Chaos 05: There is Nothing Left For Us
Hancur, terpecah menjadi debu. Lebur, bersama menjadi satu.
.
.
⛔ There are some disturbing scene like violent scene. No blood. ⛔
Bertemu kembali dengan Brian, setelah sekian lama ternyata berhasil membuat dinding pertahanan yang ia bangun runtuh begitu saja. Kemunculan lelaki itu membawa kenangan-kenangan manis yang tak mungkin terulang, penyesalan yang bercokol di hati terlalu dalam, dan amarah hebat untuk garis takdir yang harus ia terima.
Lima tahun sejak berpisah dengan Brian, tak ada satu pun lelaki yang berhasil mengetuk pintu hatinya. Ia terlalu sibuk berjuang untuk bertahan hidup sehingga tidak memperhatikan sekitar, jadi ... who knows? Atau memang tak ada lelaki yang berminat padanya. Oh, lihatlah dia ... siapa pula yang akan tertarik pada wanita lemah, cengeng, yang tidak bisa berjalan sempurna?
Lia mendengkus pelan, tak terasa pipinya sudah basah karena air mata. Hidup ini, di matanya sejak kejadian mengerikan lima tahun lalu, sungguh tidak adil. Sampai detik ini, saat menutup mata, ia masih bisa merasakan kehadiran para monster itu di belakangnya. Terkadang, tiba-tiba Lia mendengar suara tawa sadis mereka di tengah keheningan. Tidak ada yang terlupakan, semuanya terpatri dalam memori.
"Are you hungry?" Seorang lelaki dengan rambut pendek dan jenggot panjang, membawa senapan laras panjang yang dikalungkan leher, memasuki 'kamar' Lia.
Ia meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri, tak berani mendongak. Lapar? Tentu saja. Perempuan itu tidak diberi makan selama tiga atau empat hari di sini. Haus? Air terakhirnya habis sehari lalu. Tapi, daripada memohon minta belas kasihan pada mereka, lebih baik Lia mati kelaparan.
Lelaki itu berjongkok di depan Lia, meringis memamerkan deretan gigi kuningnya. "Food will come today. Don't be shy, I know you're hungry."
Entah berapa lama, pintu besi tempatnya disekap terbuka. Datang seorang lelaki, yang memakai surban cokelat mendorong troli besar dengan nampan besi besar di atasnya, berisi nasi dan lauk pauk. Di tempat seperti neraka ini, kegiatan makan pun tak pernah Lia nikmati.
"Get up!" bentak si gigi kuning.
Lia masih duduk, badannya bergetar. Pukulan keras mendarat di bagian belakang kepalanya. "Get up, Bitch!"
Dengan kaki bergetar, Lia berdiri, kepalanya menunduk. Ia lalu ditarik kasar ke tengah ruangan. Perempuan itu tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya. Mimpi buruk ini akan terjadi lagi. Kedua tangannya lalu diborgol dengan rantai yang menjuntai dari atap, membuat Lia berdiri dengan tangan terangkat.
"Now, it's your time to eat."
Lelaki yang mendorong troli itu mengambil piring dan membawanya ke depan mulutnya. Lia melotot dan meludah ke wajah lelaki itu. Lalu, perempuan itu dapat hadiah tamparan keras di wajahnya. Ia menahan sakit di pipinya yang memanas dan perih.
"Eat your food!"
Dia menjejalkan piring ke mulut Lia, menyuruhnya makan langsung dengan mulut, seperti anjing. Kalau punya pilihan, ia tak mau diperlakukan hina seperti ini. Tapi, apa dia punya pilihan? Bahkan, sepertinya nyawa perempuan itu pun ada di tangan mereka. Menyingkirkan perasaan marah, kesal, malu, dan frustasi, Lia memakan nasi di piring itu menggunakan mulut. Lelaki bengis itu memaksa Lia membuka mulut lebar-lebar, tangan setan itu berada di rahangnya untuk menahan mulutnya agar terus terbuka. Monster itu lalu menumpahkan makanan di piring ke dalam mulutnya tanpa ampun.
