Chaos 03: When Their Universe Collides
Sejauh apa pun kita melangkah untuk saling menjauh, jika semesta tidak menghendaki, mata kita akan saling bertatap kembali.
.
.
"Di sini pie sama joconde imprime-nya enak banget," tutur Erin antusias.
"Apa? Joconde apaan?"
"Joconde imprime. Itu dessert, luarnya lembut karena pakai sponge cake, terus dalemnya ada pastry yang renyah."
Brian menatap papan nama kafe lalu mengangguk-angguk. Medang Cafe. Lucu juga namanya. Seharusnya yang ditonjolkan di kafe ini minuman, bukan malah varian kue, karena medang artinya minum dalam Bahasa Jawa.
"Udah pernah ke sini berapa kali?" tanya lelaki itu saat keduanya menempati meja yang kosong.
"Baru dua kali yang di daerah SCBD."
"Kafe besar berarti?"
Erin mengangguk. "Ini tuh, masih satu link sama toko bakery apa ya, aku lupa. Kata owner-nya dibikin kafe biar yang suka produk kue mereka, bisa sambil nongki-nongki juga."
"Oh, pantes." Brian manggut-manggut. "Pesenin aku yang kira-kira enak, ya? Aku nggak terlalu paham sama kue-kuean."
Berbeda jauh dengan sang pujaan hati, Brian memang tak terlalu suka dengan kue, roti, dan makanan sejenis. Ia lebih suka makanan gurih dan pedas. Nasi goreng dan mi goreng adalah favoritnya. Apalagi mi goreng udang dengan jamur truffle di restauran andalannya. Mantap.
"Kok pelayannya belum nyamperin, sih?" gerutu Erin lalu menekan bel di meja. Tak berselang lama, seorang perempuan mendatangi meja mereka.
"Selamat sore, mau ... pesan ap-a?" Suara perempuan itu sedikit tersendat.
"Minuman yang paling direkomendasikan apa, Mbak?"
"Sebentar ya Mbak, saya panggilin teman saya dulu."
"Loh, kenapa, Mbak? Pelayan baru?"
Terdengar suara helaan napas. "Saya panggilin teman saya aja, Mbak," jawab pelayan itu bersikeras.
"Nggak usah, Mbak. Saya bisa pilih sendiri," tukas Erin kesal karena merasa tidak dilayani dengan baik.
"Sweet Poison. Itu mojito leci dan kiwi. Untuk pesanan selanjutnya, saya panggilin teman saya dulu." Pelayan itu sudah siap berbalik, tapi Erin mencekal tangannya.
"Mbak, apa susahnya sih catat pesanan?"
"Kenapa sih, Hon?" Brian akhirnya meletakkan ponsel yang dari tadi menyita fokusnya dan menatap Erin serta sang pela--- "Lia?" bisiknya tak percaya. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Erin menatap Brian dan pelayan itu bergantian dengan wajah bingung.
Perempuan yang Brian yakini sebagai Lia itu terlihat gugup dan mengalihkan pandangannya. "Maaf atas ketidak profesional saya. Saya akan panggil pelayan dulu."
Perempuan itu berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat ke meja kasir. Dari kursinya, Brian melihat Lia tampak berbicara sebentar dengan seorang pegawai kafe lain dan masuk ke sebuah ruangan. Mata lelaki itu tak pernah meninggalkan pintu yang menelan Lia barusan.
Lia? Itu Julia, 'kan? Kenapa sekarang jadi pelayan? Terus, kakinya? Kenapa sekarang jalannya pincang? Puluhan pertanyaan bercokol di kepala Brian.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" Seorang pelayan mendatangi meja mereka.
"Sorry, tadi yang datang ke sini, namanya Julia, 'kan?" Brian menembak tanpa basa-basi.
Kening pelayan itu berkerut, tapi tetap mengangguk. "Benar. Apa ada yang ingin disampaikan? Mbak Julia adalah manajer Medang Cafe. Pelayan kami ada yang izin, jadi kami kekurangan pegawai hari ini."
"Udah berapa lama dia kerja di sini?"
"Ehm ... dua tahun."
"Terus, kenapa kakinya? Dia habis kecelakaan?" Brian memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.
"Maaf Kak, untuk masalah tersebut, saya tidak bisa memberi jawaban." Pelayan itu tersenyum tipis, merasa aneh dengan tingkah sang pembeli. Tapi dalam hati memekik karena tak percaya sang vokalis Sixth Sense di hadapannya. "Perlu bantuan memilih menu?"
Setelah memesan, sang pelayan kembali ke dapur. Erin dan Brian diselimuti keheningan serta kecanggungan. Erin terus melirik ke arah sang kekasih. Lidahnya gatal ingin menyuarakan pertanyaan yang sudah di ujung bibir. Namun, niatnya itu diurungkan ketika melihat raut wajah Brian yang terlihat gusar.
Sedangkan, Brian terus menerus memikirkan kenapa Lia bisa bekerja di sini. Ia ingin menarik perempuan itu dan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Jika selama ini Lia tinggal di Jakarta, kenapa harus menghilang?
