Chaos 09: Share the Pain With Me

Lukamu adalah lukaku. Rasa perihmu adalah rasa perihku. Dan, kesembuhanmu, kebahagiaan bagiku.
.
.

Peluh terus mengucur dari pelipisnya. Dalam kegelapan, ia menyeret kakinya untuk berlari menembus lebatnya hutan. Napasnya tersengal-sengal, dadanya terasa sesak, kehabisan udara. Sesekali perempuan itu menoleh ke belakang untuk memeriksa para monster yang terus mengejarnya.

Tidak, dia tidak boleh berhenti. Telapak kakinya yang telanjang, terus melaju tanpa henti menembus jalanan yang terjal dan semak belukar. Tangannya memeluk perut yang mulai keram. Langkahnya semakin berat, nyeri di kakinya semakin menusuk. Setelah memastikan tidak ada suara derap kaki yang mengikuti, ia berhenti dan bersandar pada pohon besar. Ia menyentuh luka di pahanya yang kembali basah. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, mencegah rintihan lolos dari tenggorokan. Ia menyobek sebagian bajunya untuk mengikat luka tembak di paha. Ia harus bertahan hidup selama mungkin, sampai ia bisa terbebas dari sini dan menemukan pertolongan.

"Julia, you can do this," bisiknya dengan suara bergetar.

Ia bersiap untuk kembali berlari, mengintip dari balik pohon dan tidak mendapati seorang pun mengejarnya. Ia tersenyum lega, kemudian menarik napas dalam-dalam dan melangkahkan kaki. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik dari belakang. Matanya melebar, napasnya tercekat di tenggorokan, tubuh Lia seketika membeku saat badannya dihempaskan ke pohon besar.

Sosok tinggi besar, dengan mata tajam mematikan, dan seringaian keji yang membuat tubuhnya bergetar hebat, menyambut penglihatannya. Dadanya bergemuruh, sebelum ia berteriak kencang, mencoba memberontak dari cekalan si iblis. Aku nggak mau lagi ke ruang penyiksaan itu!

"Let me go! Let me go!"

Badannya bergetar semakin hebat. Hutan yang gelap itu mendadak jadi terang, membuat matanya menyipit. Kini, tidak hanya sepasang tangan yang mencekalnya. Tapi, tiba-tiba tangan-tangan lain muncul secara misterius, membatasi ruang geraknya.

"Lia, sadar!" Ia merasa seseorang menangkup pipinya. "Julia, bangun, Nak!"

Matanya terbuka nyalang, dadanya naik turun, dengan napas terengah-engah. Lia berteriak histeris, sampai seseorang mendekapnya dan mengusap-usap punggung perempuan itu. Perlahan, tubuh Lia mulai tenang. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Dinding krem dengan jendela lebar memenuhi pandangan perempuan itu. Seketika kelegaan menyeruak memenuhi rongga dadanya.

"Udah, tenang ... cuma mimpi, Sayang .... Tadi cuma mimpi." Sang ibu terus membelai punggungnya.

Seorang perawat menyodorkan segelas teh hangat pada Lia. "Minum dulu, Mbak Lia."

Dengan tangan bergetar, Lia menerima gelas tersebut. Tampak titik-titik keringat bermunculan di keningnya. Bibirnya juga terlihat sangat pucat. Suci membantu putrinya meneguk sedikit demi sedikit teh tersebut. "Mendingan?" tanya ibunya.

Lia mengangguk lemah dan kembali berbaring. Mimpi itu lagi. Entah, sudah kali ke berapa ia terbangun karena mimpi terkutuk soal penyekapan itu. Tidak semua yang muncul pada mimpinya adalah hal nyata, seperti mimpinya barusan. Otaknya mencampur memori menyakitkan yang dia alami dengan kekhawatiran dan ketakutannya selama ini. Bisa terbaring di rumah sakit dan mendapatkan perawatan, masih seperti mimpi.

