🌶🍭SCR-8🍭🌶

Hampir sepuluh menit berlalu sejak mobil Belva berhenti di depan pintu gerbang. Dia masih ragu untuk masuk. Bukan karena takut akan amarah Anthony, tapi lebih ke malas mendengar sumpah serapah serta tudingan yang selalu papanya beri. Belum lagi jika kebetulan Indira di rumah. Tentu suasana akan semakin memanas.

Anthony akan menyalahkan Indira. Papanya itu pasti akan menyeret hal lain yang sebenarnya tidak berhubungan dengan pokok permasalahan. Seperti mengungkit kesalahan Belva di masa lalu serta memojokkan Indira. Di mata Anthony, dis adalah satu-satunya pihak yang dirugikan oleh ulah Belva. Tentu saja hal itu menurut Anthony adalah andil dari Indira yang gagal mendidik Belva.


Bayangan cek-cok dan tekanan yang akan diterima lah yang membuat Belva enggan beranjak. Belva sudah sangat akrab dengan hukuman fisik yang Anthony beri. Tamparan, pukulan, hingga sabetan ikat pinggang pernah Belva rasa.

Bohong kalau Belva tidak sakit hati. Bohong kalau Belva tidak kecewa dengan Anthony. Bohong kalau Belva merasa baik-baik saja. Karena kenyataannya, dia hancur. Jiwanya porak poranda sejak masih kanak-kanak. Perlakuan Anthony yang sangat diktator dan keras, ditambah Indira yang membiarkan semua terjadi tanpa berniat merengkuh Belva, menjadikan hati laki-laki yang beranjak remaja itu hampa. Kering korantang akan rasa cinta dan kasih sayang.

Belva menelungkupkan kepala di kemudi, menjadikan kedua punggung tangan sebagai alas. Bayang-bayang Indira menelan puluhan pil dua tahun lalu, hingga membuat wanita itu koma berhari-hari, kembali menyeruak.

Setelah dua tahun lebih Belva berusaha berubah, hari ini Ariel kembali membangunkan singa dalam dirinya. Setelah dua tahun lebih dia berhasil menepati janji untuk berubah, kali ini ia kembali terjebak pada lubang yang sama. Lubang yang memaksa Indira mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Lubang yang memaksa Belva untuk sadar bahwa sekeras apa pun usaha untuk mendapat perhatian Indira, semua akan sia-sia.

Bagi kedua orang tuanya, kesempurnaan adalah hal utama dan pertama. Terlibat dalam suatu masalah adalah masalah itu sendiri. Dan kali ini Belva-lah yang mencari masalah itu.

Belva meninju kemudi berulang kali, demi mengeluarkan emosi yang menggelegak. Tidak jadi soal jika Anthony menghajarnya. Asal jangan melibatkan mamanya. Sedingin dan setidak peduli apa pun Indira, Belva tetap menyayangi mamanya. Dia tidak ingin melihat mamanya terluka.

Bahkan demi mamanya, dua tahun lalu Belva bersumpah untuk berubah. Tidak lagi terlibat perkelahian. Tidak lagi mencari masalah dengan siapa pun. Semua demi menyanggupi permintaan Indira.

Lalu jika kali ini dia melanggar janji, apa yang akan terjadi? Akankah papanya kembali memberi ancaman untuk mengirim Belva ke luar negeri. Apakah Anthony kembali berencana menceraikan Indira?

Ketukan di pintu mobil membawa kesadarannya kembali. Wajah cemas Parmi tercetak jelas dari balik kaca. Dalam satu helaan napas panjang, Belva melepas kunci kontak mobil lalu membawa ranselnya turun.

"Papa di rumah?"

Anggukan Parmi menjelaskan segalanya.

"Tunggu, Den." Parmi memegang lengan kanan Belva. "Apa ndak sebaiknya Den Belva jangan pulang dulu?"

"Mama ada, Bik?"

Parmi mengangguk lemah. "Bapak marah-marah di dalem, Den."