"Kamu, nggak apa-apa?" bisik Erin sambil menepuk bahunya.
Brian menoleh ke arah wanita itu dan tersenyum canggung, penuh rasa bersalah. "Sorry, Rin," katanya tercekat. "Kenapa bisa Julia ada di sini? Gimana bisa? Aku terlalu kaget lihat dia."
"Memangnya kenapa? Mungkin dia bosan jadi jurnalis, atau ada masalah sama pekerjaan lamanya."
Brian mendengkus tanpa sadar. "Jurnalis dan Julia itu dua hal yang nggak bisa dipisahkan. Cita-cita dia dari dulu itu jadi jurnalis, Rin. Dia udah jadi jurnalis di majalah Alexandria. She would do anything to achive that. She is very passionate about her dream. Bahkan, melebihi aku sama dunia musik. Kalau aku nggak dapat tawaran dari label musik aku yang dulu, aku bakal lanjut S2 dan jadi dosen. Itu plan utama aku. Tapi, Lia nggak. She already set her plan to became journalist.
"Aku nggak merendahkan pekerjaan dia sebagai pelayan atau manajer kafe. Bahkan, kalau aku ketemu dia sebagai CEO perusahaan besar pun, aku tetap bakal nanya, kenapa dia sekarang nggak jadi jurnalis."
Erin tersenyum sendu. "Terus, kamu mau apa?" Rasanya cukup sakit mendengar sang kekasih membicarakan wanita lain dengan menggebu-gebu seperti ini.
"Kakinya, kenapa dia pakai tongkat, Rin? What happen to her?" Brian memijat pelipisnya frustasi.
"Kamu mau cari tahu kenapa dia nggak jadi jurnalis lagi? Atau, kamu mau tahu kenapa dia dulu tiba-tiba menghilang?"
"Both."
"Tadi, Lia langsung nawarin panggil pelayan lain waktu sampai ke meja. I guess it because she realized the customer is you. Dia, kayaknya nggak siap ketemu kamu."
"But, I need to know."
"Why? Setelah tahu, apa yang kamu mau lakukan?" Erin menatapnya lekat-lekat. Lagi-lagi, ia harus berhadapan dengan musuh terbesarnya. Masa lalu Brian.
Brian memejamkan matanya. "Aku tahu aku nyakitin kamu sekarang, Erin. But, I really need to know her reason why she left me five years ago. Dengan begitu, aku bisa ikhlas dan aku rasa bisa hidup lebih bahagia."
Hanya senyum tipis yang jadi jawaban Erin. Ia meraih tangan kekar Brian dan mengecupnya. "It's okay. Kalau kamu memang merasa hal itu bisa buat kamu lebih tenang dan happy. Tapi, jangan dipaksa, ya?"
***
Tangan Lia bergetar sembari memegang segelas air yang tadi diangsurkan Ghani, head chef di sini. Selain menyajikan berbagai macam kue dan roti, Medang Cafe juga memiliki bermacam-macam menu rice bowl, pasta, dan camilan. Dia duduk di dapur sambil mengatur napasnya yang tak teratur. Gimana bisa ia bertemu dengan Brian dan Erin di sini? Selama dua tahun bekerja di Medang Cafe, ia tak pernah bertemu selebriti. Dan, kenapa pengalaman pertama bertemu selebriti harus Brian dan Erin?
Melihat sosok yang ia rindukan secara langsung membuat jantungnya berdebar kencang. Ada secuil kegembiraan, akhirnya bisa bertatap muka kembali. Tentu, Brian terlihat lebih menawan sejak terakhir mereka bertemu. Namun, perasaan sesak lebih mendominasi dadanya saat ini.
"Lo nggak apa-apa, Ya?" Ghani duduk di depannya, keningnya mengernyit, kedua alis lelaki itu hampir bertautan. "Wajah lo pucat gitu."
Lia menanggapinya dengan senyum getir. "Cuma kecapekan."
"Mau gue teleponan Bu Wati?" Ghani mengeluarkan ponsel dari celananya.
Perempuan itu buru-buru menggeleng. "Nggak perlu. Gue cuma perlu istirahat sebentar. Front line pasti keteteran gue tinggal." Ia paling tidak suka berada di situasi seperti ini. Dikasihani orang lain, dipandang lemah.
"Nggak apa-apa, Ya. Mereka pasti ngerti," ujar Ghani, lelaki beralis tebal dengan hidung mancung, dan rahang tegas itu menepuk bahu Lia. "Gue tinggal masak dulu, ya ... kalau ada apa-apa, bilang sama gue aja."
"Oke, makasih."
Ya, lagi-lagi mereka yang harus mengerti Lia. Padahal, perempuan itu juga tidak selalu minta untuk dimengerti. Diperlakukan istimewa, tidak selamanya menyenangkan.
"Eh, anjir! Ternyata ada Brian Sixth Sense di depan, ya!" pekik Sheryl, waiter yang baru saja mengantarkan minuman ke meja Brian dan Erin. "Ganteng banget dia!"
