Chaos 08: Surprise is Coming
Tanpa kau sadari, aku akan selalu jadi bagian hidupmu. Di mana pun aku berada. Di sisimu atau tidak.
.
.
Bibir mungil Lia tak berhenti membentuk senyuman sepanjang hari ini. Orangtuanya, Nova---sang adik, dengan suaminya Kahfi, dan Feby---anak semata wayang mereka yang berusia tiga tahun---berkunjung ke Jakarta membawa berbagai macam masakan sang ibu. Apalagi, Suci berniat menetap di sini beberapa waktu untuk melepas rindu pada si sulung. Rumah Bude Wati yang biasa sepi pun, mendadak hidup dan ramai. Sekarang mereka sedang berkumpul di ruang keluarga yang menyambung dengan taman belakang serta kolam renang setelah makan siang.
"Katanya, Onti Lia ulang tahun, tapi kok ndak da balon?" tanya bocah berusia tiga tahun itu dengan polos. Dia berdiri di samping sofa tempat Lia duduk.
"Lupa beli balonnya," jawab Lia sambil menyisir rambut ikal Feby.
"Onti ndak nanis?"
Lia tergelak mendengar sahutan lugu sang keponakan. "Nggak, dong. Kalau ulang tahun Feby nggak ada balon, nangis nggak?"
Bocah itu langsung menoleh pada sang ibu yang sibuk memakan buah mangga. "Ma, nanti kalau Dedek ulang tahun, beli balon, ya?"
Nova mengangguk. "Mau beli berapa?"
Feby menunjukkan kesepuluh jarinya. "Banyak, Ma."
"Kalau Kak Kintan, nanti waktu ulang tahun minta balon nggak?" Nova kini beralih pada bocah delapan tahun, putri semata wayang Mbak Ghea, kakak sepupunya. Wanita itu sudah tujuh tahun menjanda, karena Mas Irman---suaminya---meninggal akibat kecelakaan.
"Nggak, lah. Kayak anak kecil, Tante." Kintan menepuk paha sang ibu, "Ulang tahun aku, kayak Tante Lia aja, ya? Nggak usah undang temen-temen, malu."
"Kenapa malu?" Ghea menanyai putrinya.
"Udah kelas tiga aku. Masa ulang tahunnya kayak Feby?"
Lia memberi dua jempol pada sang keponakan. "Mau minta hadiah apa dari Tante?"
"Aku mau rumah Barbie. Boleh ya, Nte?"
"Siap! Asal tiap maghrib ngaji terus sama Oma."
"Oh, kalau gitu aku mau minta tambah hadiah bunga."
"Bunga? Kok kayak anak gede, udah ngerti bunga aja," celetuk Suci, ibu Lia.
"Kakak lihat hadiah bunga punya siapa memangnya?" imbuh Ghea, tak kalah penasaran.
"Itu lho, temennya Tante Lia, yang sering kirim bunga itu. Tapi sayang, Tante Lia nggak pernah mau nemuin. Kenapa Tante?" Kintan mendongak menatap Lia penuh arti, menuntut jawaban. "Om itu orang jahat?"
Lia gelagapan---matanya melirik tak jelas ke mana---berusaha menghindari tatapan banyak orang yang seketika menjadikan perempuan itu pusat perhatian.
"Loh, Mbak Lia punya gebetan baru, nih?" celetuk Nova semangat, matanya melebar tak melepaskan pandangan dari sang kakak.
"Lia dekat sama cowok? Kok nggak cerita ke Ibu?" Suci menghentikan kegiatan mengupas jeruknya.
Belum sempat Lia menjawab, Bude Wati menyambar lebih dulu. "Itu loh, pacarnya yang dulu. Pemain band itu."
"Brian? Kamu sama Brian lagi sekarang?" Ibunya langsung bangkit dari kursinya dan duduk di samping sang putri.
"Nggak, Bu," jawabnya menunduk tak berani menatap mata sang ibu.
"Nah betul, si Brian! Bude lupa namanya," sahut Bude Wati mengangkat tangan. "Tapi, nggak pernah ditemuin Lia, katanya Mbok Yah."
Tangan Suci berada di atas bahu Lia. "Kamu udah cerita sama Brian? Soal semuanya?" Wanita itu melayangkan tatapan khawatir dan hangat pada putrinya.
Lia menghela napas panjang, lalu mendongak perlahan untuk menatap ke manik mata hitam pekat ibunya. "Udah."
