Chaos 01: Box of Memories

Bagaimana bisa orang yang paling kita cintai berubah jadi penyebab tangis, amarah, rasa benci, dan luka yang terus menganga?

.
.

Kamar dengan nuansa warna putih dan krem itu nampak sunyi. Padahal jam digital yang terletak di meja kerja tak jauh dari jendela, sudah menunjukkan pukul sembilan. Beberapa potong baju berceceran di lantai. Hal itu jadi bukti nyata, apa yang telah terjadi semalam. Sepasang kaki menyembul dari balik selimut yang sudah tidak teratur, lalu mengapit badan mungil di sebelahnya, seperti bantal guling.

"Jam berapa?" bisik seorang perempuan dengan mata terpejam. Rambut hitamnya terurai di atas bantal.

"Nggak tahu," jawab seorang lelaki, sebelum mengulurkan tangan ke nakas sebelah tempat tidur, mengambil ponsel dan melihat jam yang tertera di layar. "Sembilan."

"Kita kesiangan!" seru perempuan itu panik, matanya melebar.

"Emang kita mau ke mana?" Lelaki itu menatap perempuan yang tampak menggemaskan di depannya. Meskipun wajahnya terlihat sedikit bengkak karena baru bangun tidur, dia masih terlihat cantik. Bibir merah mudanya yang mengerucut, rambut sebahunya yang terlihat acak-acakan, dan bola mata cokelatnya yang selalu berhasil mencuri fokus.

Perempuan itu berdecak kesal. "Beres-beres apartemen kamu. Gimana sih, Bri?!"

Lelaki itu cuma tersenyum tipis, berbalik badan dan menarik selimut untuk menutupi dada telanjangnya. Masih enggan memulai hari.

"Brian! Bangun, dong! Nanti sore aku ada rekaman! Kalau kita nggak cepet-cepet, ini nggak bakal kelar."

Lelaki yang dipanggil Bri itu pun mengalah dan memutuskan untuk bangun. Ia menguap lalu mengucek matanya. Pandangannya terarah pada bagian atas perempuan di depannya, yang tidak tertutup sehelai benang pun. "Mandi bareng dulu, oke pacar?"

"Ogah! Nanti lama."

Pemilik nama lengkap Brian Mahesa Rahandika itu mencebik. "Aku kan cuma mau hemat air, Rin," dustanya.

"Kalau mau hemat, buktiin, berhenti beli sepatu. Itu wardrobe room kamu udah mau penuh." Erin, perempuan yang berusia dua tahun lebih muda dari Brian itu beranjak dari tempat tidur, tanpa repot-repot menutup tubuh telanjangnya dan berjalan menuju kamar mandi.

Brian mendesah pelan sambil menatap punggung dan bokong kenyal sang kekasih. "Itu cewek, kenapa nggak sadar-sadar sih, kalau jalan telanjang begitu bikin gue panas dingin," gerutunya.

"Bikinin mi goreng pakai telur ceplok, Hon!" teriak Erin dari dalam kamar mandi.

"Iya!" sahut Brian, mengambil boxer di lantai dan memakainya. Dengan telanjang dada, ia ke dapur untuk memasak sarapan mereka berdua.

***

"Mau ditaruh di gudang semua? Yakin?" Erin menaik turunkan alisnya, menatap setumpuk buku dan berbagai macam hadiah dari fans, yang belum pernah Brian pakai.

Brian mengangguk. "Pepetin tembok aja. Besok, ada orang yang mindahin ke gudang atas."

Lelaki itu kembali fokus mengambil barang-barang dari rak yang sudah tak terpakai. Seperti foto-foto dan piala-piala Sixth Sense serta pernak-pernik band-nya yang lain. Bukan untuk disingkirkan ke gudang, tapi untuk ditata ulang. Awalnya ruangan ini digunakan sebagai ruang baca dan perpustakaan. Sekarang, akan dialih fungsikan jadi studio musik mini. Sedangkan, barang-barang yang tidak terpakai, sementara dipindah ke gudang di lantai dua.

"Udah punya wajah fakboi sedari dulu ternyata," kata Erin terkikik.

Brian cuma tersenyum, mendengar sang pacar berbicara sendiri. Dia melanjutkan kegiatannya membersihkan rak buku yang berdebu.

"Wis ... Dion ganteng terus ya, dari dulu kuliah," kata Erin lagi.

