🌶🍭SCR-9🍭🌶
Anyeong, Yeorobun ....
Kali ini ada apa lagi sama Belva? Kira-kira Ariel berhasil nuntut Belva nggak, ya?
Langsung baca aja, yuk. Jangan lupa vote dan komennya, ya ....
I purple u
💜💜💜💜💜💜💜
* * *
"Kamu yakin nanti nggak mau dijemput Ayah?" tanya Hani sambil memakai helm. Tadi dia sempat membantu Carol membuka lapak jualan.
Carol menata botol saus dan mayonaise di etalase. Lalu dia melihat kotak plastik berisi daun selada, tomat, serta timun yang sudah disediakan Bu Monik, bos Carol. Terhitung hari ini, tepat sebulan Carol berjualan di My Burger dekat taman komplek.
Tempatnya berjualan bukan berupa ruko atau warung tenda. Bangunan seluas tiga meter persegi yang terbuat dari kontainer bekas dengan cat kuning—sesuai dengan logo My Burger—berdiri di lahan kosong yang memang disediakan pemkot untuk para pedagang kaki lima.
Keluarga Carol sebenarnya tidak memberi izin. Buat apa Carol bekerja dari jam empat sore sampai jam sepuluh malam, bukankah semua kebutuhannya sudah tercukupi? Lagipula saat ini Carol sudah kelas tiga, akan lebih baik fokus ke pelajaran bukan?
Namun, dengan segala bujuk rayu, Carol akhirnya mengantongi izin untuk bekerja part time. Semua demi rencana Carol membelikan seuntai kalung untuk Yanti yang akan berulang tahun beberapa bulan lagi. Alasan ini tentu saja tidak ada yang tahu. Dia ingin membuat kejutan untuk bude tersayangnya.
"Iya, Mbak, nggak apa-apa. Nanti aku bisa pulang sendiri kok," jawab Carol yakin. Ia kembali merapikan lapak.
Walau itu artinya dia harus merogoh kantong untuk membayar ongkos ojek. Biasanya Hani yang mengantar jemput Carol. Namun, hari ini Hani ada pertemuan dengan keluarga tunangannya.
Sebenarnya Suprapto sudah menawarkan diri untuk menjemput Carol. Namun, Carol terlalu sungkan untuk meminta tolong lagi. Pagi tadi Carol sudah merepoti Suprapto untuk menemani ke pertemuan antara keluarga Bella, Belva, dan Ariel. Carol diminta menjadi saksi kunci atas perundungan yang dilakukan Ariel.
Pada pertemuan tiga hari lalu di ruang kesiswaan—sesaat setelah peristiwa itu terjadi—belum ada pembicaraan tentang bagaimana penyelesaian kasus tersebut. Carol sudah menjelaskan secara gamblang ke pihak sekolah tentang detail kejadian yang dia lihat.
Waktu itu memang ketiga anak buah Ariel tidak mau mengaku salah. Sedangkan Belva pun hanya diam, terlalu malas untuk membela diri. Hanya Bella yang menggebu-gebu menyalahkan Ariel.
Carol pikir, masalah ini hanya sampai pada mendamaikan pihak Bella, Belva, dan Ariel. Namun, saat malamnya Cristal menelepon, Carol sontak terkejut mendengar kabar Ariel akan menuntut Belva lewat jalur hukum. Padahal jelas-jelas Ariel yang salah. Bisa-bisanya pelaku malah menuntut korban hanya karena hidungnya patah. Oleh karenanya, Carol bersedia membantu Bella untuk menuntut balik Ariel.
Hari ini taman tak seramai biasanya. Di hari-hari pertama bekerja, Carol cukup kaget dengan ritme dan kecepatan dalam melayani pembeli. Terlebih mulai jam lima sampai delapan, pembeli membeludak. Hampir tidak mungkin bagi Carol untuk sekadar duduk. Namun, malam ini dia bisa bersantai.
Biasanya Carol mengisi waktu dengan mengerjakan tugas sekolah atau mengulang pelajaran. Namun, malam ini dia memilih bersantai sambil cari angin di depan lapak. Dari tempatnya duduk, bisa terlihat beberapa remaja sedang bercengkerama di taman.
