Chaos 04: The Raged Feeling
Andai saja malam bisa menghapus semua tentangmu yang tertanam di kotak ingatan seperti dia menelan indahnya senja.
.
.
Brian duduk termenung di balkon kamarnya, menghisap rokok, dengan pandangan kosong. Pikirannya berkelana kembali ke hari kemarin. Pertemuannya dengan Lia setelah sekian lama, sangat mengganggu lelaki itu. Apa yang terjadi dengan perempuan itu? Kenapa tidak jadi jurnalis seperti mimpinya? Ada apa dengan kakinya? Tiga pertanyaan itu terus berputar tanpa henti di kepala Brian, mengganggu jam tidurnya.
Sebuah tangan tiba-tiba memeluk lehernya dari belakang. Namun, lelaki itu tak ada niat untuk menyambut sosok dengan aroma lavender di belakangnya. Ia menghisap kembali rokok di tangannya, dan meniupkan asap yang membumbung tinggi di langit malam.
"Nggak bisa tidur?" Erin menarik kursi dan duduk di sebelah Brian.
Lelaki itu hanya menggumam tidak jelas.
"Masih kepikiran soal Julia?"
Brian menatap lurus ke arah mata Erin, kekasihnya. Wanita normal mana yang tidak sakit hati, waktu tahu pacarnya masih memikirkan sang mantan? Ia tahu ia sudah menyakiti Erin, meskipun perempuan itu tidak mengakuinya.
Ia lalu meraih tangan Erin dan mengusap-usapnya. "Rin, you know that I love you, right? Maaf, tiba-tiba aku jadi cowok brengsek begini. Aku tahu kamu pasti kecewa, sakit, karena sikapku. Kalau aku bisa, aku juga maunya tinggal semua aja yang dulu-dulu, nggak perlu diurusin lagi. Tapi, rasanya aku belum tenang aja. Aku masih marah terus kalau ingat dia. Aku selalu do'ain yang buruk-buruk buat Lia. Entah karena dendam atau sakit hati. Aku nggak tahu."
Erin menghela napas sambil tersenyum. "Kamu nggak bisa hidup dipenuhi dendam, Bri ... hidupmu nggak akan bisa bahagia seratus persen. Dan, kalau memang dengar jawaban dari Lia, bisa buat kamu lepasin hal buruk yang selama ini kamu simpan, nggak apa-apa. Itu demi kebaikanmu sendiri."
Brian tersenyum lega, sangat bersyukur punya Erin di sisinya. Wanita tanpa pamrih, yang benar-benar mau mendampinginya.
"Besok aku ada syuting video klip. Nanti kamu kuantar pulang ke apartemenmu. Aku butuh waktu sendiri."
"Kalau kamu butuh waktu sendiri sekarang, aku bisa pulang."
Brian menggeleng sambil tersenyum sendu. "No. I need you tonight." Ya, dia tidak enak hati mengusir perempuan itu pulang selarut ini. Ia tidak ingin jadi pria lebih berengsek lagi di mata Erin.
***
Brian tersenyum tipis ketika mendapati teman-teman satu band-nya sudah berkumpul di kamar sebuah villa yang kini disulap jadi make up room. Ci Aela, sang make up artist sedang merias Arsen. Dodi---sag hair stylist, sedang menata rambut Rayyan.
"Gue harus buka baju nggak, nanti pas adegan menyelam?" tanyanya pada Bang Ruki---sang direktor video klip, yang sudah berkali-kali dipercaya jadi direktor di musik video-musik video sebelumnya.
"Harusnya sih, iya," Bang Ruki mengangguk, "perut lo kan nanti dikasih luka tusuk gitu."
Brian membuka kausnya yang kemudian membuat para staf wanita menggoda lelaki itu. Dia sudah biasa karena saking akrabnya, Brian bahkan sudah nggak malu kalau harus kentut di depan mereka.
"Untung abs gue masih ada." Ia menepuk perutnya.
"Aduh! Tato lo, Bri ... ganggu aja," gerutu Ci Aela.
Brian mendengkus. "Alah, Ci ... bisa kan ditutupin? Biasanya lo juga bisa."
"Bisa, tapi ribet." Ci Aela menyahuti. "Ras, itu tato Brian ditutup, ya ... ini mau syuting di air, pakai tape juga bisa biar awet." Wanita itu menyuruh salah satu timnya untuk mengakali tato Brian.
"Duduk Bang, kalau berdiri gue capek," kata Laras, murid Ci Aela, yang baru tiga bulan bergabung jadi tim Sixth Sense.
Brian pun menurut. Dia menatap tato di dadanya melalui cermin dengan saksama. Senyum getir tanpa sadar terbit di bibirnya. Tato ini mengingatkan lelaki itu pada hal-hal yang harusnya tidak diingat. Kenangan indah sekaligus menyakitkan.
