya, sampai kamu nggak bisa lupain dia?" Erin mendongak, masih terus terisak. Napasnya tersengal-sengal. "Kasih tahu apa kurangku?"

Brian mendongak, karena matanya mulai berair. Ah, dia tidak akan bisa memaafkan dirinya karena membuat perempuan sebaik ini menangis dan merasa tak dihargai. Tentu, bukan Erin yang salah. Tidak ada yang salah dengan wanita itu.

"She is broken."

"Apa?" Kedua alis Erin bertautan. Ia tak paham maksud lelaki itu.

"S-she was kidnapped, locked up, tortured, and raped, five years ago," kata Brian terbata-bata.

Mata Erin melebar sempurna. "H-how? Jadi maksudmu, kenapa dia nggak ada kabar selama ini .... "

Tanpa kata, Brian mengangguk. "Dia jurnalis. Jurnalis itu hidupnya. Jadi, waktu aku lihat dia kerja di cafe, aku langsung tahu there is something wrong happen to her. Dia bukan Julia yang aku kenal. The fire of her eyes was gone."

Erin mematung di tempat, dia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Sungguh, yang baru saja didengarnya membuat tengkuknya merinding. Dia tidak bisa membayangkan apa saja yang sudah dilalui perempuan bernama Julia itu.

"Di saat dia berjuang melawan semua trauma dan rasa sakit yang dia derita, aku malah menikmati hidup. Aku ngeluhin ini itu, karena masalah yang nggak seberapa. Aku---" lidah lelaki itu mendadak kelu, ia menelan ludah beberapa kali membasahi kerongkongannya, "aku merasa jadi cowok paling berengsek di dunia ini. Dan, saat dia udah semenderita itu, nggak ada yang bisa aku lakuin untuk sembuhin dia. Aku harus gimana, Rin?"

Erin langsung merengkuh tubuh Brian ke dalam pelukannya. Ia mengusap-usap punggung lelaki itu, sedangkan dirinya menumpahkan air mata di dada Brian, dalam diam. Tak lama, ia merasakan lengan Brian melingkari bahunya dan mendekapnya erat. Tanpa kata, tanpa suara, mereka saling menumpahkan luka yang bercampur air mata.

"Dan sekarang, aku pun nyakitin kamu," bisik lelaki itu. "Aku nggak pernah tahu, kalau hati bisa mencintai dua orang bersamaan, but I do. Kalau punya pilihan, aku nggak mau nyakitin kamu. Nggak mau bikin kamu nangis. Nggak mau kecewain kamu. Because you're so precious to me. Kamu yang bikin aku bisa berdiri sampai sekarang."

Erin melepaskan pelukannya dan menyeka mata serta hidungnya yang berair. "Tapi, meskipun kamu cinta aku, kamu tetap ninggalin aku, kan? You will always choose her over me. Dia tetap yang jadi duniamu."

Brian merapikan rambut Erin yang menjuntai menutupi kening. "Jangan sampai kamu mikir, kalau aku nggak pernah jatuh cinta sama kamu. How can I am not fallin in love you, when you are this amazing? It's impossible." Lelaki itu berujar lirih. "Tapi, Julia itu beda cerita ... she is my world. Kalau duniaku aja hancur begitu, gimana aku lanjutin hidup?" Pandangan lelaki itu mendadak kosong.

Hati Erin tercubit mendengar pengakuan Brian. "She need you more than me. Aku ngerti, kalau kamu lebih pilih untuk kembali ke dia, daripada bertahan sama aku. Tapi, bukan berarti aku nggak sakit, Bri .... " Suara perempuan itu tercekat.

Brian menunduk, mulutnya tetap bungkam. Ia takut jawabannya hanya akan menambah luka di hati wanita itu. Semua yang dikatakan Erin barusan, memang benar. Dia tidak akan berpikir dua kali untuk kembali pada Lia. Erin memang membuatnya bisa bertahan sampai sekarang. Tapi, Lia ... dia yang membuka matanya untuk melihat dunia lebih luas. Perempuan itu membuatnya merasakan indahnya jatuh cinta dan saling menjaga. Dia juga salah satu alasan, mengapa Brian ingin jadi sosok lebih baik setiap harinya.

"Aku harusnya sadar dari awal, kalau kamu terlalu cinta Julia. Padahal, aku lihat sendiri gimana hancurnya kamu dulu, waktu dia pergi. Tapi, tetap aja lupa. Aku terlalu percaya diri cintaku bisa nyembuhin patah hatimu. Apalagi, selama dua tahun ini, kita baik-baik aja. Jadi, aku pikir aku berhasil bikin kamu sepenuhnya milikku." Mata Erin sudah memerah karena air matanya tak kunjung berhenti. Dia mengalihkan tatapan ke arah langit-langit, ketika merasakan pelupuknya kembali penuh. "Ternyata cintaku nggak cukup besar untuk kita berdua. Untuk bikin kamu bertahan."

"Not your fault, Erin. Never." Brian kembali menggenggam tangan wanita yang sudah ia lukai itu. "Janji sama aku, kamu bakal hidup bahagia setelah ini. Kamu nggak akan menutup hati kamu untuk lelaki lain. Janji?"

"Kenapa kamu ngomong begitu, seolah-olah itu gampang untuk aku lakuin, Bri?" Erin melayangkan tatapan nanar, suaranya terdengar serak. "Kamu nggak bisa paksa aku untuk sembuh dari patah hati yang baru mulai secepat itu, Brian."