Penasaran, Brian pun meletakkan lapnya dan menghampiri Erin yang duduk di lantai, sambil membuka album foto lawas zaman kuliah. Terlihat, di samping Erin ada semacam boks biru dongker, dengan motif polkadot putih.

"Kok kamu nemu yang beginian, sih?" tanya Brian heran sendiri. Setahunya, barang-barang saat kuliah sudah ia museumkan ke gudang.

Erin mengedikkan bahu, kembali membuka halaman demi halaman di album foto itu. "Dulu Sixth Sense sempat punya member cewek?"

Brian yang masih menata buku-buku berserakan di dalam kardus pun segera menoleh ke arah album foto. Bibirnya terkatup rapat. Foto lama bersama Sixth Sense dan seorang perempuan yang berhasil membangunkan kenangan menyakitkan di ingatannya.

"Bukan anggota." Brian mengambil boks biru dongker itu, dan berniat meminta album foto yang di tangan Erin. "Sini, buruan dimasukkin. Buat apa dilihat-lihat."

"Ih, kan aku penasaran, dulu seganteng apa kamu waktu kuliah," jawab Erin sambil terus membalik halaman album foto tersebut. Tangannya terhenti ketika ada foto Brian dan perempuan asing itu berdiri berdampingan, dengan tangan sang kekasih merangkul perempuan yang tersenyum lebar. "She looks so cute." Erin lalu mengeluarkan seluruh isi boks. Lagi-lagi ia menemukan foto polaroid perempuan asing itu. Ia yakin, jika perempuan asing ini, pasti dulu seseorang yang penting di hidup Brian.

Brian memandangi foto yang diambil sekitar delapan tahun lalu. Benar, perempuan di foto itu terlihat imut. Wajah cemberutnya, mata lebarnya, dan bahkan tawa gadis itu bisa Brian dengar saat memejamkan mata.

"Siapa, nih? Mantan pacar, ya?" tanya Erin dengan ekspresi jail.

"Rin, itu foto jadul. Isinya begitu-begitu aja. Masukkin ke boksnya, terus kita beresin. Katanya mau makan di luar?" kata Brian mengalihkan pembicaraan.

"Siapa dulu nama ceweknya?"

"Penting banget?" Brian menghela napas. Suasana hatinya sudah tak baik.

"Penting. Dia cantik banget lho, Bri. Serius, dia juga penyanyi? Tadi ada fotonya sama Sixth Sense."

"Julia. Namanya Julia."

Mulut Erin yang awalnya membuka langsung menutup. Dia menggigit bibir bawahnya, sebelum menghela napas. "Sorry, aku nggak tahu kalau dia Julia."

"Nggak perlu minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf, kenapa ada foto itu di sini," jawab Brian tak enak.

"Nggak masalah lagi, Bri ... " Erin tersenyum. "Aku jadi penasaran, Julia orangnya kayak apa? Sampai kamu gagal move on bertahun-tahun."

Ledekan Erin, yang harusnya mencairkan suasana malah membuat semakin canggung. Brian tersenyum tipis. Mengeruk kembali kenangan soal gadis itu. Gadisnya, yang selalu ia rindukan. Bahkan, sampai saat ini. Dia memang berlaku tak adil. Memeluk hati lain untuk menyembuhkan lukanya sendiri.

"Dia manis banget, ya? Lemah lembut gitu?"

Brian mendengkus, lalu menggeleng. "Julia itu orangnya egois, keras kepala, maunya menang sendiri, nggak mau dibilangin, suka judge orang lain tanpa cari tahu dulu." Ingatannya kembali terbang ke tujuh tahun silam, saat ia dan gadis itu kuliah.

Erin tersenyum lebar. "Tapi, tetap cinta, 'kan?"

Senyum tipis terbit di bibir lelaki itu. "She's one of a kind."

"Dia penyanyi?"

"Bukan, dia jurnalis," jawab Brian. "Jurnalis paling hebat yang pernah aku kenal."

"Oh ya, kenapa?" Erin terlihat sungguh-sungguh penasaran.

"Dulu di kampus, ada dosen yang ngelakuin pelecehan seksual. Dia yang blow up berita itu. Dia berjuang mati-matian biar dosen itu dapat hukuman. Sampai dia diculik sama orang suruhan si dosen. Udah diancem macem-macem pun, dia tetap nggak nyerah," jelas Brian.

Erin berdecak kagum. "Serius? Wow! Gila banget, sih!"