"J? Siapa itu J? Bukannya pacar Bang Brian itu Yves Erinka?" tanya Laras dengan polos.
Jay dan Dion langsung berdeham keras. Sedangkan Ci Aela yang sedang mengaplikasikan eyeshadow tergelak. Laras, yang melihat tanggapan aneh dari beberapa orang di ruangan, mengernyit heran. "Kenapa, sih? Gue salah nanya?"
"Nggak kok, bener. Gue juga mau tanya, pacar lo siapa sih, Bri? Kok ada tato huruf J di dada?" goda Jay.
Brian mencebik, mereka memang tidak pernah berhenti menggodanya soal tato itu. "Berisik lo!"
"Kenapa nggak dihapus aja, sih? Gue tahu klinik hapus tato yang bagus, nggak sakit juga," tutur Ci Aela.
"Alah Ci, kalau dia mau hapus, ya udah dari dulu. Gue sama yang lain juga udah nawarin dari dulu," tandas Dion. "Ini bocah emang nggak niat move on kayaknya."
Ci Aela menjitak kepala Brian, membuat lelaki itu mengaduh. "Lo itu jahat banget deh, sumpah. Gue nggak bisa bayangin perasaan Erin, selama make love sama lo, dia harus lihat dada lo yang ada tato inisial mantan lo."
"Erin juga nggak masalah, kenapa kalian yang ribut, sih?" gerutu Brian. "Ini udah telanjur aja, kalau dihapus takut jelek kulitnya. Nggak bisa semulus kayak dulu."
"Iya deh, iya. Kita pura-pura percaya," tukas Rayyan.
Jahat, ya? Kayaknya emang gue udah terlalu jahat sama Erin. Tapi, untuk menghapus tato ini, dia masih merasa berat. Ada sesuatu yang membuatnya tidak rela. Padahal, Brian sadar betul, tidak mungkin lagi dirinya kembali bersama Lia. Lagipula, harusnya dia marah pada wanita itu, kan? Bukan mengharapnya kembali.
***
"Udud wae," celetuk Jay berdiri di hadapan Brian, sembari mengenakan jaket.
"Ribut wae awakmu," Brian mendengkus.
"Syuting video klip kita lanjut besok. Tinggal ambil gambar di dalam studio. Buat outdoor-nya udah selesai," terang Bang Ruki.
Brian membuang puntung rokoknya ke dalam asbak dan menekan ujungnya lebih dulu. Ia menghampiri Bang Rendy, manajer Sixth Sense, yang sedang mengobrol dengan Arsen.
"Bang, gue mau pinjem mobil perusahaan, tapi bawa sendiri. Lo nggak perlu anter," kata lelaki itu, sambil menenteng tas punggungnya.
"Mau ke mana?" Bang Rendy ini masuk ke dalam kategori manajer cerewet. Ya, meskipun cerewetnya cuma di saat-saat tertentu, seperti jika mendekati waktu Sixth Sense akan comeback. Lelaki itu belajar dari pengalaman terdahulu, saat Brian suka menghilang karena galau ditinggal pujaan hati.
"Ke suatu tempat," jawab Brian singkat.
"Jangan mabok lo, besok syuting," kata lelaki berbadan kekar dengan lengan penuh tato itu.
"Nggak, Ya Allah ... ini gue mau ketemu orang. Nggak ngapa-ngapain."
"Kalau nggak mau macem-macem, kenapa lo harus pergi sendiri?" cecar Bang Rendy.
Brian memutar mata malas. "Janji, gue nggak bakal macem-macem. Kalau gue macem-macem, gaji lo gue naikin."
"Gue nggak peduli gaji, Bri ... " Bang Rendy mendesah lelah. "Stay safe aja, gue timpuk lo pokoknya kalau bikin masalah."
Ia terkekeh sambil mengangguk. Setelah pamit pada semua anggota Sixth Sense dan staf, lelaki itu buru-buru menuju pelataran parkir. Ada tempat yang harus ia tuju. Brian langsung mengendarai mobil ke Medang Cafe tempat Lia bekerja. Berdoa, semoga perempuan itu ada di sana. Pukul delapan lewat sepuluh, mobil lelaki itu memasuki tempat parkir kafe. Ia menghela napas gugup, saat berdiri di depan pintu kaca tembus pandang. Nampak Lia duduk di meja kasir, tanpa ekspresi. Setelah meyakinkan diri, dengan langkah panjang Brian menghampiri Lia.
"Ada yang bisa saya ban---" Pertanyaan Lia terpotong ketika mata wanita itu menangkap siapa yang berdiri di hadapannya sekarang. Meskipun sosok itu menutupi wajahnya dengan masker, tapi Lia tak akan lupa sorot mata yang dulu selalu memberi tatapan hangat.