"Terus, kamu sama Brian sekarang gimana? Barengan lagi?"
"Nggak lah, Bu. Brian kan udah punya pacar," jawabnya pelan.
Suara Suci terdengar sarat akan kekecewaan. "Oh, begitu." Ia mengusap-usap punggung Lia. Wanita itu menghela napas pelan.
Suasana yang awalnya ceria, tiba-tiba berubah sendu. Tidak ada suara, kecuali Kintan dan Feby yang asyik berceloteh riang. Beberapa kali terdengar helaan napas berat, disusul tatapan canggung dari para orang dewasa di sana.
"Ya, mungkin Brian memang bukan jodohnya Lia," tutur Danu memecah keheningan. "Tuhan masih simpan jodoh terbaik Lia, jangan khawatir."
Lia mengulas senyum tipis. "Amin." Ia dapat merasakan jika kedua orangtuanya masih berharap banyak dirinya kembali pada lelaki itu. Dilihat dari raut muka ini dan bapaknya.
"Main Tinder aja, Mbak. Profesi Mbak Lia kan keren, manajer kafe sama freelance writer," celetuk Nova memberi usul.
"Jangan lah, cowok di Tinder itu nggak bisa dipercaya," sahut Ghea. "Teman sekantorku pernah tuh, malah ketemunya cowok nggak betul."
"Ya, kan kita selektif, Mbak. Jangan asal pilih yang ganteng. Biasanya kalau terlalu ganteng, itu doyannya pisang."
Lia tergelak. "Emang sih, bikin cewek jomlo gigit jari. Mana populasi cowok semakin dikit, eh yang ada lebih milih sesama jenis. Nikah sama batu aja, deh."
Kali ini, pukulan ringan mendarat di kepalanya. Siapa lagi, kalau bukan ulah sang ibu. "Lia! Jangan suka ngomong sembarangan, ah!"
Perempuan itu mencebikkan mulut sambil mengaduh pelan. "Ya, kan emang begitu kenyata---"
"Ada paket buat Mbak Lia," seru Mbok Yah berjalan terburu-buru sambil bawa kotak berukuran sedang.
"Kado dari siapa, nih?" seru Nova langsung menghampiri Mbok Yah dan menerima paket kakaknya itu. Kotak itu terlihat bukan dari toko online biasa. Dengan warna cokelat muda serta pita merah marun di atasnya. "Emang beda ya, kalau cantik. Punya penggemar rahasia."
"Bawa sini coba, Nov!" Lia melambaikan tangannya, meminta perempuan itu mendekat.
"Nggak ada alamat pengirimnya," gumam Nova duduk di lantai sebelah sofa yang Lia tempati. "Mbok, ini yang antar tukang paket biasa?"
"Kayaknya bukan. Pengirimnya bawa mobil. Terus bilang, ini titipan buat Mbak Julia Maheswari, gitu."
"Buka coba, Ibu kok penasaran," tukas Suci dengan mata berbinar. "Cantik banget kotaknya."
"Nanti aja, lah." Lia menolak, karena dalam hatinya ia tahu, siapa pengirim hadiah ini.
"Sekarang aja, bikin orang tua penasaran itu durhaka," tambah Bude Wati.
Pasrah, Lia pun dengan berdebar-debar membuka kotak tersebut. Perempuan itu tak siap melihat respon keluarganya jika melihat isi kotak tersebut, atau pun tahu siapa pengirimnya. Ia tidak ingin memberi harapan palsu pada mereka.
"Wow!" Itu Nova, yang terkesiap kagum ketika melihat bermacam-macam barang di dalam kotak itu. "Oh, My God! Ini album terbaru Sixth Sense?"
Benar kan tebakannya, hadiah itu dari Brian. Selama lima tahun terakhir, tidak ada lelaki yang pernah mengirimi hadiah ke rumah. Sedangkan Brian, meskipun Lia sudah meminta lelaki itu berhenti menghubunginya, masih saja bersikeras mengunjungi rumah budenya dan mengirimi hadiah.
Lia dengan cekatan merebut kotak itu dari tangan Nova, sebelum adiknya mengeluarkan semua barang-barang di dalam sana.
"Yah, Mbak .... " protes Nova tak rela. "Itu kayaknya ada jaket juga deh di dalem. Nanti bagi merchandise Sixth Sense-nya satu, ya? Jangan pelit, lho."
