Chaos 02: New Phase of Life

Dan kini, manisnya senyummu, merdunya tawamu, jadi hal paling menyedihkan yang melekat dalam ingatan.

.
.

Tidak apa-apa, istirahat dulu, jika kamu tidak yakin ke mana akan melangkah.

Mungkin, kamu juga bisa bersembunyi, mengintip dunia luar dari lubang kecil di pintu kamarmu.

Tapi, bagaimana jika aku bersembunyi terlalu lama, dunia sudah berubah? Dan bagaimana jika mereka tidak menerima kehadiranku kembali?

Suara-suara asing itu kembali memenuhi kepala. Riuh, tapi tak bersuara. Menyeramkan tapi tak berbentuk. Aku benci ini.

Tapi, bukankah dunia memang selalu berubah? Tidak ada yang salah dari itu. Dan jika mereka tidak menerimamu kembali, kau selalu punya dirimu sendiri. Maka dari itu, bertahanlah, karena hanya dirimu yang bisa melindungimu.

Jakarta, 01 Juli 2029

Sweet Chaos

Lia mendengarkan rekaman podcast terbarunya sekali lagi. Wanita itu tersenyum sendu memikirkan rangkaian kalimat yang ia susun. Banyak pendengar podcast-nya yang merasa terbantu dan termotivasi setelah mendengar kata-kata atau cerita yang ia bawakan. Padahal, ia menulis itu untuk dirinya, bukan orang lain. Ia tengah menyemangati hatinya yang melemah, karena Lia bergantung dengan dirinya sendiri.

Berlindung di balik nama Sweet Chaos, Lia menjalankan kehidupan barunya sebagai konten kreator. Setelah berhasil mempublikasikan episode podcast terbaru, ia beralih ke halaman Microsoft Word, memeriksa artikel yang siap disetorkan ke Mbak Ester, editor Majalah Alexandria.

Ya, walaupun sudah tidak seperti dulu, setidaknya Lia masih diberi kesempatan untuk menjalankan mimpinya, meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan yang wanita itu harapkan. Mbak Ester, senior terbaiknya menawari perempuan itu kembali bekerja sebagai penulis artikel di Majalah Alexandria, setelah vakum selama tiga tahun. Padahal dulu, posisi Lia di Alexandria adalah jurnalis lapangan. Ia bertugas mencari berita. Meskipun lelah, tapi dirinya merasa senang. Perempuan itu suka menjelajah, suka mencari hal baru, suka mengulik misteri. Namun, setelah kejadian mengerikan lima tahun silam, semuanya berubah.

Untuk mengintip keluar dari balik tirai jendela saja, rasanya sangat sulit. Kalau bisa, ia ingin seterusnya bersembunyi, tidak terlihat. Semakin lama, otaknya menjadi tidak waras. Di satu sisi ia tak ingin bertemu banyak orang, di sisi lainnya mimpi Lia masih sama. Paling tidak, menulis artikel topik-topik terkini, membantunya untuk bertahan.

"Lia," Bude Wati---kakak ibunya yang tinggal Jakarta---berdiri di ambang pintu kamar. Dengan senyum teduh keibuan, wanita itu masuk, duduk di tepi tempat tidurnya. "Besok, Bude nggak bisa antar kamu kontrol. Di kafe ada acara, Bude harus bantu-bantu di sana. Lia, nanti Bude pesankan taksi, berangkat sendiri, bisa? Atau mau diantar sama Mas Yogi?"

Mas Yogi itu anak tertua Bude Wati, yang sekarang sudah berkeluarga dan tinggal terpisah dengan Bude Wati. Sedangkan sebelum ia tinggal bersama wanita itu, Bude Wati hanya tinggal bertiga dengan Mbak Ghea---putri bungsunya---yang bekerja sebagai perawat, dan Kintan sang cucu.

Lia menggeleng pelan. "Lia bisa kontrol sendiri. Bude tenang aja, lah. Lia kan nggak kenapa-napa."

"Ya, udah. Besok kamu nggak usah ke kafe, langsung pulang aja habis kontrol."

"Nggaklah, Bude. Besok, Naya nggak masuk. Jadi, kita kurang karyawan. Aku nggak mau nanti kafe pontang-panting."

Selain menjadi penulis artikel freelance, pekerjaan sehari-hari Lia adalah manajer di Medang Cafe, kafe kecil milik Bude Wati. Bude punya dua kafe, yang satu Bude tangani sendiri, sedangkan kafe yang paling baru, adalah tanggung jawabnya. Selain itu, Bude Wati juga punya Sweetest Smile Bakery, yang sudah tersebar di penjuru Jakarta.