"We need to talk," tukas Brian tanpa basa-basi.
Napas Lia tercekat di tenggorokan. Sepertinya perempuan itu lupa caranya bernapas. Jemarinya mengepal erat. Setelah berhasil menguasai dirinya, ia pun membuka mulut. "N-nggak ada yang perlu dibicarakan."
Mata Brian berkilat tajam. "Kamu hutang penjelasan sama aku, Jul."
"P-please, just leave ... " mohon Lia dengan suara bergetar. Ia berjalan mundur siap berbalik meninggalkan meja kasir, tapi Brian mencekal erat pergelangan tangannya. "Lepasin!"
"No."
"Banyak yang ngelihatin .... "
"Aku nggak peduli."
Napas Lia semakin sesak, seakan rongga dadanya menyempit. Ia harus segera pergi dari Brian. Lelaki itu membuat Lia merasakan hal-hal yang tidak ingin ia rasakan lagi. Dengan sentakan kuat, akhirnya Lia berhasil menarik tangan dari genggaman Brian. Hal itu membuat lengan baju Lia yang panjang tersingkap dan menampakkan bekas luka di pergelangan tangannya.
Mata Brian membulat sempurna ketika menyadari bekas luka tersebut. "What's wrong with your hand?" Ia mencoba meraih kembali tangan Lia, tapi perempuan itu memeluk dirinya sendiri.
"Just leave, Brian ... please leave .... " pinta Lia dengan suara semakin parau dan tak lama kemudian air mata bergulir di pipinya.
Badan Brian terpaku di tempat. Ada sesuatu yang salah dengan Lia. Julia-nya bukan perempuan yang gampang menangis. Ada apa dengannya? Melihat kondisi Lia yang menyedihkan seperti ini, membuat Brian semakin yakin ada sesuatu yang teramat buruk terjadi padanya. Hati Brian nyeri. Dia tidak bisa melihat wanita sekuat Lia, berubah seperti ini.
"Jul ... kamu kenapa?" bisiknya tersiksa.
Seorang lelaki datang dari dapur berjalan ke arah Lia dan langsung melayangkan tatapan tajam pada Brian. "Mas, tolong pergi ... Julia tidak mau diganggu. Kalau Mas masih memaksa, kami akan panggil polisi."
Brian menggeleng keras. "Gue cuma pengin ngomong sama Lia! Jul, please!"
"Kenapa Lia sampai nangis begini, kalau lo cuma mau ngobrol sama dia?" sungut lelaki itu. "Gue tahu siapa lo. Gue nggak mau banyak wartawan dateng ke sini, cuma buat ngepoin Lia, karena sikap kekanakkan lo hari ini."
Tidak ingin membuat situasi semakin ricuh, Brian pun menurut. Dia tahu, dari bajunya lelaki itu adalah chef di kafe ini. Tapi, tetap saja kenapa dia se-protektif itu pada Lia? Jangan bilang, mereka pacaran? Bodo amat! Gue kan dateng ke sini, mau nanyain Lia kenapa dulu dia ninggalin gue. Iya 'kan?
Brian berdiam di kursi belakang kemudi mobilnya. Lelaki itu memindahkan mobil ke toko sepatu yang tak jauh dari Medang Cafe, karena masih ingin mengawasi Lia. Ya, mengawasi. Hari semakin malam, ia takut saja jika perempuan itu pulang dengan taksi. Alasan Brian juga karena ingin tahu di mana tempat tinggal sang mantan sekarang.
Pukul sepuluh, Lia berjalan dari kafe menuju tepi jalan raya dengan kruk. Tak lama, sebuah mobil SUV hitam berhenti di depannya. Setelah Lia masuk, Brian pun mengikuti mobil di depannya. Ketika akhirnya tumpangan Lia memasuki kawasan perumahan yang ia kenal dan berhenti di depan rumah yang tak asing lagi bagi lelaki itu, Brian bernapas lega. Lia tinggal di rumah budenya. Good, gue kira dia tinggal sendirian atau sama cowok di cafe tadi.
Sekarang, Brian tahu ke mana harus mencari Lia. Keputusannya datang ke kafe tempat wanita itu bekerja, mungkin cukup gegabah. Jadi, datang ke rumah Bude Wati untuk menemui Lia bisa jadi hal yang tepat. Ke mana juga dia bisa lari? Tekad lelaki itu untuk berbicara pada mantan kekasihnya semakin menggebu. Perempuan terkuat yang ia kenal, tidak akan runtuh semudah ini. Itulah yang membuatnya memikirkan berbagai skenario buruk yang menimpa gadisnya. Hatinya mencelos, ikut sakit ketika teringat wajah pilu dan suara serak perempuan itu. Begitu putus asa, begitu ketakutan.
"Jul, kenapa kamu sekarang jadi begini?"
TBC
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top