Lia tersedak, matanya berair, karena terlalu banyak makanan yang mengisi tenggorokannya. Tak tahan, ia pun memuntahkannya ke lantai. Nasi yang sudah masuk ke perut pun, ikut keluar. Percuma, tidak ada makanan yang benar-benar masuk. Ia ingin sekali memaki kedua iblis itu, tapi Lia tak siap menerima konsekuensinya. Dia tak punya tenaga.
Iblis! Dasar iblis!
Ia mengusap air matanya kasar, setelah ingatan mencekam itu kembali mampir dalam ingatan. Sepertinya ia harus bertemu Dokter Alice lebih cepat dari jadwal yang ditentukan. Perempuan itu lanjut mengaplikasikan foundation di pergelangan tangannya. Bekas luka sialan! Lia bersumpah, ia benci sorot mata Brian yang penuh amarah berganti belas kasihan saat melihat bekas luka ini. Dulu, dia pernah ada di fase menutupi semua bekas luka dari tragedi itu menggunakan make up. Bahkan, saat hanya berdiam di rumah. Dia ingin berpura-pura jika yang ia alami hanya mimpi buruk belaka. Namun, rasa nyeri, sakit, dan sesak di dadanya berkata lain.
"Mbak Lia ... " Suara Mbok Yah, asisten rumah tangga Bude Wati, mengagetkan Lia, "ada tamu di luar."
"Siapa?"
"Katanya temen kerja di Medang Cafe."
"Oke, aku bentar lagi ke bawah, Mbok. Bilangin suruh tunggu sebentar."
Hari ini Lia memang izin tidak berangkat. This whole thing about Brian, make her tired, physically and mentally. Ia memeriksa penampilannya lewat pantulan cermin. Oke, not bad. Dia lalu memakai liptint dan bedak, agar tak terlalu terlihat menyedihkan. Perempuan itu tak mau temannya mengkhawatirkan keadaannya. Tapi, siapa yang datang sore-sore begini? Jangan-jangan, Candy atau Sheryl---dua pegawai yang paling dekat dengannya---datang? Seketika senyum merekah di bibir perempuan itu. Tapi, bukannya mereka masih harus bekerja?
Ia sudah terbiasa berjalan menggunakan tongkat. Dulu, saat menuruni atau menaiki tangga, selalu ada orang yang membantunya. Sekarang, Lia tak butuh bantuan lagi. Tongkat ini sudah jadi bagian tubuhnya, kaki ke ketiganya. Keningnya mengernyit, ketika tidak menemukan siapa pun di sofa ruang tamu. Ia mempercepat langkah menuruni tangga. Tubuhnya membeku, ketika mendapati punggung tegap, yang membelakanginya, melihat-lihat jajaran foto yang diletakkan di meja hias.
Lelaki itu berbalik, tersenyum tipis, dan berjalan secepat kilat ke arahnya. "Halo, Julia ... I got you."
Napas Lia tersengal, ia ingin segera menghilang dari sini. Namun, saat baru akan berbalik kabur, tangannya dicekal.
"Kamu nggak bisa terus lari dari aku, Jul ... aku cuma minta kamu cerita. Ke mana aja kamu selama lima tahun ini?"
"Kamu nggak perlu tahu," tandasnya sarat akan kepedihan. "Kenapa kamu cari aku? Bukannya hidupmu udah bahagia?"
Brian mencebikkan bibir. "Bukan berarti, aku lupa apa yang udah kamu lakuin ke aku, lima tahun lalu, Jul."
"Just, leave it. Kenapa ungkit masa lalu terus? Apa gunanya?" Suara Lia meninggi. "Aku nggak utang apa pun ke kamu. Kedatangan kamu di hidupku searang, bikin aku semakin menderita. Jadi, please ... just leave me alone, Brian. Aku nggak mau kamu di sini."
Brian tercengang mendengar ucapan pedas yang terlontar dari bibir Lia. Amarah yang tadi surut, kini kembali berkobar. Menderita katanya? Dia nggak tahu apa, gimana menderitanya gue karena tiba-tiba ditinggal tanpa kabar?