Carol menyipitkan kelopak mata demi mempertajam penglihatan. Sesaat dia seperti melihat sosok Belva tengah duduk di ayunan. "Ah, nggak mungkin Belva. Ngapain coba Manusia Yeti itu di sini. Tapi kok mirip banget," gumamnya.
Carol menoleh ke dalam lapak guna melihat jam dinding. Sudah hampir pukul sembilan, kecil kemungkinan kalau lelaki berseragam SMA WK itu adalah Belva. Akan tetapi tampilan fisik dan rambutnya sangat mirip dengan lelaki itu. Carol menimbang sejenak, jarak lapak ke ayunan hanya sekitar dua puluh meter. Kalaupun Carol mendekati cowok itu, dia masih bisa mengawasi lapak.
Aku cuma penasaran, dia Belva beneran atau bukan, batin Carol.
Semisal siang tadi dia tidak melihat bagaimana Anthony memperlakukan Belva, Carol tidak mungkin sepenasaran ini. Mengingat kembali kejadian di lokasi pertemuan tadi, mau tidak mau membuat hati Carol kembali tercubit. Awalnya Carol mengira Anthony, lelaki paruh baya dengan wajah tampan itu, memiliki sifat yang hangat. Selama adu mulut antar kubu Bella dan Ariel, papa Belva itu hanya diam sambil sesekali menimpali dengan tenang. Sama sekali tidak tampak emosi yang meledak-ledak. Berbeda dengan orang tua Ariel.
Niat awal dari kubu Ariel tentu ingin menjatuhkan Belva. Menyalahkannya karena sudah membuat Ariel mengalami luka serius. Bahkan Carol sempat mendengar jumlah kompensasi yang harus dibayar pihak Belva jika ingin tuntutan dibatalkan.
Namun, semua diputar balik oleh pihak Bella. Pengacara Bella tidak memberi pilihan. Jalur hukum menjadi satu-satunya jalan yang harus Ariel terima. Bahkan pengacara Bella tidak segan untuk menggelar konferensi pers jika pihak Ariel tetap maju untuk menuntut Belva.
Mendengar hal tersebut sontak membuat wajah orang tua Ariel pucat pasi. Ditilik dari segala bukti, saksi, dan keterangan korban, sudah jelas bahwa Ariel yang bersalah. Jika kabar ini sampai terdengar ke telinga wartawan, bukan tidak mungkin akan berimbas pada karir politik papanya Ariel.
Setelah pembicaraan cukup alot, akhirnya tercipta satu kata mufakat. Kubu Bella berhasil memukul mundur keluarga Ariel. Mereka tidak akan melaporkan Ariel dan kawan-kawan jika pihak lawan menarik tuntutan terhadap Belva. Dan keempat anak itu harus segera angkat kaki dari Wijaya Kusuma.
Di saat suasana panas terjadi, Carol sempat melihat Belva malah asyik mendengarkan musik menggunakan earphone sambil memejamkan mata. Sama sekali tidak tampak takut jika kubu Ariel menolak kesepakatan yang mereka buat.
Carol pikir mungkin karena Anthony sudah menangani semuanya, sehingga anak sombong itu cuma perlu ongkang-ongkang kaki. Bukankah kebiasaan anak orang kaya selalu seperti itu? Berbuat ulah lalu membiarkan orang tua yang membereskan masalah. Namun, semua berbalik seratus delapan puluh derajat sesaat setelah acara selesai.
Sebuah fakta yang Carol yakin tidak ada seorang pun tahu, terkuak saat dia baru keluar dari toilet. Carol terpaksa bersembunyi di balik tembok sambil menggigit jari sekuat tenaga agar tak mengeluarkan suara, saat menyaksikan Anthony memukuli Belva di ujung lorong yang sepi.
"Ini terakhir kali Papa harus menanggung malu karena kamu! Jangan harap Papa turun tangan kalau kamu membuat masalah lagi."
