Chaos 07: Tale of The Devils

Aku tidak tahu, bisa bertahan hidup di antara semua kekacauan ini adalah keajaiban atau sebuah petaka, karena itu artinya aku harus merasakan penderitaan ini lebih lama.
.
.

Contains disturbing content: violence, torture, rape. ⛔


Byur!

Mata Lia terpaksa membuka ketika tubuhnya diguyur air dingin. Kepanikan langsung melanda dirinya, saat tersadar mulutnya ditutup lakban, tangannya diikat ke belakang, begitu juga kakinya yang terbelenggu tali tambang. Ia terus bergerak berusaha melepaskan diri dari simpul-simpul yang menjerat tubuhnya. Perempuan itu mencoba berteriak, tapi hanya erangan menyakitkan tak jelas yang terdengar. Di depannya ada tiga lelaki asing bersenjata lengkap, berdiri dan saling berbincang dengan bahasa yang tak Lia mengerti.

Gimana bisa aku di sini?

Siapa mereka?

Temen-temenku di mana?

Belum selesai otaknya mencerna bagaimana ia berada di sini, salah seorang dari pria bersenjata itu berjongkok di hadapan Lia dan menarik rambut perempuan itu keras, membuatnya memekik.

"Finally, you are awake," kata lelaki berpakaian serba hitam dengan kumis tipis. "Your friend is in other room."

Siapa? Siapa temannya yang juga ikut tertangkap?

Dengan kasar, lelaki itu melepas lakban dari mulutnya. Lia langsung menghirup udara sebanyak yang ia mampu dan membasahi bibirnya dengan air liur. Jantungnya berdentum keras. Bohong sekali, jika ia merasa tak takut.

"Are you spying on us? How much they pay you to get in this dangerous job?"

Pelafalan Bahasa Inggris lelaki itu terdengar aneh. Masih terdengar logat kental daerah Asia Barat.

"You will never go home, Julia," sahut seorang dengan kaus panjang garis-garis, yang berdiri di belakang si serba hitam. "We got your ID card." Lelaki itu mengeluarkan tanda pengenalnya dari Alexandria Magazine.

"Don't worry, you are not alone. You have friend in other room. Hafiza, she is pretty enough, right?" kata si serba hitam kemudian tertawa keras. "Good night, Julia. We will let you have peaceful night this time."

Mereka menepati janji untuk tidak mengganggunya malam ini. Andai saja Lia tahu, malam itu satu-satunya malam ia bisa tidur selama dua bulan terperangkap di sana, perempuan itu akan tidur. Namun, siapa sih yang bisa terlelap saat tahu dirinya diculik?

Akhirnya, otak Lia berhasil menyusun kejadian sebelum ia terbangun di tempat gelap tanpa jendela, bau, dan lembab ini. Seminggu yang lalu, ia bersama tim jurnalis Alexandria, datang ke Jolo, Filipina untuk meliput secara diam-diam aktivitas komplotan teroris Red Land.

Mereka adalah komplotan teroris dari Kamerun yang menguasai Asia Tenggara sejak tahun 2017. Komplotan itu terkenal sering mengadang kapal nelayan dan menculik para ABK. Banyak nelayan dan tenaga kerja Indonesia yang jadi sandera Red Land.

Lia, Hafiza, dan Mas Fadil ikut pasukan khusus Filipina untuk melakukan negosiasi. Mereka bersembunyi di hutan, sambil menunggu kedatangan pasukan Red Land. Situasi tiba-tiba tida kondusif karena terjadi baku tembak. Nahasnya, ia dan Hafiza tertangkap karena terjebak bom asap. Perempuan itu tidak tahu bagaimana ia sampai di sini, karena dirinya tidak sadarkan diri.

Red land banyak mengajak warga Asia Tenggara untuk bergabung bersama kelompok mereka, dengan iming-iming hadiah kebebasan dari aturan mencekik pemerintah serta emas. Entahlah, para teroris itu yang pasti sudah mencuci otak para sandera, sehingga mereka mau berpihak pada Red Land.

***

"Six!"

"Please, stop!"

"Seven!"

"STOOOPPP!"

"Eight!"

"P-please ... stop, please! It hurts! It hurts!" mohon Lia dengan suara tersengal-sengal. Wajahnya dibanjiri air mata. Ia menggigit bibir agar isakannya tidak keluar.

Seorang lelaki mencengkeram dagunya, membuat Lia mendongak. "Do you want more?"

Lia langsung menggeleng keras. Air matanya terus mengalir. "No ... no .... Please, no ... it hurts!"

"So, don't try to play with us! Eat your food and don't ever to try to escape from here! Got it?" teriak lelaki beralis tebal, mata cokelat, dengan rahang tajam yang mengeras. Air liurnya tersembur ke wajah Lia.