"Iya, nanti," jawab Lia cepat, tak mau Nova terus merengek dan membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan Brian di depan keluarganya. Perempuan itu tak mau terhasut harapan mereka, untuk mendambakan Brian kembali. Tempatnya sudah bukan di sisi lelaki itu lagi.
***
"Okay, so ... welcome back Sixth Sense on my show," kata Farah, pembawa acara 'Ini Bukan Chit-Chat' di channel YouTube wanita berhijab itu.
"Glad to see you again, Far!" sahut Brian, yang kemudian bersalaman dengan Farah dan disusul anggota Sixth Sense yang lain.
"Sebenarnya, kolaborasi kita hari ini, sedikit lucu, loh," tutur Farah tertawa geli sambil menghadap kamera. "Jadi, acara gue 'Ini Bukan Chit-Chat' ulang tahun yang ketujuh. Untuk merayakan itu, gue mau ajak tujuh public figure, yang akan jadi guest on my show. Video itu nanti akan ditayangkan selama seminggu berturut-turut. Waktu gue nawarin Sixth Sense, ternyata mereka memang masih cari partner buat promosi album baru mereka yang bakal rilis seminggu lagi dari hari ini. Mungkin kalau video ini udah tayang, selisihnya sehari atau dua hari. Ini simbiosis mutualisme banget jadinya."
"Tapi, lo bingung kan, ini pembagian bayaran jadinya gimana?" celetuk Dion. "Sixth Sense yang harus bayar karena mau promosi, atau lo karena lo memang mau undang kita ke acara ini."
Para anggota Sixth Sense dan Farah tergelak bersama-sama. Brian, Dion, dan Rayyan duduk dengan bangku rendah di depan. Sedangkan Arsen dan Jay duduk di kursi yang lebih tinggi, berada di belakang ketiga temannya.
"Oke, kita bahas soal Sixth Sense dulu, nih .... Selamat akhirnya full album keduanya pecah telor." Farah bertepuk tangan. "Tapi, lo parah banget sih, udah enam tahun, baru rilis dua full album doang. Kerja kalian apaan, sih? Beneran musisi, kan?
"Anjir, lo jadi blak-blakan begini, ya ... sejak gabung di YouTube, Far .... " tukas Dion sambil geleng-geleng.
Farah mengedikkan bahunya. "Ratu trending gitu."
"Tanyakan saja pada bapak vokalisnya, ya Mbak Farah," tutur Arsen sambil memegang bahu Brian dari belakang.
"Walaupun gue leader di sini, tapi kata Arsen memang benar. Tanyakan saja pada Brian yang bergoyang," timpal Rayyan.
Brian yang merasa terpojok mengangkat tangan. "Dua full album setelah gabung sama PR Entertainment, betul. Sebelum gabung waktu di kuliah, kita udah bikin dua album, Far. Iya, kan? Kenapa nggak dihitung? Nggak adil banget."
"Kan kita ngomonginnya selama enam tahun. Itu berarti waktu Sixth Sense join PR Entertainment," sanggah Farah. "Ini kenapa coba? Apa karena agensinya yang nggak beres?"
"Eh, lo jangan ngadi-ngadi, ya ... kalau ngomong!" sambar Jay cepat. "Agensinya mah baik, yang nggak beres tuh, kitanya."
"Kita? Gue mah nggak, ya .... Gue anak baik." Dion langsung mengelak mentah-mentah.
"Eh, iya ... maksud gue Brian yang nggak beres." Jay menyengir, menepuk bahu sangat vokalis beberapa kali.
"Ini band kompak banget ya, menjatuhkan vokalisnya." Farah bergumam bingung. "Jadi, Brian ... lo nggak mau kasih klarifikasi atau pembelaan gitu? Biar para fans Sixth Sense nggak demo di depan rumah lo, karena album baru keluar sekarang."
Brian menghela napas panjang. "Berat nih, berat ... " ia terkekeh pelan sebelum akhirnya bersuara, "gue waktu itu ada masalah pribadi lah, yang bikin gue super berantakan. Gue tahu gue salah. Jadi, gue mencoba membayar kesalahan gue di masa lalu, dengan nulis banyak lagu untuk album ini dan stok lagu di masa datang.