"Aku nggak menuntut kamu untuk sembuh cepat, Erin. Urusan hati, memang sulit diterima. Take your time. Aku juga pernah ngerasain."

Erin beranjak dari sofa menuju dapur, untuk mengambil segelas air dingin. Dia bersandar pada meja pantri, meneguk sebotol air putih. Perempuan itu memutar kembali setiap perkataan Brian di otaknya, meskipun hal itu membuat hatinya nyeri. Brian telah menemui Lia secara diam-diam. Udah berapa kali mereka bertemu, sampai Brian tahu dengan detail keadaan perempuan itu? Jangan bilang, mereka sudah menjalin hubungan di belakangnya?

Dari sana ia berbalik, menghadap Brian yang masih di tempatnya sambil melipat tangan di depan dada. Kebetulan dapur dan ruang tamunya tidak bersekat. Sengaja, untuk menambah kesan luas apartemennya.

"Aku nggak punya jawaban lain, selain terima permintaan putus dari kamu, kan?"

"Aku udah nggak bisa lanjutin hubungan kita, karena aku bakal nyakitin kamu lebih dalam."

"Bukan karena kamu sama Julia udah balikan di belakang aku?"

Brian menggeleng keras. Dia kemudian bangkit dan menghampiri Erin. Kini jarak mereka tidak kurang dari satu meter. "Balikan? Gimana hubunganku sama Julia aja belum jelas. Fokusku sekarang, mau menemani dia. Entah nanti dia mau terima aku lagi nggak, atau akhirnya cuma jadi teman, aku pasrah. Aku nggak mau ninggalin Lia sendiri lagi."

Ouch! Jawaban Brian lebih menyakitkan daripada tuduhannya sendiri. Lelaki itu rela, meninggalkan dirinya yang pasti, demi perempuan yang bahkan belum tahu akan menerima Brian atau tidak. Cinta memang gila sepertinya.

"Oke."

"Oke, apa?"

"Aku setuju hubungan kita selesai. Tapi, aku mau ketemu sama dia. Boleh?" Erin mendongak, menatap Brian dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa kamu pengin ketemu dia?"

"Karena aku mau lihat langsung sosok perempuan yang berhasil bikin cintamu nggak pudar selama bertahun-tahun. Aku tahu dia sosok yang luar biasa pasti." Kalau mengingat kembali cerita Brian ataupun Dion, sepertinya Lia ini tipe perempuan cerdas, dengan tekad kuat. Dan, siapa pula yang tidak akan jatuh hati pada perempuan seperti itu?

Bibir Brian membentuk garis tipis, saat memandangi raut wajah Erin yang kembali sendu. Perempuan di depannya ini tampak kacau. Mata sembab kemerahan, rambut tidak karuan, pipi bengkak, dan hidung merah. Hatinya nyeri, saat menyadari dialah penyebab ini semua.

"Kamu nggak perlu ketemu dia, Erin. Don't hurt yourself."

"Udah terlanjur, kenapa nggak sekalian nyemplung. Apa bedanya?" bisik Erin.

Brian memegang kedua bahu Erin. "Terima kasih sekali lagi untuk dua tahun terakhir, Erin. Aku pamit pergi. Jaga diri baik-baik, ya? Jangan lupa bahagia." Ia lalu membelai puncak kepala wanita itu dan membubuhkan kecupan hangat di keningnya.

Namun, sebelum Brian sempat berbalik pergi, Erin dengan cekatan menarik lengannya lalu menangkup wajah lelaki itu dan mencium bibirnya. Air mata perempuan itu luruh seketika saat bibir mereka saling bersentuhan. Ia meresapi kehangatan dari lelaki yang dicintainya untuk terakhir kali. Ia ingin merasakan manis bibir lelaki itu, sebelum dia ditinggal sendiri.

Brian membelalakkan mata, begitu terkejut dengan tindakan tiba-tiba Erin. Ia menarik diri, mencoba melepaskan cengkeraman wanita itu. Akan tetapi, jemari kecil Erin terus menggenggam kuat, seperti tak rela untuk melepaskan. Ia menghela napas pasrah---tidak ingin menyakiti Erin lebih dalam---dan membalas lumatan bibir perempuan itu. Ketika Erin kehabisan napas, Brian langsung melepaskan diri dan menahan tangan wania itu di sisi tubuhnya.

"Enough, okay? I can't do this anymore. Itu cuma bakal bikin kita lebih menderita, Erin."

Kali ini, Brian benar-benar berbalik pergi. Tidak hanya meninggalkan apartemen Erin, tapi juga hidupnya. Setelah lelaki itu keluar dan pintu tertutup, tubuh Erin langsung melorot ke lantai. Ia memegangi dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Isakan demi isakan menyayat hati lolos dari bibir bergetar perempuan itu. Ia tidak tahu patah hati akan sesakit ini. Rasanya seperti jantungnya diremas dan dilemparkan ke tanah tanpa belas kasih.

Fakta bahwa, lelaki itu masih sanggup mencintai wanita lain setelah semua yang ia berikan membuat hatinya hancur. Ia kira, kekuatan cinta itu nyata. Tapi, kenapa belahan jiwanya, pergi juga?

TBC
***

Tiada hari tanpa menggalau bersama Brian🤣🤣🤣❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top