Bude Wati manggut-manggut. "Bulan depan, keluargamu mau datang ke sini. Ibumu udah kangen berat kayaknya. Bilang sama ibumu, suruh bawa ayam rica-rica sama rendang daging, ya .... " Wanita paruh baya itu terkekeh pelan.

Lia mengacungkan jempolnya. "Aku juga udah kangen berat sama masakan ibu."

Bukan tanpa alasan dia tidak mau tinggal di rumah. Lia terlalu malu untuk kembali ke sana. Pasti banyak tetangga yang akan bertanya apa yang terjadi pada dirinya. Menyudutkannya karena memilih bekerja sebagai jurnalis, bukan pedagang saja, seperti kebanyakan warga desa. Yang pasti, Lia akan jadi buah bibir. Di sini, ia merasa lebih aman. Tak ada yang mengenal dirinya, tak ada yang mencampuri urusannya.

"Empat bersaudara, cuma Bude yang nggak bisa masak enak." Lagi-lagi Bude Wati terkikik.

"Tapi kan, cuma Bude yang bisa buat roti sama kue. Sampai sukses punya toko roti sama kafe di mana-mana," sahut Lia tersenyum lebar. "Kalau Ibu kan, cuma punya warung rumahan."

"Warung rumahan apanya? Memang warung makannya di depan rumah, tapi penghasilannya nggak usah ditanya." Bude Wati beranjak dan menghampiri Lia yang duduk di meja kerjanya, lalu mengusap rambut perempuan itu. "Kamu tidur, jangan begadang. Apa kalau anak muda itu harus begadang biar keren gitu?"

Lia menggelengkan kepala sambil meringis. "Kalau bisa tidur cepat sih, maunya tidur cepat, Bude."

Wajah Bude Wati mendadak panik. Sepertinya, gurauan Lia salah sasaran. "Kamu nggak bisa tidur lagi? Masih suka mimpi buruk?"

Perempuan itu langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak kok. Kadang suka laper aja kalau tengah malam. Tapi kan, aku diet."

Terlihat wanita tua itu menghela napas lega. "Pokoknya kalau kamu ada keluhan, langsung bilang Bude. Kalau nggak enak curhat sama Bude, telepon Dokter Alice."

"Nggih, Bude."


Seperginya Bude Wati, Lia mematikan laptopnya. Ia lalu menuju tempat tidur dan berbaring, bersiap istirahat. Namun sebelum terlelap, ia membuka Instagram lebih dulu, dan memeriksa berita-berita yang terlewat. Mungkin, lebih tepatnya mencari kabar tentang orang-orang yang ia rindukan.

Dadanya terasa sesak, tapi anehnya bibir Lia otomatis tersenyum ketika melihat unggahan teranyar lelaki yang selama ini tak pernah hilang dari ingatan. Perempuan itu mengusap layar ponselnya, berharap bisa menembus batas tak terlihat itu, dan merasakan kehangatan sang terkasih.

callmebrian: My Happy Pils

Setidaknya, Brian bahagia, dengan begitu beban di dada Lia berkurang. Rasa sesak yang terus menekannya semakin memudar. Meskipun bukan dia alasan lelaki itu tersenyum begitu cerah, tak apa. Brian layak mendapatkan yang terbaik dan tentunya bukan dia. Lelaki itu tampak bahagia, matanya menyipit, karena senyum yang terlalu lebar. Di sebelah Brian ada perempuan yang mengalungkan lengannya di leher lelaki itu. Tersenyum manis dengan sorot mata hangat.

Kamu bahagia terus ya, Brian ... dijaga baik-baik pacarnya. Aku yakin Erinka cewek yang tepat buat kamu. Kalian klop banget, sama-sama musisi hebat. Dan, semoga kita bisa ketemu lagi. Tapi, jangan sekarang. Aku belum siap. Paling nggak, tunggu kamu punya anak tiga.

Dia memang bahagia, tapi bukan berarti hatinya tidak sakit melihat Brian bersanding dengan perempuan lain. Semoga saja hatinya segera lapang. Tidak ingin berlama-lama mengenang masa lalu yang pasti tak akan pernah terulang, Lia membuka akun Instagram Yezy. Air mata langsung menggenangi pelupuk matanya dan menghalangi pandangan perempuan itu. Unggahan terakhir Yezy, membuat rasa bersalahnya kembali menyeruak. Di foto itu terlihat Lia, Yezy, Echa, Ryuka, Ayuna saat dulu kuliah.

yezygarnia: Halo pemilik Bulan Juli, semoga lo selalu sehat, dan dalam lindungan Tuhan. Nggak tahu kenapa tiba-tiba gue kangen lo. Kalau lo lihat foto ini, hubungin gue. Gue sayang lo, Julia. Lo ada atau pun nggak.