Perempuan itu mengangguk sambil terus sesenggukan. Ia akan melakukan apa saja agar lelaki bengis itu berhenti mencambuk punggungnya. Penyiksaan ini sudah melewati batas. Rasa sakit yang diterima Lia, tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Tanpa sepatah kata, lelaki itu keluar dari ruang tahanan, meninggalkan Lia yang berdiri dengan kedua tangan dirantai ke langit-langit. Tangisnya pun pecah. Ia meraung keras, merasakan punggungnya berdenyut nyeri, perih, terbakar. Dia bahkan tidak bisa mendeskripsikan apa yang ia rasakan lagi.

Ia terus menarik tangannya dari rantai yang membelenggu. Bukannya terlepas, tapi pergelangan tangannya jadi terluka. Ada beberapa luka yang belum kering di sana, karena ia selalu mencoba melepaskan diri rantai yang memborgolnya.

"Bu! Ibu" teriaknya pilu sambil menangis tersengal-sengal. Ia terus menarik pergelangan tangannya berusaha bebas. "Lia mau pulang, Bu! Lia pengin pulang!"

Ia terus terisak sampai dadanya sesak, suaranya serak, dan tenggorokannya sakit. Bagaimana bisa ada orang sekejam itu terlahir di dunia? Apa salahnya? Ketika bayangan kedua orangtua melintas di otaknya, tangis Lia semakin kencang. Ia takut tidak bisa berjumpa dengan mereka lagi. Dan, Brian? Perempuan itu semakin tergugu, karena belum sempat berpamitan pada lelaki itu. Aku nggak mau mati di sini, Tuhan. Aku masih mau ketemu mereka.

Pagi harinya, seorang wanita datang membawa semangkuk bubur, perban, cairan alkohol, dan obat merah. Ini pertama kalinya Lia melihat sosok itu. Wanita berjubah abu-abu dan surban dengan warna senada itu melepaskan borgol di tangannya. Tanpa kata, wanita itu lalu membuka baju Lia dan membersihkan luka di punggungnya.

"Auw!" Lia memekik kesakitan. "Why they send you here? Why they treat my wound after torturing me last night?"

"I just doing my job," jawab wanita itu sambil memberikan obat merah ke luka menganga di punggung Lia dan menutupnya dengan perban.

Lia menggigit bibirnya kuat-kuat, agar tak berteriak. "You help them? You help the monsters? Do you know what they did to me?"

"I feel sorry for you, but I can't do anything to help you." Sudut bibir wanita itu menekuk ke bawah, matanya terlihat berkaca-kaca. Suara wanita itu juga terdengar tersendat. Jangan-jangan ....

"Are you their hostage too?" Wanita itu langsung membuang muka. Dalam diam, ia meletakkan semangkuk bubur di depan Lia.

Oke, sepertinya insting Lia benar. Kalau begitu, ia punya kesempatan untuk kabur dari sini dengan bantuan perempuan itu. "What's your name? My name is Julia. I am Indonesian journalist. I have parents whose waiting for me. I have a boyfriend that probably became crazy because he don't know where I am. Please, help me and my friend to get out from here and I will help you too."

"Eat your breakfast, Miss Julia."

Semalam, ia boleh menjadi lemah dan putus asa. Akan tetapi, dirinya tak boleh menyerah. Ada ibu dan bapak yang menunggunya pulang. Ada Brian yang mungkin sekarang kebingungan mencari keberadaannya. Ada berita besar yang harus ia sampaikan pada dunia. Ada cerita yang harus ia tulis dan sebarkan.

Namun, sejak hari itu wanita pembawa bubur tadi, tak pernah datang lagi. Ia jadi harus memutar otak, bagaimana caranya keluar dari tempat terkutuk ini. Ia tak berniat membusuk di sini bersama para iblis itu.

***

Lia langsung berdiri waspada saat pintu besi ruang tahanannya terbuka. Seorang pria berbadan tinggi dan kurus, masuk membawa kantong plastik hitam. Dari perawakan tubuh dan fitur wajahnya, jelas dia bukan keturunan Asia Barat. Kemungkinan dia orang asli Filipina, yang bergabung dengan komplotan ini.

Perempuan itu tersenyum percaya diri dalam hati. Harusnya tidak terlalu sulit mengalahkan lelaki itu, karena sebelum berangkat ke sini, dia dapat pelatihan bela diri selama tiga bulan. Ya, memang sebentar. Tapi, semoga saja bisa membantu.

"This is your tampon!" Lelaki itu berseru tak sabar, sambil mengulurkan kantong plastik yang dibawanya kepada Lia.

"Please, come closer. I can't walk properly right now. I am bleeding, menstruation, you know?"

Lelaki cungkring itu mendengkus. Bibirnya berkedut lalu mengerucut. Dengan malas ia menuruti permintaan Lia. Tangan kanannya memegang rokok yang terus dihisapnya. Sedangkan di tangan sebelah kiri, ia membawa kantong berisi tampon pesanan Lia itu.