"Aku sama dia dekat karena kasus itu," tukas Brian. "Walaupun keras kepala, tapi dia nggak akan mengkhianati temannya. Dia nggak akan mundur, kalau memang dia ada di jalan yang benar. Dia nggak pernah main-main sama pilihannya. She is very passionate journalist dan aku benar-benar kagum sama dia."

"Kamu nggak pernah ketemu dia lagi, sampai sekarang?" Brian menggeleng. "Kamu sekarang masih suka kepikiran dia?"

Brian menghela napas dan mengalihkan pandangannya dari Erin. Lia, masih terus menghantuinya. Bayangannya, suara tawanya, dengkusannya. Brian masih bisa mengingat jelas segalanya tentang gadis itu.

"Maaf, Rin. Aku udah coba. Aku selalu coba." Lelaki itu menundukkan kepalanya.

Erin merengkuh kepala Brian dan memeluknya. "It's okay, Brian. I love you, I will always do."

He doesn't deserve this girl. She's too kind. "I love you too." Dan benar, Brian memang mencintai gadis ini.

Brian kenal Yves Erinka, solois genre jaz ini sejak lama, bahkan sebelum Lia lenyap ditelan bumi. Dia sepupu Dion. Namun, interaksinya dengan Erin, tidak lebih dari saling sapa. Bertemu beberapa kali di acara penghargaan, di festival musik. Ya, sewajarnya sebagai sesama musisi besar di Indonesia yang saling mendukung. Brian tidak meragukan kualitas Erin dalam menciptakan mau pun menyanyikan lagu.

Keduanya sudah berpacaran selama dua tahun. Setahun sebelum setuju menyatukan hati, Brian hanya menganggap Erin sebagai pendengar yang baik. Dia selalu ada di saat Brian butuh teman minum. Dia juga tidak keberatan jika Brian mengajaknya keluar, meskipun pada akhirnya lelaki itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak pernah ada protes keluar dari perempuan itu. Tidak perlu waktu lama bagi Brian, untuk menyadari perasaan Erin. Terpampang jelas pada sorot matanya.

Tanpa Erin, mungkin lelaki itu akan hidup tanpa tujuan. Perempuan di pelukannya ini, penyelamatnya. Di saat dia jatuh terpuruk, mencari Lia yang tiba-tiba lenyap entah ke mana, Erin datang. Sudah berkali-kali Brian meminta Erin pergi, karena ia tak ingin menyakitinya, tapi gadis itu tetap bertahan. Selama dua tahun terakhir, akhirnya hati lelaki itu tahu bagaimana caranya berdetak kembali. Setelah mati sekian lama, akhirnya dia tahu apa arti sebuah harapan lagi.

Julia, aku harap di mana pun kamu berada, kamu membayar dosamu. Kamu merasakan sakit yang aku rasakan selama bertahun-tahun. Aku berharap, rasa cintaku padamu yang begitu besar bisa kuubah jadi benci. Tapi, sepertinya aku masih belum mampu. Tolong, jangan kembali. Aku sudah bahagia. Aku sedang mencoba untuk bahagia tanpamu, di sisiku.

***

"Julia?" Lia membuka matanya saat merasakan bahunya di tepuk beberapa kali. Ia mendongak dan langsung tersenyum saat mendapati Brian berdiri di depannya. Tapi, lelaki itu tampak tak senang.

"Kejutan!" kata Lia tersenyum kaku, karena tidak bisa membaca raut muka sang kekasih. "Kok nggak seneng?"

"Udah berapa lama kamu duduk di luar?"

"Ehm ... setengah jam? Sejam?" jawabnya tak yakin.

Brian mengambil koper Lia dan membawanya ke depan kamar kos. Ia lalu membuka pintu dan mempersilakan Lia masuk. "Kenapa nggak ngabarin aku sih, kalau mau dateng? Biar aku bisa cepat pulang. Ketiduran di ruang tamu depan begitu, bahaya tahu. Gimana kalau ada penghuni kos yang ambil barangmu pas kamu tidur?"

"Aku udah WA Dion, kok. Dia bilang rekamannya setengah jam lagi kelar. Ya udah, aku tunggu aja. Kalau aku kasih tahu kamu, bukan kejutan lagi, dong," sahut Lia tak mau kalah.

Brian sekarang masih sibuk-sibuknya rekaman untuk album baru Sixth Sense. Setelah dua tahun jadi band indie melalang buana di Jawa Timur, akhirnya Sixth Sense menandatangani kontrak dengan label PR Entertainment.