"Turun tangan?" Tawa Belva terdengar sinis. "Jangan bersikap seolah Papa jadi pahlawan di sini. Om Adam dan Om Indra yang menyelesaikan masalah ini. Papa nggak punya andil sedikit pun."
Lagi-lagi Carol mendengar suara tamparan yang disusul geram kekesalan dari Anthony.
"Sekali lagi Papa ingatkan, kalau sampai kamu membuat masalah, jangan salahkan Papa kalau mamamu sampai bunuh diri lagi."
Secara tak sadar Carol menahan napas saat mendengar ancaman Anthony. Kakinya terlalu lemas untuk menahan bobot tubuh, hingga tanpa disadari tubuhnya sudah merosot. Seumur hidup Carol belum pernah menerima perlakuan kasar dari Suprapto. Padahal dia bukan putri kandungnya.
Carol mengambil napas panjang sebelum akhirnya melangkah mendekati area permainan anak. Laci penyimpanan uang sudah dia gembok. Pintu lapak sudah terkunci. Pengunjung taman juga mulai sepi. Seharusnya tidak ada masalah kalau dia meninggalkan lapak barang semenit dua menit.
Semakin mendekat, Carol semakin yakin kalau cowok yang tengah menunduk sambil meraup wajah dengan kedua telapak tangan itu benar-benar Belva. Rambut sedikit bergelombang dengan model undercut medium klasik berwarna coklat tua ini pasti milik Belva.
"Belva?"
Cowok bermata coklat itu menoleh dengan kening berkerut.
"Ternyata beneran kamu." Carol memasang senyum lebar sambil berjalan ke depan Belva. "Tadi aku sempat khawatir kalau salah orang. 'Kan malu kalau terlanjur nyapa, eh bukan kamu. Nanti dikira aku sok kenal. Tapi aku yakin kalau itu kamu sih. Dari belakang, aura gunung esmu itu udah berasa banget."
Belva menggerakkan kedua kaki hingga ayunan yang ia duduki bergoyang. "Kalau nggak yakin, ngapain ke sini."
Carol mengerucutkan bibir. "Ketus banget sih."
Carol mengamati penampilan Belva. Seragam tadi pagi masih melekat di tubuh cowok jangkung ini. Wajahnya walau masih putih bersih, tapi tampak sayu dengan kantong mata dan lingkaran gelap yang jelas membayang.
"Lo sendirian, Va?" Carol celingak-celinguk mencari kalau-kalau ada orang yang bersama Belva.
"Memangnya lo lihat ada orang lain di sini?" Belva balik bertanya. Diambilnya sebatang rokok, kemudian disulutnya. Diisapnya dalam-dalam asap nikotin tersebut.
Kening Carol berkerut. "Kamu merokok, ya?"
Pertanyaan Carol hanya ditanggapi Belva dengan embusan asap ke udara. Bukan kebiasaan Belva untuk mengisap nikotin. Hanya di saat tertentu saja. Terutama ketika pikirannya sedang kalut.
"Kamu masih muda lho, apa nggak sayang sama paru-paru? Lagian asapnya juga nggak bagus buat sekitar. Bukan kamu aja yang dapet dampaknya." Merasa ucapannya diabaikan, Carol mengganti topik pembicaraan. "Eh, kamu doyan burger nggak? Aku bikinin, ya. Gratis untuk yang pertama, tapi besok harus bayar."
Belva menoleh ke kanan kiri mencari penjual burger yang dimaksud Carol. Sedari tadi dia tidak melihat ada toko burger di sini. "Gue nggak makan sembarangan."
"Sombong banget sih jadi orang! Lagian burger buatanku tuh higienis. Rasanya juga nggak kalah sama yang dijual di mal. Makanya cicipi dulu, besok kamu bisa cerita ke Bella sama Cristal. Kalau perlu ke temen-temen sekelasmu biar mereka jajan di tempatku. Kalau jualanku rame 'kan bisa dapet bonus dari Bu Monik."
Belva kembali mengepulkan asap ke udara. "Lo jualan?"
Carol mengangguk dengan penuh semangat. "Itu lapakku," ucapnya sambil menunjuk ke belakang Belva.
Belva mengikuti arah telunjuk Carol.