Satu bulan sudah Lia berada di rumah sakit. Ia telah melalui beberapa kali operasi. Operasi pengambilan peluru pada paha kanan dan pemasangan pen di tulang pinggul sebelah kiri. Untung saja, Lia hanya punya dua luka serius yang harus dioperasi. Meskipun tulang rusuknya juga patah, tapi tidak perlu tindakan operasi. Sebenarnya, untuk mempercepat penyembuhan luka di punggungnya, perempuan itu harus tidur tengkurap. Akan tetapi, karena patah tulang rusuknya itu, ia tidak bisa. Obat pereda nyeri diberikan dengan dosis cukup tinggi untuk mengurangi rasa sakit pada beberapa luka jahitan di punggung dan kepalanya.

Sejak seminggu lalu, Lia sudah diizinkan pulang ke rumah, dengan perawat yang datang setiap pagi dan sore untuk mengganti perban di punggungnya. Namun, Edwin---pimpinan redaksi Alexandria---meminta Lia untuk dirawat di rumah sakit saja. Seluruh biaya perawatan Lia dan Hafiza---rekan setim Lia yang juga jadi korban penyekapan---ditanggung oleh Alexandria.

Kedua orangtua Lia pun setuju dengan usulan Edwin. Kondisi psikis Lia juga jadi salah satu pertimbangannya. Satu minggu awal di rumah sakit, Lia masih terlihat normal. Namun, memasuki minggu kedua, perempuan itu semakin tidak stabil. Dia sering diam, menolak makan, tiba-tiba menangis histeris dan ketakutan setiap ada perawat atau dokter yang masuk. Kadang, saat tidur pun, perempuan itu terbangun dan meraung-raung. Menurut Dokter Bary---psikiater yang menangani Lia---sikap  tersebut disebabkan oleh trauma karena kejadian mengerikan yang dialaminya. Lia didiagnosa mengalami post traumatic stress disorder (PTSD).

***

Lagi-lagi ponselnya berbunyi karena panggilan dari nomor asing. Lia mengernyitkan dahi, sudah tiga kali nomor itu mencoba menghubunginya. Kayaknya aku jawab aja, deh. Ia lalu menerima panggilan itu. Toh, tidak banyak orang tahu nomornya. Kemungkinan besar, si penelepon ini rekan kerjanya di Medang Cafe yang punya nomor baru atau seseorang dari Alexandria Magazine.

"Halo?" Lia menempelkan ponselnya di telinga.

"Jul?"

Debaran jantung perempuan itu melejit naik mendengar suara berat dari seberang sambungan. "K-kok bisa?"

"Bisa apa?" Lawan bicara Lia, masih terdengar santai.

"K-kamu dapat nomorku dari mana?"

Terdengar helaan napas dari seberang. "Usaha ngapelin rumah budemu hampir dua bulan, ada hasilnya juga. Walaupun nggak ketemu kamu. Mbok Yah yang kasih."

Lia menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Maumu apa, Bri?"

"Mau ketemu kamu. Emang nggak cukup jelas, aku ke rumah budemu selama ini?"

Semakin lama mengobrol dengan Brian, bisa-bisa membuat tekanan darahnya meninggi. "Buat apa? Kita udah nggak punya urusan lagi."

"Kita belum selesai, Lia. Masih ada yang harus kita omongin."

"Apa lagi, sih? Aku udah cerita ke kamu alasan kenapa aku ngilang lima tahun lalu. Kurang apa lagi?"

"Menurutmu, aku baik-baik aja setelah dengar semua itu?"

"Mana aku tahu! Bukan urusanku. Brian, let's end our relationship properly. Aku sama kamu, udah nggak ada apa-apa lagi. You have your own life now and I do too. Kamu nggak perlu peduli lagi sama kehidupanku. Kalau kamu menganggap selama ini kita masih ada hubungan, sekarang udah selesai. Pah---"

"I need to see you!"

"W-what?"

"Kalau pun emang udah nggak ada yang mau kamu omongin lagi ke aku, it's up to you, but I need to see you, Julia!"