"Menderita?" desis lelaki itu. "Menurutmu gimana aku waktu kamu tiba-tiba ngilang, Jul? Empat tahun kita pacaran dan kamu pergi tanpa pamit, tanpa kasih kabar. Apa empat tahun itu nggak ada artinya buat kamu? Aku kayak orang gila, Julia! Nanyain kamu ke semua orang! Aku ke Solo nanyain kamu ke orangtua kamu! Aku ke kantor kamu, ke rumah temen-temen kamu. Nomormu nggak bisa dihubungi. Sosial mediamu nggak aktif. Kamu bisa bayangin perasaanku waktu itu, Jul?
"Sixth Sense gagal comeback berkali-kali karena aku nggak bisa mikir apa-apa, selain kamu. Kamu di mana? Apa kamu sehat? Apa kamu hidup? Apa kamu jatuh cinta sama cowok lain? Tiga tahun hidupku berantakan, Jul. Dan, sekarang aku dateng ke kamu, kamu malah bilang kalau aku bikin kamu menderita? Apa itu adil? Aku, nggak ngelakuin apa-apa ke kamu. Tapi, kenapa katamu aku malah yang bikin kamu menderita?" Dada Brian terengah-engah, matanya berkilat penuh emosi.
Lia terisak di tempatnya melihat Brian yang meledak. Ia mengakui, dirinya telah memberikan rasa sakit yang besar untuk lelaki itu. Namun, bukankah ia juga merasakan rasa sakit yang sama? Brian tidak tahu, seberapa besar penderitaan yang Lia alami lima tahun terakhir ini? Lelaki itu tidak tahu bagaimana rasanya hidup dibayangi mimpi buruk setiap hari. Dia tidak tahu, bagaimana sesaknya karena perasaan bersalah yang tidak berhenti menggerogoti hati. Brian tidak akan pernah mengerti, bagaimana rasanya berjuang, mencari sekeping alasan untuk tetap hidup di keesokan hari.
"Tiga tahun hidupmu berantakan," desis Lia.
Ia tiba-tiba merasa sangat marah. Kenapa Brian bersikap seolah-olah dirinya lah yang paling tersakiti? Bahkan, kalau sedetik saja lelaki itu menjalani harinya, ia yakin Brian tak akan mampu. Tak ada orang yang mampu menerima penderitaan ini! Dirinya saja tak mampu. Dirinya hampir tak mampu. Jika bukan karena sang ibu, bapak, Bude Wati ... dirinya tak akan mampu.
"Tiga tahun?" Suara Lia meninggi. "Kalau kamu tahu apa yang terjadi sama aku lima tahun lalu, kamu nggak bakal berani ngomong ini!" Ia mulai menjerit.
"Kamu tahu apa yang mereka lakuin ke aku, Bri? Aku hampir mati!" Perempuan itu menggeleng, "nggak, bukan hampir. Tapi, aku udah mati. Julia Maheswari udah mati lima tahun lalu!" Tubuh Lia merosot ke lantai. Perempuan itu menangis tersedu-sedu. Setiap isakan yang lolos dari mulutnya terdengar menyesakkan. Ia meraung keras, tersengal-sengal.
Hati Brian tersayat mendengar suara Lia. Amarah yang tadi menguasai, perlahan menyusut. Perempuan paling berani yang ia kenal, hancur dan ambruk begitu saja. Ia langsung duduk bersimpuh di depan perempuan itu, merengkuhnya ke dalam pelukan. Brian membelai rambutnya perlahan dan mengusap-usap punggung Lia, berharap dapat menenangkan perempuan itu yang mulai tersengal-sengal.
"Maaf ... maaf, Jul ... maaf .... " bisik Brian penuh rasa bersalah. Dia belum tahu apa yang sudah terjadi pada gadisnya. Tapi, ia yakin, sesuatu yang mengerikan telah menimpa Lia.
Lia mendorong dada Brian dan menatapnya dalam-dalam dengan sorot mata penuh luka. "They captured me. They tortured me. They raped me. They killed me."