"Benar, kata Jay. Agensi tuh, baik banget. Mereka nutupin masalah pribadi gue dari publik. They tried the best to help us. Apalagi waktu itu kita juga masih konser kan, dari 2025–2026, keliling Indonesia. Jadi, sebenarnya waktu buat bikin lagu juga nggak ada. Ya, ada beberapa free time, yang memang harusnya bisa kita manfaatkan untuk nulis lagu. Tapi, karena gue masih berantakan, gue jadi nggak bisa fokus ke band. Gue mau minta maaf sama temen-temen yang udah nunggu kita. Gue janji, akan berusaha untuk selalu nulis lagu, yang lebih bagus lagi dan berusaha untuk ketemu kalian lebih sering."
"Masalah pribadinya apa, nih?"
"Ada lah, sesuatu. Nanti ngomongnya di belakang kamera aja." Brian menyeringai.
"Kita semua tahu apa masalah dia dan menurut gue, memang berat, sih. Jadi, kita nggak menuntut dia untuk cepat membaik juga," jelas Rayyan. "Tapi, sekarang enak aja, jadi bahan ledekan si Briannya. Bukan masalahnya loh, ya."
"Tapi, Sixth Sense emang keren, sih. Last year, kalian tur Asia, kan? Karena single kalian yang melejit itu," tukas Farah. "Gue sampai survei, masuk ke banyak mall waktu itu, buat cari mall mana yang nggak play lagu itu. Dan hasilnya, nggak ada."
"Zombie emang gila, sih. Mungkin, salah satu alasan lagu itu meledak banget, karena liriknya yang relatable sama kebanyakan orang zaman sekarang," tukas Brian. "Lagu itu kan menceritakan seseorang yang hidup tanpa arah. Bangun tidur, kerja, makan, tidur lagi. Hidupnya monoton, kayak robot, nggak ada gairah. Dan dia, mempertanyakan arti hidup apa. Jujur aja, gue sering merasakan hal yang sama. Lo juga, 'kan?"
Farah mengangguk. "Betul banget. Tapi, meskipun begitu, hidup tetap harus jalan. Kadang, panggilan hati itu tiba-tiba muncul di saat yang tidak terduga. Nah, sekarang kita move ke album terbaru kalian yang akan dirilis 31 Juli besok. Ceritain, dong."
"Album ini agak beda dari album-album sebelumnya. Kita berlima menciptakan masing-masing dua lagu di album ini. Biasanya kan diborong Bapak Brian," terang Arsen.
"Wow, cool!" Farah berdecak kagum. "Katanya, kalian akan mengadakan konser dalam rangka perilisan album baru itu. Nah, yang spesial kabarnya bakal ada banyak panggung kolaborasi dengan musisi lain. Ceritain, dong!"
Para anggota Sixth Sense menyebutkan satu per satu musisi yang akan jadi partner kolaborasi pada konser mereka seminggu lagi. Total ada enam musisi yang ikut serta. Salah satunya adalah Yves Erinka, kekasih Brian.
"Siapa yang mengusulkan nama-nama musisi itu?" tanya Farah.
"Bareng-bareng, sih," jawab Dion.
"Kalau Yves? Brian atau malah anggota Sixth Sense yang lain?"
"Itu gue," sahut Rayyan. "Suara Erin kan, memang smooth banget, beda dengan suara Brian. Jadi, gue sangat tertarik gimana jadinya dia menyanyikan lagu kita, yang punya genre pop-rock. Setelah itu, gue kabarin Brian, biarlah dia yang ngelobi pacarnya."
"Terus nih, aku dengar gosip dari tetangga sebelah, Brian ini picky banget soal lagu duet, ya? Sampai-sampai nolak permintaan lagu dari Erin. Memangnya Erin minta lagu apa? Sampai lo tolak?"
Seketika semua anggota Sixth Sense tertawa, kecuali Brian. Lelaki itu menipiskan bibir, berdecak, dan menggerang pelan. Reaksi keempat lelaki ini membuat Farah semakin bingung.
"Kenapa, nih?"
"Berat ... berat." Dion terkekeh pelan.
"Lo tahu informasi begitu dari mana, sih?" ujar Arsen, merasa takjub.
"Ada, dong. Sumber terpercaya dan rahasia. Emangnya kenapa, nih? Lagu apa?" kata Farah menuntut jawaban.
Jay menepuk bahu Brian. "Monggo, Bapak Brian, ditunggu pengakuannya."
"Jadi, sebenarnya nggak ada alasan khusus. Cuma, menurut gue lagu yang diminta Erin, nggak cocok sama suara dia," tutur Brian hati-hati. "Lagu yang pengin dinyanyiin Erin itu Sweet Chaos. Menurut gue ada banyak lagu yang bakal lebih pas dia nyanyiin."