Lia memejamkan matanya. Kenapa Brian semakin mempersulit keadaannya? Apa dia tidak tahu, bertemu dengan lelaki itu memang mengikis perasaan rindunya, tetapi, secara bersamaan hal itu juga menyiksa batinnya. Bagaimana bisa ia baik-baik saja menatap lelaki itu, saat tahu jika Brian sudah dimiliki wanita lain?

"Please, Bri ... don't make it harder for me."

"Kalau gitu, ayo kita ketemu. Aku nggak akan maksa-maksa lagi setelah ini. Please, Jul ... I need to see you that you're okay."

"Janji? Ini yang terakhir kalinya?"

"Kita mau ketemu di mana? Aku nurut kamu."

"Ketemu di kafe aja. Kita ketemu di sana."

"Oke, sampai ketemu di sana, Jul."

Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas, setelah sambungan telepon terputus. Ia bersandar pada jendela mobil memandangi jalanan yang tampak padat. Lampu-lampu kendaraan menyorot dari berbagai arah, menembus hari yang mulai petang.

Lia merupakan manajer Medang Cafe sejak dua tahun lalu. Pekerjaannya adalah menyeleksi pegawai yang akan mendaftar, berdiskusi dengan koki menyusun menu kafe, memeriksa laporan keuangan bulanan, dan lain-lain. Namun, Bude Wati memaksanya untuk mengisinya meja kasir, agar ia bisa berinteraksi dengan banyak orang asing.

Alasan Lia menerima permintaan Bude Wati juga karena sekarang sudah tidak banyak pelanggan yang membayar melalui kasir. Mereka lebih suka membayar lewat mesin pembayaran otomatis yang disediakan Medang Cafe. Pelanggan tinggal memasukkan kartu debit atau kartu kredit pada mesin dan mengetikkan kode pembayaran yang tertera pada struk--yang diberikan pelayan bersamaan saat mengantar makanan.

Namun, ia tak pernah membayangkan posisinya sebagai 'penunggu' meja kasir akan membawanya ke situasi pelik ini. Lia berjalan memasuki kafe dan menyapa beberapa pelayan yang sedang menyajikan makanan untuk pelanggan. Ia menuju ke balik meja kasir, yang sedang itu sedang dijaga Sheryl.

"Sher, nanti kalau ada yang dateng nyariin gue, suruh langsung ke meeting room atas, ya?"

"Oke, Mbak."

"Minta tolong, jagain meja kasir dulu. Gue mau ke atas."

Perempuan itu terkekeh kecil. "Nggak dijagain juga nggak bakal lari ke mana-mana, Mbak. Tenang."

Lia ikut tersenyum mendengar candaan Sheryl. Ia lalu melewati dapur dan menuju lantai dua. Dirinya harus mempersiapkan mental lebih dulu, sebelum bertemu Brian. Ia tak tahu, apa yang ingin lelaki itu bicarakan lagi. Bukannya semua sudah cukup jelas kemarin? Apa lagi yang Brian cari?

***

Brian memeriksa penampilannya lewat kamera depan ponsel. Kacamata hitam, masker, dan topi menutupi wajahnya. Ia ingin memastikan jika wajahnya tidak dikenali banyak orang. Bisa jadi masalah besar, kalau ada yang mengenalinya. Apalagi Sixth Sense baru saja merilis album bulan lalu dan masih gencar melakukan promosi. Ia tidak ingin ada gosip macam-macam tentangnya yang dapat menghambat kegiatan band.

Merapatkan jaketnya, ia melangkahkan kaki memasuki kafe. Brian langsung menuju meja kasir, untuk menanyakan keberadaan Lia. "Julianya ada?"

Bukannya menjawab, perempuan yang ditanyainya malah memberikan tatapan menyelidik. "Temennya Mbak Julia? Tapi, kok kayaknya gue kenal."

"Iya, temannya Lia."

"Lewat sini, Mas." Perempuan itu membukakan pintu setinggi pinggang dan membiarkan Brian masuk. "Ayo, gue antar."