Belva melepaskan cekalan tangan Parmi di lengannya. "Gue masuk dulu, Bik."

Semakin lama ia di luar, maka semakin memuncak juga amarah Anthony.

"Akhirnya kamu pulang juga!" Suara lantang Anthony langsung menyapa begitu Belva memasuki rumah.

Belva memicing sedetik sambil menarik napas panjang. Kondisi rumah sudah berantakan. Pecahan vas bunga serta guci antik terserak di lantai ruang tamu. Belva memantapkan langkah mendekat ke arah Indira yang terduduk lemas di lantai. Rambut mamanya yang biasa terurai rapi kini tampak berantakan.

"Ma," panggil Belva pelan sambil mengajak Indira untuk duduk di sofa. Belva harus memastikan mamanya baik-baik saja sebelum menghadapi kemarahan Anthony.

Namun, lelaki berambut hitam sekelam malam itu rupanya tidak mampu menahan amarah. Dalam tiga langkah lebar, Anthony sudah berdiri menjulang di hadapan Belva.

"Masih berani pulang juga kamu?" bentak Anthony sambil mencengkeram krah kemeja Belva. Membuat remaja itu terpaksa berdiri.

Belva mengembuskan napas pelan, lalu menatap tepat ke netra coklat milik Anthony. "Ada alasan yang bikin aku takut pulang?" Belva balik bertanya.

"Belva!" Indira menegur Belva.

"Kenapa, Ma? Kenapa aku harus takut? Aku nggak salah. Mereka memang pantas dihajar."

"Kurang ajar!" Anthony mengangkat sebelah tangan yang siap melayang ke wajah Belva.

"Papa mau tampar aku? Pukul saja!" Belva menantang Anthony dengan cara memajukan wajahnya. Mereka berdiri saling berhadapan.

"Salah besar kalau Papa pikir aku takut!" tambah Belva dengan gigi bergemeletak.

"Dasar pembuat aib keluarga!"

Indira memekik tertahan saat tangan Anthony dengan keras mendarat di pipi kiri putranya. Meninggalkan jejak merah di pipi seputih susu itu.

"Bisa-bisanya kamu merasa tidak bersalah setelah mencoreng nama baik Wijaya!" Satu tamparan kembali bersarang di wajah Belva.

"Nama baik?" Belva tertawa getir. "Mereka cuma belum tahu bobroknya keluarga ini," ucap Belva tajam.

Anthony paling tidak suka dibantah, terlebih saat emosinya tinggi. Sebuah pukulan kembali dilayangkan ke wajah putranya, hingga Belva limbung.

"Asal kamu tahu, orang tua Ariel berniat mengajukan tuntutan!" Anthony mencengkeran krah kemeja Belva dengan kedua tangan. Ditariknya kasar Belva hingga wajah mereka berjarak kurang dari sejengkal.

"Lalu kenapa?"

Anthony membelalakkan mata dengan rahang mengetat. "Kenapa kamu bilang? Kalau sampai nama Yayasan Wijaya Kusuma tercoreng, kamu akan Papa coret dari daftar ahli waris!"

Belva mencengkeram kedua tangan Anthony. Melepaskan cekalan dengan kasar. "Silakan! Aku tidak takut!"

"Belva!" hardik Indira. "Berapa kali Mama meminta kamu jadi anak baik? Apa susahnya tidak membuat masalah, hah? Selama ini Mama selalu membela kalau kamu berbuat salah, karena Mama yakin kamu bisa jadi seperti yang Mama harapkan. Mama kira kamu sudah berubah!"

"Membela?" Belva melepas paksa cengkeraman Anthony. "Sejak kapan Mama membelaku? Selama ini Mama cuma diam. Apa pun yang Papa lakukan, Mama selalu diam! Asal kalian tahu, aku nggak pernah minta jadi ahli waris Wijaya Kusuma! Kalian yang selalu menuntutku jadi seperti ini itu. Aku yang harus selalu menuruti kalian!"

"Kamu!" Anthony mengangkat tangan berniat menampar Belva lagi.