"Ah, masa, sih?" celetuk Dion diselingi kikikan.
"Berisik lo!" Brian melayangkan tatapan tajam pada sahabatnya itu.
"Oh, gitu? Padahal lagu itu bisa diaransemen biar pas sama karakter suara Erin, kan?"
"Oh, bisa banget!" sahut Rayyan. "Yang nggak bisa itu, si Brian nyanyiin lagu itu bareng sama orang lain."
Bincang-bincang pun berlanjut sampai satu jam ke depan. Pembawaan Farah yang asyik, membuat para anggota Sixth Sense tidak merasa canggung dan terbawa suasana. Apalagi Sixth Sense memang cukup sering jadi bintang tamu acara Farah. Pukul sembilan malam mereka baru menyelesaikan rekaman.
"Eh, itu sebenarnya kenapa lo nggak mau nyanyi lagu Sweet Chaos bareng Erin? Permintaan pacar, padahal," tanya Farah sambil menyesap kopi yang baru saja diantar ke mejanya.
"Kamera mati, nih?" Brian menghadap kamera, memastikan tidak ada yang menyala.
"Mati, mati. Rahasia banget, nih?"
"Yah, ada sejarahnya, lah. Dulu, waktu gue kuliah. Gue nggak mau aja, Sweet Chaos dinyanyikan sembarang orang. Gue nggak mau merusak memori itu."
"Memori apa?" Kedua alis Farah saling bertautan, tatapannya intens mengarah pada Brian yang sekarang berpindah tempat duduk di sofa yang tak jauh dari set rekaman.
"Dulu, Brian pernah duet sama pacarnya pakai lagu itu," jelas Dion, si mulut ember. "Sejak saat itu, dia nggak pernah nyanyiin lagu Sweet Chaos sama siapa pun. Itu juga lagu favorit pacar Brian dulu."
"Lo gagal move on, Bri?" tembak Farah tanpa basa-basi.
Lelaki itu tersenyum tipis, lalu meneguk air mineralnya. Tidak mengelak atau pun mengiyakan.
"Parah, sih! Gila!" Farah langsung berdiri dari tempat duduknya karena terlalu tidak percaya. "Jangan bilang masalah pribadi lo itu, berkaitan sama mantan lo itu?"
"Ya, jelas!" tukas Dion lagi. "Ah, dia nangisin pacarnya itu setahun, Far. Ya, kita bisa apa?"
"Kalau gue reveal berita ini ke publik, gue bakal trending sebulan penuh, sih. Yakin gue."
Brian mencebik. "Lo tega kalau begitu, Far. Budak kapitalis lo."
Perempuan itu tergelak. "Jadi, Sweet Chaos itu terlalu berarti buat lo, ya?" Brian mengangguk. "Tapi, banyak loh orang yang kasih nama Sweet Chaos buat usaha mereka."
"Ya, itu hak mereka. Yang spesial buat gue kan, lagu Sweet Chaos itu," timpal Brian.
"Oh, iya ... sebenarnya beberapa bulan lalu, gue itu mau invite yang punya podcast Sweet Chaos di Spotify. Isi podcast-nya tuh, monolog soal kata-kata motivasi, mutiara, self love, self healing. Pokoknya yang bikin banyak anak muda baper, lah. Sempat trending kan, banyak yang rekues juga. Soalnya mereka penasaran siapa sosok di balik podcast itu. Tapi, sayang ditolak. Dia nggak mau reveal identitas dia ke publik."
"Serius? Nama akunnya Sweet Chaos?" Brian memastikan.
Farah mengangguk. "Di You Tube juga ada." Perempuan itu lalu mengotak-atik ponselnya dan tak lama kemudian terdengar suara perempuan yang seperti sedang bermonolog dengan suara rendah dan lembut.
"Sejujurnya, aku hanya ingin menjadi aku. Bukan yang lain. Aku yang berani merajut asa demi asa. Aku yang tak takut mengukir harapan. Aku yang tak kenal lelah mengejar cita. Namun, kenapa semua itu terlihat mustahil? Apakah ini adil, menjadi aku saja, diriku tak bisa."
Tubuh Brian mematung. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ia tahu siapa pemilik suara itu. Telinganya bisa saja salah menilai, tapi hatinya tidak. Ribuan purnama boleh terlewati tanpa ia sadari, tapi tidak untuk ini.
TBC
***
Semakin galau atau semakin b aja? 🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top