Brian pun mengikuti pegawai tersebut, melewati dapur yang sibuk, menuju lantai dua. Lelaki itu berdecak kagum dengan desain interior minimalis yang menawan itu. Banyak jendela besar yang memperlihatkan gemerlapnya Jakarta pada malam hari. Matanya lalu tertuju pada sosok perempuan yang duduk di salah satu sofa. Sepertinya, di tengah hingar-bingar kota pun, matanya akan selalu bisa menemukan perempuan itu, Julianya.

"Mbak Lia, tamunya udah datang."

"Thanks, Sheryl." Bibir Lia membentuk garis tipis dan mempersilakan Brian duduk. "Mau minum apa?"

Brian membuka topi, kacamata, dan maskernya. "Macchiato, ada kan?" Brian mendongak ke arah Sheryl."

Mulut Sheryl terbuka lebar, matanya membulat sempurna. "OMG! B-Brian Sixth Sense! Anjir! Anjir! Ketemu orang ganteng di sini, Ya Tuhan!" Perempuan itu meracau tanpa sadar.

Brian tertawa kecil, ini bukan hal baru untuknya. Tapi, tetap saja ia merasa lucu.

"Sher!" tegur Lia.

"Iya, Mbak!" jawab Sheryl gelagapan. "Ada kok. Mau pesan apa lagi, Bang B-Brian? Saya panggil Bang boleh, ya?"

Lelaki itu mengulas senyum manis, membuat Sheryl menggigit bibirnya. "Boleh, kok. Udah, minum aja."

"Jus apel madu buat gue," imbuh Lia.

Sheryl mengangguk, lalu meninggalkan Lia dan Brian di ruang rapat berduaan. Seperginya Sheryl, suasana mendadak berubah canggung. Lia bergerak tak nyaman di sofa. Sedangkan Brian, sibuk menelisik detail ruangan yang didominasi warna cokelat dan putih ini. Tak jauh dari sofa tempat mereka duduk, ada meja panjang dengan banyak kursi yang saling berhadapan. Ada juga whiteboard di ujung ruangan menghadap meja rapat, dan lemari-lemari kaca di samping kanannya.

"Udah berapa lama kerja di sini?"

"Dua tahun."

Brian manggut-manggut. "Masih kontakan sama temen-temen di Alexandria?"

"Aku masih nulis artikel di sana. Freelance sih, jadi nulis buat majalah lain juga."

Oke, lelaki itu mulai kehabisan ide obrolan basa-basi. Sepertinya ia harus mulai menanyakan sesuatu yang serius, seperti--

"Sebenarnya kamu mau ngomong apa ke sini?" Lia menatap mantan kekasihnya itu lekat-lekat.

Brian menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Jul, are you okay now?"

"Ya, kayak yang kamu lihat. Aku baik-baik aja, kan?" Bohong. Tentu saja perempuan itu berbohong.

"Kenapa waktu itu kamu nggak pamit mau pergi liputan ke luar negeri kayak biasanya? Atau, setelah kamu pulang, kenapa nggak hubungi aku juga, Jul?"

"Itu misi rahasia, Brian. Kami mau cari berita soal kelompok teroris Red Land, yang waktu itu masih ditutupi keberadaannya sama pemerintah kita sendiri. Satu-satunya orang yang kukabari itu Ibu. Bahkan, waktu berangkat ke sana, hape kutinggal di kantor," jelas Lia. "Semuanya juga udah lewat. Memang ada yang berubah, kalau aku kasih tahu kamu waktu aku pulang? I'll still in this state."

"Beda, Julia! Beda! Seenggaknya, aku bakal nemenin kamu. Kamu nggak perlu sendirian. Aku---" nggak akan bareng sama Erin sekarang dan bikin sakit hati dia. Lidah Brian mendadak kelu untuk melanjutkan kalimat selanjutnya. "Pokoknya beda. Kamu anggap aku pacar nggak, sih? Kenapa kamu nggak terus terang aja?"