"Lo boleh jadi kasir kok Ryl, sampai Brian pergi," tutur Lia pada gadis berusia dua puluh dua tahun itu.
"Serius, Mbak?" Mata Sheryl berbinar cerah. Perempuan itu sampai lupa jika tadi sang bintang menanyakan soal Lia padanya, karena terlalu semangat. Tapi, raut wajahnya mendadak berubah ketika sadar Lia yang terlihat pucat dan lemas. "Mbak, lo kenapa? Sakit?"
"Nggak kok." Lia menggeleng lemah. "Serius. Lo bisa lihatin dia sepuasnya."
"Lo itu jangan berisik, Ryl! Mbak Lia jadi tambah pusing denger ocehan lo!" semprot Candy, patissier Medang Cafe.
"Mbak Lia udah makan?" Sheryl duduk di hadapan Lia. "Mau gue siapin makan?"
"Nggak. Lagi nggak pengin makan."
"Lo nggak usah mikirin front line, Mbak. Ada Sheryl yang bisa gantiin lo. Kalau mau istirahat, naik ke lantai dua aja," usul Candy.
"Y-ya udah, gue mau pamit ke atas, ya? Badan gue tiba-tiba nggak enak." Lia bangun dari duduknya.
Candy membantu Lia, memegangi lengan kiri perempuan itu. "Tangan lo dingin banget. Telapak lo juga keringetan gini. Lo sakit beneran ya, Mbak?" Sekarang, Candy menatapnya penuh selidik.
Lia hanya menipiskan bibirnya, enggan menjawab. Ia sehat. Harusnya begitu. Tapi, kenapa tiba-tiba kepalanya pening setelah melihat Brian dan Erin? Hatinya juga merasa gelisah sejak tadi. Sepertinya ia tidak akan pernah siap bertemu Brian lagi, meskipun ingin. Meskipun rindu di relung hatinya mendambakan temu.
***
Suara ketukan pintu membangunkan Lia dari tidurnya. Perempuan itu tidak sengaja tertidur saat istirahat di ruangan yang memang disediakan untuk manajer kafe. Di ruang itu terdapat jendela luas yang tirainya hampir tak pernah ditutup. Sejak kejadian mengerikan lima tahun lalu, Lia tidak bisa berada di ruangan tanpa jendela. Jendela dan pemandangan di luar sana seolah bisa menenangkan perempuan itu, jika ia sudah bebas. Bukan terkekang di dalam kegelapan itu lagi. Ia lalu bangun, merapikan rambutnya dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya tertuju ke jendela luas yang menampilkan warna-warni lampu Jakarta.
"Masuk aja."
Kepala Sheryl menyembul dari balik pintu, sambil menyengir. "Udah baikan, Mbak?"
"Udah. Gue malah ketiduran." Lia menoleh ke arah pintu dan tersenyum.
"Ada titipan buat Mbak Lia, nih." Sheryl duduk di kursi putar dekat meja kerja. Dia menyerahkan secarik kertas pada Lia. "Gue lupa, tadi pas gue nyatat pesanan Brian sama Erin, dia sempat nanyain lo."
"Apa, nih?" Lia mengambil kertas yang dilipat itu dan membukanya. Raut wajahnya mendadak pias ketika membaca barisan huruf yang tertera di sana.
Jul, gue ga nyangka ketemu lo di sini. Banyak banget yg gue rasain skrg, but i pretty damn sure, gue marah. Marah lihat lo di sini. Marah lihat lo sedekat ini. Dan pastinya, lo berhutang banyak penjelasan ke gue kan?
Your boyfriend---oh not anymore cz u left me---,
Brian.
Sheryl yang menyadari perubahan Lia, menatap bosnya itu penuh selidik. Kening gadis itu terlihat mengerut, kedua alisnya menyatu. "Lo kenal Brian Sixth Sense, Mbak?"
Lia cuma mengedikkan bahu dan mengalihkan pandangan dari Sheryl.
"Itu dari Brian loh, Mbak. Katanya buat Julia Maheswari. Dia sampai tahu nama lengkap lo."
"Pernah sekampus dulu."
"Loh, kalau temen sekampus, kenapa malah nggak ditemui?" tanya Sheryl heran.
"Ya, nggak kenapa-napa," Lia beranjak, berjalan ke meja di mana tasnya berada. Sengaja memunggungi Sheryl.
"Lo ada something ya sama Brian?"
Lia terkekeh pelan. "Nggak. Gue malu aja ketemu dia sekarang. Dia udah jadi orang besar, gue cuma jadi manajer kafe, punya bude gue."
Sheryl menepuk bahu Lia dan menghela napas. "Mbak Lia itu hebat lho, kalau gue ngalamin kejadian kayak Mbak Lia, gue nggak yakin masih bisa berdiri, bertahan hidup."
Lia berbalik dan tersenyum sendu. "Makasih ya, Ryl. Gue juga nggak percaya masih bertahan hidup sampai detik ini."
TBC
***
Akhirnya mereka ketemu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top