Mata Brian melebar sempurna. Rasa nyeri langsung menyerang dadanya. Apa yang baru saja dia dengar? Mimpi buruk apa lagi ini? "J-Jul?" Suaranya bergetar, pandangannya mulai mengabur. "Please, tell me, itu nggak benar .... "
"Buat apa aku bohong? Buat apa?" Lia mendesis lalu menghela napas lelah. "Aku nggak selingkuh. Aku nggak nikah sama cowok lain. Kamu udah tahu apa yang terjadi sama aku. Jadi, sekarang kamu bisa pergi, 'kan? There is nothing left for us."
***
"Jul, ini jam tiga pagi. Ngapain buka laptop, sih?" Brian menggerutu, matanya menyipit karena silau melihat cahaya dari layar laptop.
"Aku tiba-tiba kepikiran sesuatu buat artikel," jawab Lia dengan pandangan fokus ke layar laptop.
Lelaki itu mendengkus melihat tingkah kekasihnya itu. "Seriously? Jam segini? Kamu kebangun karena kepikiran artikel?" Dia meringsut ke pinggir tempat tidur, mengintip apa yang ditulis Lia di layar laptop.
"Ya, namanya juga ide."
"Kita baru merem jam satu, Jul ... nggak capek apa?"
Lia menoleh dan mencebikkan bibir. "Loyo banget, gitu aja capek."
Kekehan kecil lolos dari bibir Brian. "Besok ada jadwal rekaman pagi. Ayo, temenin aku tidur lagi."
"Cerewet banget, tidur aja minta temenin!" Tangan Lia kembali bergerak cepat di atas keyboard. "Udah buruan merem, kamu ganggu, tahu nggak?"
"Mau gimana pun Indonesia koar-koar soal save Palestina, nggak bakal banyak berubah, Jul ... " Brian bersandar pada headboard, "kecuali kalau kamu bisa menguasai negara adidaya. Kalau negara adidaya bertindak, baru nanti kelihatan efeknya."
"Namanya juga usaha. Tugasku kan jurnalis. Udah selesai liputan di Gaza, sekarang nulis artikelnya."
Brian berdecak. "Kamu masih bisa nulis artikel itu besok pagi, pas aku rekaman. Kenapa harus sekarang, sih?" Lelaki itu kembali merengek.
Lia melayangkan tatapan maut pada kekasihnya itu. Ia mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. "Nulis main topic-nya aja sebentar." Ia menyimpan draf pekerjaannya, mematikan laptop dan kembali bergabung dengan Brian di tempat tidur.
Brian langsung menarik kekasihnya ke pelukan dan menghirup aroma sampo vanila yang digunakan perempuan itu. "Jangan ganti sampo lagi, Babe. Aku suka baunya."
"Hm."
"Jangan liputan ke negara-negara bahaya begitu lagi, ya?"
Lia mendongakkan kepala untuk menatap mata Brian. "Nggak janji. This is my job ... you should know it better."
"Ya, tapi nggak perlu ke daerah konflik, lah. Nggak sayang nyawa namanya."
Lia berdecak, kedua alisnya membentuk garis lurus. "You can't control me."
Satu sudut bibir lelaki itu terangkat, membentuk seringaian. "Oh I can. I control you on bed, Babe."
"You're not controlling me, I let you."
"Really?" Satu alis Brian terangkat. "Take off your shirt."
Lia memutar mata, berbalik memunggungi lelaki itu dan menarik selimut sampai ke dada.
Brian mendekap perempuan itu dari belakang dan mencium bagian belakang telinganya lalu berbisik, "I will make you want to take off your shirt, Jul. Lagian, siapa sih yang suruh kamu pakai baju?"
"Ya kali, aku mau nulis artikel nggak pakai baju." Lia memutar badannya untuk kembali menghadap Brian.
Brian menjitak kepala kekasihnya dengan gemas. "Udah dari awal, timing-mu nulis artikel itu salah."
"Ngambek mulu kayak bocah." Lia memutar bola matanya. "Sekarang aku mau tidur, kamu jangan berisik."
"Kita berisik bareng aja, gimana?"
"Katanya besok ada rekaman pagi?"
Lelaki itu cuma terkekeh. "Nggak apa-apa, buat isi energi."
TBC
***
Gimana?
Mulai terkoyak-koyak hatinya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top