Bukan hanya meninggalkan Brian, ia juga meninggalkan teman-temannya. Meskipun rasa rindu selalu menggebu-gebu bersarang di dada, ia tidak berani untuk menghubungi mereka. Dirinya terlalu pengecut. Kini, tak ada lagi Julia yang pemberani, Julia yang bertekad keras, Julia yang pantang menyerah. Sosok perempuan itu lenyap, setelah kejadian lima tahun silam. Dan, sampai sekarang, ia masih sering bertanya-tanya, akankah dirinya kembali menemukan sosok itu?

***

Suara tangisan ibunya terdengar nyaring di telinga. Dari balik kedua kelopak mata yang lebam, Lia melihat sang ibu terkulai lemah di pelukan ayahnya. Ia ingin meraih mereka, meyakinkan kedua orangtuanya jika dia baik-baik saja. Namun, rasa sakit di sekujur tubuhnya meneriakkan kenyataan lain. Perempuan itu jauh dari kata baik-baik saja.

Itu adalah pemandangan terakhir yang ia tangkap sebelum tak sadarkan diri. Ia terbangun dengan ayah dan ibunya duduk di sebelah tempat tidur rumah sakit yang perempuan itu tempati. Matanya mengerjap-ngerjap, melihat kaki dan tangannya dibalut perban. Oh, dia juga merasakan nyeri di dadanya.

"Sayang, udah bangun?" Sang ibu mengusap puncak kepalanya lembut. Tapi, anehnya ia tak merasakan rambutnya dibelai, melainkan ... tangan Lia langsung terulur untuk menyentuh kepalanya dan tak menemukan sehelai rambut pun menempel di sana. "Rambut kamu harus dicukur, karena banyak luka yang harus diobati. Nggak apa-apa, kamu tetap cantik," kata Bu Suci tersenyum, tapi air mata terus bercucuran dari matanya.

"I-Ibu?"

"Ya, Sayang?"

"I-ini nggak mimpi, 'kan? Aku udah pulang?"

Ibunya mengangguk dengan air mata bercucuran. "Kamu udah pulang, Sayang. Sekarang kamu di rumah sakit."

Lia menoleh ke kanan kiri, rasa panik menyelimuti rongga dadanya. Berdoa segenap jiwa, semoga ini bukan bunga tidur semata. Helaan napas lega lolos begitu saja ketika melihat jendela luas di sisi kiri tempat tidur.

"J-jendela?"

"Iya, kenapa?" tanya Bu Suci heran.

"Tirainya bisa dibuka?" pinta Lia.

Pak Danu langsung bangkit dan membuka tirai jendela.

"Ada lampu sama gedung," cicit Lia tercekat, masih tak percaya.

"Iya, Sayang. Itu lampu sama gedung-gedung di sebelah," sahut Ibu masih belum memahami ke mana arah pembicaraan Lia.

Lia memejamkan mata. "Aku beneran pulang."

"Iya, Lia. Kamu beneran pulang. Ini Bapak sama Ibu, nggak ke mana-mana," timpal Pak Danu mengecup kening perempuan itu.

Matanya seketika terbuka saat mengingat sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang. "Hafiza mana?"

"Teman kamu ada di kamar sebelah."

"Dia nggak apa-apa kan, Bu?"

"Ibu belum lihat. Tapi, Ibu yakin dia baik-baik saja."

"Kamu mau hubungi Brian kapan? Dia sampai datang ke rumah, cari kamu," tutur ayahnya.

Brian? Sudah berapa lama dia tak bersua dengan lelaki itu? Jika Brian melihat betapa menyedihkannya ia sekarang, pasti lelaki itu terkejut bukan main. Lia yakin, jika ada cermin di hadapannya, ia tak akan mengenali dirinya sendiri. Apalagi lelaki itu. Ia juga tak mau mendapat tatapan penuh belas kasihan.

Lia menggeleng lemah. "Jangan kasih tahu Brian, ya .... "

"Sampai kapan?" tanya sang ibu.

"Selamanya."

TBC
***

Btw, suka ga sama cover barunya? Cakep banget loh....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top