Indira mencengkeram lengan Anthony, menghentikan suaminya yang hendak memukul Belva lagi. "Cukup!"

Anthony menyingkirkan tangan Indira dari lengannya dengan kasar. "Kamu beritahu anakmu itu, bagaimana pun caranya dia harus meminta maaf ke keluarga Ariel! Aku hanya minta nama baik yayasan tidak ternoda sedikit pun!"

"Nggak akan aku lakukan!" tolak Belva tegas.

"Belva, sekali saja Mama minta kamu nurut!" teriak Indira sambil menggoncang tubuh Belva. "Ini juga demi masa depanmu."

Belva tertawa hambar. "Masa depan yang mana, Ma? Masa depan Klan Wijaya Kusuma maksudnya? Masa depan saham perusahaan?"

Indira menarik paksa putranya agar menjauh dari Anthony. Biar bagaimana pun dia tidak lagi bisa melihat Belva dihajar oleh suaminya.

"Kamu mau lihat Mama sakit lagi seperti dulu?" ucap lirih Indira.

Belva mengeratkan rahang, menahan geram. Lagi-lagi ancaman itu dilontarkan Indira. Senjata ampuh yang hingga kini masih mempan digunakan untuk menekan Belva.

"Kamu harus selesaikan masalah ini sendiri. Bagaimana pun caranya!" Anthony sempat melirik Belva sebelum meninggalkan rumah dalam kondisi emosi.

* * *

Sejak lima menit lalu, ponsel yang berada di nakas samping ranjang bergetar. Belva hanya sekilas melihat nama Bella tertera di layar. Tidak ada niatan untuk menjawab panggilan itu. Tubuh dan pikirannya masih terlalu lelah. Namun, di menit kesepuluh, Belva menyerah. Ponselnya tidak berhenti berdering.

"Apaan?"

"Lo tidur, Va?" Bella balik bertanya.

"Kalau tidur, gue nggak bisa angkat telepon lo."

"Luka lo gimana? Kata Carol muka lo harus dikompres terus."

Belva tidak menggubris saran Bella. "Ada apaan? Gue mau tidur."

"Va, gue denger dari Papa kalau Ariel mau nuntut lo."

Belva meletakkan bantal di belakang punggung. Tubuhnya baru terasa nyeri. "Gue tahu."

"Gue nggak ikhlas, ya, kalau lo sampai minta maaf ke Ariel. Sampai mati pun gue nggak akan rela!"

"Siapa yang mau minta maaf?" Belva memicing saat tanpa sengaja luka di ujung bibirnya tersentuh layar HP. Mungkin setelah ini dia akan minum pereda nyeri.

"Lo jangan khawatir. Habis ini gue mau ke rumah sakit buat visum. Kata Papa, kita butuh bukti kuat. Kalau Ariel sampai bawa kasus ini ke polisi, keluarga gue nggak bakal diem. Gue juga udah hubungi Carol buat jadi saksi."

"Jangan bikin repot Om Adam, Bel."

"Repot apanya? Yang jadi korban 'kan gue. Gue lho yang ditampar, didorong, dijambak Ariel. Lengan gue mulai biru-biru. Abang-abang gue juga nggak rela ngelepasin Ariel gitu aja. Kalau Ariel sampai berani nuntut lo, keluarga gue yang maju!" ucap Bella tegas.

Belva baru akan menyela saat Bella kembali berkata, "Tugas lo sekarang cuma makan, tidur, dan jangan ke mana-mana. Salurin hobi rebahan lo. Gue sama Cristal yang bakal ngurus semua."

Diam-diam Belva terharu dengan sikap dan perhatian kedua sahabatnya. Di saat Anthony dan Indira menjauh, keluarga Bella dan Cristal-lah yang merengkuhnya. Padahal mereka sama sekali tidak ada hubungan darah dengan Belva.

Di saat orang asing bersikap seperti keluarga, tapi keluarga sendiri terasa seperi orang asing.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top