Setelah lelaki itu berdiri kurang dari satu langkah darinya, perempuan itu langsung menendang selangkangan si cungkring dengan lutut dan memuntir tangannya ke belakang. Ketika penculik itu mengaduh kesakitan, Lia bergerak cepat menarik pistol yang terpasang di sabuknya. Dia lalu mendorong lelaki itu sampai menghantam tembok.

Si cungkring menggeram marah. Dengan hidungnya yang kembang kempis, berjalan ke arah Lia. Ia menodongkan pistolnya ke arah lelaki itu, berharap si penculik takut kepadanya. Namun, bukannya berhenti, langkah si cungkring semakin cepat.

"Stop or I'll shoot you!" ancam Lia. Tangannya bergetar hebat sambil menodongkan senjata tersebut. Ia semakin panik saat si cungkring tetap berjalan ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Lia menutup mata dan menarik pelatuk pistol tersebut sehingga terdengar suara yang memekakkan disusul jeritan kesakitan lelaki di hadapannya.

Napas Lia tersengal-sengal, kepanikan melanda dirinya. Ia membuka mata dan mendapati penculik itu tersungkur sambil memegangi pinggangnya. Kelegaan serta merta membasuh perempuan itu. Dia sangat takut jika tembakannya membunuh si penjahat. Akan tetapi, kepalanya mendadak pening ketika menyadari banyak darah yang merembes keluar dari baju lelaki itu.

"Ya Tuhan, darahnya .... " Lia menutup mulutnya, berjalan mondar-mandir. Ia takut menghampiri lelaki itu, tapi juga tak tega melihat si cungkring yang terus merintih kesakitan.

Hari itu, tanpa Lia tahu, keputusannya melawan adalah awal mula siksaan tiada akhir yang harus ia terima. Di mana hari-hari berikutnya selalu berakhir dengan raungan putus asa perempuan itu. Di mana ia terus menanyakan, bagaimana bisa bertahan untuk tetap waras saat kewarasannya semakin menipis dihabisi kekejaman para iblis itu.

***

Apa aku masih hidup?

Apa hari ini aku masih diberi kesempatan untuk hidup?

Kenapa mereka nggak bunuh aku aja?

Lia terduduk di sudut ruangan dengan pandangan kosong ke depan. Tangan dan kakinya sudah tidak diborgol lagi. Tapi toh, percuma. Dia sudah tidak bisa berjalan apalagi berlari. Rambut panjang perempuan itu menggumpal seperti gelandangan. Di pergelangan tangannya ada luka menghitam yang berair. Punggungnya? Banyak bekas luka cambukan yang masih basah. Seolah belum cukup penderitaan yang diterima perempuan itu, ada timah panas yang bersarang di pahanya.

Penyiksaan yang harus diterimanya setiap hari, membuat Lia mencapai titik ia tidak merasakan apa pun lagi. Bukan hanya indera perasanya yang lumpuh, tapi juga ia telah kehilangan gairah hidup. Detik demi detik ia lewati hanya soal menghitung waktu kapan para monster itu bosan bermain-main dengannya dan kemudian menghabisi nyawa perempuan itu.

Ada satu titik di mana ia lebih memilih mati di sini daripada pulang. Dirinya sudah hancur. Mereka benar-benar mematahkan dirinya keping demi keping. Sampai tidak ada yang tersisa, termasuk harapan. Harapan bebas mau pun harapan hidup. Air mata Lia luruh ketika memori tentang hal paling menjijikkan menimpa dirinya, kembali berputar.

Perutnya bergejolak saat mengingat bagaimana mereka menahannya di lantai dan tangan-tangan iblis itu menggerayanginya. Mati akan lebih baik daripada hidup dengan kenangan itu melekat di otaknya.

"At least, we let you alive. Be grateful!" desis lelaki berbadan besar, yang berada di atas Lia, bertumpu dengan kedua lengannya.

Ia terus menggeleng, mulutnya tak berhenti berucap meminta ampun, agar si berengsek itu tak menyentuhnya di sana. Agar iblis itu tak melanjutkan aksi bejatnya.

"I beg you, please ... stop."

"Oh, Darling ... you will beg for more after I give you the pleasure. Don't worry."

Mimpi buruk itu terus terlintas di benaknya, membuat Lia semakin merasa kotor dan jijik terhadap diri sendiri. Dia, bukan perempuan utuh lagi. Terbesit wajah cerah Brian yang membuat air matanya leleh begitu saja. Apa lelaki itu masih mau menerimanya lagi jika ia bisa terbebas dari sini?

TBC
***

Aku sengaja kasih warning di atas, biar yang nggak nyaman baca ini, bisa di-skip. Tapi, resikonya nggak tahu gimana gimana Lia bisa jadi korban penculikan.

Apa part ini udah cukup menyedihkan? Menyesakkan? Menegangkan?

Update sore, karena nanti malam ada kelas online 🙏 Semoga ini ga bikin kalian galau menjalani malam minggu ya❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top