"Kenapa kamu terus-terusan bahas masa la---" Lia menutup mulut saat menyadari Sheryl berdiri kaku di ujung tangga sambil membawa pesanan mereka. Ia melambaikan tangan pada gadis itu, memintanya kemari.

"Ini minumnya Mbak Lia, Bang Brian." Sheryl meletakkan satu gelas macchiato di depan Brian dan satu gelas jus apel madu di hadapan Lia. Tangannya nampak bergetar. "M-maaf mengganggu, silakan dilanjut ngobrol lagi."

Lia langsung mengambil jusnya dan meneguk cairan berwarna putih itu. "Look Brian, kita udah nggak punya bahan obrolan lagi selain masa lalu. Nggak ada gunanya kita ketemu." Ia meletakkan gelasnya di meja kembali sambil membuang napas.

Brian menarik tangan Lia dan memeriksa pergelangan tangannya. Lelaki itu mendesis pelan. "Menurutmu, gimana perasaanku lihat luka ini? Kamu nggak mikir aku baik-baik aja kan, habis tahu apa yang kamu alami lima tahun lalu?"

"Brian, lepasin .... "

"Aku tahu kamu diculik sehari aja, pikiranku melayang ke mana-mana. Hatiku nggak tenang selama beberapa hari. Aku nggak rela kamu pulang kuliah jalan kaki sendirian! Sekarang, dengan keadaanmu kayak gini, kamu pikir aku bakal diem aja, aku bakal ninggalin kamu, gitu?"

Lia menghentakkan tangannya, sehingga terlepas dari genggaman Brian. Suaranya terdengar parau, matanya mulai berkaca-kaca. "Sekarang, aku bukan urusanmu lagi!"

"Kamu urusanku apa bukan, itu aku yang nentuin," tukas Brian dengan sorot mata tajam. "Julia, please ... aku nggak mungkin bisa jalanin hidup dengan baik-baik aja, saat tahu kamu begini."

"Kenapa kamu nggak bisa hidup baik-baik aja karena kondisiku? Emangnya apa salahku? You don't need to pity me."

"I don't pity you, Jul. Kamu nggak salah. Kondisimu nggak salah." Brian menghela napas panjang. "I know you've been through hell here and there, because of those demons. I just want you to share the pain with me, Jul. Rasanya nggak adil aja buat aku. Kamu, berjuang sekeras itu selama lima tahun terakhir, sedangkan aku---" Napasnya tercekat, mengingat kembali aksi-aksi tak masuk akalnya, karena menganggap Lia menghilang begitu saja.

Brian beranjak dari sofa, berpindah untuk duduk di sebelah Lia, membuat perempuan itu membeku di tempat. "Aku tahu kamu nggak baik-baik aja sekarang. Sorot mata the brave Julia yang aku kenal, udah hilang. I am serious. Let me in. Let me feel what you feel. Let me to be part of your life again. Share the pain with me, Julia. Aku nggak bakal pergi ke mana-mana." Lelaki itu menangkup wajah Lia menggunakan kedua tangan dengan tatapan hangat dan teduhnya.

Lia menggeleng pelan, menahan agar bulir air matanya jatuh. Ia mengusap sudut matanya yang basah. "Kita udah punya jalan sendiri-sendiri sekarang, Brian. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Memangnya aku diculik gara-gara kamu, nggak kan? Lagian, kamu juga udah punya pacar, Brian. Memangnya dia nggak sakit hati, kalau tahu kamu begini ke aku? Aku nggak mau jadi alasan orang lain patah hati. Aku nggak mau nambah beban buat diriku sendiri."

Brian membasahi bibirnya. "Itu, biar aku yang urus. Apa pun keputusanku, apa pun yang terjadi sama aku dan dia, it's not your fault."

"Gimana bisa bukan salahku?" Lia mengusap tangan Brian yang ada di pipinya. "Don't make it harder for me, Brian. Aku nggak butuh rasa bersalah lain bersarang di otakku."

"How can I live without you? Do you think it possible?"

TBC
***

No life without galau🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top