Sekarang kedua orang itu duduk berhadapan di atas tempat tidur Brian. Brian menghela napas, mau marah pun sudah telanjur. Ia suka dapat kejutan ternyata sang kekasih ada di indekosnya. Tapi, melihat Lia tertidur sendirian di ruang tamu, membuatnya memikirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana kalau ada yang mengambil barang-barang perempuan itu? Atau, ada orang yang ingin mencelakai Lia? Ia selalu over protective terhadap sang kekasih, sejak insiden penculikan saat masa kuliah.

"Jangan marah terus, dong," bujuk Lia memberengut.

"Aku nggak marah," jawab Brian. "Kamu udah makan?"

"Belum."

"Mau makan di luar? Ayo, aku yang traktir."

Lia tersenyum lebar. "Ya, haruslah! Aku udah jauh-jauh dari Surabaya ke sini, masa nggak ditraktir."

Brian mencebikkan bibir, tapi ikut tersenyum kemudian. "Kamu nginep berapa hari di sini?"

"Semalam doang."

"Kenapa sebentar banget? Biasanya tugasmu lama kalau di Jakarta," protes Brian. "Kalau cuma sehari, buat apa nginep di sini. Bikin tambah kangen doang."

Lia beranjak dari tempat tidur Brian. "Ya, udah kalau gitu! Aku pergi ke rumah Bude Wati sekarang!" Ia menarik kopernya, hendak meninggalkan lelaki itu. Bude Wati itu kakak tertua ibunya. Sesekali, kalau ia ke sini untuk bertemu Brian, ia akan menginap di rumah Bude Wati. Bude Wati punya toko kue yang sudah tersebar di mana-mana.

Brian langsung mencekal tangannya. "Nggak ... nggak .... Jangan ngambek, dong," pinta lelaki itu.

"Aku itu pengin quality time sama kamu sebelum Minggu malam berangkat ke Palestina," kata Lia. "Aku mau liputan sama Mbak Lusi di Gaza."

"Gaza? Maksud kamu jalur Gaza yang ada perang itu?" Lia mengangguk. "Kamu mau ke sana dua hari lagi, dan baru ngomong sama aku sekarang?"

"Soalnya aku mau pamit langsung. Nggak mau lewat telepon."

Brian memejamkan matanya. Ia menarik rambutnya, membuat kulit kepalanya terasa panas. Gila! Kekasihnya ini selalu penuh kejutan sepertinya. "Aku nggak mau kamu ke sana ya, Jul!"

"Aku nggak peduli sama pendapatmu."

"Di sana bahaya! Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana?"

"Ya, makanya jangan berantem! Kalau terjadi apa-apa sama aku di sana, seenggaknya kita udah habisin waktu bareng sekarang!" sahut Lia jengkel. "Kamu kok cerewet banget, sih?"

"Ya, gimana aku nggak cerewet? Kamu mau liputan di tempat bahaya, dan baru kasih tahu aku sekarang! Kepalaku ini rasanya mau pecah!" tukas Brian tak mau kalah.

"Memangnya aku mau kalau terjadi apa-apa sama aku? Aku maunya ya, kerjaan lancar, bisa sampai Indonesia lagi, bisa ketemu kamu lagi!" kata Lia menatap Brian tajam. "Kita kan udah deal, nggak akan mencampuri urusan kerjaan masing-masing? Aku ke sini mau pamit, mau minta doa sama kamu, biar aku dikasih kesempatan pulang selamat, sehat. Kenapa kamu malah marah-marah gini, sih?" Suara Lia semakin lirih. Ia mengalihkan pandangannya dari Brian. Air mata lolos dari sudut matanya.

Brian yang melihat Lia mengusap pipinya langsung merengkuh gadis itu ke dalam pelukan. "Aku takut kamu kenapa-napa," bisiknya.

"Aku juga takut, Bri. Aku takut ... tapi, aku suka. Ini kesempatan langka. Bisa langsung ke sana buat liput berita."

"Maaf, Babe ... maaf. Ayo, kita makan. Kamu pasti laper." Brian mendorong tubuh Lia, memberi jarak sejengkal dengan tubuhnya, agar ia bisa menatap manik hitam jernih gadis itu. "I love you, aku nggak mau kehilangan kamu."

Sudut bibir Lia terangkat, membentuk senyum tipis yang meneduhkan. "Cinta kamu juga banyak-banyak." Ia mendongak dan mengecup bibir Brian.

TBC
***

Semoga Sweet Chaos versi revisi ini bisa lebih rapi ya❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top