"Ayo, ke sana! Aku bikinin yang spesial buat kamu."
Belva melirik Carol tajam. "Lo godain gue?"
Carol ternganga tidak percaya dengan ucapan Belva. Dengan kesal, Carol berkacak pinggang. "Enak aja! Siapa yang godain kamu? Cowok yeti kayak kamu itu cocoknya sama kulkas dua pintu. Orang normal kayak aku nggak bakal tahan. Lagian kamu bukan tipeku banget. Aku nggak suka cowok ngerokok. Jadi nggak usah berharap untuk aku godain, oke?"
Belva mengedikkan bahu. "Kalau lo sudah selesai ceramah, mending balik ke warung."
"Kamu ikut ke sana yuk. Katanya mau dibikinin burger."
"Kata siapa?"
"Kataku." Carol menarik ujung lengan kemeja Belva agar mengikutinya.
Belva berdecak kesal, walau akhirnya mengikuti langkah Carol dengan malas. "Awas kalau nggak enak apalagi perut gue sampai sakit."
"Aku racun sekalian biar kapok!" Carol memelototi Belva. "Jadi orang tuh jangan sinis-sinis, Va. Kalau ada orang yang punya niat baik, kamu harus menerima dengan pikiran positif. Bukannya nyolot."
Belva duduk di kursi depan lapak. Diinjaknya sisa rokok dengan ujung sepatu. "Kalau niat lo ngajak gue ke sini cuma buat dengerin lo ceramah, mending gue balik."
Carol membuka pintu warung lalu mencuci tangan. "Iya, aku diem."
Carol meletakkan dua burger di meja, lalu mengeluarkan kursi plastik agar dia bisa duduk bersama Belva. Biarlah penghasilannya hari ini ludes. Melihat wajah Belva, Carol yakin cowok itu belum makan malam.
"Nih cicipi burgerku." Carol menyerahkan satu bungkus burger lengkap dengan french fries rasa original. "Itu aku kasih lengkap. Sayur 'kan bagus buat kesehatan, jadi suka nggak suka harus kamu makan."
Belva membuka bungkus burger dalam diam. Mencium aroma daging asap, membuat perut Belva berteriak kencang. Digigitnya roti beserta daging dalam satu gigitan besar.
Carol menunggu sampai cowok itu menelan burgernya. "Enak nggak?"
"Memang rasa burger harus gimana?" Belva balik bertanya sambil menggigit lagi burgernya.
Carol mengerjap beberapa kali. "Iya juga sih, tapi 'kan ...."
"Mending lo diam, habisin punya lo." Belva menunjuk makanan di tangan Carol dengan ujung dagunya.
Carol mengunyah sambil diam-diam melirik Belva. Ini cowok sebenernya ganteng lho. Kulitnya mulus banget kayak pantat bayi. Pasti ini orang perawatan dokter. Eh, tunggu, kalau dilihat-lihat, pipinya chubby juga.
"Lo sudah lama jualan di sini?"
Pertanyaan Belva membuyarkan lamunan Carol. Cepat-cepat ia memalingkan muka. Jangan sampai Belva sadar kalau Carol baru saja memperhatikannya. "Enggak, baru satu bulan."
Belva meremas kertas pembungkus burger lalu melemparnya ke tempat sampah. "Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?"
Belva melirik kesal ke Carol. "Kenapa lo kerja?"
Carol ber-oh ria sambil menerawang ke langit. "Gue mau beliin kalung buat Bude Yanti. Bude Yanti itu istrinya pakdeku yang tadi, Va. Sebentar lagi Bude ulang tahun, ceritanya aku pengin ngasih kejutan."
Belva mengangkat sebelah alis. "Tadi pakde lo? Bukan bokap lo?"
Carol mengangguk sambil tersenyum ke belva. "Ganteng 'kan? Mirip sama aku nggak? Kata orang-orang, aku lebih mirip sama Bude Yanti sih daripada Pakde. Mungkin karena dari kecil aku lebih deket sama Bude. Habisnya Pakde kan tentara, jadi sering nggak di rumah."
"Lo nggak tinggal bareng ortu kandung lo?"
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top